Berkembangnya isu politis mengenai radikalisme Islam
merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Radikalisme Islam
sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan
dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki
potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. Banyak label-label
yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut
gerakan Islam radikal ini, mulai dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis,
militan, Islam kanan, fundamentalisme, sampai terrorisme. Bahkan negara-negara
Barat pasca hancurnya ideologi
komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan
peradaban yang menakutkan.[1]
Gerakan perlawanan
rakyat Palestina atas penjajahan Israel, Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al-
Jazair, perilaku anti Amerika yang dipertunjukkan Mu’ammar Ghadafi ataupun
Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan, gerakan Muslim Kongo di
Afrika, gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti Amerika, gerakan Muslim
Rohingya di Myanmar, merebaknya solidaritas Muslim Indonesia terhadap
saudara-saudara yang tertindas, munculnya gerakan radikalis Islam Irak dan
Syria (yang dikenal dengan ISIS) dan sebagainya adalah fenomena yang terjadi di
dunia Islam dan dijadikan media Barat dalam mengampanyekan label radikalisme
Islam. Dalam perspektif pandangan dan media-media pemberitaan Barat, gerakan
Islam sudah menjadi fenomena yang perlu dicurigai. Terlebih-lebih pasca hancurnya
gedung WTC New York 11 September 2001 yang menurutnya dilakukan oleh kelompok
Islam garis keras (Al-Qaeda dan Taliban), semakin menjadikan term radikalisme
Islam lebih mengglobal yang berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat
dunia, terutama bangsa Barat dan Amerika Serikat serta Australia, terhadap
gerakan Islam. Hal yang demikian terjadi karena orang-orang Eropa Barat dan
Amerika Serikat berhasil melibatkan diri dan mengambil peran mewarnai media
sehingga mampu membentuk opini publik. Praktik-praktik kekerasan yang dilakukan
sekelompok Islam dengan membawa simbol-simbol agama telah dimanfaatkan oleh
orang-orang Barat dengan memanfaatkan media massa sebagai instrumen untuk memegang
kendali wacana peradaban, sehingga Islam terus menerus disudutkan.
Para ahli merumuskan beberapa
istilah mengenai radikalisme Islam, diantaranya adalah Nasution, yang mengatakan
Radikalisme Islam adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan
kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.[2]
Sedangkan Thalib, merumuskan istilah
radikalisme Islam merujuk pada munculnya berbagai gerakan Islam yang
menggunakan berbagai bentuk kekerasan dalam rangka perjuangan untuk mendirikan ‘Negara
Islam’.[3] Fealy dan Hooker
mendefinisikan Islam radikal (radical Islam) sebagai gerakan Islam yang hendak
melakukan perubahan dramatis baik di masyarakat maupun Negara.[4]
Al-Jabiriy menggunakan istilah ekstremis untuk islam radikal. Lebih lanjut
beliau mengatakan “ musuh bebuyutan Islam ekstrem adalah kelompok yang
paling dekat dengannya, yaitu Islam moderat. ”[5]
Al-Asymawi juga menggunakan istilah ekstrimisme untuk menyebut kelompok yang
ingin merebut kekuasaan dengan menunggangi isu agama.[6]
M. Imdadun Rahmat,
menggunakan terma revivalisme Islam (Islamic revivalism),[7]
Oliver Roy menggunakan istilah Islamism dan
Neo-fundamentalisme.[8] Sementara Khaled Abou
al-Fadl memakai terma puritan dengan merangkum istilah-istilah fundamentalis,
militan, ekstremis, radikal, fanatik, jihadis, dan Islamist.[9]
Meskipun demikian, Dekmejian melihat bahwa fundamentalisme, revivalisme, dan
Islamisme bersumsumtulang, bertali-temali, dan digunakan secara bergantian
dalam literatur gerakan Islam kontemporer, meskipun fundamentalisme di Barat akhirnya
lebih dikondisikan sebagai radikalisme dan terorisme.[10]
Namun, dari berbagai
istilah tersebut, istilah radikalisme dipandang lebih tepat ketimbang
fundamentalisme dan istilah-istilah lain, karena fundamentalisme sendiri
memiliki makna yang multitafsir. Fundamentalisme dalam perspektif Barat berarti
paham orang-orang kaku dan ekstrem serta tidak segan-segan melakukan kekerasan
dalam mempertahankan ideologinya. Sementara, dalam pemikiran teologi keagamaan,
istilah fundamentalisme lebih mengarah pada gerakan untuk mengembalikan seluruh
perilaku muslim untuk merujuk pada al-Qur’an dan hadis. Fundamentalis juga
terkadang ditujukan kepada kelompok yang berupaya mengembalikan Islam
(revivalis).[11] Menurut
Kuntowijoyo, fundamentalisme juga diartikan sebagai radikalisme dan terorisme dikarenakan
gerakan ini memiliki implikasi politik yang membahayakan negara-negara industri
di Barat.[12] Adapun menurut Fazlur
Rahman, fundamentalisme berarti anti-pembaratan (westernisme).[13]
Secara bahasa,
radikalisme berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti “akar”. Ia
adalah paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk
mencapai kemajuan. Dalam perspektif ilmu sosial, radikalisme erat kaitannya
dengan sikap atau posisi yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan
cara menggantinya dengan sesuatu yang sama sekali baru dan berbeda.[14] Radikalisme
merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung yang muncul dalam
bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi,
kelembagaan, atau nilai.
Menurut
Azyumardi Azra, radikalisme merupakan bentuk ekstrem dari revivalisme.
Revivalisme merupakan intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke dalam
(inward oriented), dengan artian pengaplikasian dari sebuah kepercayaan
hanya diterapkan untuk diri pribadi. Adapun bentuk radikalisme yang cenderung
berorientasi keluar (outward oriented), atau kadang dalam penerapannya cenderung
menggunakan aksi kekerasan lazim disebut fundamentalisme.[15]
Hasan menganggap bahwa
radikalisme Islam merupakan strategi baru melakukan reaksi dominasi Barat
terhadap dunia Islam yang kemudian memunculkan aktivisme berbendera agama untuk
menuntut reposisi peran Islam dalam ruang politik kenegaraan, yang upaya ini
telah dirintis melalui pemikiran Hasan al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin di
Mesir dan Abul A’la Maududi pendiri Jama’ati Islami di Indo Pakistan.
Radikalisme Islam juga merupakan bahasa protes yang digunakan oleh orang-orang
yang terpinggirkan dalam arus deras modernisasi dan globalisasi.[16]
Dalam setiap agama dan masa atau perjalanan
waktu radikalisme selalu menghadirkan nama yang disebut Tuhan. Hal ini dapat dimaklumi
dan dipahami karena agama memiliki otoritas yang kuat di atas berbagai kekuatan lain di dunia. Termasuk
Islam, yang sejak awal kelahirannya mendeklarasikan diri sebagai agama yang
sarat dengan nilai-nilai kedamaian dan keselamatan. Oleh sebagian orang, ajaran-ajarannya
kerap kali dijadikan justifikasi atas berbagai tindakan kekerasan dan
kecenderungan untuk melakukan truth claim (mengklaim sebagai yang paling
benar / fanatik) karena agama merupakan nilai kepercayaan yang harus dipegang
teguh oleh para pemeluknya. Salah satu penyebabnya adalah pemahaman yang keliru
atas ayat-ayat al-Qur’an dan juga hadis Nabi tentang jihad dan perang.
“Radikalisme itu lahir karena kelirunya
pemahaman mengenai landasan-landasan Islam dan terlalu fanatik terhadap
keyakinan.”
Pemahaman menganggap dirinya paling benar atau
sikap thruth claim tersebut akan memiliki nilai positif ketika diorientasikan
kedalam dirinya dalam penghayatan dan aplikasinya dalam kehidupannya, bukan
untuk mempengaruhi orang lain untuk memiliki pemahaman yang sama sehingga menyebabkan prasangka negatif dan konflik.[17] Memaksakan pemahaman yang sama terhadap ajaran agama sama
halnya dengan meniadakan agama itu sendiri karena sikap tersebut akan
menimbulkan konflik berkepanjangan. Masing-masing pemeluk agama akan menafikan
kebenaran agama yang dianut oleh orang lain dan hal ini bertentangan dengan nilai
kemanusiaan. Dalam sejarah telah terbukti bahwa sikap eksklusifisme
memunculkan pertentangan atau bahkan peperangan antar umat beragama.
