Konsep Dasar Studi Islam

Sub judul ini telah dipakai sebagai salah satu sumber referensi kalangan mahasiswa. Dan telah dijadikan salah satu buku referensi di salah satu Universitas Islam di wilayah Jawa Timur. File bisa di unduh di akhir postingan. Semoga bisa menjadi manfaat bagi semua kalangan yang membutuhkan.


KONSEP DASAR STUDI ISLAM
Oleh: Sulaiman, S.Pd.I


1. Pengertian Studi Islam
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu.
Studi Islam secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. Dengan kata lain studi Islam  adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaanya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.[1]
Adapun pengertian Islam secara  terminologi sebagaimana yang dirumuskan para ahli, ulama dan cendekiawan bersifat sangat beragam, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Salah satu rumusan defenisi Islam adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW sebagaimana terdapatrt dalam al-qur’an dan sunnah, berupa undang-undang serta aturan-aturan hidup, sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, untuk mencapai kesejahteraan kedamaian hidup didunia dan akhirat.[2]
Secara harfiyah Atho’ Mudzhar mengatakan bahwa objek kajian agama Islam adalah substansi ajaran-ajaran Islam, seperti kalam, fiqih, dan tasawuf. Dalam aspek ini, agama lebih bersifat penelitian budaya. Hal ini mengingat bahwa ilmu-ilmu keIslaman semacam ini merupakan salah satu bentuk doktrin yang dirumuskan oleh penganutnya yang bersumber dari wahyu Allah melalui proses penalaran dan perenungan. Ketika seseorang mempelajari bagaimana ajaran Islam tentang sholat, zakat, haji, tentangkonsep keesaan Allah, tentang argumen adanya Tuhan, tentang aturan etika dan nilai moral dalam Islam, berarti ia sedang mempelajari Islam sebagai gejala budaya.[3]
Menurut Muhammad Nurhakim, memang tidak semua aspek agama, khususnya Islam dapat menjadi objek studi. Dalam konteks khusus studi Islam, ada beberapa aspek tertentu dari Islam yang dapat menjadi objek studi, yaitu : 

  1. Islam sebagai doktrin dari Tuhan yang kebenarannya bagi para pemeluknya sudah final, dalam arti absolut, dan diterima secara apa adanya. 
  2. Islam sebagai gejala budaya yang berarti seluruh apa yang menjadi kreasi manusia  dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya. 
  3. Islam sebagai wahana Interaksi sosial yaitu realitas umat Islam.[4]
Sementara menurut Muhammmad Amin Abdullah terdapat tiga wilayah keilmuan agama Islam yang dapat menjadi obyek studi Islam:
1.     Wilayah praktek keyakianan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah diinterpretasikan sedemikian rupa oleh para ulama, tokoh panutan masyarakat pada umumnya. Wilayah praktek ini umumnya tanpa melalui klarifikasi dan penjernihan teoritik keilmuan yang di pentingkan disisni adalah pengalaman.
2.     Wilayah tori-teori keilmuan yang dirancang dan disusun sistematika dan metodologinya oleh para ilmuan, para ahli, dan para ulama sesuai bidang kajiannya masing-masing. Apa yang ada pada wilayah ini sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah “teori-teori” keilmuan agama Islam, baik secara deduktif dari nash-nash atau teks-teks wahyu , maupun secara induktif dari praktek-praktek keagamaan yang hidup dalam masyarakat era kenabian, sahabat, tabi’i>n maupun sepanjang sejarah perkembangan masyarakat muslim dimanapun mereka berada.
3.    Telaah teritis yang lebih popular disebut metadiscourse, terhadap sejarah perkembangan jatuh bangunnya teori-teori yang disusun oleh kalangan ilmuan dan ulama pada lapis kedua. Wilayah pada lapis ketiga yang kompleks dan sophisticated inilah yang sesungguhnya dibidangi oleh filsafat ilmu-ilmu keIslaman.[5]

2. Tujuan studi Islam
Bagi umat Islam, mempelajari Islam mungkin untuk memantapkan keimanan dan mengamalkan ajaran Islam, sedangkan bagi non muslim hanya sekedar diskursus ilmiah, bahkan mungkin mencari kelemahan umat Islam dengan demikian tujuan studi Islam adalah sebagai berikut:
Pertama, untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup. Memahami dan mengkaji Islam direfleksikan dalam konteks pemaknaan yang sebenarnya bahwa Islam adalah agama yang mengarahkan pada pemeluknya sebagai hamba yang berdimensi teologis, humanis, dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan studi Islam, diharapkan tujuan di atas dapat di tercapai.
Kedua, untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai wacana ilmiah secara transparan yang dapat diterima oleh berbagai kalangan. Dalam hal ini, seluk beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku bagi umat Islam dijadikan dasar ilmu pengetahuan. Dengan kerangka ini, dimensi-dimensi Islam tidak hanya sekedar dogmentis, teologis. Tetapi ada aspek empirik sosiologis. Ajaran Islam yang diklain sebagai ajaran universal betul-betul mampu menjawab tantangan zaman, tidak sebagaimana diasumsikan sebagian orientalis yang berasumsi bahwa Islam adalah ajaran yang menghendaki ketidak majuan dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Dalam adagium us}uliyyah dinyatakan bahwa al-umu>r bi maqas}idiyyah, bahwa setiap tindakan dan aktifitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Adagium ini menunjukkan bahwa pendidikan serharusnya berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan semata –mata berorientasi pada sederetan materi. Sehingga tujuan studi Islam terlebih dahulu harus dirumuskan, sebelum komponen-komponen lainnya.[6]
Studi Islam diharapkan akan lebih jelas arahnya. Tujuan ini menjadi semacam titik yang akan dituju dengan berbagai sarana dan metode untuk mencapainya. Dengan kerangka tujuan semacam ini, studi Islam diharapkan tidak sekedar sebagai sebuah wawasan normatif, tetapi juga konstektual, aplikatif, dan memberikan kontribusi konkret terhadap dinamika dan perkembangan yang ada.

3. Ruang Lingkup Studi Islam
Pembahasan kajian keIslaman mengikuti wawasan dan keahlian para pengkajinya, sehingga terkesan ada nuansa kajian mengikuti selera pengkajinya. Secara material, ruang lingkup kajian Islam dalam tradisi kajian Barat (orientalism scholar) meliputi pembahasan mengenai ajaran, doktrin, pemikiran, teks, sejarah dan institusi keIslaman. Pada awalnya, ketertarikan sarjana Barat terhadap pemikiran Islam lebih karena kebutuhan atas penguasaan daerah koloni. Mengingat daerah koloni pada umumnya adalah negara-negara yang banyak di domisili warga negara yang beragama Islam, sehingga mau tidak mau mereka harus paham tentang budaya lokal. Kasus ini dapat dilihat pada perang aceh, snouck hurgronje (sarjana Belanda) telah mempelajari Islam terlebih dahulu sebelum diterjunkan dilokasi dengan asumsi ia telah memahami budaya dan peradaban masyarakat aceh yang mayoritas beragama Islam. Islam dipelajari oleh snouck hurgronje dari sisi landasan normatif maupun praktek bagi para pemeluknya, kemudian dibuatlah rekomendasi kepada para penguasa kolonial untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.
Islam dipahami dari sisi ajaran, doktrin dan pemahaman masyarakat dengan asumsi dapat diketahui tradisi dan kekuatan masyarakat setempat. Setelah itu, pemahaman yang telah menjadi input bagi kaum orientalis diambil sebagai dasar kebijakan oleh para penguasa kolonial yang tentunya lebih menguntungkan mereka dibanding rakyat banyak di wilayah jajahannya. Hasil studi ini sesungguhnya lebih menguntungkan kaum penjajah. Atas dasar masukan ini para penguasa kolonial dapat mengambil kebijakan daerah koloni dengan mempertimbangkan budaya lokal. Atas masukan ini, para penjajah mampu membuat peta kekuatan sosial masyarakat terjajah sesuai dengan kepentingan dan keuntungannya.[7]
Menurut Muhammad Nurhakim, memang tidak semua aspek agama, khususnya Islam dapat menjadi objek studi. Dalam konteks khusus studi Islam, ada beberapa aspek tertentu dari Islam yang dapat menjadi objek studi, yaitu :
1.  Islam sebagai doktrin dari Tuhan yang kebenarannya bagi para pemeluknya sudah final, dalam arti absolut, dan diterima secara apa adanya.
2.  Sebagai gejala budaya yang berarti seluruh apa yang menjadi kreasi manusia  dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
3.  Interaksi sosial yaitu realitas umat Islam.
Menurut M. Atho’ Mudzhar menyatakan bahwa objek kajian agama Islam adalah substansi ajaran-ajaran Islam, seperti kalam, fiqih, dan tasawuf. Dalam aspek ini, agama lebih bersifat penelitian budaya. Hal ini mengingat bahwa ilmu-ilmu keIslaman semacam ini merupakan salah satu bentuk doktrin yang dirumuskan oleh penganutnya yang bersumber dari wahyu Allah melalui proses penalaran dan perenungan. Ketika seseorang mempelajari bagaimana ajaran Islam tentang sholat, zakat, haji, tentangkonsep keesaan Allah, tentang argumen adanya Tuhan, tentang aturan etika dan nilai moral dalam Islam, berarti ia sedang mempelajariIslam sebagai gejala budaya.[8]

4. Pertumbuhan dan Obyek Studi Islam
Studi Islam, pada masa-masa awal, terutama masa Nabi dan sahabat, dilakukan di Masjid. Pusat-pusat studi Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Amin, Sejarawan Islam kontemporer, berada di Hijaz berpusat Makkah dan Madinah; Irak berpusat di Basrah dan Kufah serta Damaskus. Masing-masing daerah diwakili oleh sahabat ternama.[9]
Pada masa keemasan Islam, pada masa pemerintahan Abbasiyah, studi Islam di pusatkan di Baghdad, Bait al-Hikmah. Sedangkan pada pemerintahan Islam di Spanyol di pusatkan di Universitas Cordova pada pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar Al-Dahil. Di Mesir berpusat di Universitas al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah dari kalangan Syi’ah.
Studi Islam sekarang berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik Islam maupun yang bukan Islam. Di Indonesia studi Islam dilaksanakan di UIN, IAIN, STAIN. Ada juga sejumlah Perguruan Tinggi Swasta yang menyelengggarakan Studi Islam seperti Unissula (Semarang) dan Unisba (Bandung).
Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan di beberapa negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarch University India, Studi Islam di bagi mnjadi dua: Islam sebagai doktrin di kaji di Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Jurusan Madzhab Syi’ah. Sedangkan Islam dari Aspek sejarah di kaji di Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di Jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program di kaji di Fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persian Studies, dan Political Science.
Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan di Chicago University. Secara organisatoris, studi Islam berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Dilembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.
Di Amerika, studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu social. Studi Islam di Amirika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.
Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen. Pertama, doktrin dan sejarah Islam; kedua, bahasa Arab; ketiga, ilmu-ilmu social, sejarah, dan sosiologi. Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies (Fakultas Studi Ketimuran dan Afrika) yang memiliki berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia dan Afrika.[10]
Dengan demikian obyek studi Islam dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu, sumber-sumber Islam, doktrin Islam, ritual dan institusi Islam, Sejarah Islam, aliran dan pemikiran tokoh, studi kawasan, dan bahasa.

5. Pendekatan-pendekatan dalam studi Islam
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendekatan adalah proses perbuatan, cara mendekati, usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode – metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian.
Secara termonologi Mulyanto Sumardi menyatakan bahwa pendekatan bersifat axiomatic. Ia terdiri dari serangkaian asumsi mengenai hakikat bahasa dan pengajaran bahasa serta belajar bahasa. Bila dikaitkan dengan pendidikan Islam pendekatan mempunyai arti serangkaian asumsi mengenai hakikat pendidikan Islam dan pengajaran agama Islam serta belajar agama Islam.[11]
Selain itu ada beberapa istilah lain yang mempunyai arti yang hampir sama dan menunjukkan tujuan yang sama dengan pendekatan yaitu theoretical framework, conceptual framework, approach, perspective, point of fiew  (sudut pandang dan paradigm). Semua istilah ini bisa diartikan sebagai cara memandang dan cara menjelaskan suatu gejala atau peristiwa.[12]
Jika dipandang, pendekatan berarti paradigma sedangkan cara menghampiri atau memandang, pendekatan berarti perspektif atau sudut pandang. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa pendekatan berarti disiplin ilmu. Maka ketika disebut studi Islam dengan pendekaan sosiologis sama artinya dengan mengkaji Islam dengan menggunakan disiplin ilmu sosiologi. Konsekuensinya, pendekatan di sini menggunakan teori atau teori-teori dari disiplin ilmu yang di jadikan sebagai pendekatan.
Oleh karena itu arti pendekatan dalam agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis saja melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya sehingga apabila terjadi perbedaan pendapat dalam memahami makna pendekatan itu sendiri merupakan hal yang wajar namun dari semua pendapat diatas dapat dipahami bahwa pendekatan mempunyai peranan yang sangat penting dalam studi Islam karena terkait dengan pemahaman tentang Islam itu sendiri.

a.    Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal-formal atau normatifnya.[13] Legal-formal adalah hukum yang ada hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul fikih (usuliyyi>n), ahli hukum Islam (fuqaha>), ahli tafsir (mufassiri>n) dan ahli hadits (muhaddithi>n) ada hubungannya dengan aspek legal-formal serta ajaran Islam dari sumbernya termasuk pendekatan normatif.
Sisi lain dari pendekatan normatif secara umum ada dua teori yang dapat digunakan bersama pendekatan normatif-teologis. Teori yang pertama adalah  hal - hal yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran serta dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Teori yang kedua adalah hal-hal yang sulit dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan secara empirik biasanya disebut masalah yang berhubungan dengan ra’yi (penalaran).
Sedang masalah-masalah yang tidak berhubungan dengan empirik (ghaib) biasanya diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan kepercayaan. Hanya saja cukup sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang masuk klasifikasi empirik dan mana yang tidak terjadi sehingga menyebabkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan normatif adalah sikap kritis.
Adapun beberapa teori popular yang dapat digunakan dengan pendekatan normatif disamping teori-teori yang digunakan oleh para fuqaha’, usuluyin, muhaddithin dan mufassirin diantara adalah teori teologis-filosofis yaitu pendekatan memahami Al Qur’an dengan cara menginterpretasikannya secara logis-filosofi yakni mecari nilai-nilai objektif dari subjektifitas Al Quran.
Teori lainnya adalah normatif-sosiologis atau sosiologis seperti yang ditawarkan Asghar Ali Engerineer dan Tahir al-Haddad yakni dalam memahami nash (Al Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW.) selain itu ada pemisahan antara nash normatif dengan nash sosiologis.Nash normatif adalah nash yang tidak tergantung pada konteks. Sementara nash sosilogis adalah nash yang pemahamannya harus disesuaikan dengan konteks waktu, tempat dan lainnya.
Dalam aplikasinya pendekatan nomatif tekstualis tidak menemui kendala yang berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam normatif yang bersifat Qat}’i. Persoalanya justru akan semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada realita dalam Al-Quran bahkan diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas contoh yang paling kongkrit adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas muslim yang sudah mentradisi secara turun temurun, seperti slametan (tahlilan atau kenduren).
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan normatif tekstualis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan normatif tektualis sebagaimana disebutkan diatas telah menunjukan adanya kekurangan seperti eksklusif dogmatis yang berarti tidak mau mengakui adanya paham golongan lain bahkan agama lain dan sebagainya. Namun demikian melalui pendekatan norrmatif tektualis ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama sehingga berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar tanpa memandang dan meremehkan agama lainya.

b.    Pendekatan Semantik
Semantik dalam bahasa Yunani adalah semantikos yang berarti memberikan tanda.Berasal dari akar kata sema yang berarti tanda.Semantik menurut Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltan schaung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.
Semantik merupakan istilah teknik yang menunjuk pada studi tentang makna. Semantik berarti teori makna atau teori arti yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna. Semantik terdiri dari dua komponen yaitu komponen yang mengartikan yang berbentuk bunyi-bunyi bahasa  dan komponen yang. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah suatu yang berada di luar bahasa yang biasa.
Maksud dari pendekatan semantik diatas adalah kajian yang menekankan pada aspek bahasa. Maka studi Islam dengan menggunakan pendekatan semantik sama artinya dengan studi tentang Islam dengan menekankan pada unsur bahasa yang dalam bahasa Arab sering disebut dengan lughawi. Pendekatan ini sudah demikian popular dalam kajian tafsir dan fiqh.Dalam penelitian hukum Islam dengan pendekatan semantik ada dua pendekatan yang umum digunakan yakni sisi bahasa,sisi illat dan hikmah (analogi dan hikmah).Maka yang dimaksud semantik adalah sisi bahasa yang cakupan bahasanya demikian luas  antara lain sisi struktur atau gramatikal, tunjukannya dan (3) maknawi.[14]
Semantik dalam studi Islam digunakan untuk mengetahui makna sebuah kata atau kalimat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits atau lainnya. Hal ini sangat penting mengingat satu pendekatan dapat dimengerti apabila diketahui artinya dengan benar. Dengan demikian, konsep atau pengertian dari kosakata itu menjadi jelas atau memperjelas makna kata yang kabur. Menurut Az-Zarkasyi, pendekatan ini sama saja dengan memperjelas sesuatu yang global sehingga menentukan kemungkinan makna lain selain yang dikehendaki,mengkhususkan yang umum atau mengikat yang mutlak contohnya arti kata kufur adalah tutup,penutup,berkaitan dengan memberi dan menerima keuntungan, alu bermakna “mengabaikan dengan sengaja kenikmatan yang diperoleh” yang akhirnya bermakna “tidak berterima kasih”.
Berikut adalah contoh penerapkan teori semantik pada salah satu kata kunci dalam Al-Qur’an yaitu kata nisaa sebagai objek terapan dari pendekatan semantik.Kata nisaa mempunyai nama lain di Al Qur’an dalam berbagai bentuk diantaranya niswah, nisa> ukum, nisa> ikum, nisa> uhum, nisa> ihim, nisa> ihinna dan nisa> ana terulang sebanyak 56 kali dalam Al-Qur’an namun kesemuanya mewakili objek perempuan meski disebutkan dalam konteks yang berbeda-beda, seperti:
1.    Tentang wanita haidh dan keadaannya dalam (QS. Al-Baqarah: 222)
2.    Tentang wanita sebagai perhiasan dalam (QS. Ali-Imran: 14)
3.    Perempuan sebagai bagian dari proses regenerasi dalam (QS. An-Nisaa: 1)
4.    Tentang hak perempuan dalam pewarisan dalam (QS. An-Nisaa: 7)
5.    Perempuan dalam berkarir atau berkarya (QS. An-Nisaa: 32)
6.    Tentang posisi dalam bidang keluarga (QS. An-Nisaa: 34)

Dilihat dari komponennya nisa> berarti perempuan, secara umum tanpa peduli dia kaya atau miskin, cantik atau tidak, baik beriman maupun kafir. Nisa> yang memiliki makna dasar perempuan secara umum tersebut jika diterapkan pada sebuah ayat akan menampakkan beberapa fungsi darinya, sebagaimana makna relasional. Seperti jika dilihat kombinasi pada ayat-ayat di atas, akan menunjukkan adakalanya nisaa menunjukkan pada sosok makhluk yang memiliki potensi nafsu. Atau ada kalanya dia adalah makhluk sebagai oposisi biner dari kaum laki-laki yang memiliki fungsi yang sama penting dalam proses regenerasi.
Dari analisa semantik pada ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata nisaa menunjukkan objek perempuan secara umum dengan segala peran dan kedudukannya antara lain:
1.  Dalam ranah sosial yaitu perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkarir dan mendapatkan reward atas apa yang telah dikerjakan serta hak untuk mendapatkan harta pusaka.
2.  Dalam aspek alamiah sebagai penyempurna laki-laki dalam melak-sanakan peran reproduksi dan regenerasi.
3.  Dalam ranah spiritual yaitu perempuan memiliki potensi untuk menjadi hamba yang unggul dengan sebuah ketaqwaan.

c.    Pendekatan Filologi
Filologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu kata philos yang berarti cinta dan logos yang berarti pembicaraan,kata atau ilmu. Pada kata filologi kedua kata itu secara harfiyah membentuk arti cinta kata-kata atau senang bertutur yang kemudian berkembang menjadi senang belajar, senang kepada ilmu, senang kebudayaan sehingga dalam perkembangannya sekarang filologi identik dengan senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi’.
Filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas yang mencakup sastra bahasa dan kebudayaan. Maka filologi berguna untuk meneliti bahasa, meneliti kajian linguistik,makna kata-kata dan penilaian terhadap ungkapan karya sastra.[15] Dalam lingkup kajian linguistik filologi sering dirujuk sebagai ilmu untuk memahami teks dan bahasa kuno. Atas dasar anggapan lingusitik itulah dalam tradisi akademik istilah filologi dijelaskan sebagai kajian terhadap sebuah bahasa tertentu bersamaan dengan aspek kesusasteraan dan konteks historis serta aspek kulturalnya.
Dalam hal ini dapat pula dijelaskan bahwa lingkup kajian filologis meliputi kajian tentang tata bahasa, gaya bahasa, sejarah dan penafsiran tentang pengarang serta tradisi kritikal yang dikaitkan dengan bahasa yang disampaikan. Oleh karena itu jika filologi digunakan untuk memahami suatu bahasa maka pendekatan yang memakai disiplin ilmu ini dimaksudkan untuk mencari pemahaman terhadap asal usul bahasa tersebut.
Ada dua hal pokok dalam kegiatan filologi.[16] yaitu:
1.  Penulisan atau penyalinan kembali terhadap teks asli
2.         Pemahaman atau memahami teks asli yang ada
Sebagai konsekuensinya ada beberapa hal yang mungkin terjadi yaitu :
1.    Kesalahan dan perubahan
Kesalahan terjadi karena beberapa kemungkinan yakni
a.    Kurang memahami bahasa
b.    Kurang memahami pokok persoalan teks
c.     Tulisannya kurang jelas
d.  Salah baca atau kurang teliti.
2.    Perubahan dapat terjadi karena
a.  Memang disengaja oleh penyalin dengan anggapan ada ketidak tepatan dalam teks asli. Maka yang ingin dikaji oleh filologi adalah memahami dan menyalin teks untuk disesuaikan dengan teks aslinya.
b.  Untuk membahasakan sesuai dengan bahasa yang ada pada masa filologi.
Istilah pendekatan filologis mencakup pengertian - pegertian istilah akademik, baik sebagai kajian bahasa secara umum yang disebut sebagai filologi klasik, maupun perkembangan mutakhirnya yang mengalami penyempitan sebagai bagian dari ilmu linguistik modern.
Dalam perkembangan terakhirnya filologi menitikberatkan pengkajiannya pada perbedaan yang ada dalam berbagai naskah sebagai suatu penciptaan dan melihat perbedaan-perbedaan itu sebagai alternatif yang positif. Dalam hubungan ini suatu naskah dipandang sebagai penciptaan kembali (baru) karena mencerminkan perhatian yang aktif dari pembacanya. Sedangkan varian-varian yang ada diartikan sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif untuk memahami,menafsirkan dan membetulkan teks bila ada yang dipandang tidak tepat. 
Obyek kajian filologi adalah teks sedang sasaran kerjanya berupa naskah. Naskah merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan peninggalan tulisan masa lampau dan teks merupakan kandungan yang tersimpan dalam suatu naskah. Naskah sering pula disebut dengan manuskrip atau kodeks yang berarti tulisan tangan.
Naskah yang menjadi obyek kajian filologi mempunyai karaktristik bahwa naskah tersebut tercipta dari latar social budaya yang sudah tidak ada lagi atau yang tidak sama dengan latar social budaya masyarakat pembaca masa kini dan kondisinya sudah rusak. Bahan yang berupa kertas dan tinta serta bentuk tulisan, dalam perjalanan waktu telah mengalami kerusakan atau perubahan. Gejala yang demikian ini terlihat dari munculnya berbagai variasi bacaan dalam karya tulisan masa lampau. 
Istilah pendekatan filologis mencakup pengertian-pegertian istilah akademik, baik sebagai kajian bahasa secara umum yang disebut sebagai filologi klasik, maupun perkembangan mutakhirnya yang mengalami penyempitan sebagai bagian dari ilmu linguistik modern.
1.        Filologi Klasik
Lepas dari sentuhan mutakhir dalam perkembangan ilmu filologi, pendekatan ilmiah yang memakai filologi sebagai alat analisis dalam sejarah perkembangan kajian al-Qur’an dan ulumul al-Qur’an atau dalam kajian Islam secara umum sudah dilakukan sejak lama lantaran materi al-Qur’an dan Hadis tertuang dalam bahasa Arab.
2.        Filologi Modern
Penelitian terhadap bidang kajian tafsir hadis melalui pendekatan filologi dalam lingkup akademiknya secara modern dalam ilmu linguistik modern menemukan arti pentingnya dalam mengkaji relasi transkripsi sebuah teks dengan sumber-sumber aslinya.

d.    Pendekatan Hermaneutika
Kata hermaneutika berasal dari kata yunani hermeneuien yang berarti mengartikan, penafsirkan, menerjemahkan, bertidak sebagai penafsir.[17] Dalam mitodologi yunani ada tokoh yang namanya yang dikaitkan dengan hermaneutika yaitu Hermes. Menurut mitos, Hermes (Nabi Idris) bertugas untuk menafsirkan kehendak dewa dengan bantua kata-kata manusia agar dapat memehami kehendak dewa sebab bahasa dewa tidak bisa dipahami manusia.
Hermeneutika juga dikenal sebagai bentuk metode filsafat kontemporer yang mencoba menguak makna teks.Teks tersebut didialogkan oleh reader dan dikomunikasikan dengan the world of the teks.[18]
Munculnya pendekatan hermaneutika bertujuan untuk menunjukan ajaran tentang aturan-aturan yang arus diikuti dalam penfsiran sebuah teks masa lampau,khususnya teks kitab suci dan teks kitab klasik.Hermaneutika diutuhkan karena teks merupakan symbol yang mengadung makna ketika dilihat oleh pembaca karena pada saat itu pembaca di sudutkan pada dua kondisi yang bersamaan yaitu Akrab atau kenal (familiar) dan asing (alien) dengan teks.
Akan tetapi dalam abad19, hermaneutika dalam arti luas meliputi hampir semua tema filosofis tradisional, sejauh berkaitan dengan masalah bahasa. Dalam peluasan pengertian, Hans George Gademer meringkas teori hermaneutika secara filosofis dalam tiga aktivitas aksistensi manusia: subtilitas intellegendi yang berarti memahami (understsnding), subtilitas explicandi yang berarti menjelaskan atau menguraikan makna yang tersirat menjadi makna tersurat dan subtilitas applicandi yang berarti menerapkan atau mengaitkan makna suatu teks dengan situasi baru dan kini.
Dalam studi hermaneutika unsur interprensi merupakan kegiatan yang paling penting sebab interprensi merupakan landasan bagi metode hermaneutika. Pendekatan Hermeneutik menurut F.A. Wolf memberikan interpretasi gramatikal (aspek kebahasaan),histories (tempat dan waktu) dan retorik (semangat kejiwaan, latar belakang, tujuan dan makna filosofis yang terkandung dalam suatu ide).[19]
Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan  ini bukan didasarkan atas penentuan waktu melainkan bersifat alamiah. Sebab menurut kenyataannya bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi dan sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan ‘lingkaran hermeneutic’.
Aspek lain dalam hermeneutic yang sangat penting adalah bagaimana mengungkap makna sebuah teks yang asing. Teks memang mempunyai sistem makna tersendiri dan menyuarahkan sejumlah makna. Namun teks hanya sebuah tulisan yang belum tentu mewakili pikiran si penulis secara akurat.
Oleh karena itu, dalam memperoleh makna yang sebenarnya dibalik teks, dibutuhkan perhatian secara serius untuk mempertimbangkan berbagai variabel yang ada. Ada tiga variabel yang berperan pada saat kita dihadapkan dengan proses mengartikan, menerjemahkan dan menafsirkan pada sebuah teks.Teks terjadi komunikatif bila tiga variabel ini diperhatikan yaitu the world of teks, the world of author dan the world of reader.
Dalam konteks studi Islam, hermeneutic biasanya dipahami sebagai ilmu tafsir yang mendalam dan bercorak filosofis sementara apabila menyinggung mengenai tafsir orang pasti akan teringat kepada salah satu variabel dalam agama yaitu kitab suci. Meskipun demikian, operasionalisasi hermeneutic secara utuh sering kali ditentang oleh umat Islam tradisional karena membawa tiga macam aplikasi yang bertentangan dengan pendirian para ilmuan muslim konfensional. Tiga macam implikasi tersebut adalah
1.  Hermeneutic membawa implikasi tanpa konteks teks itu tidak berharga dan bermakna sementara ide tradisional menyatakan bahwa makna yang sebenarnya itu apa yang dimaksud oleh Allah.
2.  Hermeneutika memberi penekatan kepada manusia sebagai perantara yang menghasilkan makna, sementara ide tradisional menyatakan bahwa Tuhan sebenarnya yang menganuhgrahkan pemahman yang benar  kepada seseorang.
3.  Ilmuan muslim tradisional telah membuat perbedaan yang tidak terjembatani antara teks Al Qur’an serta tafsir dan penerimanya, teks Al Qur’an dianggap sebagai cakral sehingga makna sebenarnya tidak mungkin bisa dicapai.

e.    Pendekatan Wacana
Pendekatan wacana lebih umum disebut analisis wacana. Analisis ini digunakan untuk melacak dan menganalisis historisitas lahirnya konsep lengkap dengan latar belakangnya. Teori yang umum digunakan dengan pendekatan ini adalah teori Arkeologi Ilmu Pengetahuan yang ditawarkan Michel Foucault (1926-1984).[20]
Analisis wacana atau pendekatan wacana adalah studi tentang stuktur pesan dalam komunikasi. Lebih tepatnya analisis wacana berhubungan dengan aneka fungsi (pragmatik) bahasa dalam penggunaan bahasa dan kesinambungan atau untaian wacana.
Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang di dalamnya terdapat cara komunikasi bukan serbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat fungsi yang disebut wacana. Dalam upaya menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat tersebut, analisis wacana tidak terlepas dari pemakaian kaidah berbagai cabang ilmu bahasa seperti halnya semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi.
Dari segi analisisnya, ciri dan sifat wacana itu dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa di dalam masyarakat (rule of use – menurut Widdowson).
2.  Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi (Firth).
3.  Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui interprestasi semantik (Beller)’
4.  Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa (what is said from what is done – menurut Labov).
5.  Analisa Wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungional (functional use of language – Coulthard)
f.     Pendekatan Historis
Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.[21]
Melalui pendekatan sejarah ini seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan histories.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena gama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an ia sampai pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkadung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hokum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.

6. Metode Studi Islam
Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dpandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru yang harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang digunakan dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan, dan pendekatan filodofis. Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan dalam konteks penelitian), adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat, menandasakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu social, penelitian filosofis, atau penelitian legalistic.[22]
Pendekatan - pendekatan tersebut dimaksudkan bukanlah sebagai pendekatan - pendekatan yang dilaksanakan secara terpisah satu dengan yang lainnya, melainkan merupakan satu kesatuan sistem yang dalam pelaksanaannya secara serempak yang satu melengkapi lainnya (complement) atau merupakan system pendekatan system (systemic approach) .
Dalam hubungannya dengan Studi Islam, metodologi berarti membahas kajian-kajian seputar berbagai macam metode yang bisa digunakan dalam Studi Islam. Adapun metode studi Islam yang dipakai adalah sebagai berikut :
1.  Metode Ilmu Pengetahuan
Metode ilmu peuju pengetahuan atau metode ilmiah yaitu cara yang harus dilalui oleh proses ilmu sehingga dapat mencapai kebenaran. Oleh karenanya maka dalam sains-sains spekulatif mengindikasikan sebagai jalan menuju proposisi-proposisi mengenai yang ada atau harus ada, sementara dalam sains-sains normative mengindikasikan sebagai jalan menuju norma-norma yang mengatur perbuatan atau pembuatan sesuatu.
2.                                 Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari Islam menonjolkan aspek sejarah. Metode ini memberi kemungkinan adanya studi komparasi tentang berbagai penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, sehinggga umat Islam memiliki pengetahuan yang relevan, hubungan sebab akibat dan kesatuan integral. Metode diakronis disebut juga metode sosiohistoris, yakni suatu metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, sejarah atau kejadian dengan melihat suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan, dan lingkungan dimana kepercayaan, sejarah atau kejadian itu muncul.
3.  Metode Sinkronis-Analistis
Suatu metode mempelajari Islam yang memberikan kemampuan analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimananan dan mental intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan telaah teoritis.
4.  Metode Problem Solving (h}ill al-musykilat)
Metode mempelajari Islam yang mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari satu cabang ilmu oengetahuan dengan solusinya. Metode ini merupakan cara penguasaan ketrampilandari pada pengembangan mental-intelektual, sehingga memiliki kelemahan, yakni perkembangan pemikiran umat Islam mungkin hanya terbatas pada kerangka yang sudah tetap dan akhirnya bersifat mekanistis.
5.  Metode Empiris
Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan umat Islam mempelajari ajarannya melalui proses realisasi, dan internalisasi norma dan kaidah Islam dengan satu proses aplikasi yang menimbulakan suatu interaksi sosial, kemudian secar deskriptif proses interaksi dapat dirumuskan dan suatu norma baru.
6.  Metode Deduktif (al-Manhaj al-Ist}inbat}iyyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah secar logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah itu diaplikasikan untuk menuntukan masalah yang dihadapi. Metode ini dipakai untuk sarana meng-istinbatkan hukum-hukum syara’, dan kaidah-kaidah itu benar bersifat penentu dalam masalah-masalah furu’ tanpa menghiraukan sesuai tidaknya  dengan paham mazhabnya.
7.                                 Metode Induktif (al-Manhaj al-Istiqraiyyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah hokum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu’  yang disesuaikan denagn madzhabnya terlebih dahulu. Metode pengkajiannya dimulai dari masalah-masalah khusus, lalu dianalisis, kemudian disusun kaidah hukum dengan catatan setelah terlebih dahulu disesuaikan dengan paham mazhabnya.[23]

Rangkuman
1. Studi Islam secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. Dengan kata lain studi Islam  adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaanya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.
2. Tujuan studi Islam Bagi umat Islam, mempelajari Islam mungkin untuk memantapkan keimanan dan mengamalkan ajaran Islam, sedangkan bagi non muslim hanya sekedar diskursus ilmiah, bahkan mungkin mencari kelemahan umat Islam
3. Secara material, ruang lingkup kajian Islam dalam tradisi kajian Barat (orientalism scholar) meliputi pembahasan mengenai ajaran, doktrin, pemikiran, teks, sejarah dan institusi ke-Islam-an.
4. Aspek-aspek studi Islam meliputi aspek keagamaan dan aspek keilmuan.
5. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam studi Islam berupa pendekatan normatif, semantik, filologi, hermeneutika, wacana, dan hisitoris.



[1]     Rosihon Anwar, DKK,  Pengantar Studi Islam, (Pustaka Setia, Bandung, 2009), 25.
[2]     Ngainun Naim, pengantar studi islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), 1.
[3]     Atho’ Mudzhar, Metodologi Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
[4]     Moh. Nurhakim, Metodologi Studi Islam, (Malang: UMM Press, 2004), 3.
[5]     Ngainun Naim, pengantar studi islam, (Yogyakarta: TERAS, 2009), 1.
[6]     M. Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), 57.
[7]     Jamali Sahrodi, Metodelogi studi islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 57.
[8]     Ibid, 7-9.
[9]     Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Tt. Tc., 86.
[10]    Atang Abdul Hakim, & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosda Karya, 12.
[11]    Armai Arief, Pengantar Ilmu Metodelogi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 99.
[12]    Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), 190.
[13]    Ibid. 197
[14]    Ibid, 224.
[15]    Ibid, 225.
[16]  Ibid.
[17]    Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Teras,2009), 112.
[18]    M. Rikza Chamami, MSI, Studi Islam Kontemporer, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012),
[19]    Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), 229.
[20]    Ibid, 300.
[21] Taufik Abdullah, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987), h. 105.
[22] Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta; Tiara Wacana Yogyakarta, 1990, Cet. ke-2, h. 92
[23]    Muhaimin dkk. Pengantar Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2012), 15-17.



DOWNLOAD PDF

Related Posts:

0 Response to "Konsep Dasar Studi Islam"

Post a Comment