Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh Empat : Nikmat dan Malapetaka

Risalah Ke-44
Nikmat dan Malapetaka

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang keempatpuluh empat ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Bagi orang yang memiliki pengetahuan tentang Allah, maka sifat yang terlalu berpengharapan (optimisme) hanya akan menghancurkannya saja. Oleh sebab itu bagi orang yang demikian inisering kali doanya tak dikabulkan, janjinya tak dipenuhi kepadanya, tujuan Allah dengan yang demikian itu karena dia tidak mau hambanya yang beriman tersebut mendekati kehancuran. Sebab setiap maqam (keadaan/tingkatan) ruhani memliki ‘takut dan harap’.
Hal itu dikarenakan orang yang berpengetahuan rohani mengalami kedekatan dengan Allah, sehingga  ia tak lagi menghendaki sesuatu pun selain Allah. Maka permohonan hamba agar doanya diterima dan janji dipenuhi, berarti bertentangan dengan maqam dan tariqatnya (keadaan dan jalan yang ditempuhnya).

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh Tiga: Sebab Tidak Mustajabnya Doa

Risalah Ke-43
Sebab Tidak Mustajabnya Do'a

Referensi pihak ketiga 

Dalam risalahnya yang keempatpuluh tiga ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Barangsiapa yang meminta sesuatu kepada manusia, berarti dia tak menyadari keberadaan Allah, dia lemah pengetahuan tentang hakikat. Ia tak mempunyai kesabaran. Sedangkan jika ia manusia,_hanya meminta kepada Allah_, maka berarti ia amat tahu tentang Allah; iman orang yang demikian ini kuat pengetahuan-nya tetang Allah dan ketakwaannya terhadap Allah terus bertambah.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh Dua: Meminta Kepada Selain Allah

Risalah Ke-42
Meminta Sesuatu Kepada Selain Allah

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang keempatpuluh dua ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Ketahuilah bahwa keadaan ruhani manusia itu ada dua hal, yaitu bahagia dan duka. Jika dalam keadan duka maka timbullah berbagai kecemasan, keluhan, merasa tak senang, timbul lidah yang menggerutu, tida sabar dan kemudian menyalahkan Allah. Bahkan ia cenderung memperturutkan perilaku buruk, dosa karena menyekutukan Allah dengan makhluk dan benda – benda duniawi. Akhirnya, terjadilah apa yang disebut kekafiran.
Bila dalam keadaan bahagia ia menjadi kurban kerakusan, korban kehinaan hawa nafsu. Jika nafsu dituruti maka ia akan menanamkan keinginan – keinginan lainnya dan meremehkan karunia yang telah dimilikinya. Ia tak menghargai karunia yang telah didapatkan, bahkan ia berlebih – lebihan karena meminta karunia yang lain; yang lebih banyak lagi. Sikap dan getaran jiwa (hati) yang demikian itu hanya akan mempersulit dirinya sendiri dalam kesulitan di dunia maupun di akhirat. “ Sesungguhnya siksaan yang paling pedih yaitu bagi pengupayaan yang bukan bagiannya.”
Orang yang demikian ini – yang mempunyai jiwa diperbudak nafsu -, bila mendapatkan kesulitan, maka yang dikehendaki hanya terpusat pada sirnanya kesulitan tersebut. Ia selalu merasa menderita dan tak pernah mengingat tentang karunia yang pernah dilimpahkan kepadanya sebelum itu (sebelum dirundung kesulitan). Sama sekali ia tak mau mencari hikmah dibalik kesulitan tersebut.
Kemudian jika mendapat kebahagiaan, maka ia kembali lupa daratan, sombong, tamak, dan membangkang terhadap Tuhannya serta tenggelam dalam lingkungan dosa. Dalam masa kejayaan ia sama sekali lupa dengan kesulitan atau penderitaan yang pernah dirasakan.
Orang yang demikian itu dengan cepat ia akan segera binasa dalam gelimangnya harta. Dalam nikmat-nikmat yang dirasakan akan mempercepat pada taraf kekufuran daripada ketika ia mendapatkan musibah. Kekayaan yang melupakan akan mengantar pemiliknya cenderung berbuat dosa.
Seandainya setelah berlalu dari bencana (setelah penderitaannya sirna) ia mau berbuat kebaikan, patuh, dan banyak bersyukur, maka hal yang demikian ini lebih baik baginya di dunia maupun di akhirat. Karena di dunia ia mendapatkan nikmat berupa rizki, dan jangan rizki itu ia manfaatkan untuk jalan kebaikan (jalan Allah). Tentu hidupnya akan bahagia.
Oleh sebab itu, barangsiapa yang menginginkan keselamatan hidup di dunia ini dan kebaikan di akhirat, maka haruslah selalu bersikap sabar, pasrah, menghindar dari sifat dan kebiasaan keluh kesah terhadap orang lain.
Apabila dirimu selalu berbuat sabar, taat, teguh, tidak rakus dan berjalan pada jalan Allah, maka karunianya akan menjadi suatu kenikmatan. Apabila nikmat itu dicabut oleh Allah darimu, maka pencabutan itu menjadi karunia. Jika engkau mendapat hukuman, sedangkan engkau tetap sabar, maka hukumanNya adalah suatu rahmat bagimu. Jika engkau mendapat musibah itu adalah obat ruhani bagimu. Jika engkau mendapat kemurahanNya, sedangkan engkau banyak bersyukur, maka karunia itu merupakan suatu kebaikan bagimu.
Ketahuilah jika Allah menghendaki sesuatu maka cukup dengan berfirman “Kun-jadilah!” maka segala sesuatu yang di kehendakiNya itu terjadi (maujud). Maka seluruh tindakanNya baik, bijak dan tepat. Kecuali salah satu rahasia; Dia merahasiakan waktu kapan Dia berkehendak atas hambanya.
Oleh sebab itu seorang hamba sebaiknya selalu berpasrah dan mengabdi kepadaNya, menghindari segala larangan-laranganNya, ikhlas menerima ketentuanNya. Jangan sekali-kali menyalahkan Allah atas takdirNya yang tak meng-enak-kan dan ditimpakan kepadamu. Abdullah bin Abbas berkata:
 “Ketika berada di belakang Rasulullah SAW, beliau berkata kepadaku : Anakku, jagalah kewajiban-kewajiban terhadap Allah, maka Allah akan menjagamu; jagalah kewajiban-kewajiban terhadap Allah maka kau akan mendapatiNya di depanmu.”
Kini engkau telah mengetahui dan menyadari betapa pentingnya sifat tawadluk dan taat kepada Allah. Oleh sebab itu jika engkau membutuhkan pertolongan, jangan sekali-kali minta pertolongan kepada sesama makhluk, tetapi mintalah dan bermohonlah kepada Allah. Misalkan sebuah pena, jika telah menuliskan segala sesuatu yang terjadi, maka tintanya menjadi kering.
Apabila si hamba-hamba Allah berupaya keras memberikan sesuatu kepada orang lain, padahal Allah tak menghendaki; maka ia tak akan mampu melakukannya. Apabila hamba-hamba Allah berusaha untuk merugikanmu, tetapi Allah tak menghendakinya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Mereka tak akan berhasil dalam upaya merugikanmu.
Oleh sebab itulah, maka jika engkau bisa melakukan sesuatu berdasarkan perintah Allah maka laksanakan sepenuh iman di dadamu. Namun jika engkau tak mampu melakukan yang demikian itu, maka hendaknya engkau bersabar dalam menghadapi sesuatu yang tak kau senangi atau yang tak kau sukai. Kemudian disertai dengan mengingat dan tafakkur bahwa di dalam sesuatu yang tak kau sukai itu terkandung banyak kebaikan.
Sadarilah bahwa pertolongan Allah datang melalui kesabaran dan keridhahan, dan ketahuilah bahwa dalam kesulitan itu terdapat kemudahan. Maka hendaklah setiap orang beriman itu menjadikan sunnah sebagai cermin bagi hatinya, sebagai perhiasan lahiriah dan ruhaninya. Hendaknya hadits sebagai dasar kedua setelah al-Qur’an dijadikan sebagai motto atau slogan hidup. Sehingga setiap gerak-gerik, ucapan dan sesuatunya berjalan atas aturan yang terdapat pada hadits tersebut. Hal yang demikian itu akan menjadikan kebaikan, hidup di dunia dan akhirat. Semoga Allah memberikan kemuliaan seorang mukmin yang berlaku konsekuen atas dasar al-Qur’an dan al-Hadits tersebut.

Related Posts:

Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh Satu: Keadaan Ruh Manusia

Risalah Ke-41
Keadaan Ruh Manusia

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang keempatpuluh satu ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Akan kuuraikan suatu perumpamaan tentang kelimpahan seorang raja terhadap rakyat jelata (orang biasa). Misalnya, pada suatu ketika ada orang dari rakyat jelata diangkat oleh sang raja menjadi gubernur. Tentu saja orang tersebut mendapatkan pakaian kehormatan, mendapatkan wewenang dalam wilayah bagian kekuasaannya, menjadi terhormat, mendapatkan beberapa prajurit dan pengawal. Lalu orang tersebut – berpendirian tolol – merasa bahwa jabatannya sebagai gubernur itu kekal sampai mata, ia yakin tak akan digantikan oleh siapa pun. Semangatnya berkobar menyala – nyala. Karena bergelimang harta, kenikmatan, kehormatan, dan disegani, akhirnya dia lupa,, waktu beberapa tahun lalu keadaannya adalah sebagai rakyat biasa yang tiada terhormat  (seperti sekarang ini ).
Sang gubernur – yang adalah berasal dari orang jelata tadi – menjadi lupa daratan. Ia membanggakan diri, sombong terhadap sesama manusia terutama rakyatnya. Perbuatan yang dilakukan ternyata keluar dari aturan perundang-undangan dan keputusan Raja. Bahkan tidak segan-segannya ia melanggar aturan raja, dengan anggapan Raja tak selamanya mengawasi kerjanya. Akhirnya dia dipanggil keistana untuk menghadap Raja karena perbuatan busuknya itu. Dia dimintai pertangggung jawabannya di hadapan Raja. Karena perbuatannya yang buruk, Raja pun menjatuhkan hukuman bagi dirinya (orang tersebut). Ia dipecat dari jabatannya sebagai gubernur kemudian dijebloskan dalam penjara.
Dalam penjara orang yang sebelumnya menjadi gubernur itu kini menjadi sangat hina, tidak berharga sama sekali. Ia menikmati penderitaan, siksaan dan hidup dalam kegelapan serta ruangan sempit lagi pengap. Keadaan yang demikian ini berlangsung lama, sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya.
Dalam kurun waktu tertentu, Raja meninjau hukumannya dan orang yang dihukum tersebut. Raja memberi kemurahan, sehingga ia membebaskan orang tersebut. Kini orang yang habis dipenjarakan menjadi lemah lembut dan menyadari kesalahan yang dilakukan sehingga ia menjadi dipenjara. Raja pun memperlakukan dengan kemurahan dan kelembutannya. Karena Raja tahu bahwa orang yang habis dipenjara itu sadar dan mengakui kesalahannya, dalam penjara melakukan penyesalan, maka Raja kemudian memberikan jabatan dan berbagai kemuliaan. 

Related Posts: