Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh Sembilan: Mengurangi Tidur

Risalah Ke-49
Mengurangi Tidur

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang keempatpuluh sembilan ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Barangsiapa lebih menyukai tidur daripada bangun malam untuk menunaikan shalat – yang membawa kearah ketakwaan – maka berarti ia cenderung pada sesuatu yang buruk. Condong pada sesuatu yang mematikannya dan yang membuatnya bersikap acuh tak acuh terhadap segala keadaan.
Ketahuilah bahwa tidur itu saudara kematian. Karenanya Allah tidak tidur, begitu juga dengan malaikat-malaikatNya. Sehingga para malaikat sangat dekat terhadap Allah Yang Maha Agung. Begitu juga dengan penghuni langit, mereka tak tidur, sebab mereka itu sangat mulia dan suci. Karena tidur meupakan suatu yang menghancurkan keadaan hidup mereka. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa kebaikan itu terletak pada keterjagaan (tidak tidur malam). Sebaliknya, keburukan itu terletak pada keterlenaan (kebiasaan tidur).
Oleh sebab itu, barangsiapa makan, minum dan tidur secara berlebih-lebihan (tidak wajar), maka baginya kebaikan akan lenyap dari dirinya. Barangsiapa yang makan sedikit dari yang haram maka sama saja dengan makan halal tetapi banyak (hukumnya tidak diperbolehkan). Mengapa? Sebab sesuatu yang haram akan membutakan keimanan. Bila iman menjadi buta, maka dosa, ibadah dan jihad tak akan bisa diamalkan secara ikhlas, dan tidak maujud. Tapi barangsiapa yang makan banyak dari yang halal (berdasarkan perintah Allah) sama halnya makan sedikit dengan penuh pengabdian.
Pada kesimpulannya bahwa saesuatu yang halal adalah cahaya yang ditambah lagi cahaya. Sedangkan sesuatu yang haram itu adalah kebutaan yang ditambah kegelapan, yang didalamnya sama sekali tak ada kebaikan, melainkan keburukan belaka. Maka yang halal secara berlebihan – yang tak seuai dengan perintah Allah, sama saja dengan makan sesuatu yang haram, dan yang demikian itu menimbulkan kecenderungan pada tidur, yang di dalam tidur tak ada suatu pun kebaikan.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh Delapan: Utamakan Wajib Kemudian Laksanakan Sunnah


Risalah Ke-48
Utamakan Wajib Kemudian Laksanakan Sunnah

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang keempatpuluh delapan ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Bagi seorang mukmin, sesuatu yang pertama-tama dilakukan ialah menunaikan kewajiban. Jika kewajiban telah ditunaikan, maka ia harus menunaikan yang sunnah. Jika yang wajib dan yang sunnah diamalkan maka yang dilakukan selanjutnya ialah menunaikan tambahan-tambahan (ibadah tambahan). Jika seorang muslim menunaikan ibadah sunnah, sedangkan yang wajib belum diamalkan, maka hal yang demikian itu adalah suatu kebodohan. Maka ibadah sunnah yang dilakukan tidak akan diterima Allah, bahkan ia menjadi hina. Sikap orang mukmin yang demikian ini laksana orang yang diperintahkan untuk mengabdi pada hamba raja. Namun ia mementingkan untuk mengabdi pada hamba raja, kepada gubernur, yang jabatannya jauh di bawah kekuasaan raja. Dari Ali (Putra Abu Thalib) bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda:
 “Ibarat orang menunaikan yang sunnah, padahal dia belum melaksanakan yang wajib, maka seperti wanita hamil yang mengalami keguguran ketika hendak melahirkan. Dengan demikian, ia tak hamil lagi dan tak menjadi seorang ibu.”
Demikian halnya orang menunaikan ibadah yang tidak diterima Allah sebelum ia menunaikan yang wajib terlebih dulu. Hal ini laksana juga seperti usahawan yang tak akan mendapatkan keuntungan sebelum ia mengelola modalnya. Begitulah keadaan orang yang menunaikan yang sunnah, yang jerih payahnya tak akan diterima oleh Allah sebelum ia menunaikan yang wajib.
Adapun kewajiban-kewajiban itu ialah menjauhkan diri dari segala hal yang haram dan dari menyekutukan Allah terhadap sesuatu, menjauhkan diri dariperbuatan pengabaian ketentuan-ketentuanNya. Dan menjaga diri agar jangan sampai berpaling dariNya. Kemudian menunaikan perintah-perintahNya seperti rukun Islam dan rukun Iman. Nabi bersabda: “Tiada kepatuhan, selama masih berbuat dosa terhadap Allah.”

