Faham Radikalisme



FAHAM RADIKALISME



Berkembangnya isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. Banyak label-label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal ini, mulai dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme, sampai terrorisme. Bahkan negara-negara Barat pasca hancurnya ideologi komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan peradaban yang menakutkan.[1]
Gerakan perlawanan rakyat Palestina atas penjajahan Israel, Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al- Jazair, perilaku anti Amerika yang dipertunjukkan Mu’ammar Ghadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan, gerakan Muslim Kongo di Afrika, gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti Amerika, gerakan Muslim Rohingya di Myanmar, merebaknya solidaritas Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas, munculnya gerakan radikalis Islam Irak dan Syria (yang dikenal dengan ISIS) dan sebagainya adalah fenomena yang terjadi di dunia Islam dan dijadikan media Barat dalam mengampanyekan label radikalisme Islam. Dalam perspektif pandangan dan media-media pemberitaan Barat, gerakan Islam sudah menjadi fenomena yang perlu dicurigai. Terlebih-lebih pasca hancurnya gedung WTC New York 11 September 2001 yang menurutnya dilakukan oleh kelompok Islam garis keras (Al-Qaeda dan Taliban), semakin menjadikan term radikalisme Islam lebih mengglobal yang berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat dunia, terutama bangsa Barat dan Amerika Serikat serta Australia, terhadap gerakan Islam. Hal yang demikian terjadi karena orang-orang Eropa Barat dan Amerika Serikat berhasil melibatkan diri dan mengambil peran mewarnai media sehingga mampu membentuk opini publik. Praktik-praktik kekerasan yang dilakukan sekelompok Islam dengan membawa simbol-simbol agama telah dimanfaatkan oleh orang-orang Barat dengan memanfaatkan media massa sebagai instrumen untuk memegang kendali wacana peradaban, sehingga Islam terus menerus disudutkan.  
Para ahli merumuskan beberapa istilah mengenai radikalisme Islam, diantaranya adalah Nasution, yang mengatakan Radikalisme Islam adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.[2] Sedangkan Thalib, merumuskan istilah radikalisme Islam merujuk pada munculnya berbagai gerakan Islam yang menggunakan berbagai bentuk kekerasan dalam rangka perjuangan untuk mendirikan ‘Negara Islam’.[3] Fealy dan Hooker mendefinisikan Islam radikal (radical Islam) sebagai gerakan Islam yang hendak melakukan perubahan dramatis baik di masyarakat maupun Negara.[4] Al-Jabiriy menggunakan istilah ekstremis untuk islam radikal. Lebih lanjut beliau mengatakan “ musuh bebuyutan Islam ekstrem adalah kelompok yang paling dekat dengannya, yaitu Islam moderat. [5] Al-Asymawi juga menggunakan istilah ekstrimisme untuk menyebut kelompok yang ingin merebut kekuasaan dengan menunggangi isu agama.[6] M. Imdadun Rahmat, menggunakan terma revivalisme Islam (Islamic revivalism),[7] Oliver Roy menggunakan istilah Islamism dan Neo-fundamentalisme.[8] Sementara Khaled Abou al-Fadl memakai terma puritan dengan merangkum istilah-istilah fundamentalis, militan, ekstremis, radikal, fanatik, jihadis, dan Islamist.[9] Meskipun demikian, Dekmejian melihat bahwa fundamentalisme, revivalisme, dan Islamisme bersumsumtulang, bertali-temali, dan digunakan secara bergantian dalam literatur gerakan Islam kontemporer, meskipun fundamentalisme di Barat akhirnya lebih dikondisikan sebagai radikalisme dan terorisme.[10]
Namun, dari berbagai istilah tersebut, istilah radikalisme dipandang lebih tepat ketimbang fundamentalisme dan istilah-istilah lain, karena fundamentalisme sendiri memiliki makna yang multitafsir. Fundamentalisme dalam perspektif Barat berarti paham orang-orang kaku dan ekstrem serta tidak segan-segan melakukan kekerasan dalam mempertahankan ideologinya. Sementara, dalam pemikiran teologi keagamaan, istilah fundamentalisme lebih mengarah pada gerakan untuk mengembalikan seluruh perilaku muslim untuk merujuk pada al-Qur’an dan hadis. Fundamentalis juga terkadang ditujukan kepada kelompok yang berupaya mengembalikan Islam (revivalis).[11] Menurut Kuntowijoyo, fundamentalisme juga diartikan sebagai radikalisme dan terorisme dikarenakan gerakan ini memiliki implikasi politik yang membahayakan negara-negara industri di Barat.[12] Adapun menurut Fazlur Rahman, fundamentalisme berarti anti-pembaratan (westernisme).[13]
Secara bahasa, radikalisme berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti “akar”. Ia adalah paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk mencapai kemajuan. Dalam perspektif ilmu sosial, radikalisme erat kaitannya dengan sikap atau posisi yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan cara menggantinya dengan sesuatu yang sama sekali baru dan berbeda.[14] Radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung yang muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi, kelembagaan, atau nilai.
Menurut Azyumardi Azra, radikalisme merupakan bentuk ekstrem dari revivalisme. Revivalisme merupakan intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke dalam (inward oriented), dengan artian pengaplikasian dari sebuah kepercayaan hanya diterapkan untuk diri pribadi. Adapun bentuk radikalisme yang cenderung berorientasi keluar (outward oriented), atau kadang dalam penerapannya cenderung menggunakan aksi kekerasan lazim disebut fundamentalisme.[15]
Hasan menganggap bahwa radikalisme Islam merupakan strategi baru melakukan reaksi dominasi Barat terhadap dunia Islam yang kemudian memunculkan aktivisme berbendera agama untuk menuntut reposisi peran Islam dalam ruang politik kenegaraan, yang upaya ini telah dirintis melalui pemikiran Hasan al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Abul A’la Maududi pendiri Jama’ati Islami di Indo Pakistan. Radikalisme Islam juga merupakan bahasa protes yang digunakan oleh orang-orang yang terpinggirkan dalam arus deras modernisasi dan globalisasi.[16]
Dalam setiap agama dan masa atau perjalanan waktu radikalisme selalu menghadirkan nama yang disebut Tuhan. Hal ini dapat dimaklumi dan dipahami karena agama memiliki otoritas yang kuat di atas berbagai kekuatan lain di dunia. Termasuk Islam, yang sejak awal kelahirannya mendeklarasikan diri sebagai agama yang sarat dengan nilai-nilai kedamaian dan keselamatan. Oleh sebagian orang, ajaran-ajarannya kerap kali dijadikan justifikasi atas berbagai tindakan kekerasan dan kecenderungan untuk melakukan truth claim (mengklaim sebagai yang paling benar / fanatik) karena agama merupakan nilai kepercayaan yang harus dipegang teguh oleh para pemeluknya. Salah satu penyebabnya adalah pemahaman yang keliru atas ayat-ayat al-Qur’an dan juga hadis Nabi tentang jihad dan perang.
“Radikalisme itu lahir karena kelirunya pemahaman mengenai landasan-landasan Islam dan terlalu fanatik terhadap keyakinan.”
Pemahaman menganggap dirinya paling benar atau sikap thruth claim tersebut akan memiliki nilai positif ketika diorientasikan kedalam dirinya dalam penghayatan dan aplikasinya dalam kehidupannya, bukan untuk mempengaruhi orang lain untuk memiliki pemahaman yang sama sehingga menyebabkan prasangka negatif dan konflik.[17] Memaksakan pemahaman yang sama terhadap ajaran agama sama halnya dengan meniadakan agama itu sendiri karena sikap tersebut akan menimbulkan konflik berkepanjangan. Masing-masing pemeluk agama akan menafikan kebenaran agama yang dianut oleh orang lain dan hal ini bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Dalam sejarah telah terbukti bahwa sikap eksklusifisme memunculkan pertentangan atau bahkan peperangan antar umat beragama.
“Agama itu tidak ada yang radikal, hanya pemeluknya  (manusianya) saja yang melakukan penyimpangan dengan tindakan radikalisme. Olehnya kita jangan menyalahkan agamanya.”
Lebih jauh lagi sikap ekslusif ini akan melahirkan radikalisme dalam beragama, dan Islam lagi-lagi akan mendapat tudingan sebagai penggagas awal segala aksi kekerasan di berbagai belahan dunia. Di satu sisi mungkin pendapat ini bisa dianggap benar, karena sebagian besar tindakan kekerasan tersebut dilakukan oleh orang (yang mengaku) Islam. Mereka beranggapan bahwa sikap tersebut adalah manifestasi dari jihad dan balasannya adalah surga. Namun di sisi lain, mereka tidak menyadari bahwa tindakan tersebut adalah dampak dari pemahaman secara harfiah dan parsial terhadap teks keagamaan sehingga diaplikasikannya dalam tindakan yang jauh dari makna kontekstual yang diharapkan. Pemahaman ini termasuk pemurnian tauhid, taghyir al-munkar (merubah kemungkaran dengan cara kekerasan), relasi Muslim dan non-Muslim, pemaknaan doktrin jihad dan pemahaman NKRI bukan negara Islam.
“Radikalisme disebabkan kesalahan pemahaman agama, romantisme sejarah khilafah Islamiyah, faktor kesenjangan ekonomi dunia dan faktor sosial politik.”
Gejala sosial politik dan kesenjangan sosial ekonomi disinyalir juga merupakan faktor muncul dan berkembangnya radikalisme selain sentimen agama itu sendiri, termasuk didalamnya solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu atau kita sebut dengan emosi keagamaan. Dalam hal ini kaum radikalis memandang fakta historis yang selama ini umat Islam tidak pernah diuntungkan oleh peradaban global yang pada akhirnya menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Dengan membawa bahasa dan simbol perlawanan disertai dengan slogan-slogan agama, kaum ini mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk mencapai tujuan mulia politiknya (politisasi agama). Dan tentunya keadaan ini tidak selamanya diartikan dengan memanipulasi agama karena sebagian aksi mereka berakar pada pengejawantahan agama dalam melihat fenomena historis.
Faktor lain yang juga ditengarai dengan munculnya radikalisme adalah kesenjangan sosial ekonomi. Sebagaimana hadits nabi “kefakiran dapat menyeret kita dalam kekafiran.” Ketimpangan sosial dapat merubah sifat sesorang yang baik menjadi orang yang buruk dan kejam atau radikal. Perasaan yang teralienasi karena kesenjangan ekonomi menjadi faktor besar radikalisme. Aksi kekerasan ini muncul karena terdapat ketidakpercayaan dan kekesalan terhadap sistem ekonomi yang dianggap menguntungkan pihak tertentu saja dan tidak pro terhadap rakyat dan tidak memberikan kesejahteraan terhadap dirinya.
Dalam keadaan tersebut, penghancuran terhadap dirinya dan orang lain dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar. Mereka beranggapan harta atau materi yang tidak mereka miliki sekarang ini akan digantikannya dengan mati syahid sebagai perjuangan dan pengorbanannya yang identik dengan kekerasan atau radikalisme dan akan mendapatkan surga sebagai balasan amal perbuatannya.
“Islam adalah agama yang lembut, santun dan penuh kasih sayang”
Dalam hal genealoginya, Oliver Roy menegaskan bahwa Islam radikal berasal dari dua organisasi keagamaan, yakni kelompok al-Ikhwan al-Muslimin (Hasan al-Banna [1906-1949], Mesir) dan Jamaat AI Islami (Abu A’la al-Mawdudi [1903-1979], Pakistan).[18] Dari kedua organisasi keagamaan itu, berubahlah menjadi gerakan-gerakan Islam radikal di berbagai belahan dunia Muslim, meski berbeda-beda bentuknya. Gerakan-gerakan itu kemudian lazim disebut gerakan transnasional. Oleh karena itu, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa pemikir dan ideolog radikal gerakan Islam di Mesir dan Pakistan tersebut telah memberikan pengaruh serta inspirasi yang kuat bagi munculnya arus ekstrim pada sebagian aktivis Islam radikal, tidak terkecuali di Indonesia.
Agama Islam diturunkan sebagai rahmat atau kasih sayang kepada seluruh ummat manusia. Sebagai orang yang meyakini akan kebenaran al-Qur’an maka ia tidak akan pernah ragu untuk selalu menebar kasih sayang kepada semua manusia, bahkan kepada binatang sekalipun. Kasih sayang merupakan core spirit dalam ajaran Islam.
Dalam kitab wahyu umat Islam, Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah Kami utus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al Anbiya, 21, 107).
Islam mengajarkan umatnya untuk menjalankan misi kebaikan kepada seluruh manusia dan mencegah manusia dari hal keburukan dan kemunkaran. Prinsip-prinsip dasar Islam menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi kaum Muslimin sendiri maupun bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia (rahmatan lil ‘alamin).
Dalam hal ini sangat jelas bahwa Islam sangat membenci aksi kezhaliman apa pun bentuknya. Karena Islam senantiasa mengajarkan dan memerintahkan kepada umatnya untuk menjunjung tinggi kedamaian, persahabatan, dan kasih sayang. Bahkan al-Qur’an menyatakan, bahwa orang yang melakukan aksi kezhaliman termasuk golongan orang yang merugi dalam kehidupannya. Di dunia ini ia akan di cap sebagai pelaku kejahatan dan di akhirat kelak akan dimasukkan ke dalam golongan yang merugi.
Terlebih, Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian.[19] Bukan tanpa sebab Nabi Muhammad SAW sendiri sudah menyatakannya jauh hari sebelumnya dalam sebuah hadits terkenalnya bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Yakni sebuah pernyataan bahwa agama Islam tidak hanya membawa rahmat dan keselamatan hanya untuk umat muslim saja, melainkan bagi semesta alam (macro kosmos). Agama ini akan membawa kerahmatan dan keselamatan serta keberkahan hidup seseorang yang berpegang teguh dengan keyakinannya memeluk Islam dan menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidupnya. Bukan hanya untuk umat manusia, akan tetapi untuk kesejahteraan seluruh alam semesta, termasuk didalamnya hewan, tumbuhan, jin serta makhluk yang berada di antara langit dan bumi ini.
Firman Allah sebagai text wahyu rujukan umat Islam sudah menggambarkan orang-orang yang merugi dengan perbuatan mereka yang sia-sia. Allah berfirman “Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Al-Kahfi: 18, 103-106)
Banyak sekali orang yang tanpa dilandasi ilmu yang cukup bertindak mengatasnamakan agama. Ia merasa mewakili kebenaran itu sendiri. Sehingga perkataanya harus diikuti tanpa mau menerima kritikan. Dan karena sudah terlanjur ditokohkan, akhirnya terjadilah banyak kekacauan dan kerancuhan berfikir dalam masyarakat awam. Hal ini dikarenakan karena pemahan agama yang sempit menjadi salah satu faktor pemicunya.
“Radikalisme yang paling berbahaya didunia adalah radikalisme berbasis agama.”
Menurut Romy, radikalisme berbasis agama memberikan imbalan kepada penyebarnya berupa surga. Sedangkan surga adalah tujuan hidup setiap umat beragama. Ketika orang mendapat imbalan surga, sementara setiap umat beragama tujuan hidupnya adalah surga, maka dia akan mau mengorbankan apa pun.
Dalam konteks Indonesia, KH. Mohamad Tolchah Mansoer mendefinisikan radikalisme agama yaitu dengan tidak menerima Pancasila dan Undang-undang dasar. Artinya dengan menghilangkan itu sama halnya menghilangkan peran sejarah wakil-wakil umat Islam dalam BPUPKI maupun PPKI. Sementara itu kita mengetahui bersama bahwa dalam perumusan kemerdekaan Indonesia yang juga aggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terdapat wakil-wakil dari kalangan Islam, sebut saja Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Mr. Kasman Singodimedjo, dan Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, KH. Wachid Hasjim, Muhammad Yamin, Soepomo dan masih banyak lagi. Mereka merupakan tokoh Islam yang melahirkan Piagam Jakarta, juga turut serta dalam merancang dan mengesahkan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 sebagai perjanjian luhur bangsa dan dokumen kenegaraan.
Dalam kontek budaya, perkembangan budaya masyarakat semakin pesat. Begitu pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu menyertainya. Bahkan budaya satu daerah akan lebih mudah berpengaruh atau dipengaruhi oleh budaya lain pada masa millenia saat ini. Disini akan terus ada dialog antar budaya. Dan budaya akan terus berkembang searah dengan pemikiran manusia. Pemikiran yang tumbuh dan berkembang ini dipengaruhi oleh ilmu dan pendidikan serta ilmu dari pergaulan dan teknologi informasi era digital yang kita sebut media sosial (medsos).
Medsos yang sedemikian populernya dewasa ini bisa dimanfaatkan oleh siapa saja tanpa batas usia. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah konten yang terdapat dalam dunia maya ini. Baik itu untuk kebaikan maupun kejelekan konten yang terdapat dalam medsos akan berpengaruh besar terhadap perubahan sifat dan karakter masyarakat yang menikmati era digital ini. Karena sifatnya yang seperti itu, kita dituntut untuk selalu berposisi sebagai subyek terhadap teknologi. Karena kalau tidak maka kita justru akan menjadi obyek dan korban teknologi.
Pemanfaatan teknologi medsos yang digunakan secara baik akan berdampak baik pula bagi kehidupan manusia, sebaliknya penggunaan media ini banyak yang menyimpang untuk hal-hal yang kurang bermanfaat dan bahkan untuk hal-hal negatif seperti ujaran kebencian, SARA, sumber fitnah, berita palsu atau HOAX dan lain sebagainya termasuk penyebaran informasi radikal yang tujuan utamanya adalah untuk memecah belah ummat dan NKRI.
“Ketika dunia digital berkembang begitu cepat berimbas juga pada penyebaran informasi radikal dan mempengaruhi masyarakat Indonesia. Situs fundamentalis lebih disukai dan menempati peringkat tertinggi dibanding situs moderat.”
 Dewasa ini seluruh negara, tanpa terkecuali Indonesia, sedang menghadapi cobaan baru paham radikal yang terus memanfaatkan teknologi informasi yang berbasis jaringan internet. Kelompok ini dalam banyak hal sangat diuntungkan dan menikmati dan dengan hadirnya produk teknologi berbasis jaringan internet untuk kepentingan rekrutmen, media propaganda, pendidikan pelatihan, dan pembinaan jaringan mereka. Informasi berbasis jaringan internet dan hadirnya revolusi teknologi semakin membantu dalam peningkatan jaringan dan propaganda paham yang mereka usung. Dan hal ini telah dimanfaatkan dengan baik untuk menebar pahamnya yang bisa mengancam ideologi Pancasila sebagai negara kesatuan RI.
Dengan demikian, keberadaan internet telah menjadi bagian penting dalam membentuk pemikiran, perbuatan, perilaku, ideologi sekaligus kebutuhan dasar hidup manusia kini. Saking pentingnya dunia maya ini radikalisme, aksi terorisme dan bom bunuh diri kerap menggunakan teknologi mutakhir lengkap dengan berbagai jejaring sosialnya.
Perlu ada usaha bersama dari pemerintah, ormas, mahasiswa dan para pemuda, LSM serta pers dalam rangka membentengi masyarakat dari pengaruh paham radikal untuk menjaga keutuhan bangsa secara preventif. Peran aktif mereka sebagai benteng ideologi sangat efektif terhadap virus ideologi paham gerakan radikalisme yang tidak hanya merongrong dan mencoreng ajaran Islam, tetapi juga bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Sangat penting bagi institusi pendidikan sejak dini untuk membekali siswa-siswanya dengan wawasan kebangsaan, keindonesiaan serta keislaman yang moderat, terbuka dan damai.
Di Indonesia Menurut penelitian Pew Research pada tahun 2015, ada kurang lebih 10 juta warga Indonesia berpaham radikal. Sementara itu penelitian Alvara Research pada tahun 2017 mengungkap ada 23% Mahasiswa mendukung negara Islam/Khilafah dan 16,8% menganggap Pancasila bukan ideologi yang tepat. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan bersama terutama mengenai keutuhan umat dan NKRI, penting kiranya kita bijak dalam setiap memperoleh informasi dari medsos dengan mengkonfirmasikannya terlebih dahulu agar tidak ikut terseret dalam pusara paham radikal, terlebih jangan sampai menjadi penyebarnya. Biasanya penyebaran berita bohong atau palsu ini (hoax) bertujuan untuk; 1. Menciptakan kebencian serta permusuhan untuk memprovokasi masyarakat, 2. Untuk mencari uang, 3. Menciptakan ketidakstabilan Indonesia agar paham-paham yang ada saling bertentangan.
Menurut pandangan Romy, terdapat cara untuk menghadapi paham radikalisme tersebut yaitu dengan meletakkan pancasila dan NKRI sebagai kesepakatan sejarah yang bersifat final. Pancasila merupakan common ground atau titik temu dari berbagai kalangan suku, lintas agama, juga pulau. Karena itu, pancasila harus dijaga dengan mengembangkan ajaran Islam yang ramah dan merangkul. Lebih lanjut, “Pancasila memang tidak ada dalam Islam, namun nilai-nilai yang ada dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam. Sila-sila dalam Pancasila adalah sila yang kompatibel dengan nilai Islam. Bukan berarti Pancasila adalah Islam.”
Menurutnya, “Islam yang merangkul atau yang sering disebut rahmatan lil ‘alamin, dicirikan dengan 4 (empat) hal. Pertama adalah moderat (tawassuth), kedua adil (ta’addul), dia berdiri diatas golongan, ketiga adalah toleran (tasammuh), dan keempat adalah seimbang (tawaazun).”
Pertama berfikir tawassuth. Sikap ini dimaksudkan sebagai sikap tengah (moderat) yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah tengah kehidupan bersama dengan menghindari sikap tatharruf (ekstrim).[20] Pemikiran ini merupakan bentuk perlawanan dari fundamentalisme. Berfikiran tawassuth berarti mereka tidak memihak salah satu dari ekstrim kiri maupun kanan, tidak menganut pada liberal maupun radikal serta juga tidak memiliki faham fundamental.
Secara umum, corak berfikir tawassuth ini berkenaan dengan metode keberimbangan akal dan wahyu. Dalam pengertian yang lebih luas, bahwa diperlukan keberimbangan antara wahyu dan akal dalam menyikapi diskursus keagamaan.
Kedua berfikir Ta’addul. Ta’addul berarti bersikap adil, proposional, obyektif dan mengutamakan kebenaran. Seseorang harus memegang kebenaran obyektif dalam pergaulan untuk mengembangkan kehidupan. Seseorang yang bersikap adil meskipun untuk dirinya sendiri akan dipandang orang lain sebagai tempat berlindung dan tidak menjadi ancaman. Seseorang harus bisa menjadi pengayom bagi orang lain karena karakter ini merupakan wujud dari risalah kenabian rahmatan lil ‘alami>n. Artinya bukan hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri atau golongannya melainkan penebar kasih buat semua orang dalam mengarungi kehidupan yang penuh dinamika ini. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
Ketiga berfikir Tasammuh. Tasammuh berarti sikap toleran. Dengannya, masalah-masalah hukum, sosial dan budaya dapat diselesaikannya secara luwes, fleksibel dan tidak muncul stagnansi. Toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain. Makna tasamuh disini yang sebenarnya bukanlah mencampura-dukkan keimanan dan ritual Islam dengan agama non Islam, tapi menghargai eksistensi agama orang lain. Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Bisa dicontohkan ketika penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama minoritas lainnya (al-Baghowy, 2011).[21]
Tasamuh mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah:
“Hai manusia, Sesung-guhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat ayat 13)
Konsep tasamuh yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah hal baru dalam kehidupan sekarang, tetapi sudah diaplikasikan jauh sebelumnya dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Keempat berfikir Tawaazun. Tawaazun adalah sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah Swt., kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Menurut Al-Ghazali tuntutan rasionalisme yang dikembangkan filosof memang dapat menghantarkan kepada kemajuan material yang sangat berarti, tetapi pada sisi yang lain dapat menjauhkan manusia dari Tuhannya, menafikan aspek moral-spiritual dan dapat menyesatkan umat. Sebaliknya ketika aspek batin mendapat atensitas berlebihan, dapat melumpuhkan intelektualitas, kreatifitas dan etos kerja. Dalam hal beberapa tulisannya, al-Ghazali berusaha untuk merumuskan keseimbangan antara tuntutan kemanusiaan dan ke-Tuhanan.(Zuhri: 62)
Islam diturunkan Allah ke muka bumi sebagai pedoman hidup manusia, bukan untuk menyulitkan atau menyengsarakan, tetapi untuk menata kehidupan manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan manusia lain, dan dengan makhluk-makhluk lainnya seperti jin, malaikat, hewan serta dengan alam sekitarnya. Islam telah mengatur kehidupan menurut sunnatullah yang membawa berkah bagi semua. Keseimbangan tersebut sekaligus menunjukkan keindahan Islam. Seimbang antara menjalankan hidup di dunia tanpa melupakan perkara-perkara profan. Sikap zuhud pun tidak berarti 100% mengacuhkan dunia, tetapi juga tidak bermaksud “mengejar” dunia yakni menjalankan aktivitasa dunia sesuai kebutuhan saja secara sederhana sesuai apa yang telah Rasulullah contohkan semasa hidup beliau dan tidak berlebih-lebihan.
Lebih jauh lagi, Romy dalam memutus mata rantai radikalisme berbasis agama ini adalah dengan mengembangkan 4 (empat) jenis persaudaraan (ukhuwah), yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah ‘alamiyah.
Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan sesama muslim, dimana pun ia berada, tak tersekat oleh negara. Itulah misalnya kenapa solidaritas Rohingya di Indonesia begitu viralnya. Ukhuwah insaniyah yaitu persaudaraan sesama manusia, tanpa adanya batas sebagai bangsa. Dikatakannya bahwa Allah SWT didalam Al-Qur’an menegaskan, manusia sengaja diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Persaudaraan ketiga adalah ukhuwah wathaniyah, yaitu persaudaraan sesama anak bangsa, dalam hal ini adalah konteks Indonesia. Kecintaan kepada tanah air adalah ajaran para nabi, termasuk nabi Ibrahim dan nabi Muhammad. Nabi Ibrahim pernah mendoakan keamanan negeri Mekkah. Begitu pula sebaliknya nabi Muhammad yang pernah mendoakan kecintaan kepada negerinya, Madinah.
Persaudaraan yang keempat adalah ukhuwah ‘alamiyah, yaitu persaudaraan kepada alam ciptaan Tuhan. Merusak lingkungan, menebang sembarangan, mengebom ikan, dan segala bentuk eksploitasi alam secara berlebihan adalah bentuk permusuhan kita dengan alam. Keempat persaudaraan tersebut diatas pada hakikatnya adalah perwujudan Islam Rahmatan lil ‘alamin. Jika keempat jenis persaudaraan tersebut menjadi panduan setiap muslim, maka Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar dunia, akan menjadi eksportir moderasi dan menjadi laboratorium toleransi dunia.





[1]  Madjid, Nur Cholis . 1995. Islam Agama Peradaban, Mencari Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. hlm. 270.
[2] Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional. Bandung: Mizan. h. 124
[3] J.U. Thalib. 2003. Radikalisme dan Islamo Phobia, Islam dan Terorisme (Z.A. Maulani dkk., ed.). Yogyakarta: UCY. h. 107
[4] Greg Fealy dan Virginia Hooker (ed.), Voices of Islam in Southeast Asia: a Contemporary Sourcebook (Singapore: ISEAS, 2006), hlm. 4.
[5] Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2001. Agama, Negara dan Penerapan Syariah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 139-149.
[6] Al-Asymawi, Muhammad Said. 1987. Al-Islam al-Siyasi. Kairo: Sina li al-Nasyr. hlm. 66
[7] M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2009), x.
[8] Oliver Roy, The Failure of Political Islam (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994), 2-4.
[9] Khaled Abou el-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist (New York: HarperCollins Publisher2, 2005), 18. Bandingkan dengan Ed. Husain, The Islamits (England: Penguin Books Ltd., 2007).
[10] Periksa R. Hrair Dekmejian, “Islamic Revival Catalysts, Categories, and Consequences” dalam T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism: Diversity and Unity (Bloomington: Indiana University Press, 1988), 4
[11] Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, terj. M. Sirozi (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 171; William Montgmery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London: T.J. Press, 1998), hlm. 2; H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 52.
[12] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 49.
[13] Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 136.
[14] Edi Susanto, “Kemungkinan Munculnya Paham Islam Radikal di Pesantren”, dalam Jurnal Tadris (Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Pamekasan, 2007), Vol. 2, No. 1, hlm. 3.
[15] Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 46-47.
[16] D. Hasan, “Radikalisme Islam: Jejak Sejarah, Politik Identitas, dan Repertoire Kekerasan”, Model-model Penelitian dalam Studi Keislaman (Mu’tasim, ed.), (Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga), hlm. 70.
[17] Lihat, Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Raja Grafindo persada, 1999), 46-47. 
[18] Roy, The Failure of Political Islam, 35.
[19] Nur Cholis Madjid. (1995). Islam Agama Peradaban, Mencari Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. h.260
[20] Nurcholis, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dan Nahdlatul Ulama. (Tulungagung: PC NU KAB. Tulungagung, 2011), hal, 96
[21] Baghowy. (2011). Tafsir: Maosoatul Quranil ‟Adzim. Juz 8. Yaman.



DOWNLOAD PDF

Related Posts:

0 Response to "Faham Radikalisme"

Post a Comment