“Agama itu tidak ada yang radikal, hanya
pemeluknya (manusianya) saja yang
melakukan penyimpangan dengan tindakan radikalisme. Olehnya kita jangan
menyalahkan agamanya.”
Lebih jauh lagi sikap ekslusif ini akan
melahirkan radikalisme dalam beragama, dan Islam lagi-lagi akan mendapat
tudingan sebagai penggagas awal segala aksi kekerasan di berbagai belahan
dunia. Di satu sisi mungkin pendapat ini bisa dianggap benar, karena sebagian
besar tindakan kekerasan tersebut dilakukan oleh orang (yang mengaku) Islam.
Mereka beranggapan bahwa sikap tersebut adalah manifestasi dari jihad dan
balasannya adalah surga. Namun di sisi lain, mereka tidak menyadari bahwa
tindakan tersebut adalah dampak dari pemahaman secara harfiah dan parsial
terhadap teks keagamaan sehingga diaplikasikannya dalam tindakan yang jauh dari
makna kontekstual yang diharapkan. Pemahaman ini termasuk pemurnian tauhid, taghyir al-munkar (merubah kemungkaran
dengan cara kekerasan), relasi Muslim dan non-Muslim, pemaknaan doktrin jihad
dan pemahaman NKRI bukan negara Islam.
“Radikalisme disebabkan kesalahan pemahaman
agama, romantisme sejarah khilafah Islamiyah, faktor kesenjangan ekonomi dunia
dan faktor sosial politik.”
Gejala sosial politik dan kesenjangan sosial ekonomi disinyalir
juga merupakan faktor muncul dan berkembangnya radikalisme selain sentimen agama
itu sendiri, termasuk didalamnya solidaritas
keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu atau kita sebut
dengan emosi keagamaan. Dalam hal ini kaum radikalis memandang fakta historis
yang selama ini umat Islam tidak pernah diuntungkan oleh peradaban global yang
pada akhirnya menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Dengan
membawa bahasa dan simbol perlawanan disertai dengan slogan-slogan agama, kaum
ini mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk mencapai
tujuan mulia politiknya (politisasi agama). Dan tentunya keadaan ini tidak
selamanya diartikan dengan memanipulasi agama karena sebagian aksi mereka
berakar pada pengejawantahan agama dalam melihat fenomena historis.
Faktor lain yang juga ditengarai dengan munculnya
radikalisme adalah kesenjangan sosial ekonomi.
Sebagaimana hadits nabi “kefakiran dapat menyeret kita dalam kekafiran.” Ketimpangan
sosial dapat merubah sifat sesorang yang baik menjadi orang yang buruk dan
kejam atau radikal. Perasaan yang teralienasi karena kesenjangan ekonomi
menjadi faktor besar radikalisme. Aksi kekerasan ini muncul karena terdapat
ketidakpercayaan dan kekesalan terhadap sistem ekonomi yang dianggap
menguntungkan pihak tertentu saja dan tidak pro terhadap rakyat dan tidak
memberikan kesejahteraan terhadap dirinya.
Dalam keadaan tersebut, penghancuran terhadap dirinya dan
orang lain dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar. Mereka beranggapan harta
atau materi yang tidak mereka miliki sekarang ini akan digantikannya dengan
mati syahid sebagai perjuangan dan pengorbanannya yang identik dengan kekerasan
atau radikalisme dan akan mendapatkan surga sebagai balasan amal perbuatannya.