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh Tujuh : Yang Membuat Hamba Dekat Kepada Allah


Risalah Ke-47
Yang Membuat Hamba Dekat Kepada Allah

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang keempatpuluh tujuh ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Demi Allah dan Muhammad SAW sebagai utusanNya, bahwa suatu malam ketika aku tidur, aku bermimpi. Dalam mimpiku seolah-olah ada seorang tua renta bertanya.
 “Apakah kiranya yang membuat hamba Allah dekat kepadaNya?”
 “Proses berawal dan berakhir, awalnya yaitu keshalihan dan akhirnya yaitu keridhahan kepada Allah dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah!” demikian jawabanku dalam mimpi.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh Enam : Taqarub Kepada Allah

Risalah Ke-46
Taqarub Kepada Allah

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang keempatpuluh enam ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Sesungguhnya nabi Muhammad SAW telah bersabda dalam hadits qudtsinya :
“Barangsiapa yang selalu mengingatku dan tak sempat meminta sesuatu pun dariku, maka aku akan memberikan kepadanya yang lebih baik daripada yang aku berikan kepada mereka yang meminta”.
Hal yang demikian itu disebabkan jika tuhan menghendaki seorang mukmin untuk maksud-maksudnya sendiri, maka dia melakukan melalui keaadan ruhani dan mengujinya dengan berbagai musibah. Allah  kemudian membuat keadaan sedih setelah memberi kesenangan, bahkan seorang mukmin tersebut dibuat hampir meminta kepada orang lain. Sedangkan tak ada jalan lain untuk berikhtiar. Allah kemudian menyelamatkan orang mukmin tersebut sehingga tidak meminta, melainkan meminjam kepada orang lain. Lalu Allah menyelamatkan dari meminjam. Dibukanya jalan ikhtiar sehingga sang mukmin bisa melakukan / menemukan pekerjaan guna mencari nafkah. Allah memudahkan jalan untuk mencari rizki. Dengan demikian ia hidup dari pencarian nafkah tersebut, dan yang demikian ini sejalan dengan sunnah nabi.
Tapi Allah kemudian melakukan pembinaan ruhani kepada si mukmin tersebut dengan menutup rezeki yang dicarinya. Si mukmin diberi kesulitan dalam hidup. Lalu Allah memerintahkan melalui ilham untuk meminta kepada orang lain. Yang demikian ini (ilham ini) adalah suatu perintah tersembunyi yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Sesungguhnya permintaan kepada orang lain yang dilakukan semata-mata karena diperintahkan Allah, bukan karena kesyirikan. Lalu Allah menyelamatkannya untuk tidak meminta, tetapi meminjam kepada orang lain. PerintahNya ini kuat sehingga si mukmin tak bisa mengelakkan lagi. Tapi kemudian Allah mengubahnya dari keadaan yang demikian ini. Si mukmin pilihanNya itu dijauhkan dari orang-orang dan hanya bertumpu kepada Allah semata. Maka segala kebutuhannya disandarkan kepada Allah, hanya memohon kepada Allah, tidak memohon kepada yang lain.
Semula si mukmin memohon atas permintaannya dengan lidah, tapi kemudian diubahnya dengan meminta melalui kata hatinya atas segala yang dibutuhkan. Lalu Allah menafikannya dari dirinya (diri si mukmin) dan dari meminta baik secara terbuka maupun secara diam-diam. Allah memberi karunia tentang segala yang membuat orang menjadi baik. Sehingga segala yang dimakan, diminum, dipakai dan kebutuhan hidup lainnya tanpa melalui ikhtiar atau tanpa disangka-sangka datangnya. Karena dia telah menjadi wali Allah. Sesuai dengan ayat :
“Sesungguhnya waliku, ialah Allah yang menurunkan kitab, Dialah yang menjadi wali bagi hamba-hamba orang-orang yang shalih.” (QS. Al-A’raf: 196)
Maka firman Allah yang diterima oleh Nabi bahwa barangsiapa tak sempat meminta sesuatu dariKu, aka Aku akan memberinya lebih dari yang Kuberikan kepada mereka yang meminta.
Itulah keadaan fana dalam Tuhan, suatu keadaan yang dirasakan wali dan badal. Pada tingkatan ini, mereka mendapat karunia berupa daya cipta, dan segala yang dibutuhkannya terwujud atas ijin Allah, sebagaimana firman Allah:
“Wahai anak adam! Aku adalah Tuhan, tiada tuhan selain diriKu, bila Kukatakan kepada sesuatu ‘Kun-jadilah’ maka akan terjadi sesuatu itu. Patuhilah Aku, sehingga apabila kau berkata kepada sesuatu ‘Kun-jadilah!’ maka sesuatu itu akan maujud juga.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh Lima : Selalu Mengingat Allah Tanpa Meminta

Risalah Ke-45
Selalu Mengingat Allah Tanpa Meminta

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang keempatpuluh lima ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Ketahuilah bahwa sesungguhnya ada dua macam manusia. Yang pertama, ialah manusia yang mendapat karunia berupa kebaikan-kebaikan di dunia (kebaikan duniawi). Yang kedua, ialah manusia yang mendapat cobaan - sebagai ujian – dengan takdirnya.
Manusia yang mendapatkan kebahagiaan duniawi, sudah jelas tak akan bisa membebaskan dirinya dari dosa dan kegelapan dalam menikmati kebahagiaan itu. Orang-orang demikian ini hidup dalam kemewahan duniawi, cenderung lupa kepada Allah. Tapi bila kehendak Allah berupa pencabutan kemewahan itu, ia berada dalam kegelapan dan penderitaan. Musibah demi musibah akan menimpanya dan kemewahannya lenyap. Ia menderita, mengalami suatu penyakit, kesulitan hidup dan penuh kesengsaraan. Dalam keadaan yang menyedihkan ini, orang tersebut lupa sama sekali dengan  kenikmatan yang pernah dirasakan ; seolah-olah ia tak pernah merasakan kenikmatan dan kesenangan. Kemudian jika Allah merubah penderitaan itu menjadi kejayaan kembali, maka dalam suatu kejayaannya ia sama sekali lupa dengan penderitaan atau kesulitan yang pernah diderita. Seolah-olah tak pernah merasakan musibah sama sekali. Ini disebabkan oleh pengabdiannya terhadap Allah.
Apabila ia tahu dan menyadari kalau tuhan bebas sebebas-bebasnya bertindak menurut kehendaknya, mengubah, memaniskan atau memahitkan, memuliakan atau menghinakan, mematikan dan menghidupkan serta memajukan atau menunda/ mengundurkan. Jika ia menyadari tentang kuasa Allah dan kehendakNya tersebut, maka ia tak merasa bahagia ditengah-tengah kebahagiaan duniawi dan tak merasa bangga karena kenikmatan duniawi (kekayaan) tersebut. Kemudian di kala ia duka dalam kesulitan, sedikitpun tak mengeluh tetapi tetap sabar.
Seandainya ia berlaku salah atau keliru maka kesalahan itu sama sekali bukan disengaja. Melainkan karena ia tidak tahu tentang dunia ini; yang sebenarnya adalah tempat ujian, tempat kepahitan, kebodohan, dan kepedihan. Jadi kehidupan duniawi itu laksana pohon gaharu, yang rasanya pahit untuk pertama kali dimakan, jika dimakan sampai habis, maka akan terasa rasanya yang manis seperti madu. Tiada seorangpun dapat merasakan manisnya, sebelum ia memakan pahitnya terlebih dahulu. Tak seorangpun dapat mengecap madunya jika ia tak merasakan kepahitannya. Tapi jika ia tahan rasanya yang getir dan pahit, maka makan diteruskan saja, akhirnya ia mendapatkan manisnya yang bagaikan madu.  Maka barang siapa tabah menghadapi cobaan dan ujian duniawi, maka ia berhak mengecap rahmat Allah nanti dikemudian hari.
Sudah pasti orang yang bekerja sebagai buruh akan mendapatkan upah jika ia sudah selesai menunaikan kewajibannya dengan baik. Mana mungkin seorang akan mendapatkan upah tanpa memeras keringat melakukan atau menunaikan kewajibannya. Oleh sebab itu sama saja dengan seseorang yang telah mereguk semua kepahitan dan penderitaan, dan dihadapinya dengan sabar; maka akan datang kepadanya makanan dan minuman yang lezat, busana dengan segala perhiasan yang bagus dan kesenangan (meskipun sedikit). Karenanya dunia itu sesungguhnya ibarat sesuatu yang pahit dirasakan, bagaikan bejana yang permukaannya terasa pahit sedang didasarnya ada tersimpan madu. Seseorang tak akan bisa menikmati madu dalam dasar bejana itu sebelum lidahnya menyentuh permukaan yang pahit dan sampai kedasarnya.
Apabila hamba Allah telah berikhtiar keras menunaikan perintahNya, maka dengan meneguk kepahitan ujianNya, menahan beban dengan sabar niscaya Allah memberi karunia berupa kenikmatan-kenikmatan. Musibah yang dihadapinya dengan sabar, karena ia taat menjalankan perintah dan laranganNya, maka oleh Allah diganti dengan suatu kemuliaan. Maka menjadilah ia sebagai wali Allah dan akhirnya si hamba tersebut merasa aman dari cobaan Allah. Nabi Muhammad bersabda :
“Kebahagiaan duniawi merupakan sesuatu yang ganas, maka jinakkanlah ia dengan tekun melakukan syukur.”
Mensyukuri rahmat berarti secara tak langsung mengakui kepada sang pemberinya, Maha Pemurah dan Pengasih yaitu Allah. Sikap yang demikian itu berarti hatinya telah terpaut kepada Allah, tak pernah melupakanNya, menjalankan kewajiban atasperintahNya dan menjauhi segala yang dilarangNya.
Mensyukuri rahmat itu bisa berupa mengamalkan sedekah, berkorban sebagai nadzar, meringankan beban kaum fakir miskin dan menyantuni anak yatim, serta masih banyak cara dan jalan yang mulai. Sedangkan bersyukurnya anggota tubuh ditandai dengan melakukan perintah-perintahNya dan mencegah dari segala yang diharamkan serta menimbulkan dosa.
Demikian cara melestarikan rahmat, menyiram tanaman dan mengusahakan agar ranting dan daun-daunnya semakin cepat tumbuh, buahnya cepat besar dan rasanya menjadi manis. Kemudian mempermudah untuk menelannya sehingga lezat dirasakan.
Akan tetapi jika engkau mendapat rahmat dari Allah tetapi tidak beramal yang demikian (di atas tadi), maka engkau menjadi hina. Misalnya engkau hanya mencitai keindahan lahiriah kehidupan di dunia ini, asyik menikmati dan puas dengan gemerlapan fatamorgana. Sesungguhnya semua itu bagaikan tiupan angaian sepoi-sepoi di musim kemarau. Datang siang hari, panas akan sengkau rasakan. Semua itu pun bagaikan kelembutan kulit naga dan kalajengking, jika engkau memuja dan menyentuhnya, pasti engkau celaka.
Cobaan atas manusia, kadang-kadang berupa hukuman atas  pelanggaran terhadap hukum dan atas dosa yang dilakukan. Namun kadangkala berupa suatu pembersihan noda, tetapi kadang-kadang berupa pemuliaan maqam ruhani seseorang. Kemudian orang yang mendapatkan kemuliaan maqam ruhani itu Allah memilih dan mewujudkan suatu hakikat iman bagi orang tersebut. Akhirnya jiwanya suci, bersih dari kesyirikan, bersih dari ujub dan kesombongan, bersih dari kemunafikan, dan membuat karunia dengan cuma-cuma, sebagai pahala baginya.
Apabila orang ini menjadi bersih ruhani dan jasmani, serta hatinya tersucikan, dengan demikian berarti ia telah menjadi pilihanNya (pilihan Allah) di dunia dan di akhirat. Di dunia ia dipilih melalui hatinya, dan di akhirat ia dipilih melalui jasmaniahnya. Berarti semua bencana adalah merupakan pencuci noda kesyirikan dan pemutus hubungan dengan manusia, dengan sarana duniawi dan dengan segala dambaan, serta menjadi pelebur kesombongan, ketamakan, kedengkian serta sifat tercela lainnya.
Adapun cobaan yang berupa hukuman dikarenakan kurang sabarnya hati terhadap ujian-ujian dari Allah. Hal ini ditandai seringkali mengeluh kepada orang lain, jika ia mendapatkan musibah. Yang ini merupakan suatu kerugian besar bagi orang yang bersangkutan.

Related Posts: