Risalah Ke-45
Selalu Mengingat Allah Tanpa Meminta
Referensi pihak ketiga
Dalam risalahnya yang keempatpuluh lima ini, beliau
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Ketahuilah bahwa sesungguhnya ada dua macam manusia. Yang
pertama, ialah manusia yang mendapat karunia berupa kebaikan-kebaikan di dunia
(kebaikan duniawi). Yang kedua, ialah manusia yang mendapat cobaan - sebagai
ujian – dengan takdirnya.
Manusia yang mendapatkan kebahagiaan duniawi, sudah jelas
tak akan bisa membebaskan dirinya dari dosa dan kegelapan dalam menikmati
kebahagiaan itu. Orang-orang demikian ini hidup dalam kemewahan duniawi,
cenderung lupa kepada Allah. Tapi bila kehendak Allah berupa pencabutan kemewahan
itu, ia berada dalam kegelapan dan penderitaan. Musibah demi musibah akan
menimpanya dan kemewahannya lenyap. Ia menderita, mengalami suatu penyakit,
kesulitan hidup dan penuh kesengsaraan. Dalam keadaan yang menyedihkan ini,
orang tersebut lupa sama sekali dengan
kenikmatan yang pernah dirasakan ; seolah-olah ia tak pernah merasakan
kenikmatan dan kesenangan. Kemudian jika Allah merubah penderitaan itu menjadi
kejayaan kembali, maka dalam suatu kejayaannya ia sama sekali lupa dengan
penderitaan atau kesulitan yang pernah diderita. Seolah-olah tak pernah
merasakan musibah sama sekali. Ini disebabkan oleh pengabdiannya terhadap
Allah.
Apabila ia tahu dan menyadari kalau tuhan bebas
sebebas-bebasnya bertindak menurut kehendaknya, mengubah, memaniskan atau memahitkan,
memuliakan atau menghinakan, mematikan dan menghidupkan serta memajukan atau
menunda/ mengundurkan. Jika ia menyadari tentang kuasa Allah dan kehendakNya
tersebut, maka ia tak merasa bahagia ditengah-tengah kebahagiaan duniawi dan
tak merasa bangga karena kenikmatan duniawi (kekayaan) tersebut. Kemudian di
kala ia duka dalam kesulitan, sedikitpun tak mengeluh tetapi tetap sabar.
Seandainya ia berlaku salah atau keliru maka kesalahan
itu sama sekali bukan disengaja. Melainkan karena ia tidak tahu tentang dunia
ini; yang sebenarnya adalah tempat ujian, tempat kepahitan, kebodohan, dan
kepedihan. Jadi kehidupan duniawi itu laksana pohon gaharu, yang rasanya pahit
untuk pertama kali dimakan, jika dimakan sampai habis, maka akan terasa rasanya
yang manis seperti madu. Tiada seorangpun dapat merasakan manisnya, sebelum ia
memakan pahitnya terlebih dahulu. Tak seorangpun dapat mengecap madunya jika ia
tak merasakan kepahitannya. Tapi jika ia tahan rasanya yang getir dan pahit,
maka makan diteruskan saja, akhirnya ia mendapatkan manisnya yang bagaikan madu.
Maka barang siapa tabah menghadapi
cobaan dan ujian duniawi, maka ia berhak mengecap rahmat Allah nanti dikemudian
hari.
Sudah pasti orang yang bekerja sebagai buruh akan
mendapatkan upah jika ia sudah selesai menunaikan kewajibannya dengan baik.
Mana mungkin seorang akan mendapatkan upah tanpa memeras keringat melakukan
atau menunaikan kewajibannya. Oleh sebab itu sama saja dengan seseorang yang
telah mereguk semua kepahitan dan penderitaan, dan dihadapinya dengan sabar;
maka akan datang kepadanya makanan dan minuman yang lezat, busana dengan segala
perhiasan yang bagus dan kesenangan (meskipun sedikit). Karenanya dunia itu
sesungguhnya ibarat sesuatu yang pahit dirasakan, bagaikan bejana yang permukaannya
terasa pahit sedang didasarnya ada tersimpan madu. Seseorang tak akan bisa
menikmati madu dalam dasar bejana itu sebelum lidahnya menyentuh permukaan yang
pahit dan sampai kedasarnya.
Apabila hamba Allah telah berikhtiar keras menunaikan
perintahNya, maka dengan meneguk kepahitan ujianNya, menahan beban dengan sabar
niscaya Allah memberi karunia berupa kenikmatan-kenikmatan. Musibah yang
dihadapinya dengan sabar, karena ia taat menjalankan perintah dan laranganNya,
maka oleh Allah diganti dengan suatu kemuliaan. Maka menjadilah ia sebagai wali
Allah dan akhirnya si hamba tersebut merasa aman dari cobaan Allah. Nabi Muhammad
bersabda :
“Kebahagiaan duniawi
merupakan sesuatu yang ganas, maka jinakkanlah ia dengan tekun melakukan
syukur.”
Mensyukuri rahmat berarti secara tak langsung mengakui
kepada sang pemberinya, Maha Pemurah dan Pengasih yaitu Allah. Sikap yang
demikian itu berarti hatinya telah terpaut kepada Allah, tak pernah
melupakanNya, menjalankan kewajiban atasperintahNya dan menjauhi segala yang
dilarangNya.
Mensyukuri rahmat itu bisa berupa mengamalkan sedekah,
berkorban sebagai nadzar, meringankan beban kaum fakir miskin dan menyantuni
anak yatim, serta masih banyak cara dan jalan yang mulai. Sedangkan
bersyukurnya anggota tubuh ditandai dengan melakukan perintah-perintahNya dan
mencegah dari segala yang diharamkan serta menimbulkan dosa.
Demikian cara melestarikan rahmat, menyiram tanaman dan
mengusahakan agar ranting dan daun-daunnya semakin cepat tumbuh, buahnya cepat
besar dan rasanya menjadi manis. Kemudian mempermudah untuk menelannya sehingga
lezat dirasakan.
Akan tetapi jika engkau mendapat rahmat dari Allah tetapi
tidak beramal yang demikian (di atas tadi), maka engkau menjadi hina. Misalnya
engkau hanya mencitai keindahan lahiriah kehidupan di dunia ini, asyik
menikmati dan puas dengan gemerlapan fatamorgana. Sesungguhnya semua itu
bagaikan tiupan angaian sepoi-sepoi di musim kemarau. Datang siang hari, panas
akan sengkau rasakan. Semua itu pun bagaikan kelembutan kulit naga dan kalajengking,
jika engkau memuja dan menyentuhnya, pasti engkau celaka.
Cobaan atas manusia, kadang-kadang berupa hukuman
atas pelanggaran terhadap hukum dan atas
dosa yang dilakukan. Namun kadangkala berupa suatu pembersihan noda, tetapi
kadang-kadang berupa pemuliaan maqam ruhani seseorang. Kemudian orang yang
mendapatkan kemuliaan maqam ruhani itu Allah memilih dan mewujudkan suatu
hakikat iman bagi orang tersebut. Akhirnya jiwanya suci, bersih dari
kesyirikan, bersih dari ujub dan kesombongan, bersih dari kemunafikan, dan
membuat karunia dengan cuma-cuma, sebagai pahala baginya.
Apabila orang ini menjadi bersih ruhani dan jasmani,
serta hatinya tersucikan, dengan demikian berarti ia telah menjadi pilihanNya
(pilihan Allah) di dunia dan di akhirat. Di dunia ia dipilih melalui hatinya,
dan di akhirat ia dipilih melalui jasmaniahnya. Berarti semua bencana adalah
merupakan pencuci noda kesyirikan dan pemutus hubungan dengan manusia, dengan
sarana duniawi dan dengan segala dambaan, serta menjadi pelebur kesombongan,
ketamakan, kedengkian serta sifat tercela lainnya.
Adapun cobaan yang berupa hukuman dikarenakan kurang
sabarnya hati terhadap ujian-ujian dari Allah. Hal ini ditandai seringkali
mengeluh kepada orang lain, jika ia mendapatkan musibah. Yang ini merupakan suatu
kerugian besar bagi orang yang bersangkutan.
0 Comments