Risalah Ke-61
Kehati-hatian Dalam Setiap Perkara
Dalam risalahnya yang keenampuluh satu ini, beliau Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Setiap orang beriman dikala menerima sesuatu ia menjadi
ragu dan curiga, sampai akhirnya hukum memperbolehkannya sebagaimana sabda
Nabi:
“Sesungguhnya orang beriman itu waspada sedangkan orang munafik itu menyambar (segala yang datang kepadanya).”
“Seorang mukmin ragu-ragu, campakkanlah segala penyebab keragu-raguan dan ambilah segala yang tak menimbulkan keragu-raguan.”
Seorang mukmin yang shalih maka ia merasa ragu-ragu terhadap
segala makanan, minuman, pakaian, perkawinan dan segala hal, sebelum dikukuhkan
oleh syariat. Jika seorang wali, ia ragu-ragu terhadap yang demikian itu pula
sebelum dikukuhkan oleh ilham (perintah batin). Jika seorang abdal dan ghauts,
ia pun ragu terhadap yang demikian itu, ia akan yakin dan hilang keragu-raguannya
jika dikukuhkan oleh ma’rifat. Sedangkan seorang yang dalam keadaan fana,
keragu-raguannya atas yang demikian itu tak akan hilang sebelum dikukuhkan oleh
tindakanNya.
Jika keragu-raguan itu telah dikukuhkan baik oleh hukum,
oleh perintah batin, oleh ma’rifat maupun kehendakNya maka datanglah kepadamu
suatu keadaan. Di dalam keadaan itu terdapat segala yang datang kepada manusia,
perintah batin atau makrifat. Akan tetapi jika hal tersebut bertentangan, maka
sebaiknya engkau buang atau engkau campakkan saja. Hal ini bertentangan dengan keadaan
sebelumnya, yang di dalamnya berkuasa keragu-raguan dan pemudahan. Tapi dalam keadaan
kedua ini terdapat kuasa penerimaan dan penggunaan hal-hal yang dibutuhkan.
Lalu datanglah keadaan ketiga, berada dalam penerimaan dan
penggunaan hal-hal yang dibutuhkkankn menjadi rahmat. Inilah yang disebut hakikat
ke-fana-an. Keadaan ini, sang mukmin menjadi kebal terhadap segala bencana dan pelanggaran
hukukm serta terjauhkan dari kejahatan keji sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Demikianlah, agar Kami palingkank darinya kemungkaran dan kekejian; sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba pilihanKu.” (QS. Yusuf : 24)
Dengan demikian maka seorang mukmin menjadi terlindungi
atau terpelihara dari pelanggaran hukum. Artinya, ia tak pernah melanggar
syariat Allah. Segala yang datng kepadanya telah dibersihkan dari noda
kesulitan di dunia maupun noda kesulitan di akhirat. Demikian itu selaras dengan
kehendak dan takdir Allah. Tak ada keadaan di atas ini dan melebihi ini. Demikianlah
tujuannya. Yang demikian inilah yang dimaksudkan bagi kepala-kepala wali besar,
yang tersucikan, yang mempunyai hikmah.
0 Comments