“Islam adalah agama yang lembut, santun dan
penuh kasih sayang”
Dalam hal genealoginya, Oliver Roy menegaskan
bahwa Islam radikal berasal dari dua organisasi keagamaan, yakni kelompok al-Ikhwan
al-Muslimin (Hasan al-Banna [1906-1949], Mesir) dan Jamaat AI
Islami (Abu A’la al-Mawdudi [1903-1979], Pakistan).[18]
Dari kedua organisasi keagamaan itu, berubahlah menjadi gerakan-gerakan Islam
radikal di berbagai belahan dunia Muslim, meski berbeda-beda bentuknya.
Gerakan-gerakan itu kemudian lazim disebut gerakan transnasional. Oleh karena
itu, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa pemikir dan ideolog radikal
gerakan Islam di Mesir dan Pakistan tersebut telah memberikan pengaruh serta
inspirasi yang kuat bagi munculnya arus ekstrim pada sebagian aktivis Islam
radikal, tidak terkecuali di Indonesia.
Agama Islam
diturunkan sebagai rahmat atau kasih sayang kepada seluruh ummat manusia.
Sebagai orang yang meyakini akan kebenaran al-Qur’an maka ia tidak akan pernah
ragu untuk selalu menebar kasih sayang kepada semua manusia, bahkan kepada
binatang sekalipun. Kasih sayang merupakan core spirit dalam ajaran
Islam.
Dalam kitab
wahyu umat Islam, Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah Kami utus engkau (wahai
Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al Anbiya, 21,
107).
Islam
mengajarkan umatnya untuk menjalankan misi kebaikan kepada seluruh manusia dan
mencegah manusia dari hal keburukan dan kemunkaran. Prinsip-prinsip dasar Islam
menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi kaum Muslimin sendiri maupun
bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia (rahmatan lil ‘alamin).
Dalam hal ini
sangat jelas bahwa Islam sangat membenci aksi kezhaliman apa pun bentuknya.
Karena Islam senantiasa mengajarkan dan memerintahkan kepada umatnya untuk
menjunjung tinggi kedamaian, persahabatan, dan kasih sayang. Bahkan al-Qur’an
menyatakan, bahwa orang yang melakukan aksi kezhaliman termasuk golongan orang
yang merugi dalam kehidupannya. Di dunia ini ia akan di cap sebagai pelaku
kejahatan dan di akhirat kelak akan dimasukkan ke dalam golongan yang merugi.
Terlebih, Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap
berdamai dan mencari perdamaian.[19] Bukan
tanpa sebab Nabi Muhammad SAW sendiri sudah menyatakannya jauh hari sebelumnya
dalam sebuah hadits terkenalnya bahwa Islam adalah agama rahmatan lil
‘alamin. Yakni sebuah pernyataan bahwa agama Islam tidak hanya membawa
rahmat dan keselamatan hanya untuk umat muslim saja, melainkan bagi semesta
alam (macro kosmos). Agama ini akan membawa kerahmatan dan keselamatan
serta keberkahan hidup seseorang yang berpegang teguh dengan keyakinannya
memeluk Islam dan menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidupnya.
Bukan hanya untuk umat manusia, akan tetapi untuk kesejahteraan seluruh alam
semesta, termasuk didalamnya hewan, tumbuhan, jin serta makhluk yang berada di
antara langit dan bumi ini.
Firman Allah
sebagai text wahyu rujukan umat Islam sudah menggambarkan orang-orang yang
merugi dengan perbuatan mereka yang sia-sia. Allah berfirman “Katakanlah:
Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?”Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
(Al-Kahfi: 18, 103-106)
Banyak sekali
orang yang tanpa dilandasi ilmu yang cukup bertindak mengatasnamakan agama. Ia
merasa mewakili kebenaran itu sendiri. Sehingga perkataanya harus diikuti tanpa
mau menerima kritikan. Dan karena sudah terlanjur ditokohkan, akhirnya
terjadilah banyak kekacauan dan kerancuhan berfikir dalam masyarakat awam. Hal
ini dikarenakan karena pemahan agama yang sempit menjadi salah satu faktor pemicunya.
“Radikalisme yang paling berbahaya didunia
adalah radikalisme berbasis agama.”
Menurut Romy, radikalisme berbasis agama
memberikan imbalan kepada penyebarnya berupa surga. Sedangkan surga adalah
tujuan hidup setiap umat beragama. Ketika orang mendapat imbalan surga,
sementara setiap umat beragama tujuan hidupnya adalah surga, maka dia akan mau
mengorbankan apa pun.
Dalam konteks Indonesia, KH. Mohamad Tolchah Mansoer
mendefinisikan radikalisme agama yaitu dengan tidak menerima
Pancasila dan Undang-undang dasar. Artinya dengan menghilangkan itu sama halnya
menghilangkan peran sejarah wakil-wakil umat Islam dalam BPUPKI maupun PPKI.
Sementara itu kita mengetahui bersama bahwa dalam perumusan kemerdekaan
Indonesia yang juga aggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terdapat
wakil-wakil dari kalangan Islam, sebut saja Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Mr.
Kasman Singodimedjo, dan Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, KH. Wachid Hasjim,
Muhammad Yamin, Soepomo dan masih banyak lagi. Mereka merupakan tokoh Islam yang
melahirkan Piagam Jakarta, juga turut serta dalam merancang dan mengesahkan
dasar negara Pancasila dan UUD 1945 sebagai perjanjian luhur bangsa dan dokumen
kenegaraan.
Dalam kontek budaya, perkembangan budaya masyarakat
semakin pesat. Begitu pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang selalu menyertainya. Bahkan budaya satu daerah akan lebih mudah
berpengaruh atau dipengaruhi oleh budaya lain pada masa millenia saat ini.
Disini akan terus ada dialog antar budaya. Dan budaya akan terus berkembang
searah dengan pemikiran manusia. Pemikiran yang tumbuh dan berkembang ini
dipengaruhi oleh ilmu dan pendidikan serta ilmu dari pergaulan dan teknologi informasi
era digital yang kita sebut media sosial (medsos).
Medsos yang sedemikian populernya dewasa ini bisa dimanfaatkan
oleh siapa saja tanpa batas usia. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah konten
yang terdapat dalam dunia maya ini. Baik itu untuk kebaikan maupun kejelekan
konten yang terdapat dalam medsos akan berpengaruh besar terhadap perubahan
sifat dan karakter masyarakat yang menikmati era digital ini. Karena sifatnya yang
seperti itu, kita dituntut untuk selalu berposisi sebagai subyek terhadap
teknologi. Karena kalau tidak maka kita justru akan menjadi obyek dan korban
teknologi.
Pemanfaatan teknologi medsos yang digunakan secara baik
akan berdampak baik pula bagi kehidupan manusia, sebaliknya penggunaan media
ini banyak yang menyimpang untuk hal-hal yang kurang bermanfaat dan bahkan
untuk hal-hal negatif seperti ujaran kebencian, SARA, sumber fitnah, berita palsu
atau HOAX dan lain sebagainya termasuk penyebaran informasi radikal yang tujuan
utamanya adalah untuk memecah belah ummat dan NKRI.
“Ketika dunia digital berkembang begitu
cepat berimbas juga pada penyebaran informasi radikal dan mempengaruhi
masyarakat Indonesia. Situs fundamentalis lebih disukai dan menempati peringkat
tertinggi dibanding situs moderat.”
Dewasa ini
seluruh negara, tanpa
terkecuali Indonesia, sedang menghadapi cobaan baru paham radikal yang terus
memanfaatkan teknologi informasi yang berbasis jaringan internet. Kelompok ini
dalam banyak hal sangat diuntungkan dan menikmati dan dengan hadirnya produk
teknologi berbasis jaringan internet untuk kepentingan rekrutmen, media
propaganda, pendidikan pelatihan, dan pembinaan jaringan mereka. Informasi berbasis
jaringan internet dan hadirnya revolusi teknologi semakin membantu dalam
peningkatan jaringan dan propaganda paham yang mereka usung. Dan hal ini telah dimanfaatkan dengan baik untuk menebar pahamnya yang
bisa mengancam ideologi Pancasila sebagai negara kesatuan RI.
Dengan demikian, keberadaan internet telah menjadi
bagian penting dalam membentuk pemikiran, perbuatan, perilaku, ideologi sekaligus
kebutuhan dasar hidup manusia kini. Saking pentingnya dunia maya ini
radikalisme, aksi terorisme dan bom bunuh diri kerap menggunakan teknologi
mutakhir lengkap dengan berbagai jejaring sosialnya.
Perlu ada usaha bersama dari pemerintah, ormas, mahasiswa dan
para pemuda, LSM serta pers dalam rangka membentengi masyarakat dari pengaruh
paham radikal untuk menjaga keutuhan bangsa secara preventif. Peran aktif mereka sebagai benteng ideologi sangat efektif terhadap
virus ideologi paham gerakan radikalisme yang tidak hanya merongrong dan
mencoreng ajaran Islam, tetapi juga bisa mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara. Sangat penting bagi institusi pendidikan sejak dini untuk
membekali siswa-siswanya dengan wawasan kebangsaan, keindonesiaan serta
keislaman yang moderat, terbuka dan damai.
Di Indonesia Menurut penelitian Pew Research pada tahun 2015,
ada kurang lebih 10 juta warga Indonesia berpaham radikal. Sementara itu
penelitian Alvara Research pada tahun 2017 mengungkap ada 23% Mahasiswa
mendukung negara Islam/Khilafah dan 16,8% menganggap Pancasila bukan ideologi
yang tepat. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan
bersama terutama mengenai keutuhan umat dan NKRI, penting kiranya kita bijak
dalam setiap memperoleh informasi dari medsos dengan mengkonfirmasikannya
terlebih dahulu agar tidak ikut terseret dalam pusara paham radikal, terlebih
jangan sampai menjadi penyebarnya. Biasanya penyebaran berita bohong atau palsu
ini (hoax) bertujuan untuk; 1. Menciptakan kebencian serta permusuhan untuk
memprovokasi masyarakat, 2. Untuk mencari uang, 3. Menciptakan ketidakstabilan
Indonesia agar paham-paham yang ada saling bertentangan.
Menurut pandangan Romy, terdapat cara untuk menghadapi paham
radikalisme tersebut yaitu dengan meletakkan pancasila dan NKRI sebagai
kesepakatan sejarah yang bersifat final. Pancasila merupakan common ground atau
titik temu dari berbagai kalangan suku, lintas agama, juga pulau. Karena itu,
pancasila harus dijaga dengan mengembangkan ajaran Islam yang ramah dan
merangkul. Lebih lanjut, “Pancasila memang tidak ada dalam Islam, namun
nilai-nilai yang ada dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang sesuai dengan
ajaran Islam. Sila-sila dalam Pancasila adalah sila yang kompatibel dengan
nilai Islam. Bukan berarti Pancasila adalah Islam.”
Menurutnya, “Islam yang merangkul atau yang sering disebut rahmatan
lil ‘alamin, dicirikan dengan 4 (empat) hal. Pertama adalah moderat (tawassuth),
kedua adil (ta’addul), dia berdiri diatas golongan, ketiga adalah
toleran (tasammuh), dan keempat adalah seimbang (tawaazun).”
Pertama berfikir tawassuth. Sikap ini dimaksudkan sebagai
sikap tengah (moderat) yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung
tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah tengah kehidupan bersama
dengan menghindari sikap tatharruf (ekstrim).[20]
Pemikiran ini merupakan bentuk perlawanan dari fundamentalisme. Berfikiran
tawassuth berarti mereka tidak memihak salah satu dari ekstrim kiri maupun
kanan, tidak menganut pada liberal maupun radikal serta juga tidak memiliki
faham fundamental.
Secara
umum, corak berfikir tawassuth ini berkenaan dengan metode keberimbangan
akal dan wahyu. Dalam pengertian yang lebih luas, bahwa diperlukan
keberimbangan antara wahyu dan akal dalam menyikapi diskursus keagamaan.
Kedua berfikir Ta’addul. Ta’addul berarti bersikap adil, proposional, obyektif
dan mengutamakan kebenaran. Seseorang harus memegang kebenaran obyektif dalam
pergaulan untuk mengembangkan kehidupan. Seseorang yang bersikap adil meskipun
untuk dirinya sendiri akan dipandang orang lain sebagai tempat berlindung dan
tidak menjadi ancaman. Seseorang harus bisa menjadi pengayom bagi orang lain
karena karakter ini merupakan wujud dari risalah kenabian rahmatan lil
‘alami>n. Artinya bukan hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri atau
golongannya melainkan penebar kasih buat semua orang dalam mengarungi kehidupan
yang penuh dinamika ini. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi
orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur
kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan
kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan
pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
Ketiga berfikir
Tasammuh. Tasammuh berarti sikap toleran. Dengannya, masalah-masalah hukum, sosial dan budaya dapat diselesaikannya secara
luwes, fleksibel dan tidak muncul stagnansi. Toleransi
beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan
tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama
lain. Makna tasamuh disini yang sebenarnya bukanlah
mencampura-dukkan keimanan dan ritual Islam dengan agama non Islam, tapi
menghargai eksistensi agama orang lain. Toleransi adalah istilah dalam konteks
sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya
diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima
oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Bisa dicontohkan ketika penganut
mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama minoritas lainnya
(al-Baghowy, 2011).[21]
Tasamuh mengarah kepada sikap
terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku
bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini
semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan.
Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah:
“Hai manusia, Sesung-guhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. al-Hujurat ayat 13)
Konsep tasamuh yang ditawarkan Islam
sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam
hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal
kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan
keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga
dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela
tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam
bukanlah hal baru dalam kehidupan sekarang, tetapi sudah diaplikasikan jauh
sebelumnya dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Keempat berfikir Tawaazun. Tawaazun adalah sikap seimbang
dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah Swt., kepada sesama manusia
serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa
kini dan masa mendatang. Menurut Al-Ghazali tuntutan rasionalisme yang
dikembangkan filosof memang dapat menghantarkan kepada kemajuan material yang
sangat berarti, tetapi pada sisi yang lain dapat menjauhkan manusia dari
Tuhannya, menafikan aspek moral-spiritual dan dapat menyesatkan umat. Sebaliknya ketika aspek batin mendapat
atensitas berlebihan, dapat melumpuhkan intelektualitas, kreatifitas dan etos
kerja. Dalam hal beberapa tulisannya, al-Ghazali berusaha untuk merumuskan
keseimbangan antara tuntutan kemanusiaan dan ke-Tuhanan.(Zuhri: 62)
Islam diturunkan
Allah ke muka bumi sebagai pedoman hidup manusia, bukan untuk menyulitkan atau
menyengsarakan, tetapi untuk menata kehidupan manusia di dunia dan kebahagiaan
di akhirat. Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan
manusia lain, dan dengan makhluk-makhluk lainnya seperti jin, malaikat, hewan
serta dengan alam sekitarnya. Islam telah mengatur kehidupan menurut
sunnatullah yang membawa berkah bagi semua. Keseimbangan tersebut sekaligus
menunjukkan keindahan Islam. Seimbang antara menjalankan hidup di dunia tanpa
melupakan perkara-perkara profan. Sikap zuhud pun tidak berarti 100%
mengacuhkan dunia, tetapi juga tidak bermaksud “mengejar” dunia yakni
menjalankan aktivitasa dunia sesuai kebutuhan saja secara sederhana sesuai apa
yang telah Rasulullah contohkan semasa hidup beliau dan tidak berlebih-lebihan.
Lebih jauh lagi, Romy dalam memutus mata rantai radikalisme
berbasis agama ini adalah dengan mengembangkan 4 (empat) jenis persaudaraan (ukhuwah),
yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah
‘alamiyah.
Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan sesama muslim, dimana pun
ia berada, tak tersekat oleh negara. Itulah misalnya kenapa solidaritas
Rohingya di Indonesia begitu viralnya. Ukhuwah insaniyah yaitu persaudaraan
sesama manusia, tanpa adanya batas sebagai bangsa. Dikatakannya bahwa Allah SWT
didalam Al-Qur’an menegaskan, manusia sengaja diciptakan berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku untuk saling mengenal. Persaudaraan ketiga adalah ukhuwah
wathaniyah, yaitu persaudaraan sesama anak bangsa, dalam hal ini adalah konteks
Indonesia. Kecintaan kepada tanah air adalah ajaran para nabi, termasuk nabi
Ibrahim dan nabi Muhammad. Nabi Ibrahim pernah mendoakan keamanan negeri
Mekkah. Begitu pula sebaliknya nabi Muhammad yang pernah mendoakan kecintaan
kepada negerinya, Madinah.
Persaudaraan yang keempat adalah ukhuwah ‘alamiyah, yaitu
persaudaraan kepada alam ciptaan Tuhan. Merusak lingkungan, menebang
sembarangan, mengebom ikan, dan segala bentuk eksploitasi alam secara
berlebihan adalah bentuk permusuhan kita dengan alam. Keempat persaudaraan
tersebut diatas pada hakikatnya adalah perwujudan Islam Rahmatan lil ‘alamin.
Jika keempat jenis persaudaraan tersebut menjadi panduan setiap muslim, maka
Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar dunia, akan menjadi
eksportir moderasi dan menjadi laboratorium toleransi dunia.
[1] Madjid, Nur Cholis . 1995. Islam Agama Peradaban,
Mencari Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta:
Paramadina. hlm. 270.
[2] Nasution, Harun. 1995. Islam
Rasional. Bandung: Mizan. h. 124
[3] J.U. Thalib. 2003. Radikalisme dan Islamo
Phobia, Islam dan Terorisme (Z.A. Maulani dkk., ed.). Yogyakarta:
UCY. h. 107
[4] Greg Fealy dan Virginia Hooker (ed.), Voices
of Islam in Southeast Asia: a Contemporary Sourcebook (Singapore: ISEAS,
2006), hlm. 4.
[5] Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2001. Agama,
Negara dan Penerapan Syariah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 139-149.
[6] Al-Asymawi, Muhammad Said.
1987. Al-Islam al-Siyasi. Kairo: Sina li al-Nasyr. hlm. 66
[7] M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam
Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta:
Erlangga, 2009), x.
[8] Oliver Roy, The Failure of Political Islam
(Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994), 2-4.
[9] Khaled Abou el-Fadl, The Great Theft:
Wrestling Islam from the Extremist (New York: HarperCollins Publisher2,
2005), 18. Bandingkan dengan Ed. Husain, The Islamits (England: Penguin
Books Ltd., 2007).
[10] Periksa R. Hrair Dekmejian, “Islamic Revival
Catalysts, Categories, and Consequences” dalam T. Hunter (ed.), The Politics
of Islamic Revivalism: Diversity and Unity (Bloomington: Indiana University
Press, 1988), 4
[11] Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan
Harapan bagi Islam, terj. M. Sirozi (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 171;
William Montgmery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London:
T.J. Press, 1998), hlm. 2; H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam,
terj. Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 52.
[12] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung:
Mizan, 1997), hlm. 49.
[13] Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago:
The University of Chicago Press, 1982), hlm. 136.
[14] Edi Susanto, “Kemungkinan Munculnya Paham Islam
Radikal di Pesantren”, dalam Jurnal Tadris (Pamekasan: Sekolah Tinggi
Agama Islam Pamekasan, 2007), Vol. 2, No. 1, hlm. 3.
[15] Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika
Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 46-47.
[16] D. Hasan, “Radikalisme Islam: Jejak Sejarah,
Politik Identitas, dan Repertoire Kekerasan”, Model-model Penelitian dalam
Studi Keislaman (Mu’tasim, ed.), (Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga),
hlm. 70.
[17] Lihat, Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan
(Jakarta: Raja Grafindo persada, 1999), 46-47.
[18] Roy, The Failure of Political Islam, 35.
[19] Nur Cholis Madjid. (1995). Islam Agama Peradaban, Mencari Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. h.260
[20] Nurcholis,
Ahlussunnah Wal Jama’ah Dan Nahdlatul Ulama. (Tulungagung: PC NU KAB. Tulungagung, 2011), hal, 96
0 Comments