Futuhul Ghaib Risalah Kelimapuluh Dua: Ujian Allah Bagi Mukmin

Risalah Ke-52
Ujian Allah Bagi Mukmin

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang kelimapuluh dua ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Ketahuilah bahwa khalifah-khalifah Allah yang memiliki ilmu ruhani, seringkali diuji oleh Allah dengan berbagai kesengsaraan hidup. Khalifah yang dimaksud adalah orang mukmin yang dipilihNya. Ujian yang ditimpakan kepada mereka itu bukan suatu hukuman, melainkan agar mukmin khalifatullah itu mau berdoa. Sebab Allah senang menerima doa mereka. Dengan doa yang dipanjatkan itu maka Allah memberi anugerah kemurahan atas orang-orang tersebut.
Doa mereka adalah suatu permohoan kepada Allah yang Maha pemberi, namun kadangkala doa-doa tersebut tidak segera diterima Allah begitu saja, namun perlu waktu. Ditangguhkannya suatu doa bukan berarti ditolak. Kalau demikian, maka hamba Allah seharusnya menunjukkan sikap yang baik manakala mendapat musibah. Mengoreksi diri sendiri selama ini apakah ia mengabaikan perintah Allah dan melanggar laranganNya, secara jelas atau samar (sembunyi-sembunyi dan di dalam hati). Hendaknya mengintropeksi diri, apakah selama dalam musibah itu selalu menyalahkan Allah. Atau ujian yang ditimpakan kepadanya itu adalah suatu hukuman atas dosa yang pernah dilakukan.
Kemudian jika musibah telah berlalu dan datang kemudahan, pasti hamba Allah ini (pilihan ini) selalu berdoa, merendahkan diri, minta maaf dan memohon kepadaNya. Ia mempunyai pemikiran kalau ujian yang pernah ditimpakan itu dimaksudkan Allah agar mau terus berdoa, meskipun kini ia sudah terbebas musibah. Dalam kemudahan hidup, akhirnya ia selalu berbuat baik, melakukan perintahNya dan meninggalkan laranganNya; membiasakan diri berdoa dalam suka.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Kelimapuluh Satu: Zuhud

Risalah Ke-51
Zuhud (Berpaling dari Dunia)

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang kelimapuluh satu ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Sesungguhnya orang shalih menerima dua macam pahala atau mendapatkan dua kali lipat pahala. Pertama, karena sikapnya yang acuh tak acuh terhadap duniawi, sehingga ia tak jatuh cinta kepada segala yang bersifat duniawi itu, menentang sifat dan nafsu manusiawinya, memenuhi perintah Allah, sehingga ia mendapatkan kelimpahan pahala dari Allah.
Bila nurani telah memerangi diri sendiri dari segala sifat dan nafsu, maka ia akan menjadi pentahkik kebenaran, pilihan Allah, abdal dan arif (tahu tentang kebenaran). Kalau sudah pada tingkatan ini, ia diperintahkan untuk berhubungan dengan dunia, sebab dalam dirinya terwujud (terselubung) sesuatu yang tak dapat di buang dan tak tercipta dalam diri orang lain. Setelah hal itu tertulis, maka pena takdir menjadi kering tintanya, dan tentang semua itu Allah telah mengetahui jauh sebelumnya. Apabila perintah telah dipenuhi maka ia mengambil  bagian duniawinya atau dengan menerima ma’rifat. Ia berhubungan dunia – tidak seperti orang kebanyakan – berlaku sebagai wahana takdir dan tindakan Allah, tanpa keterlibatannya, tanpa keinginannya dan tanpa daya upayanya. Dengan demikian, untuk kedua kalinya ia mendapatkan pahala atas semua itu dari Allah, karena ia mematuhi semua perintahNya.
Barangkali di hatimu bertanya-tanya demikian : Bisakah orang-orang semacam itu mendapat pahala yang berlipat, padahal ia tak meminta upah atau imbalan sebagai balasan bagi tindakannya, sedangkan ia menganggap segala tindakan itu bukan semata karena dorongan pribadinya, tetapi Allah yang menggerakkan, dan ia menganggap dirinya miskin dari kebaikan.
Engkau berkata benar terhadap penilaian atasorang yang demikian. Namun ketahuilah bahwa Allah memberinya suatu anugerah berupa rahmat, membelainya dengan rahmatNya dan membesarkan dengan kasihNya, kelembutan dan karuniaNya. Jika ia menahan tangannya dari sesuatu misalnya meminta kenikmatan-kenikmatan, menyisihkannya, seolah-olah ia tak butuh serta menepis kemudharatan yang timbul darinya, maka ia bagaikan seorang bayi yang tiada berdaya di hadapan Allah. Dan ia mendapat asuhan Allah dengan rahmat dan kasih sayangNya. Perhatikanlah sang bayi dalam asuhan orangtuanya, ia tak mampu meminta dan menolak, tetapi orangtuanya tetap memberi makan, menyuapi dan mencarikan rizki.
Apabila Allah telah menjauhkan rasa tertarik dalam diri orang tersebut terhadap sesuatu, berarti Allah telah membuat hati orang cenderung kepadanya (kepada orang beriman yang shalih). Akhirnya orang-orang disekitarnya pun bersikap serta memperlakukan dengan baik. Semua itu kehendak Allah, dan sikap orang-orang disekelilingnya itu pun atas kehendaknya Allah juga. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan al-Qur’an dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” 

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Kelimapuluh : Cara Mendekatkan Diri Kepada Allah

Risalah Ke-50
Cara Mendekatkan Diri Kepada Allah

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang kelimapuluh ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Barangkali engkau dekat kepada Allah, atau justru sebaliknya, jauh dariNya.
Apabila engkau jauh dari Allah, mengapa tetap berlengah diri, tidak berniat untuk ikhtiar agar mendapatkan rahmat, agar mendapat kemuliaan, keamanan dan kecukupan di dunia ini serta kebahagiaan di akhirat.olehsebab itu bersegerahlah untuk terbang kepadaNya dengan dua sayap.
Ketahuilah sayap yang pertama berupa penolakan terhadap berbagai kesenangan, penolakan berbagai keinginan yang tak halal. Sedangkan sayap kedua berupa penangguhan kepedihan, hal-hal yang tak menyenangkan dan menjahui keinginan-keinginan duniawi serta ukhrawi. Dengan demikian agar engkau bisa menyatu denganNya dan selalu dekat denganNya. Kalau sudah mampu terbang dengan dua sayap tersebut maka engaku akan mendapatkan sesuatu yang didambakan orang selama ini. Engaku akan menjadi terhormat dan mulia. Jika engkau termuliakan dengan kelembutanNya, menerima kasihNya dan rahmatNya, maka tunjukkanlah perilakumu yang terbaik, jangan berbangga diri dengan amalanmu itu agar engkau tidak lalai dalam pengabdian kepada Allah. Jangan angkuh dan sombong agar engkau tidak menjadi orang dzalim serta tergesa-gesa. Allah telah berfirman:
 “Sesungguhnya manusia itu aniaya lagi jahil/tiada berilmu.” (QS. Al Ahzab : 72)
Kemudian dalam ayat lain juga dijelaskan :
 “Manusia itu suka meminta kejahatan, sebagaimana ia suka meminta kebaikan. Adalah manusia itu bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al Isra’ : 11)
Wahai orang yang beriman! Oleh sebab itu lindungilah hatimu dari kecondongan terhadap orang serta terhadap keinginan-keinginan yang telah kau campakkan. Jika kecondongan dan keinginan itu sudah kau campakkan, usahakan agar tak kembali lagi melekat padamu.
Campakkanlah dirimu kehadirat Allah dengan bersikap tak berdaya laksana bola di kaki pemainnya atau laksana bayi digendongan sang emban. Butakan pandangan matamu dan mata hatimu dari segala sesuatu, selain kepada Allah. Anggaplah manusia dan segala sesuatu yang bersifat duniawi itu suatu cambuk Allah yang menyiksamu manakala engkau berada dalam kesulitan. Dan anggaplah manusia serta sesuatu yang bersifat duniawi sebagai TanganNya yang menyuapimu dikala engkau dalam karunia dan kemurahanNya.

Related Posts: