EKSISTENSI
POLITIK ISLAM
Oleh : Sulaiman
Referensi pihak ketiga
Secara teologis Islam
adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiah dan karena itu sekaligus
bersifat transenden. Tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena
peradaban, kultural dan realitas sosial didalam kehidupan manusia. Islam dalam
realitas sosial tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menzaman dan
menjagatraya (universal), tetapi mengejawantahkan diri dalam institusi-instutsi
sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan dinamika ruang dan waktu.[1]
Islam mengandung doktrin
atau ajaran yang bersifat universal tadi pada tingkat sosial tidak dapat
menghindarkan diri dari kenyataan lain, yakni perubahan. Menurut ajaran Islam
sendiri, perubahan sering dikatakan sebagai suatu sunnatullah, yang merupakan
salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara keseluruhan. Semua manusia, kelompok masyarakat,
dan lingkungan hidup mereka mengalami perubahan secara terus menerus.[2]
Dalam kaitan ini, perlu
ditegaskan sebuah pengakuan dari seorang orientalis, Joseph Schacht sebagaimana
dikutip Qardhawy menyatakan bahwa Islam adalah suatu sistem yang integral, yang
mencakup agama dan negara sekaligus.[3]
Dalam bahasa Qardhawy, Islam yang benar adalah akidah, ibadah, tanah air dan
kebangsaan, toleransi dan kekuatan, moril dan materiil, kebudayaan dan hukum.[4]
Sebagai agama yang
komprehensif, Islam menyatukan berbagai persoalan moril dan materil, serta
mencakup berbagai kegiatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat.[5] Bahkan falsafah umum Islam
menggabungkan antara dua persoalan tersebut, dan tidak membedakan antara
keduanya selain hanya perbedaan sisi pandang saja. Menurut Yusuf Qardhawi,[6] Islam yang benar adalah akidah
dan ibadah, tanah air dan kebangsaan, toleransi dan kekuatan, moril dan
materiil, kebudayaan dan hukum. Karena itu, aspek-aspek negara, hukum,
demokrasi dan politik hanyalah merupakan bagian-bagian dari ad-di>n
al-Islami.
Memperbincangkan relasi
agama dan politik memang senantiasa menarik. Politik tak kedap dari pengaruh
agama. Begitu pula sebaliknya, agama tidak jarang dijadikan objek politik
(baca: politisasi agama) demi merengkuh kekuasaan. Perselingkuhan agama dan
kekuasaan ini dapat dilihat dalam sejarah negara-negara di dunia, baik
negara-negara Islam maupun negara-negara non-Islam. Sejarah Islam dalam hal ini
merupakan salah satu bidang studi Islam yang banyak menarik perhatian para
peneliti baik dari kalangan sarjana Muslim maupun non Muslim, karena banyak
manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tersebut.
Perjalanan sejarah politik Islam
telah mengalami pasang surut dan sekaligus masing-masing menunjukkan
karakteristik yang berbeda-beda. Misalnya politik pada zaman Nabi Muhammad dan masa
Khulafa al-Rasyidin[7],
kemudian pada masa Daulah Umaiyah dan Abbasyiyah. Nuansa politik pada waktu itu
sudah terlihat dan berkembang. Jika pada periode Mekah kaum muslimin masih
menempati posisi marginal dan senantiasa tertindas, maka pada periode Madinah mereka
telah mengalami perubahan yang sangat dramatis: umat Islam menguasai
pemerintahan dan bahkan merupakan a self-governing
community. Di Madinah peran Nabi
Muhammad SAW selain sebagai agamawan beliau juga sebagai negarawan.[8] Sejak saat itu oleh pakar politik modern, Islam dipandang
sebagai suatu sistem pemerintahan politik dan sekaligus agama.[9]
Menurut Muhammad Iqbal dan Amin Husein, bahwa sejarah
Islam yang sudah berjalan 15 abad, para ahli membaginya menjadi tiga periode,
yaitu periode klasik hingga tahun 1250 M, periode pertengahan tahun 1250 hingga
1800 M, dan periode modern tahun 1800 Masehi sampai sekarang.[10]
Perkembangan pemikiran politik Islam setelah Nabi Muhammad dan Khulafa
al-Rasyidu>n dapat dikaji berdasarkan periodesasi tersebut, namun yang dapat
dipastikan bahwa dari masing-masing periode memiliki karakteristik atau ciri
khas yang berbeda, walaupun secara esensial masih ada beberapa kesamaan.[11]
Ciri umum pemikiran politik ketatanegaraan Islam pada
masa klasik dan pertengahan misalnya, ditandai oleh pandangan yang bersifat
khalifah sentris. Kepala negara atau khalifah memegang peranan penting dan
memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat dituntut untuk mematuhi kepala
negara dengan cara yang sangat berlebihan. Legitimasi keistimewaan kepala
negara atas rakyatnya diklaim ada pada al-Qur’an dan Hadis. Alasan menekankan
ketaatan rakyat yang ketat terhadap kepala negara dengan alasan untuk
stabilitas politik, sehingga keadaan negara benar-benar aman dan penegakan
syariat Islam terlaksana dengan baik.[12]
Karakteristik politik Islam semacam ini diperkirakan berjalan cukup lama, atau
paling tidak selama sistem kerajaan atau Daulah Mu’awiyah dan Daulah
Abbasyiyah.
Ditambahkan pula perubahan karakteristik politik tersebut
secara faktual bermula dari Abu Ja’far al-Manshur ketika berhasil menumbangkan
kekhalifahan dinasti Bani Umaiyah, bahwa ia mengklaim dirinya sebagai
bayang-bayang Tuhan di muka bumi. Konsekuensinya adalah bahwa kekuasaannya
berasal dari mandat Tuhan, bukan lagi merupakan pilihan rakyat, sehingga
kekuasaan dianggap suci dan mutlak harus dipatuhi. Karakteristik pemikiran politik
Islam seperti ini berkelanjutan sampai dengan abad pertengahan. Ada sederetan
nama pemikir dan praktisi politik ketika itu, diantaranya Al-Farabi,
Al-Mawardi, Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, walaupun sudah pasti satu dengan
lainnya terdapat beberapa perbedaan, bahkan terkadang cukup mendasar.[13]
Karakteristik politik tersebut di atas dapat diasumsikan
bahwa secara garis besar tampilan politik Islam klasik dan pertengahan cenderung
menganut sistem hirarkhi dalam masyarakat. Al-Farabi misalnya berpandangan
bahwa warga negara itu laksana anggota badan yang satu dengan lainnya mempunyai
fungsi dan kemampuan yang berbeda, namun keberagaman anggota badan itu tetap
dipimpin oleh satu anggota tubuh yang paling penting yaitu hati atau akal. Kedudukan
kepala negara dan pemerintahan sama dengan kedudukan jantung bagi badan yang
merupakan sumber koordinasi.[14]
Gambaran pemikiran al-Farabi tentang politik tersebut di
atas, secara reflektif paling tidak ada dua hal yang dapat dipahami, yaitu pertama;
bahwa masyarakat disuatu negara ada yang berkemampuan rendah sementara ada yang
dianggap berkemampuan tinggi dan yang memiliki kemampuan tinggi tentunya akan
lebih bahagia dan lebih dihormati sementara yang berkemampuan rendah cenderung
kurang bahagia dan juga kurang dihormati (terdapat kesenjangan soaial). Kedua;
bahwa dalam sistem politik, kepala negara dan kepala pemerintahan (khalifah)
harus diikuti dan dihormati secara mutlak tanpa terkecuali, maka khalifah harus
terpilih dari orang yang memenuhi 12 syarat atau kreteria.[15]
Namun demikian kerangka pemikiran politik semacam itu nampaknya
terlalu membuka peluang untuk terjadinya diktatorian, feodalisme dan
otoriterian seorang pemimpin, dan pemimpin menjadi tidak boleh dikeritik serta
menjadi kebal hukum. Jika karakteristik politik Islam pasca Nabi Muhammad dan
Khulafa al-Rasyidu>n menampilkan wajah politik semacam itu, maka secara
esensial politik tersebut tidak lagi mereferensi atau meneruskan filosofi
politik Nabi dan para sahabatnya. Oleh karena itu sistem politik Islam periode klasik
hingga periode pertengahan secara historis banyak berimplikasi pada pasang
surutnya peradaban umat Islam, yang akhirnya bermuara pada prilaku
sektarianistik, parsialitik, dan hancurnya rasa persatuan dan kebersamaan umat,
apalagi sistem politik Barat sekuler yang liberalis pada waktu yang sama, bahkan
sampai sekarang selalu menawarkan pengaruhnya pada kalangan umat Islam.
Berbeda dengan karakteristik pemikiran politik Islam di
atas, Ibnu Khaldun sebagai tokoh pemikir politik yang sekaligus sebagai sosiolog
pertama dunia berpendapat bahwa peranan politik dalam kehidupan masyarakat amat
penting dan menentukan. Kehidupan politik hanya dimiliki manusia, binatang dan
makhluk lain tidak memiliki politik.Sudah seharusnya jika manusia menghadapi kehidupan
politik, maka dimensi-dimensi terbaik yang dimiliki dalam dirinya yang harus
diaktualisasikan.[16]
Selanjutnya Khaldun mengatakan politik itu mengajarkan suatu mekanisme yang
harus digunakan manusia untuk mencapai keselamatan bersama dunia dan akhirat.
Sejalan dengan pandangan Khaldun tersebut Herman Khaeron mengemukakan bahwa
Islam sebagai agama universunal yang telah disempurnakan, memberikan pedoman
hidup menyeluruh, memberikan pedoman bidang kemasyarakatan yang didukung oleh kekuasaan
Negara. Misalnya aturan-aturan hokum dan sebagainya.[17] Secara
falsafati pernyataan ini mengisyaratkan bahwa politik Islam niscaya mengusung
manusia kepada jalan keselamatan dan kesejahteraan, baik yang bersifat
lahiriyah maupun yang bersifat batiniyah atau dunia dan akhirat.
Eksistensi politik Islam sebagaimana tersebut di atas
secara esensial adalah merupakan usaha manusia untuk bekerjasama memenuhi
kebutuhan dan mempertahankan kehidupan dari gangguan baik dari dalam maupun
dari luar. Oleh karena itu kehidupan politik merupakan suatu keharusan dalam
kehidupan manusia, tanpa politik kehidupan bersama manusia akan mengalami
kekacauan. Tegasnya masyarakat harus memiliki sistem politik untuk mengatur
segala urusan.[18]
Menurut Muhammad Iqbal dan Amin Husain, Ibnu Khaldun memiliki
kelebihan dibanding dengan pemikir politik periode klasik dan pertengahan,
dimana Khaldun paling banyak berkecimpung di dalam dunia politik praktis,
terutama pada kekuatan gagasangagasannya dalam bidang kenegaraan. Kodrat
manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendirian, melainkan
membutuhkan orang lain, dan ini untuk segala aspek kehidupan, maka oraganisasi kemasyarakatan
merupakan keharusan bagi hidup manusia.[19]
Lebih lanjut, bagi Khaldun agama adalah faktor penting yang dapat mempersatukan
berbagai perbedaan dalam masyarakat. Agama harus digandengkan dengan
solidaritas, sehingga mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi kekuasaan
politik, dan sebaliknya bila agama dan solidaritas dipertentangkan, maka yang
terjadi adalah disintegrasi. Agama harus dijadikan penopang kekuasaan negara.[20]
Bagi khaldun, agama merupakan sentral fundamental dalam
sistem politik Islam. Hanya nilai-nilai agama itulah yang dapat merekatkan
persatuan umat. Pendek kata bagi Khaldun tidak ada keterpisahan antara agama
dan politik atau tidak ada sekularistik dalam dunia politik. Khaldun mengemukakan
memang ada dua bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang berdasarkan pada
agama (Siyasah diniyah), dan pemerintahan yang berdasarkan pemikiran
manusia siyasah ‘aqliyah). Pemerintahan model pertama adalah berdasarkan
agama yang dibawa oleh nabi-Nya, dan pemerintahan model inilah yang dapat
berjalan dinamis dan bertahan lama.[21]
Selepas periode pertengahan, politik Islam dilanjutkan
pada masa modern yang menunjukkan sosok buram wajah politik Islam. Hampir
seluruh wilayah Islam berada dalam genggaman penjajahan Barat. Pada zaman
modern, Barat ternyata tidak hanya menguasai negeri-negeri muslim, tetapi juga
menerapkan sistem sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan hukum Barat di dunia
Islam, sehingga ada sebagian umat Islam yang berpandangan jika dunia Islam
ingin maju harus mengadopsi sistem nilai-nilai Barat.[22]
Di antara tokoh-tokoh politik yang mengemuka dalam bidang politik antara lain
adalah Jamaluddin Al-Afghani (abad 19). Jamaluddin melihat fakta bahwa dunia
Islam ketika itu didominasi oleh pemerintahan yang autokrasi dan absolut.
Penguasa-penguasa di dunia Islam menjalankan kekuasaannya sebagaimana yang
dikehendakinya saja, tanpa terikat oleh aturan atau konstitusi, tidak membuka
diri untuk melakukan musyawarah dalam pemerintahan. Padahal untuk membangun
pemerintah yang kuat, pertama sekali harus membangun masyarakatnya.[23] Melihat
kondisi dimana dunia Islam dirobek-robek oleh pertikaian intern, penyelewengan
moral, kebangkrutan ekonomi, penyelewengan ideologis serta kekacauan politik,
Jamaluddin harus bekerja keras untuk membenahi beberapa negara Islam yang
pemerintahannya disalah gunakan, bahkan menyerahkan kemerdekaan dunia Islam kepada
konsulat-konsulat Barat, sehingga Rusia dan Eropa bersaing membangun kekuasaan
dan menghegomoni negara-negara Islam yang sedang mengalami keruntuhan.[24]
Imam Munawir menambahkan bahwa Jamaluddin berpandangan segala bentuk kelaliman
dan kekuasaan otokratis pasti menimbulkan berbagai macam penyelewengan, fitnahan
intelektual, perbudakan politik dan ekonomi masa. Demi kebaikan dan keadilan
umat manusia, maka berbagai kelaliman penguasa harus dientaskan. Persekongkolan
internasional terhadap negara-negara Islam harus dihentikan dengan menyatukan
umat yang didasarkan atas prinsip-prinsip Islam.[25]
Jamaluddin tidak pernah mau komperomi dengan apa yang tidak adil, ia
mencampakkan fasilitas-fasilitas yang ditawarkan kepadanya oleh para penguasa
yang mementingkan diri sendiri.[26]
Ditegaskan pula bahwa bagi Jamaluddin harus ada perubahan orientasi pemikiran
dalam masyarakat, dari keterpakuan serta sikap menerima saja terhadap
pemerintah yang berkuasa seperti yang terjadi di periode pertengahan, menuju
upaya perubahan terhadap kondisi yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[27]
Tampilan politik Islam periode modern sebagaimana
tercermin dalam pemikiran politik Jamaluddin tersebut di atas, menunjukkan
bahwa pada satu sisi dunia Islam mengalami kehancuran akibat politik kekuasaan
yang kejam dan otoriter, tidak berpihak kepada masyarakat dan berjalan dengan
kesewenang-wenangan, egoistik, mementingkan diri sendiri, dan pada sisi lain atmosfer
politik Islam mulai bangkit kembali dengan berdasarkan pada ajaran Islam,
bahkan Islam didudukkan kembali sebagai suatu kekuatan perekat dan pemersatu
masyarakat, maka politik harus berkecambah dan diformulasi dari nilai-nilai
ke-Islaman. Secara reflektif dan interpretatif pemikiran politik Ibnu Khaldun
dan Jamaluddin dalam bangunannya memiliki koherensi dan relevansi satu sama
lainnya, dan pada tataran ontologis menempatkan manusia secara holistik,
menyeluruh dan mendasar, kesejahteraan bersama manusia menjadi fokus yang
signifikan, maka secara esensial pemikiran politik keduanya tidak terlepas dari
nilai-nilai religiusitas (ke-Tuhanan) dan nilai-nilai kemanusiaan. Memperhatikan
nilai-nilai filosofis sistem politik tersebut, dan merunut kembali sistem
politik pada periode Nabi Muhammad dan Khulafa al-Rasyidu>n, maka dapat dipahami
bahwa keduanya memiliki relevansi yang sangat jelas. Dengan kata lain pada
pemikiran kedua tokoh politik yang terakhir ini merupakan cikal bakal atau awal
dari lahirnya renaisance di dunia Islam khususnya yang terkait dengan
bidang politik.
Masih dalam term politik
dan Islam, Para pakar politik Barat mengakui tentang integrasi keduanya,
seperti Dr. V. Fitzgerald, ia berkata, “Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun dekade-dekade terakhir
ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis,
yang berusaha memisahkan sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam
dibangun di atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan
selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.”[28]
“Islam merupakan agama
yang lengkap, termasuk mengenai konsep kebangsaan dan tanah air. Jika ada yang
ingin memisahkan agama dan negara sama seperti ingin memisahkan gula dari
manisnya.
Dalam konteks sejarah
politik Indonesia, Kekuatan politik Islam Nusantara mengalami masa suram saat
kehadiran para penjajah dari Barat. Dimulai dengan munculnya Portugis, Inggris,
dan Belanda semuanya menutup akses institusi politik Islam untuk mengembangkan
diri, meskipun banyak terjadi perlawanan-perlawanan baik dari para sultan, kaum
bangsawan, ulama hingga rakyat jelata. Akan tetapi tetap saja institusi politik
Islam terbelenggu dalam jerat kolonialisme.
Islam Nusantara telah
membentuk institusi politik paling awal pada abad ke-13. Di Sumatra, Institusi
politik ini mengalami perkembangan pada abad 14 atau abad 15. Abad ke 16 telah
menjadi saksi munculnya kerajaan-kerajaan baru dalam sejarah, terutama di Jawa.
Yang kemudian diikuti munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Maluku, Sulawesi
Selatan, dan di daerah lain mulai juga tampak pada abad yang sama. Sementara
itu masih terdapat kerajaan-kerajaan yang terus eksis dengan memakai sistem
tradisional pra-Islam,[29]
seperti kerajaan Mataram di Jawa.
Pada umumnya kerajaan
Islam ini berdiri setelah jatuhnya kerajaan Hindu-Budha, sehingga membuat Islam
pada saat itu menjadi satu-satunya basis kekuatan politik. Hubungan antar
kerajaan-kerajaan Nusantara juga terlihat dalam berbagai kesempatan dibidang
politik, contohnya persekutuan antara Demak dengan Cirebon dalam menaklukkan
Banten dan Sunda Kelapa, persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi
Portugis dan Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan.[30]
Dapat dikatakan masa
kolonialisme menjadi fase berakhirnya dominasi politik Islam. Kehadiran
orang-orang Belanda di Indonesia telah mengancam institusi perpolitikan umat
Islam. Ancaman ini terlihat manakala keinginan memonopoli perdagangan dengan mendirikan
VOC (Verrenigde Oost-Indische Compagnie) atau perserikatan
Maskapai Hindia-Timur untuk menyaingi pelayaran dan perdagangan orang-orang
Barat lainnya.[31]
Ancaman juga terlihat ketika orang-orang belanda memainkan politik “belah
bambu” yang mengakibatkan satu demi satu kerajaan Islam hancur. Akibat hegemoni
politik Belanda terhadap kerajaan-kerajaan kecil di Jawa mengakibatkan kekuatan
politik kerajaan Islam berpindah ke pesantren-pesantren yang kemudian menjadi
basis perlawanan yang dipimpin oleh para ulama. Dengan perlahan tapi pasti
munculah sebuah kekuatan yang terorganisir yang mengubah trend perlawanan yang
awalnya dari konfrontasi secara fisik berubah dengan perjuangan secara
organisasi. Bidang sosial dan pendidikan menjadi pilihan ideal kala itu
sehingga dalam perkembangannya organisasi tersebut dapat menyatukan basis
kekuatan massa baik di daerah maupun Nusantara secara luas seperti lahirnya organisasi
Sumatra Thawalib dan Syarikat Islam (16 Oktober 1905) yang
kemudian lahirlah Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo pada 1911.[32]
Demikian juga K.H. Ahmad Dahlan di Jawa dengan gerakan Muhammadiyah (18
November 1912) dan K.H. Hasyim Asy’ari dengan gerakan Nahdhalatul Ulama
(16 Sa’ban 1344 H/ 31 Januari 1926 M).
Masa penjajahan Jepang setelah Belanda menjadi
anti-klimaks bagi bangsa Indonesia. Banyaknya kebijakan Jepang yang sangat
merugikan dan dirasakan lebih kejam dari pada Belanda, dalam kaitannya dengan posisi
politik umat Islam memunculkan fenomena yang sama sekali berlainan dengan
fenomena zaman Belanda. Jika Belanda lebih menampakkan sikap anti Islam, Jepang
justru memperlihatkan sikap “bersahabat” terhadap umat Islam di dalam dunia perpolitikan
di Indonesia. Meskipun demikian tujuannya dari Jepang hampir sama yakni
bagaimana melanggengkan kekuasaan penjajah di negeri ini.[33]
Kondisi politik umat Islam pada masa ini terbagi menjadi
dua yakni, pertama, masa revolusi dan kedua,
masa mempertahankan kemerdekaan. Tidak dipungkiri strategisnya posisi umat
Islam sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia. Islam ternyata dapat memainkan
perannya dalam membangkitkan semangat revolusi mengusir kolonialisme di
Nusantara. Fase ini dapat dibilang menjadi “perang ideologi” antara para
tokoh berideologi sekuler dengan berideologi Islam. Hal ini terlihat pasca
proklamasi di mana muncul pertentangan dari kedua golongan tersebut yang
berafiliasi dengan nasionalis “sekuler” dan nasionalis Islam itu sendiri.
Pergulatan hebat itu semakin meruncing dengan dihapuskannya tujuh kata dalam
anak kalimat yang tercantum dalam sila Pertama Pancasila yang pada akhirnya
dengan segala konsekuensinya dipinggirkan dari subtansi konstitusi. Awalnya
sila Pertama Pancasila berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan
syariat Islam bagi para pemeluknya” Dirubah menjadi hanya: “Ketuhanan Yang Maha
Esa”
“Menilik sejarah
perjalanan bangsa ini, partai politik Islam memiliki peran sentral. Kontribusi
itu antara lain mengintegrasikan nilai Islam dalam hukum positif di Indonesia”
Pergulatan ideologi yang
membuka gagasan-gagasan tentang sosialisme dan dasar negara terlihat dalam dua
fase. Fase pertama, semenjak tahun 30-an setelah terbentuknya Partai Nasionalis
Indonesia (PNI) pada 1927 oleh Soekarno, Syahrir dan Muhammad Hatta bergabung
untuk membentuk cikal bakal gerakan nasionalis Indonesia dengan faham
kebangsaan (nasionalisme) sebagai kekuatan utamanya membangun panggung
konfrontasi ideologi antara para pemimpin dan aktivis Islam politik, terutama
dalam soal hubungan antara agama (Islam) dan negara dalam sebuah negara
Indonesia merdeka. Dalam konteks historis ini dua kelompok yang saling
bertentangan muncul dalam diskursus politik Indonesia: (1). Golongan Islam;
(2). Golongan nasionalis.[34]
Fase kedua pada awal
40-an polemik diatas berkembang jauh melampaui masalah-masalah nasionalisme.
Polemik-polemik itu menyentuh masalah yang lebih penting yakni; Hubungan
politik antara Islam dan Negara. Dalam periode ini tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa tidak ada tokoh yang begitu sering terlibat dalam berbagai
perdebatan kecuali Soekarno dan Natsir.[35]
Fenomena politik awal kemerdekaan tersebut nampaknya
membawa sejarah panjang dalam perjalanan ideologi politik Islam di Indonesia. Sebagaimana
pada masa pemberlakuan demokrasi terpimpin yang dimotori Soekarno (Orde Lama),
gerakan-gerakan ideologi politik Islam nampak pada gerakan Darul Islam (DI).
Gerakan ini pada awalnya kuat di tiga propinsi (Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi
Selatan), tetapi gerakan ini mereda ketika organisasi mainstream (NU, Muhamadiyah, Persis) menolaknya
karena gerakan Darul Islam yang mengusung jorgan pembentukan Negara Islam
Indonesia (NII). Penolakan juga disampaikan oleh partai Islam terkemuka yaitu
Masyumi walaupun pada hakekatnya partai Masyumi juga mempunyai jorgan yang sama
dengan DI dengan cara legal dan konstituasional, tetapi nampaknya partai
Masyumi juga gagal karena jorgan Masyumi tersebut tidak sejalan dengan
partai-partai Islam yang lain dalam penerapan negara Islam tersebut.[36]
Pada masa Orba (Orde Baru) yang populer dengan istilah
memasuki mellinium ketiga, di mana bangsa Indonesia memasuki sistem politik
baru, yaitu sistem politik corporatic dan hureatucratic
authoritarian memasuki sistem politik pluralistic.[37]
Sistem politik yang digunakan Orba ini merupakan sebuah
arena politik yang efektif untuk meminimalisir gerakan ideologi politik Islam,
setiap kali ada keinginan memunculkan formasi Islam politik, rejim penguasa
melakukan langkah-langkah kooptasi dan bahkan represi. Kondisi demikian, tentu
saja artikulasi Islam Politik yang hanya menghasilkan partai korporatisme
negara seperti itu tidak memuaskan lapisan mayoritas umat Islam. Oleh karena
itu, menurut analisis Zainuddin Maliki bahwa politik mayoritas lebih memilih
mengartikulasikan ke dalam apa yang disebut orang sebagai “Politik Muslim” dari
pada “Islam Politik”.[38]
Pada masa ini pula munculah Gerakan terselubung NII/TII (Negara Islam
Indonesia/Tentara Islam Indonesia) yang masih dalam lingkaran gerakan Darul
Islam (DI), Teror Warman (nama ini diasosiakan dengan salah satu pemimpinya Warman,
seorang veteran Darul Islam (Jawa Barat), gerakan Usrah, sebuah gerakan bawah tanah yang pertama kali
diperkenalkan oleh Abu Bakar Ba’asyir.[39]
Yang dalam perkembangan selanjutnya gerakan Usrah ini dikenal dengan nama
Jama’ah Islamiah (JI) di Solo.
pada paruh kedua (1986-1997) pada masa ini terdapat
perubahan radikal pada kebijakan pemerintah terhadap Islamisme, pada dekade ini
nampaknya pemerintah membiarkan ideologi Islam masuk ke ranah politik. Hal ini
dapat ditengarai adanya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang
didukung oleh pemerintah sebagai satu alat yang oleh Hefner disebut sebagai “Islam Rezimis” dengan tujuan sebagai
bagian dari struktur negara. Salah satu alasan utama di balik pergeseran
kebijakan pemerintah adalah pilihan strategis Soeharto untuk mendapatkan
dukungan politik umat Islam bersamaan dengan berkurangnya dukungan militer
kepada pemerintahannya.[40]
Perkembangan Islam politik pada awal
reformasi cukuplah kuat, bahkan terbersit keinginan membangun Negara Islam atau
Negara Kekhalifahan, tetapi selama lima belas tahun pasca reformasi justru
orientasi-orientasi Islam politik menjadi radikal. Bahkan orientasi Islam
politik mengikuti pola-pola politik yang bersifat “terror”. Model orientasi
politik tersebut justru berseberangan dengan gagasan reformasi yang salah
satunya menjunjung tinggi demokrasi. Model orientasi politik “terror” justru
kekuatan politik mereka menjadi mandul ketika berhadapan dengan nilai-nilai
keberagaman, solidaritas organik, dan ideology Pancasila yang sudah lama
melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Sejatinya pemikiran-pemikiran Islam
fundamentalisme atau radikal tidak ada pada ajaran agama Islam. Apabila
terminologi politik diletakkan pada perspektif jihad fi sabilillah.
Terminologi itu pernah muncul ketika Muslim ditindas oleh kolonialisme Belanda.
Dewasa ini terminologi Islam radikal menjadi tidak proporsional ketika bangsa
Indonesia merdeka. Pada sisi lain, praktik politik Nabi Muhammad menggunakan
konsep ‘madani’ ketika membangun sistem politik di Madinah. Konsep madani
adalah melindungi minoritas etnisitas dan religiusitas dari tindakan represif
mayoritas. Karena itu rasionalitas Islam radikal bukan dogma Rasulullah, tetapi
hanya ada pada tataran sosial, politik, ekonomi, dan sejarah.
Hal ini bisa dimaklumi bahwa
pemikiran Islam radikal merupakan sintesis dari kehendak untuk menghacurkan
sisa-sisa nilai kolonialisme-imperalisme yang masih melekat dalam kehidupan
sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya, khususnya praktik kolonial
dalam implementasi kebijakan politik dan ekonomi. Kuatnya pemikiran Islam
radikal dalam konstelasi politik di Indonesia akibat: (1) keberhasilan revolusi
Islam di Iran pada 1979, (2) kekuatan ekonomi kapitalisme Barat yang semakin
merangsek dan memarjinalkan ekonomi masyarakat muslim, dan (3) pemikiran
sebagian besar Muslim berpaham radikal bahwa agama landasan teologi pembebasan,
sehingga al-Quran, al-Hadits, dan Fiqh sebagai philosophische grondslag,
dasar negara bangsa Indonesia.[41]
Tidaklah mengherankan ketika Soeharto jatuh, muncul orde reformasi yang
diikuti dengan berdirinya 20 partai Islam, dengan masing-masing basis massanya.[42]
Di antara 20 partai Islam itu adalah: PKU (Partai Kebangkitan Umat), PNU
(Partai Nahdatul Umat), SUNNI, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PAN (Parai
Amanat Nasional), PBR (Partai Bintang Reformasi), PBB (Partai Bulan Bintang),
PK (Partai Keadilan), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), PUI (Partai Umat
Islam), PMB (Partai Masyumi Baru), dan lain-lain. Di sisi lain, dinamika politik Islam juga dipengaruhi
oleh organisasi-organisasi Islam yang muncul pasca peristiwa Reformasi. Seiring
dengan kebebasan politik yang muncul pasca reformasi, organisasi – organisasi
Islam juga banyak bermunculan untuk memperjuangkan aspirasi Islam. Beberapa
diantaranya adalah; Hizbut Tahrir Indonesia [HTI], Majelis Mujahidin Indonesia
[MMI], IkhwanulMuslimin [IM], dan Front Pembela Islam [FPI]. Kelahiran
organisasi – organisasi Islam ini tentunya juga berkontribusi penting dalam
dinamika politik Islam.
Masalah Integrasi antara Islam dan politik
ini, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa kaum muslim Indonesia menerima
Pancasila dan UUD 45 dengan pertimbangan yang jelas. Kedudukan Pancasila dan
UUD 45 menurutnya, sama kedudukan dan fungsi dokumen politik pertama dalam
sejarah Islam, yaitu Piagam Madinah, dan umat pada masa Rasullah menerima konstitusi Madinah dalam rangka
menyetujui kesepakatan bersama dalam membangun masyarakat politik bersama.[43]
“Eksistensi politik
Islam harus dipertahankan untuk memastikan hubungan agama dan kekuasaan
berjalan seiring dan seimbang berdasarkan Pancasila”
Masalah Pancasila sebagai dasar negara merupakan
hasil perumusan oleh pemuka-pemuka bangsa Indonesia yang notabene sebagian besar
beragama Islam. Isi kandungan Pancasila pada dasarnya tidak bertentangan,
melainkan sejalan dengan Islam. Bahkan sila-sila dalam Pancasila tergantung di
dalamnya ajaran-ajaran dasar terdapat dalam Islam. Hubungan Islam dengan
pancasila adalah: Sila pertama dari pancasila adalah mengandung dasar pertama
dalam Islam yaitu Tauhid. Sila kedua adalah konsekwensi dari ajaran Tauhid
tentang pengakuan humanitas. Sebagai rujukannya pada ayat Alquran Surah
al-A’raf 189, Yunus 19, al-Hujurat 13. Sila ketiga, Islam mengajurkan cinta air
“Hubb al-Wathan”. Kemudian sila keempat menurut Harun, merupakan ajaran Islam
yang menganut persamaan di antara sesama manusia yang ditegaskan dalam Alquran
dan Hadis (Surah Ali Imran 159 dan surah al-Syuraa ayat 13). Selanjutnya sila
kelima adalah sikap Allah swt sebagai Maha Adil yang menghendaki manusia
bersikap adil, sebagaimana Harun mengutip surah An-Nahal ayat 90.
[1] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam
Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina,
1996), h.1.
[2] Ibid
[3] Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara Ijtihad Baru
Seputar Sistem DemokrasiMulti Partai Keterlibatan Wanita Di Dewan Perwakilan
Partisipasi Dalam Pemerintahan Sekuler, terj. Syafril Halim (Jakarta: Robbani
Press, 1997), (Jakarta: Robbani Press, 1997), h. 24.
[4] Ibid
[5] Ibid
[8] Dewan
Editor, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam–2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hove, 2002),hal.2
[9] M. Rahmat
Effendi, “Kekuasaan
Negara dalam Perspektif Dakwah Islam”, Mimbar, Jurnal Sosial dan Pembangunan,
(Bandung: Pusat Penerbitan Universitas, LPPM Unisba, September 2003), hal.
261
[10] Muhammad Iqbal & Amin Husein, Pemikiran Politik Islam Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Kencana, Jakarta), 2010, hal. 1.
Periodesasi Sejarah Islam secara lebih luas dijelaskan oleh Harun Nasution
dalam Bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (UI Press,
Jakarta), 1985.
[14] Muhammad Azhar, Filsafat Politik
Perbandingan Islam dan Barat, (Raja Grafindo Persada, Jakarta), 1996, hal.
79-80.
[17] Herman Khaeron, Etika Politik, Paradigma Politik Bersih, Cerdas, Santun
Berbasis Nilai Islam, (Nuansa Cendekia, Bandung), 2013, hal. 261.
[19] Muhammad Iqbal & Amin Husain, Op. Cit. h. 47-48. Baca juga
Mukaddimah Karya Ibnu Khaldun. Pada salah satu Bagian dalam Buku ini membahas
teori-teori kemasyarakatan dan berkaitan dengan politik kenegaraan.
[23] Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari Masa
ke Masa, (Bina Ilmu, Surabaya), 1985, Ibid, hal. 63.
[29] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
1500-1900, Jilid I,
(Jakarta: Gramedia Pustaka, 1992), hlm. 45
[31] Ibid
[34] Bachtiar
Effendy, Islam dan Negara,
Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 1998), hal . 70
[36] Martin Van Bruinessen, “Geneologies of
Islamic Radicalism in Post Soeharto Indonesia South East Asia Research” 10, no.
2 (n.d.): 128.
[37] Dalam sistem politik yang diterapka
orba tersebut tidak ada arena publik yang bisa digunakan untuk bagi masyarakat
untuk melakukan partisipasi politik. Ruang pablik sepenuhnya dikendalikan oleh
rezim yang berkuasa yang terdiri atas triumvirate, lembaga keprisidenan,
militer dan konglomerat. Dalam formasi politik seperti iti terjadi adalah
lembaga keprisidenan yang powerfull di satu pihak, dilain pihak muncul kabinet
yang tersubordinatif.Lihat Maliki, Sosiologi Politik: Makna Kekuasaan dan Transformasi
Politik, 267.
[39] 18Lihat dalam June Chandra Sentosa,
“Modernations Utopia and The Rise of Islamic Radicalism in Indonesia” (Boston
University, 1996), 353.June Chandra Sentosa “Modernations Utopia and The Rise
of Islamic Radicalism in Indonesia” Thesis (Boston: Boston
University, 1996) 353. Lihat juga dalam Bruinessen, “Geneologies of Islamic
Radicalism in Post Soeharto Indonesia South East Asia Research,” 129.
[40] 20Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and
Democration in Indonesia (Princeton NJ:
Princeton University Press, 2000), 128. Bandingkan dengan Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia’s
Search for Stability (New Shout Wales:
Alien & Unwin, 1999), 176.
[41] Kazuo
Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Post Modernisme, Telaah Kritis
Pemikiran Hassan Hanafi (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 6-7.
[42]
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara,
Khilafah, Masya-rakat Madani, dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 181-190.