Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh : Perumpamaan Untuk Dijadikan Bahan Renungan


Risalah Ke-40
Perumpamaan Untuk Dijadikan Bahan Renungan

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang keempatpuluh ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Jangan sekali-kali engkau berharap menjadi orang shalih jika engkau belum mampu mengalihkan nafsu dan sifat manusia sendiri. Jangan berharap menjadi orang yang benar-benar shalih jika engkau tak mampu melepaskan diri dari organ tubuhmu, dan terlepas dari semua hubungan dengan keberadaanmu, dengan gerak-gerikmu dan kediamanmu, dengan pendengaran dan penglihatanmu dengan diammu, dengan pembicaraanmu, dengan upaya dan tindakanmu. Pokoknya dengan segala sifat manusiawimu. Jika engkau mampu melepaskan jiwamu dari sifat kebinatangan dan manusiawimu, maka jiwa menjadi suci, bersahaja, maka engkau akan dalam suatu inti rahasia.lalu engkau menganggap segala sesuatu itu menjadi penghalangmu, menjadi musuhmu dan perintang dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah. Sebagaimana kata Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an:
 “Sesungguhnya mereka adalah musuh-musuhku, kecuali Tuhan semesta alam.”
Ibrahim berkata demikian itu ditujukan kepada berhala-berhala yang dianggap sebagai musuhnya. Oleh sebab itu hendaknya engkau menganggap sosok dirimu (yang mempunyai sifat manusiawi dan kebinatangan) itu sebagai musuhmu, sebagai berhala dan menghalangimu demi tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Demikian pula kepada makhluk lainnya, kepada benda dan semua yang kau jumpai di dunia ini; anggaplah sebagai penghalang perjalanan taatmu. Jangan mengikuti mereka (nafsu, manusia dan bendawi) dan jangan pula mematuhinya. Dengan berusaha membiasakan perilaku yang demikian itu, maka engkau akan mendapatkan karunia dari Allah berupa hikmah, makrifat, daya cipta, dan keajaiban, sebagaimana yang dimiliki orang-orang yang yang beriman di surga.
Keadaan dan kenyataan dirimu yang memiliki jiwa bersih, bagaikan suasana dimana engkau dibangkitkan dari mati di akhirat. Engkau menjadi perwujudan kuasa Allah. Kau mendengar melalui Allah, melihat, berbicara, diam, berjalan,mengerti, senang dan damai melalui Allah. Kalau sudah begini, pastilah telingamu tak akan bisa mendengarkan apa pun yang ada didunia kecuali terhadap bisikan ilham. Engkau akan mengetahui tentang rahasia syariat yang sejalan dengan kewajiban dan larangan.
Jika sesuatu kesalahan itu kau lakukan, maka engkau harus sadar bahwa engkau dalam ujiannya, engkau sedang dicobai dan diuji. Atau mungkin engkau digoda dan dipermainkan setan. Oleh sebab itu, hendaknya engkau kembali pada syariat dan hendaknya engkau memegang teguh syariat tersebut. Dan jagalah dirimu agar selalu bersih dari nafsu dan keinginan yang hina, sebab segala sesuatu yang tak terdapat dalam aturan syariat berarti suatu kekafiran.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risaah Ketigapuluh Sembilan: Menjadi Musuh Diri Sendiri

Risalah Ke-39
Menjadi Musuh Diri Sendiri

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang ketigapuluh sembilan ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Melakukan segala sesuatu yang didasari dengan nafsu berarti menyimpang dan menentang kebenaran. Sebab dorongan nafsu itu  sama sekali bukan perintah allah. Melakukan suatu perbuatan yang bukan karena dorongan nafsu berarti sejalan dengan kebenaran. Dan mencampakkan kebenaran berarti kemunafikan.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Ketigapuluh Delapan: Sifat Munafiq

Risalah Ke-38
Sifat Munafiq

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang ketigapuluh delapan ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Barangsiapa yang menunaikan perintah Allah dengan ikhlas dan sungguh – sungguh berarti ia mencampakkan segala sesuatu, kecuali allah. Jadi segala sesuatu yang ada di dunia tiada yang mampumenarik hatinya, sebab hatinya telah rindu dan cinta kepada allah saja. Wahai manusia, janganlah menarik segala sesuatu yang bukan menjadi milikmu. Esakanlah allah, jangan sekali- kali menyekutukanNya dengan suatu apapun. Jadikanlah dirimu sebagai sasaran kehendaknya, yang tak akan melukaimu atau mencelakakanmu.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Ketigapuluh Tujuh: Kebenaran dan Nasehat


Risalah Ke-37
Kebenaran dan Nasehat

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang ketigapuluh tujuh ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah engkau iri terhadap tetanggamu yang hidup senang dan yang mendapatkan rahmat dari Tuhannya? Apakah engkau tidak menyadari jika sikap yang demikian itu – sikap iri dan dengki – akan melemahkan iman di dadamu, melemparmu dari Tuhan dan akhirnya Dia sangat membencimu? Sudahkan kau mendengarRasulullah bersabda bahwa Allah telah berfirman, “Seorang yang iri hati adalah musuh rahmatKu”?
Apakah engkau tak pernah mendengar sebuah hadits yang artinya demikian: “Sesungguhnya sifat iri hati melahap kebajikan, sebagaimana api melahap habis kayu bakar? Lantas, mengapakah engkau mempunayi sifat iri terhadap orang yang mendapatkan kenikmatan. Wahai orang yang malang! Kenikmatan itu untuknya ataukah untukmu? Apabila engkau merasa iri karena rahmat Allah dimiliki mereka, maka berarti engkau dan sikapmu itu bertentangan dengan firman:
 “Adakah mereka membagi rahmat TuhanNya? Kami membagi penghidupan mereka di antara mereka itu pada kehidupan dunia dan Kami tinggikan setengah mereka di atas yang lain beberapa derajat, agar setengah mereka mengambil yang lain jadi pembantu (khadam). Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari harta yang mereka kumpulkan.” (QS. Al-Zukhruf : 32)
Berarti engkau benar-benar dzalim terhadap orang yang mendapatkan nikmat dan karunia Allah, yang khusus di karuniakan baginya. Nikmat itu sudah menjadi bagiannya, dan tidak akan diberikan oleh Allah sedikit pun. Siapakah kiranya yang lebih dzalim, serakah, rakus dan bodoh selain dirimu? Sesungguhnya Allah tak memiliki cacat dan keburukan. Allah berfirman:
 “Firmanku tak akan berubah dan Aku tak akan mendzalimi hamba-hambaKu.”
Ketahuilah wahai orang-orang yang belum mengetahui! Sesungguhnya Allah sekali-kali tak pernah mencabut segala yang ditentukan untukmu. Dia sekali-kali tak akan mengambil suatu bagianmu, jika memang bagian itu menjadi milikmu, diberikannya kepadamu. Dia tak akan memberikannya kepada orang lain, jika sesuatu itu sudah diperuntukkan bagimu. Begitu juga yang dikaruniakan orang lain, sekali-kali Dia tak akan mencabut dan memberikan kepadamu.
Janganlah engkau iri dan dengki kepada manusia yang mendapatkan kejayaan dan karunia rizki. Daripada engkau iri terhadap saudaramu sendiri, lebih baik jika engkau iri kepada bumi. Sebab di dalam bumi tersimpan berbagai macam kekayaan harta karun peninggalan raja-raja terdahulu.
Orang yang suka iri hati laksana orang bodoh, yang ingin menjadi anjing milik raja. Rela menggantikannya jika si anjing telah mati. Karena kebodohannya itu maka ia memilih yang hina tetapi diperbudak raja, hanya karena ingin mendapatkan makanan istana atau makanan sisa-sisa istana.
Karena kebodohannya sehingga ia tak iri dengan Rajanya yang megah, yang berkuasa, punya banyak pegawai, dihormati dan menguasai negeri-negeri, memungut pajak dan memeras, serta mampu mencari kesenangan dengan mudahnya. Mengapa orang yang iri tidak merasa dengki kepada Raja ini yang mempunyai dan dihormati? Malah ia iri kepada anjingnya? Ini karena kebodohannya.
Begitu pula dalam kehidupan beragama, hendaknya jangan merasa iri terhadap sesama yang telah mendapatkan karunia dari Allah. Jangan pula iri terhadap tetanggamu yang saat ini bergelimang harta dan dengan mudahnya mengais rizki atas kemurahan Allah. Wahai orang yang benar-benar malang! Apakah yang mesti dihadapi oleh tetanggamu kelak dihari pembalasan, apabila ia kini dikaruniai nikmat tetapi tidak taat kepada Allah? Padahal mereka menikmati karunia-karuniaNya, tetapi tak memanfaatkan karunia tersebut untuk bekal pengabdian kepada Allah. Sebuah hadits menerangkan:
 “Sesungguhnya akan ada kelompok-kelompok orang yang menhendaki, pada hari kebangkitan, agar daging mereka dipisahkan dari tubuhnya dengan gunting, karena mereka melihat pahala bagi penderita-penderita kesulitan (dalam hidup di dunia).”
Maka kelak di hari kebangkitan, tetanggamu yang mendapat karunia tetapi tidak taat itu akan menghadapi pertanggung jawaban, akan mendapatkan kesulitan di bawah terik matahari yang jaraknya hanya sejengkal dengan kepala. Dibawahnya api yang membakar dan berbagai siksa dihadapinya. Sedangkan engkau – yang jika taat di dunia tetapi mendapatkan kesulitan hidup – di kelak kemudian akan bertempat tinggal di bawah Arsy dan penuh kedamaian.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Ketigapuluh Enam: Amal Dunia dan Amal Akhirat


Risalah Ke-36
Amal Dunia dan Amal Akhirat

Referensi pihak ketiga

Dalam risalah yang ketigapuluh enam ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Jadikanlah kehidupan akhirat itu sebagai modal. Sedangkan kehidupan duniawi adalah sebagai keuntungannya. Apabila masih ada waktu tersisa, habiskanlah demi kepentingan duniamu; yakni mencari nafkah dengan cara halal. Jangan sebaliknya, engkau jadikan kehidupan dunia ini sebagai modal dan kehidupan setelah mati kau jadikan sebagai keuntungan. Lalu sisa waktumu kau habiskan untuk kehidupan akhirat serta memenuhi shalat lima waktu.
Sesungguhnya engkaku diperintahkan untuk mengendalikan hawa nafsumu. Agar nafsumu dan jiwamu mematuhi Tuhannya. Tapi jika engkau betindak dengan mematuhi kehendak-kehendaknya (kehendak nafsumu tersebut), engkau turuti keinginan kerendahannya, maka engkau bersekutu dengan iblis dan nafsumu. Kalau sudah begini, maka engkau tak memiliki yang terbaik dari kehidupan kelak, sehingga engkau memasuki Hari Pengadilan sebagai orang paling miskin dari kebaikan.
Akan tetapi jika engkau menempuh jalur akhirat dengan jiwamdiniawi sebagai modalmu, maka engkau akan mendapatkan keuntungan dunia akhirat. Bagian duniawi engkau terima dengan segala kenikmatannya, dan kau akan terhormat, nabi bersabda:
 “Sesungguhnya Allah menyelamatkan di dunia ini demi akhirat, sedangkan keselamatan akhirat tak dimaksudkan demi kehidupan duniawi ini.”
Demikianlah, dan niat untuk akhirat ialah ketaatan kepada Allah. Sebab niat merupakan ruh pengabdiandankemaujudan. Jika kau mematuhi Allaj dengan berpantang kepada dunia ini, maka kau menjadi pilihan Allah, dan kehidupan akhirat akan kau peroleh. Kehidupan yang dimaksud adalah surga dan kedekatanmu kepadaNya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
 “Dunia dan akhirat adalah ibarat dua istri, jika kau menyenangkan yang satu, maka yang lain akanmarah kepadamu.”
Sedangkan Allah Ta’ala berfirman sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an :
 “Sesungguhnya sebagian darimu menyukai kehidupan duniawi ini, dan sebagiannya lagi mencintai akhirat.”
Semua itu disebut anak-anak dunia dan anak-anak akhirat. Sekarang koreksilah dirimu dengan bertanyalah pada diri sendiri, termasuk anak siapakah dirimu? Bila engkau berada di kehidupan lain, maka akan kau lihat satu kelompok menjadi penghuni surga dan kelompok lainnya penghuni neraka. Mereka ada yang berada di belakang meja makan dan menikmati hidangan lezat, sedangkan yang lain tetap terbakar dalam api neraka, yang satu hari itu lamanya sama dengan limabelas ribu tahun (ukuran waktu di dunia). Dalam sebuah hadist di kisahkan:
 “Mereka akan melihat tempat mereka di surga, sampai Allah selesai meminta pertanggungjawaban manusia, dan mereka akan memasuki surga sebagaimana mereka di dunia ini.”
Mereka para hamba Allah yang mendapatkan surga di akhirat, karena ketika hidup di dunia mereka mencampakkan faham duniawi; dan mengutamakan kepentingan ukhrawi.
Sedangkan mereka yang berada di neraka, dalam keadaan hina, tersiksa, menderita dan tertimpa musibah berkepanjangan karena semasa hidupnya (di dunia), tenggelam dalam nafsu dan mengejar duniawi belaka. Hidupnya mengutamakan kepentingan dunia dan menyisihkan kepentingan jalan Allah.
Oleh sebab itu, pandanglah dirimu dengan pandangan penuh kasih sayang, pilihlah untuk dirimu sesuatu yang lebih baik di antara kelompok manusia (yang penghuni surga atau neraka). Jauhkanlah dirimu dari kekejian, pembangkangan dan dari segala jin. Al-Qur’an dan Al-Hadits harus engkau jadikan sebagai pembimbingmu. Renungkanlah dua pegangan tersebut. Jangan sampai kau tertipu oleh perkataan kosong yang berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah SWT berfirman:
 “Segala yang dibawa oleh Nabi kepadamu, maka terimalah, dan segala yang dilarangnya, jauhilah, dan bertakwalah kepada Allah. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, dan ucapannya itu tak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.”
Maksudnya ialah segala yang disampaikan Nabi kepadamu (serta penerusnya) yang berasal dariKu, bukan dari sifat manusiawinya, maka engkau harus mengikutinya. Dalam surat Ali Imran, Allah berfirman:
 “Katakanlah: Jika kamu mengasihi Allah, ikutilah aku, pasti Allah mencintaimu dan dosamu diampuni. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Maka jelaslah bagimu bahwa jalur atau jalan yang harus kita tempuh jika ingin mencintai Allah ialah mengikuti segala kata (sabda) dan perbuatannya. Nabi Muhammad SAW sendiri bersabda : Berupaya adalah jalanku dan beriman kepadaNya adalah keadaanku.
Apabila engkau mengikuti sunnah Nabi, maka berarti engkau elah berada di antara upaya dan keadaannya. Apabila lemah imanmu, maka engkau seharusnya berupaya dan jika imanmu teguh, hendaknya kau gunakan keadaanmu. Keadaan mana yaitu yang ketergantungan kepada Allah. Allah Yang Maha Kuasa berfirman:
 “Dan (Allah) akan memberinya rizki dengan tiada tersangka-sangka. Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, maka Allah akan mencukupkannya (memeliharanya). Sesungguhnya Allah menyampaikan (melangsungkan) urusanNya. Sesungguhnya Allah mengadakan kadar (aturan tertentu) bagi setiap manusia.” (QS. At Thalaq: 3)
 “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tawakkal (beriman kepadaNya).” (QS. Ali Imran: 159)
Ketahuilah bahwa Allah memerintahkanmu untuk selalu beriman kepadaNya, sebagaimana Nabi juga diperintahkan demikian. Rasulullah SAW bersabda:
 “Barangsiapa berbuat sesuatu yang tidak kuperintahkan, maka perbuatannya itu niscaya ditolak.”
Sesuatu yang dimaksudkan Rasulullah SAW ialah yang mencakup kehidupan, kata-kata maupun tingkah laku. Hanya Nabi jua yang dapat kita jadikan panutan dan hanya berdasarkan beliau saja, kita bersandar. Oleh sebab itu, jangan sekali-kali engkau menapaki jalan yang menyimpang dari dua pegangan yaitu Al-Qur’an dan Hadits (sunnah nabi). Jika engkau keluar dari dua jalur tersebut, pasti engkau akan celaka. Setan dan hawa nafsu akan semakin menyesatkan sehingga engkau sukar kembali ke jalan yang benar. Allah berfirman:
 “Dan janganlah engkau turutkan hawa nafsu, nanti ia menyesatkanmu dari jalan (agama) Allah.” (QS. Shaad: 26)
Dan ketahuilah bahwa kebinasaan itu berada di luar jalur Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Ketigapuluh Lima: Wara' (Menjauhi Perkara Haram)

Risalah Ke-35
Mengenai Wara’ (Menjauhkan Diri Dari Rezeki Haram)

Referensi pihak ketiga

Dalam risalah yang ketigapuluh lima ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Wahai orang yang beriman, sesungguhnya berpantang dari yang haram ialah suatu kewajiban bagimu. Jika tidak, maka tali kehancuran akan menjerat kehidupanmu (lebih-lebih di akhirat nanti). Engkau tak akan bisa melepaskan diri dari tali kehancuran itu, kecuali dengan kasih sayangNya. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa asas agama adalah sikap yang mau berpantang dari segala yang haram, sedangkan kebinasaannya adalah kerakusan. Di sisi lain, Umar Bin Khaththab ra. Berkata:
 “Kami biasa berpantang dari sembilan per sepuluh dari hal-hal yang halal, sebab kami kawatir jika kami jatuh ke dalam hal-hal yang haram.”
Abu Bakar ra juga pernah berkata:
 “Aku biasa menghindari tujuh puluh pintu dari hal-hal yang halal, karena aku takut akan keterlibatan dalam dosa.”
Orang-orang semacam itu (Umar dan Abu Bakar serta sahabat lainnya) berbuat untuk menjaga dan berhatai-hati – meskipun terhadap yang halal – tak lain adalah untuk menjaga agar mereka tidak sampai terlanjur pada yang haram. Mereka bertindak atas dasar sabda Rasulullah SAW :
 “Ingatlah! Sesungguhnya setiap raja memiliki sebuah padang rumput yang dijaga. Sedangkan rumput Allah ialah hal-hal yang dilarangNya.”
Maka orang yang berada di sekitar padang itu kemungkinan bisa memasukinya. Dan orang yang berhasil memasuki benteng raja, berhasil melewati pintu pertama, kedua sampai ketiga dan sampai menjangkau singgasananya itu lebih baik daripada yang hanya berada di pintu pertama. Jika ditutup pintu benteng, maka orang yang berhasil melampaui pintu pertama dan kedua menjadi aman berada dalam lingkungan istana. Akrab dengan para tentara serta pengawalnya. Sedangkan orang yang berada di pintu pertama, pintu gerbang, bila pintu benteng di tutup, maka ia akan berada di luar istana. Ia sendirian di padang terbuka, bisa juga diterkang binatang serigala atau dibunuh musuh. Dan bisa juga ia menjadi binasa.
Begitu juga orang yang menunaikan perintah Allah, ia akan dijauhkan dari bahaya. Ia tetap berada dalam syariat. Jika suatu ketika kematian merenggut nyawanya, maka ia berada dalam ketaatan dan pengabdian. Sedangkan amal kebaikannya selama hidup menjadi saksi baginya.
Sementara itu bagi orang yang diberi kemudahan tetapi tidak mau menuanaikan kewajiban-kewajibannya, jika kemudahan itu dicabut, tentu ia terputus dari pertolongan Allah. Sehingga yang menguasai dirinya adalah hawa nafsu yang akan mencelakakan. Dengan begitu, ia senantiasa tenggelam dalam kesesatan, bersama para setan, yang mereka adalah musuh Allah, dan akan menyimpang dari kebenaran. Jika kematian merenggutnya, sedangkan ia belum bertaubat, maka ia akan celaka.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Ketigapuluh Empat: Jangan Marah Kepada Allah

Risalah Ke-34
Mencegah Merasa Kesal Atau Marah Kepada Allah SWT

Referensi pihak ketiga 

Dalam risalah yang ketigapuluh empat ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Adalah sesuatu yang aneh jika engkau menyalahkan Tuhan, menganggap Dia tidak adil, menahan rizki dan tak mau menjauhkan dirimu dari musibah. Sadarilah bahwa setiap kejadian ada waktunya, dan setiap musibah ada berakhirnya. Musibah dan kejadian itu tak bisa dimajukan atau diundurkan (ditunda). Kurun waktu menerima musibah itu tak akan kunjung selesai, sampai pada akhirnya datang kebahagiaan. Jika sudah datang kebahagiaan, maka musibah akan berakhir. Masa-masa sulit pun tak akan berakhir, jika kemudahan belum jua datang. Untuk menghadapi yang demikian ini, janganlah menggerutu dan menyalahkan Tuhan. Sikap yang baik adalah selalu sabar, diam dan berserah diri, ikhlas kepadaNya.
Ketahuilah, sesungguhnya di hadapan Allah tidak ada tempat untuk menuntut atau membalas dendam seseorang tanpa dosa atas dorongan nafsumu, sebagaimana yang terjadi dalam hubungan antar manusia. Dia Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung, sepenuhnya Esa. Ia yang menciptakan segala sesuatu yang menimbulkan manfaat maupun mudharat. Ia Maha Bijaksana, dalam bertindak tak pernah tidak bijaksana; tetapi selalu dan pasti bijaksana, selaras dengan tindakanNya. Dia tak melakukan sesuatu pun tanpa tak bermakna, namun segala ciptaannya mengandung makna, semuanya.
Oleh sebab itu, tidaklah layak seorang hamba menisbahkan kecacatan dan kesalahan kepada tindakanNya. Lebih baik menunggu kemudahan, jika kau merasakan kepudaran kepatuhanmu kepadaNya, sampai tiba takdirnya, seperti halnya musim panas setelah musim penghujan berlalu, seperti halnya siang yang datang setelah malam menghilang.
Apabila engkau mengharap tiba cahaya siang, tapi engkau masih dalam lingkungan waktu malam, maka permohonanmu itu sia-sia. Artinya, dalam malam hari tak mungkin hadir dengan tiba-tiba cahaya siang. Melainkan engkau harus menunggu sampai datangnya fajar. Dan perlu engkau ketahui bahwa keadaan malam semakin mendekati fajar maka semakin pekat kegelapannya, barulah kegelapan itu berubah jika fajar telah menyingsing. Jika siang telah tiba, ia tetap tiba. Mau tak mau engkau pasti menerima kehadirannya. Jika engkau disiang hari menghendaki kembalinya malam dengan segera, maka betapa doamu itu akan sia-sia saja. Ini berarti engkau meminta sesuatu yang tak layak (di luar jalur). Sudah tentu engkau akan dibiarkannya meratapi tanpa ada artinya sama sekali.
Oleh sebab itu tinggalkanlah permintaan yang tak layak dan tentang semua itu. Berimanlah selalu kepada Allah dengan disertai hati sabar. Tentu segala yang menjadi milikmu tak akan lari darimu; sedangkan yang bukan milikmu tentu tak akan dapat kau rengkuh. Segala permohonan harus bersandar demi imanmu disertai amal taat kepadaNya. Allah berfirman : “Mintalah kepadaKu, pasti permohonanmu Kukabulkan.” (QS. Al Mukmin: 60) “Mintalah kepada Allah atas karunia-karuniaNya.” (QS. An Nisa’: 32)
Setiap permohonan hamba yang disertai dengan iman dan kepatuhan, maka Allah akan mengabulkannya. Tapi saat-saat terkabulkan itu memerlukan waktu. Sedangkan waktu terkabulnya permohonan itu atas kehendakNya. Oleh sebab itu janganlah sekali-kali engkau menyalahkan Allah jika Dia menangguhkan penerimaan doamu. Tapi hendaknaya engkau jangan jemu-jemu untuk terus berdoa.
Berdoa terus-menerus itu tak akan merugikanmu. Meskipun engkau berdoa terus-menerus, tetapi Allah masihtak berkenan memberinya, maka engkau tak akan rugi dengan doamu. Yakinlah jika doamu tidak diperkenankan dalam kehidupan duniawi, maka kelak diakhirat engkau akan mendapatkannya. Sebab Allah menyisihkan dan menangguhkan doamu. Allah selalu menepati janji-janjiNya. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa pada hari kebangkitan kelak hamba-hamba Allah akan mendapati (membaca catatan) pada kitab amalannya yang tidak dikenalinya. Lalu kepadanya dikatakan bahwa itu adalah balasan bagi doa-doanya yang pernah didengungkan ketika hidup di dunia dan belum terkabulkan.
Oleh sebab itu hendaknya engkau selalu ingat terhadap Tuhanmu. Jangan memohon selain kepadaNya, harus selalu kepadaNya. Jangan katakan kebutuhanmu kepada selain Allah. Maka setiap saat, baik siang maupun malam, dalam keadaan sehat atau sakit, duka maupun suka harus tetap mengusahakan dalam keadaan:
-       Jangan meminta, tapi ridha dalam berserah diri kepadaNya. Jadilah hamba yang manut seperti jasad mati di hadapan atau pangkuan orang yang memandikan, atau seperti bayi di tangan dukun beranak, atau bola di kaki pemainnya. Dan Allah berbuat sekehendakNya. Bila engkau mendapat rahmat, tentunya rasa syukur dan puja-puji meluncur dari lidahmu. Allah berfirman:
 “Sesungguhnya jika kau bersyukur, niscaya Kami tambah nikmat yang ada padamu, tetapi jika kamukafir (tidak bersyukur), sesungguhnya siksaanKu amat pedih (keras).” (QS. Ibrahim: 7)
Akan tetapi jika yang datang padamu itu suatu musibah, maka ketabahan dan kesabaran serta kepatuhan meluncur darimu atas pertolongan kekuatan yang dianugerahkan Allah. Engkau mendapat keteguhan hati, sebagaimana difirmankan Allah:
 “Wahai orang-orang yang beriman, mintalah tolong dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersamaorang-orang yang sabar. (QS. Al Baqarah: 153)
 “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah (agamaNya), pasti Dia menolong kamu dan menetapkan telapak kakimu.” (QS. Muhammad: 7)
Menolong yang dimaksudkan ayat 7 surat Muhammad tersebut adalah membantu. Yaitu membantu untuk menegakkan agama Allah. Bila engkau telah berbuat demikian, kemudian menentang hawa nafsumu sendiri, tidak menyalahkan Dia, selalu berusaha untuk mencintaiNya, menjadi musuh terhadap dirimu sendiri demi Allah, maka Allah akan menjadi penolongmu satu-satunya. Allah berfirman:
 “(Yaitu) orang-orang, apabila mereka ditimpa musibah (malapetaka), mereka berkata ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun’ (bahwa sesungguhnya kita kepunyaan Allah dan kita akan kembali kepadaNya). Untuk mereka itu shalawat (berkah) dari Tuhannya serta rahmat, dan mereka itu mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah: 156-157)
Hendaknya engkau bermohon kepada Allah dengan disertai sikap rendah diri, selalu mengagungkanNya dan patuh kepada semua perintahNya. Berdoalah kepada Allah! Sebab doa untuk orang mukmin adalah layak dilakukan. Allah jualah yang memerintahkan hambaNya untuk berdoa kepadaNya. Dan doa merupakan suatu jembatan penghubung antara hamba dengan Khaliknya, jembatan untuk mendekatkan diri, dan sebagai sarana untuk mendapatkan berkahNya. Tetapi jangan sekali-kali menyalahkan Allah jika doamu ditangguhkanNya. Perhatikanlah keadaan ini. Jangan berada di luar keduanya, sebab tak ada keadaan selain dari keadaan dua itu. Allah Maha Besar, kepadaMu-lah aku beriman.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Ketigapuluh Tiga: Empat Macam Manusia

Risalah Ke-33
Mengenai Empat Macam Manusia

Referensi pihak ketiga

Dalam riwayatnya yang ketigapuluh tiga ini, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Ketahuilah, sesungguhnya ada empat jenis manusia. Jenis pertama ialah, manusia yang tak berlidah dan tak berhati. Golongan atau jenis manusia ini termasuk manusia kebanyakan, yang bodoh dan hina. Mereka ini tak pernah ingat kepada Allah. Dalam diri mereka sama sekali tidak ada kebaikan. Mereka laksana sekam yang tak mempunyai bobot berat apabila Allah tak mengasihinya, membimbing kepada keimanan. Hati-hati dan waspadalah, jangan sampai dirimu menjadi seperti mereka. Sebab mereka adalah golongan manusia sengsara yang mendapat murka Allah. Mereka calon penghuni-penghuni neraka. Marilahkita berlindung kepada Allah dari mereka.
Hiasilah dirimu degan ma’rifat. Jadilah pembimbing ke jalan kebenaran, ke jalan agama dan pemimpinnya dan penyerunya. Ingat! Suatu saat engkau pasti mendatangi dan mendekatinya, dengan tujuan mengajak mereka pada jalan Allah, memperingatkan mereka untuk taat kepada Allah. Kemudian menyadarkan mereka dari dosa-dosa yang terlanjur diperbuat agar segera bertaubat. Dengan demikian engkau telah menjadi pejuang di jalan Allah. Perilakumu dan amal dakwahmu akan dibalas olehNya dengan pahala; sebagaimana para Nabi dan utusan Allah. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW pernah berkata kepada Ali ra. :
“Apabila Allah membimbing seseorang melalui pembimbingmu atasnya, maka adalah lebih baik bagimu daripada tempat matahari terbit.”
Jenis manusia yang kedua, ialah dari golongan mereka yang berlidah tetapi tak berhati. Orang-orang yang dianggap mempunyai lidah tetapi tak punya hati seringkali berbicara sebagai orang bijak, tetapi perbuatannya tidak bijak sama sekali. Mereka getol menyeru orang untuk berbuat taat, tetapi mereka sendiri jauh dariNya. Mereka jijik terhadap noda orang lain, tak tahunya mereka sendiri yang tenggelam berlumur dosa. Kesalihannya ditunjuk-tunjukkan kepada orang lain, namun pada dasarnya ia sendirilah yang banyak berbuat dosa terhadap Allah. Bila sendirian, mereka ini laksana serigala yang berbusana. Terhadap orang-orang jenis yang demikian ini, Rasulullah SAW memperingatkan dalam sabdanya:
“Hal yang mesti ditakuti, yang aku takuti dan ditakuti pula oleh pengikut-pengikutku, ialah orang yang berilmu tetapi jahat.”
Marilah kita berlindung kepada Allah dari orang-orang golongan ini. Oleh sebab itu, hendaknya engkau selalu menjahui mereka, agar engkau tak terseret oleh lidahnya yang manis, namun dosanya aka membakarmu, dan kebusukan hatinya akan membinasakanmu.
Jenis atau manusia golongan ketiga, ialah mereka yang mempunyai hati, tetapi tidak mempunyai lidah. Manusia yang masuk dalam golongan ini termasuk jenis hamba yang beruntung. Mereka ini mendapatkan pengetahuan tentang noda-nodanya sendiri, mencerahkan hatinya dan menyadarkan nuraninya sendiri dan ia suka memisahkan dari pergaulan manusia atau kalau bergaul ia senantiasa berhati-hati dalam menjaga lisannya. Ia sangat takut dengan kekejian pembicaraan. Orang demikian ini yakin bahwa keselamatannya berada pada sikapnya yang diam (mengekang lidahnya). Anggapan dan pendirian yang demikian ini tidak berlebihan, justru sejalan dengan sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa senantiasa diam, maka ia akan mendapatkan keselamatan. Sesungguhnya pengabdian kepada Allah terdiri atas sepuluh bagian yang sembilan bagian ialah periaku diam yang dilakukannya.”
Ketahuilah bahwa mereka yang mempunyai hati tapi tak berlidah, termasuk wali Allah (kekasih Allah). Mereka ini memiliki pengetahuan rahasia tentang Allah. Mereka mendapat perlindungan dari Allah, memiliki keselamatan dan banyak pengetahuannya. Allah merahmati mereka dalam segala kebaikan. Oleh sebab itu hendaknya engkau bersama orang-orang golongan ini, cintailah ia dengan memenuhi kebutuhan yang dirasakannya, kemudian berilah ia hal-hal yang menyenangkan batinnya. Jika engkau mau melakukan hal yang demikian, pastilah Allah akan mencintaimu, memilihmu dan memasukkanmu ke dalam golongan orang-orang ini.
Golongan keempat, ialah golongan manusia yang diundang ke dunia ghaib, yang mendapatkan perhiasan kemuliaan.
“Barangsiapa mengetahui dan bertindak berdasarkan pengetahuannya dan memberikannya kepada orang lain, maka ia diundang kedunia ghaib dan menjadi mulia.”
Orang yang termasuk dalam golongan ini memiliki pengetahuan tentang Allah, tentang tanda-tandaNya dan rahasiaNya. Hatinya menjadi gudang penyimpan pengetahuan tentang Ketuhanan. Allah memberi anugerah berupa rahasia-rahasia yang disembunyikan Allah terhadap hamba-hamba lain.
Allah mendekatkan orang-orang ini kepadaNya, memberi bimbingan dan memperluas hatinya agar bisa menerima rahasia-rahasia serta pengetahuan-pengetahuan tersebut. Kemudian manusia dalam golongan ini dinobatkan sebagai pesuruhNya untuk penyeru dan pengingat manusia-manusia lain yang berbuat maksiat. Mereka ini menjadi perantara hamba dengan Allah. Oleh sebab itu golongan ini patut dijuluki shiddiqin dan saksi kebenaran, wakil para nabi dan utusannya.
Sesungguhnya manusia dalam golongan ini termasuk puncak dari umat manusia. Maqam di atas golongan ini ialah tingkatan maqam Nabi. Berarti maqamnya berada pada urutan kedua setelah maqam para nabi.
Terhadap manusia dalam golongan ini, hendaknya engkau berhati-hati, itu wajib bagimu! Hati-hati dan menjaga diri agar jangan sekali-kali memusuhinya, jangan sekali-kali menjahuinya dan mengejek dengan ucapan-ucapan yang buruk. Sesungguhnya keselamatan terletak pada ucapan dan kebersamaan dengan orang golongan ini.
Demikianlah, telah kujelaskan kepadamu tentang empat golongan manusia sekarang koreksi dirimu sendiri apabila engkau mempunyai mata hati yang tajam. Selamatkanlah dirimu dengan sinarnya, jika kau ingin sekali menyelamatkan dan mencintainya. Semoga Allah membimbing kita kepada yang dicintainya di dunia dan akhirat.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Ketigapuluh Dua: Menghilangkan Segala Sesuatu Yang Mengahalangi Untuk Mahabbah Kepada Allah

Risalah Ke-32
Menghilangkan Segala Sesuatu Yang Menghalangi Untuk Mahabbah Kepada Allah

Referensi pihak ketiga

Dalam wasiatnya yang ketigapuluh dua ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Sesungguhnya engkau sering mengatakan suatu anggapan yang sebenarnya tak layak (dikatakan). Misalnya engkau sering mengatakan demikian: “Siapapun yang kucintai, cintaku kepadanya tak akan abadi. Perpisahan akan memisahkannya, baik melalui ketidakhadiran, kematian, permusuhan, kebinasaan, atau dengan lenyapnya kekayaan.”
Apakah engkau tidak menyadari wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya mereka – yang kau cintai – Allah menganugerahkan karuniaNya kepada mereka, memperhatikan mereka, dan yang memberi rahmatNya. Maka jika engkau berkata demikian atas sesama manusia, maka akan menimbulkan kecemburuan Alah. Mengapa engkau ingin menjadi milik yang lain, milik selain Allah? Apakah engkau tidak mendengar firman Allah demikian:
“Wahai orang yang beriman, barangsiapa yang murtad (kembali) diantara kamu dari agamanya (Islam), nanti Allah akan mendatangkan satu kaum, Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, mereka lemah lembut terhadap orang-orang beriman dan keras terhadap orang-orang kafir; mereka berjuang pada jalan Allah dan tidak takut akan cerca-mencerca. Demikian itu karunia Allah, diberikanNya kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Allah luas (karuniaNya) lagi Mengetahui.” (QS. Al Maidah: 54)
Atau tidakkah pernah kau dengar tentang sabda Rasulullah SAW demikian ini:
“Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Ia mengujinya: bila ia sabar, maka Ia memeliharanya.” Ia ditanya oleh para sahabat, “Ya Rasul, bagaimana cara pemeliharaanNya?” Ia menjawab: “Allah menyisihkan baginya kekayaan atau anak.”
Oleh sebab itulah orang-orang yang dicintai Allah seringkali diuji dengan kebinasaan harta dan anak. Hal ini karena kekayaan atau anak yang mereka cintai membuat cintanya kepada Allah berkurang (terbagi). Hal yang demikian ini, Allah menjadi cemburu. Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Lalu anak dan kekayaan dibinasakan olehNya, hal ini untuk menguasai hati si hamba (yang dikasihiNya) demi diriNya sendiri. Maka benarlah firman Allah dan terbukti: “Ia akan mencintai mereka dan mereka akan mencintaiNya.”
Dengan demikian maka hati hamba (yang dikasihi) itu menjadi bersih dari segala cinta, selain kepada Allah saja. Bersih dari kecintaan terhadap berhala-berhala, anak-anak dan istri-istrinya. Hati orang yang mendapat hidayah ini akhirnya bagaikan bejana yang bocor bagian bawahnya. Bejana yang bocor tak akan mampu menampung air sedikit pun. Tak ada sesuatu pun yang mampu mendekati hatinya. Anak, istri, jabatan, harta kekayaan dan daya tafsir tak akan mampu merusak hatinya yang sudah bersih dari semua kesenangan. Orang-orang yang demikian inilah yang akan dimuliakan Allah, yang akan menjadi penjaga dan pelindung serta pengantar ummat dalam menempuh kehidupan di dunia maupun akhirat.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Ketigapuluh Satu: Benci Karena Allah

Risalah Ke-31
Benci Karena Allah

Referensi pihak ketiga

Dalam wasiatnya yang ketigapuluh satu ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Apabila suatu ketika engkau membenci seseorang atau mencintainya, maka koreksilah sikapmu yang demikian itu, sesuaikan dengan Alqur’an dan Hadist. Apabila orang yang kau benci itu perilakunya juga dibenci dalam Alqur’an dan Hadist, maka berbahagialah engkau. Sebab kebencianmu kepada seseorang tersebut sejalan dengan kebencian Allah. Sebaliknya jika seseorang yang kau benci itu perilakunya sesuai dengan Alqur’an dan Hadist, maka sikapmu yang memusuhi dia itu semata-mata karena hawa nafsumu. Kau membenci dia karena sifatmu yang tak sesuai dengan kedua pegangan (Alqur’an dan Hadist).
Apabila sikapmu yang membenci dan memusuhi dia karena pengaruh hawa nafsumu, maka sebaiknya engkau cepat-cepat berpaling kepada Allah, bertaubat dan memohonlah kecintaan kepada orang yang kau benci. Sesungguhnya orang yang kau benci itu orang baik, shalih dan dekat kepada Allah. Engkau harus berusaha untuk berperilaku sepertinya (orang yang semula kau benci). Sesuaikan kelakuanmu dengan Alqur’an dan sunnah nabi. Dan telaalah  sekali lagi perilaku orang yang kau benci itu, jika sejalan dengan kedua pedoman hidup tersebut, maka engkau hendaknya mengubah, yaitu untuk mencintainya. Janganlah engkau membenci seseorang atas dasar hawa nafsumu (apalagi perbedaan pandanganmu terhadap dia mengenai urusan duniawi), karena yang demikian itu akan membinasakanmu. Allah ta’ala berfirman:
“... dan janganlah engkau menurutkan hawa nafsu, nanti ia (hawa nafsumu) menyesatkanmu dari jalan (agama) Allah.” (QS. Shaad: 26)

Related Posts: