Al-Qur’an dan Hadits Nabi
adalah kitab panduan dan pegangan umat khususnya Islam. Keduanya, baik
Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW menjadi sumber-sumber hukum Islam dan
telah menjadi pegangan umat Islam sejak masa hidup Rasulullah Muhammad SAW dan setelah
sepeninggalan beliau yakni masa Khalifah (Pengganti), Tabi’in, Salafus Shaleh,
hingga sekarang ini. Dengan pemahaman yang baik tentang al-Qur’an dan Hadits
akan baik pula cara pandang kita dan pola pikir kita dalam membantuk jati diri
sebagai manusia utuh dan insaanul kamil. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi
yang membutuhkannya.
AL-QUR’AN DAN HADITH; SEBUAH PEMAHAMAN
Oleh:
Sulaiman, S>Pd.I
A. AL-QUR’AN
1. Makna
Al-Qur’an
Aspek Etimologis
Makna
kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan keduanya berasal dari
kata qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan.
Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa
al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan, adalah merupakan suatu
pendapat yang paling mendekati kebenaran.[1]
Arti inilah disebut dalam firman Allah berikut ini:
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan
kami lah mengumpulkan nya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai membaca.
Maka bila kami telah selesai membacakan nya ikutilah bacaan tersebut”
(al-Qiyamah: 17-18).[2]
Aspek
Terminologi
Ditinjau dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah
banyak dikemukakan oleh para ‘Ulama. Diantaranya mereka ada yang
memberikan pengertian sama dengan al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu
tersebut dikenal dengan sebutan al-kitab.
Kaitannya dengan hal ini Al-Khudari memberikan definisi bahwa
al-kitab adalah al-Qur’an yaitu lafal bahasa Arab yang diturunkan pada Muhammad
untuk dipelajari dan diingat, yang dinukil secara mutawatir, termaktub diantara
dua sisi awal dan akhir, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surah an-Nas.[3]
Dalam definisi diatas tegas bahwa al-kitab adalah al-Qur’an itu
sendiri. Menurut Al-Amidi penegasan ini dipandang perlu untuk membedakan antara
al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya seperti Taurat, Injil dan Zabur. Sebab
ketiga kitab ini juga diturunkan oleh Allah yang wajib di imani oleh setiap
muslim.[4]
As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an,
al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi
terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah
jika dibaca.[5]
Menurut istilah ushul fiqh sebagaimana dikemukaakan oleh Abdul
Wahab Khallaf, Al Quran adalah: [6]
القرآن هو كلام الله
الذي نزّل به الروح الامين على قلب رسول الله محمد ابن عبد الله بألفاظه العربية
ومعانيه الحقه، ليكون حجة للرسول على أنّه رسول الله، ودستوراً للناس يهتدون
بهداه، وقربة يتعبدون بتلاوته. وهو المدون بين دفتي المصحف، المبدوء بسورة
الفاتحة، المختوم بسورة الناس، المنقول الينا بالتواتر كتابة ومشافهة جيلا عن جيل
محفوظا من أي تغيير او تبديل مصداق قول الله سبحانه فيه “ إنّا نحن نزلنا الذكر
وإنا له لحافظون”.
“Kalam
Allah yang diturunkan dengan perantara malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah
Muhammad ibnu Abdullah dengan bahasa Arab yang makna-maknanya benar supaya
menjadi bukti bagi Rasul tentang kebenarannya sebagai rasul, menjadi aturan
bagi manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk, dipandang beribadah
membacanya, dan ia dibubukan di antara
dua lembar mushaf, diawali dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat an-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawattir baik secara tertulis
maupun hafalan dari generasi ke generasi dan terpelihara dari segala perubahan
dan penggantian, sejalan dengan kebenaran firman Allah S.W.T “Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
menjaganya”.
Dari keterangan tersebut ada beberapa hal yang dapat dipahami,
yaitu bahwa Al Quran itu datang langsung dari Allah bukan karangan Nabi
sendiri. Al Quran juga tersusun atas bahasa arab, maka dari itu segala bentuk
terjemahan ataupun tafsiran walau dalam bentuk bahasa arab bukan dinamakan Al
Quran.
2.
Sejarah Turun dan Pembukuan Al-Qur’an
Alqur’an Pada Masa Rasulullah
Saw
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat
dari sebuah atau berupa sebuah surat yang pendek secara lengkap. Dan
penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun,
yakni 13 tahun waktu Nabi masih tinggal di Mekkah sebelum hijriyah dan 10 tahun
waktu Nabi sesudah hijrah ke Madinah.
Wahyu ilahi yang diturunkan sebelum hijrah tersebut disebut ayat
Makiyah merupakan 19/30 dari Al-Qur’an, surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek
dan gaya bahasanya singkat padat (ijaz), karena sasaran yang
pertama-tama dan utama pada periode Mekkah ini adalah orang-orang Arab asli
(suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya) yang sudah tentu mereka paham benar
akan bahasa Arab. Mengenai isi surat ayat Makkiyah pada pada umumnya berupa
ajakan/seruan untuk bertauhid yang murni atau Ketuhanan Yang Maha Esa secara
murni dan juga pembinaan mental dan akhlak.
Al-Qur’an
mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam Qadar tanggal 17 Ramadhan pada
waktu Nabi telah berusia 41 tahun bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M.
Wahyu yang pertama-tama diterima oleh Nabi adalah ayat 1-5 surat Al-‘Alaq, pada
waktu Nabi sedang berada di gua Hira, sedang wahyu yang terakhir adalah surat
Al-Maidah: 3, pada waktu Nabi sedang berwukuf di Arafah melakukan Haji Wada’
pada tanggal 9 Djulhijjah tahun kesepuluh Hijriyah 7 Maret 632 M. Antara wahyu
pertama dan wahyu terakhir yang diterima Nabi berselang kurang lebih 23 tahun.[7]
Pada
masa Nabi, setiap wahyu yang turun, satu ayat atau lebih, terlebih dahulu Nabi
Muhammad memahami dan menghafalkannya, kemudian disampaikan dan diajarkan
kepada para sahabatnya pesis seperti apa yang diterimanya, tanpa ada perubahan
dan penggantian sedikitpun. Selanjutnya Rasulullah menganjurkan kepada para
sahabat yang telah menerima ayat-ayat itu untuk menghafalkannya dan
meneruskannya pula kepada para pengikutnya.
Selain
itu wahyu tersebut ditulis dan dicatat oleh dewan penulis wahyu yang disebut
Khuttab al-Wahy yang telah dibentuk oleh Rasulullah. Mereka ini terdiri dari
para sahabat yang telah dapat menulis dan membaca, baik dari golongan Muhajirin
ataupun Anshar, baik ketika masih berada di Mekkah maupun di Madinah. Para
penulis wahyu tersebut tersebut ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Amer bin Al-‘Ash,
Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Abi Sufyan, Al-Mughirah bin Syu’bah, Zubair
bin Al-‘Awwam, Khalid bin Walid, Al-‘Ala Al-Hadhramiy, Muhammad bin Salamah,
Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Tsabit bin Qais ibn Syammas. Para penulis
wahyu ini menurut orientalis Blacherc dalam kutipannya Masyfuk Zuhdi berjumlah
40 oarang, demikian pula Maulana Muhammad Ali menurut kutipan Rif’at Syauqi dan
Muhammad Ali Hasan menyebutkan sejumlah itu.[8]
Untuk
menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan
lainnya, misalnya hadis Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang
sahabat menulis apapun selain Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dari hadis
riwayat Muslim dari Abi Sa’id Al-Khudriy yang berbunyi:
لاتكتبوا عني غير
القران ومن كتب عني غير القران فليمحه . رواه مسلم
“Janganlah
kalian tulis dariku sesuatu kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis
dari (sumberku) selain Al-Qur’an supaya menghapusnya.”
Larangan
Rasulullah untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an ini, oleh Dr. Adnan Muhammad
Zarzur dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin
nilai-nilai akurasi AL-Qur’an. (Ulumul Qur’an, Madkhul ila Tafsir Al-Qur’an
wa Bayan I’jazihi, hal 86). Setiap kali turun ayat Al-Qur’an Rasulullah
memanggil “jurnalis” wahyu. Hal ini bisa disimak pada hadis riwayat Imam Ahmad
yang dinyatakan shahih oleh Ibn Hibban dan Al-Hakim, dari Abdullahbin Abbas,
dari Utsman bin Affan.[9]
Kepada
para penulis wahyu ini Rasul menunjuk letak masing-masing ayat yang akan mereka
tuliskan, yaitu di dalam surat mana, sebelum atau sesudah ayat mana. Hal ini
disebabkan susunan ayat itu tidak kronologis, sebab kebanyakan surat tidaklah
diturunkan sekaligus komplit. Seringkali suatu surat belum selesai diturunkan
semua ayat-ayatnya telah disusuli pula oleh surat-surat lainnya, sehingga
apabila turun, Rasulullah lalu menunjukkan letak ayat itu. Apabila suatu surah
telah lengkap diturunkan semua ayat-ayatnya Rasulullah lalu memberikan nama
untuk surat itu, dan untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat
sebelumnya atau sesudahnya, Rasulullah menyuruh letakkan lafazh basmalah pada
awal masing-masing surat itu. Tertib urut ayat-ayat dalam masing-masing surat
itu dikokohkan pula oleh Nabi sendiri dengan bacaan-bacaannya dalam waktu
shalat ataupun di luar shalat.[10]
Diriwayatkan
dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata:
كنا عند رسول الله
نؤلف القران من الرقاع
“Kami di
sisi Rasulullah saw mengumpulkan Al-Qur’an dari kulit.”
Maksudnya mengumpulkan Al-Qur’an dengan mengurutkan ayat-ayatnya,
sesuai dengan petunjuk Rasululllah saw dan perintah (wahyu) dari Allah swt.
Oleh sebab itu, para ulama bersepakat bahwa pengumpulan AL-Qur’an adalah
bersifat “tauqifi”. Yaitu bahwa urutannya sedemikian rupa seperti yang kita
lihat saat ini, adalah berdasarkan perintah dari wahyu Allah swt.
Telah diceritakan bahwa Jibril as turun membawa satu atau beberapa
ayat kepada Nabi saw. Ia berkata kepada beliau: “Hai Muhammad! Allah swt
memerintahkan kepadamu supaya kamu meletakkan ayat ini pada permulaan ini dari
sudut ini.” Demikian pula Rasulullah saw berkata kepada para sahabat: “Letakkan
ayat itu pada tempat ini.”[11]
Mengenai penulisan Al-qur’an di masa Rasulullah, dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Tadwin Al-Qur’an, telah terjadi pada masa
Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah dituliskan dan telah tersusun
berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum tersusun seperti apa
yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu
kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun
ukurannya.
Al-Suyuti
mengatakan:
وقد كان القران كتب
كله في عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم لكن غير مجموع في موضع واحد ولا مرتب
السور
“Al-Qur’an
betul-betul talah ditulis seluruhnya (dengan lengkap) pada masa Rasulullah saw,
hanya saja belum terhimpun dalam satu bahan yang seragam dan surat-suratnya pun
belum tersusun urut (seperti yang dapat dilihat sekarang ini).”
2. Kegiatan-kegiatan dalam mentadwinkan Al-Qur’an
di masa Rasulullah itu menurut yang diterangkan oleh riwayat-riwayat adalah
terjadi dalam periode yang kedua, yaitu periode Madaniy, sedang dalam periode
pertama belumlah begitu tampak, walaupun telah ada juga lembaran-lembaran yang
bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu.[12]
Dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa sejarah dalam penulisan al-Qur’an pada masa nabi
dilakukan melalui dua cara yaitu hafalan dan tulisan, artinya setiap ayat yang
turun langsung di catat oleh penulis wahyu dan di hafal oleh para sahabat. Teknik
penulisan al-Qur’an pada masa rasul adalah menggunakan metode imla’(dekte). Para
penulis wahyu diantaranya seperti empat khalifah , zayd bin tsabit, abd allah
bin mas’ud, ubayya bin ka’b, dan
lain-lain sehingga jmlah mereka mecapai 43. Mereka menulis al- Qur’an pada
pelepah kurma, pohon, daun, kulit, tulang dll. Karena alat tulis sulit di dapat
di negara arab. Para sahabat menulis al-Qur’an
dengan mencatat setiap wahyu yang
turun persis sebagaimana yang disampaikan nabi Saw sedikitpun tidak mereka ubah.[13]
Pola
penerbitan dan penulisan sesuai dengan arahan Rasul, sehingga pengumpulan
al-Qur’an dan penerbitannya adalah mutlak dari rasul bukan berdasarkan ijtihat
Pola para sahabat. Sebagaimana sabda beliau:
ضعوا هذه السورة ضع
الذي يذكر فيه كذاوكذ.
Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar
As-Shiddiq
Setelah Rasulullah wafat dan di gantikan oleh Abu Bakar, pada masa
kekhalifahannya dihadapakan pada langkah berbahaya, di antaranya memerangi
kemurtadan yang terjadi diantara kaum
muslimin dan para pengikut musailimah al kazzab. Pada peperangan itulah banyak quraa’
dan huffadz yang gugur lebih dari 70 orang. Melihat kejadian itu, Umar
memberikan saran untuk mengumpulkan para quraa’ karena takut al-Qur’an
beransur-ansur hilang atas kematian para
penghafal.
Abu Bakar meminta Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur’an
dalam satu mushaf dan Zaid menerima
usulan Abu Bakar dan Umar.
Dalam menghimpun al-Qur’an di masa Abu Bakar Zaid bin Tsabit di
bantu oleh Ubay bin Ka’ab, Ali Bin Abi Thalib dan Ustman Bin Affan. Mereka
berulang kali mengadakan pertemuan dan mereka mengumpulkan tulisan tulisan yang
mereka tuliskan di masa Nabi.
Akhirnya zaid berhasil menghimpun al-Qur’an dalam bentuk kitab yang
kemudian diberi nama mushaf. Mushaf ini kemudian disimpan di rumah khalifah Abu
Bakar. Setelah beliau wafat disimpan di rumah Umar bin khathab, dan
sepeninggalan Umar di simpan di rumah hafshat bin Umar, salah seorang janda
Rasul.[15]
Lembaran-lembaran Al-Qur’an yang dikumpulakn menjadi satu mush}af
pada zaman Abu Bakar mempunyai beberapa segi kelebihan yang amat penting:
1. Penelitian yang sangat berhati-hati, detail,
cermat dan sempurna.
2. Yang ditulis pada mush}af hanya ayat yang sudah
jelas tidak di nasakh bacaannya.
3. Telah menjadi ilma’ umat secara mutawatir bahwa
yang tercatat itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4. Mush}af
itu memiliki Qira-ah Sab’ah yang dinuqil secara shahih.[16]
Tidak syak, ketiga tokohyang disebut di atas berperan penting dalam
pengumpulan Al-Qur’an. Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya
menjadi pencetus ide. Ini tentu punya arti tersendiri. Dan Zaid sudah barang
tentu mendapat kehormatan besar, karena ia dipercaya menghimpun Kitab Suci
Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan dan ketelitian juga kerja
keras. Tak bisa disangkal dalam hal ini khalifah Abu Bakar sebagai decision
maker menduduki posisi tersendiri. Tak berlebihan bila Ali Bin Abi Thalib
memujinya dengan mengatakan: ”Orang yang paling besar pahalanya di dalam
masalah mush}af adalah Abu Bakar. Dialah orang yang pertama yang (mengambil
keputusan) mengumpulkan kitab Allah”.[17]
Al-Qur’an
Pada Masa Khalifah Uthman Bin Affan
Pada masa ustman ini Islam telah banyak tersebar luas. Kaum
muslimin hidup berpencar di berbagai penjuru kota maupun pelosok. Disetiap
kampung terkenal s}uh}uf sahabat yang mengajarkan al-Qur’an pada penduduk kampung
itu. Penduduk Syam memakais}uh}uf ‘Ubai
bin ka’b. penduduk kuffah memekai mush}af
Abdullah bin mas’ud. Dan yang lain lagi memakai s}uh}uf Abu Musa Al-Asy’ari.
Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentuk s}uh}uf di kalangan mereka. sampai
hal ini membawa mereka kepada pertengtangan dan perpecahan di antara mereka
sendiri. Bahkan sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, karena
disebabkan perbedaan s}uh}uf tersebut.[18]
Kemudian ustman meminta kepada hafshah supaya memberikan s}uh}uf-s}uh}uf
yang ada padanya untuk disalin kedalam beberapa mushaf. Sesudah s}uh}uf
diterima beliau menyuruh Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Zaid Bin Ash,
Abd. Arrahman Bin Haris Bin Hisyam untuk menyalin dari s}uh}uf-s}uh}uf menjaddi beberapa mushaf. Setelah mereka
selesai melaksanakan pekerjaan tersebut, s}uh}uf-s}uh}uf itu dikembalikan
kepada Hafshah. Kemudian Usman mengirim ke Kufah, Basrah, Syams serta satu di
tangan khalifah Utsman sendiri.[19]
Kemudian memerintahkan supaya dibakar segala mushaf-mushaf yang lain dari badan
yang ditulis oleh badan yang terdiri dari empat tadi. Usman menyuruh kaum
muslimin supaya membaca al-Qur’an yang bermaterai ai-Imam.
Sesudah masa Ustman bisa disebut tidak ada lagi perubahan yang
berarti. pada masa Utsman adalah sekedar
memperbanyak salinan mushaf yang dikumpulkan pada masa aba bakar untuk di kirim
kan keberbagai wilayah Islam. Adapun sebab pengumpulan alquran adalah
terjadinya perbedaan suhuf dalam pembacaan alquran.
3. Pokok-pokok
kandungan Al-Qur’an
Secara
garis besar, hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan
dalam tiga hal.
Pertama, hukum-hukum yang berkenaan dengan i’tiqâd (keyakinan),
yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan iman kepada Allah SWT., Malaikat –
malaikat-Nya dan Rasul-rasul-Nya. Inilah yang menjadi pembahasan
ilmu kalam (Ushûl al-dîn).
Kedua, hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlaq
(etika), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan perilaku hati yang mengajak
manusia untuk berakhlaq mulia dan berbudi luhur. Ini adalah pembahasan ilmu
akhlaq.
Ketiga, hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘amaliyyah (tindakan
praktis), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan semua tindakan yang
dilakukan oleh manusia secara nyata, meliputi ucapan serta perbuatan yang
berhubungan dengan perintah, larangan dan penawaran yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Hal inilah yang menjadi pembahasan ilmu fiqh.[20]
4. Asbâb
al-Nuzûl
Al-Ja’bari,
sebagaimana dikutip oleh Al-Suyûthi menyatakan bahwa penurunan wahyu adakalanya
tanpa dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa, adakalanya pula dilatarbelakagi
oleh timbulnya suatu peristiwa atau pertanyaan yang diajukan oleh shahabat.
Dalam kaitannya dengan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, pengetahuan akan
sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya wahyu (asbâb al-nuzûl)
memegang peranan penting. Beberapa ayat tidak dapat dipahami maksud sebenarnya
tanpa mengetahui asbâb al-nuzûlnya.[21]
Al-Zarqânî
memberikan pendefinisian asbâb al-nuzûl sebagai hal-hal yang
diungkapkan atau dijelaskan hukumnya oleh suatu ayat atau beberapa ayat pada
saat ayat tersebut diturunkan. Maksudnya adalah bahwa asbâb al-nuzûl merupakan
peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah atau merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari kalangan shahabat dan menjadi perhatian
khusus Rasulullah.[22]
Dengan
mengetahui asbâb al-nuzûl ada beberapa manfaat yang
didapatkan. Secara terperinci Al-Suyûthî dan Al-Zarqânî menuturkan dalam
karyanya masing-masing.[23] Pertama,
mengetahui hikmah pensyari’atan suatu hukum. Kedua, membantu
pemahaman makna suatu ayat serta menjelaskan isykâl (kejanggalan
atau kesulitan makna)nya. Sebagaimana ayat:
Artinya : Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat. Maka ke manapun kamu menghadap, maka di situlah
wajah Allah. (QS: Al-Baqarah: 115)[24]
Ayat di
atas menegaskan bahwa seseorang tidak wajib menghadap kiblat ketika melakukan
shalat, dalam perjalanan maupun tidak. Namun hal ini menyalahi ijma’. Dengan
mengetahui sebab turunnya ayat akan diketahui bahwa ayat tersebut hanya
tertentu pada shalat sunnat dalam perjalanan. Atau dalam kasus seseorang yang
buta arah sehingga ia menentukan arah kiblat dengan ijtihad (upaya
dan kemantapan hati)nya sendiri, dan ternyata pilihannya salah. Maka ia tidak
wajib mengqadlâ’.
Ketiga, menepis persangkaan hashr (ketertentuan
pada suatu hal semata). Sebagaimana firman Allah :
Artinya: Katakanlah:
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir, atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu
kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS:
Al-An’am 145)[25]
Al-Syâfi’î
mengatakan bahwa ketika orang-orang kafir menganggap haram apa yang dihalalkan
Allah, menganggap halal apa yang diharamkan Allah, dan selalu berseberangan dan
bertentangan dengan syari’at-Nya, maka turunlah ayat ini dengan tujuan
menentang kehendak mereka. Seakan-akan Allah berfirman : ”Tidak ada
keharaman kecuali apa yang kalian halalkan, yakni bangkai, darah yang mengalir,
daging babi, dan makanan yang dibuat persembahan kepada selain Allah”.
Dengan ayat ini tidaklah dimaksudkan kehalalan dari selain hal-hal yang
dituturkan. Karena tujuan ayat ini hanya menetapkan keharaman, bukan menetapkan
kehalalan.
Keempat, mentakhs}i>s} hukum
dengan asba>b al-nuzu>l ayat, menurut orang-orang yang
memiliki pandangan bahwa yang dijadikan standar hukum adalah khushûs
al-sabab (spesifikasi latar belakang turunnya ayat), bukan ’umûm
al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat). Kelima,
Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari cakupan keumuman
hukumnya walaupun ada keterangan yang mentakhshîsh keumuman ayat.
Sehingga tatkala sebab turunnya ayat diketahui, maka takhshîsh hanya
berlaku pada selain kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat. Karena
tercakupnya kasus ketika ayat turun dalam keumuman redaksi lafazh merupakan
sesuatu yang qath’i (pasti), dan mengeluarkannya dari cakupan
keumuman berdasarkan ijtihad adalah tidak diperbolehkan. Keenam,
mengetahui perihal apa dan tentang siapa ayat diturunkan. Ketujuh,
secara psikologis, dapat me-mudahkan penghafalan dan menancapkan kefahaman bagi
orang yang mendengarkan ayat sekaligus mengetahui latar belakang turunnya.
Karena sabab dan hukum terkait dengan peristiwa yang
melatarbelakanginya. Sedangkan suatu peristiwa terkait dengan tokoh pelaku,
dimensi ruang dan waktunya. Hal-hal inilah yang menjadi faktor kuatnya ingatan,
serta kemudahan mengingatnya saat mengingat kaitan peristiwanya.[26]
5. Naskh dalam
Al-Qur’an
Dalam
kaitannya dengan pembahasan Al-Qur’an, permasala-han naskh (penyalinan
hukum) tidaklah dapat diabaikan. Karena sebagai sumber hukum primer,
Al-Qur’an haruslah menjadi rujukan utama dan pertama dalam penetapan hukum
syari’at. Ketika suatu ayat Al-Qur’an disalin atau diganti hukumnya dengan ayat
lain, maka keterkaitan ayat yang mansûkh (disalin hukumnya)
tersebut dengan perbuatan mukallaf (pengemban beban syari’at)
menjadi terputus dan tidak efektif lagi. Karenanya, dalam melakukan istinbâth (penggalian
hukum dari nash-nash Al-Qur’an dan al-sunnah), seorang
mujtahid harus memiliki pengetahuan mendalam tentang ayat-ayat mansûkh berikut
dalil yang menyalin (nâsikh)nya. Permasalahan naskh menjadi
begitu penting tatkala terjadi perdebatan seputar definisi naskh,
kemungkinan terjadinya, boleh tidaknya ayat-ayat Al-Qur’an dinaskh dengan
dalil selainnya dan sebaliknya, serta penentuan ayat-ayat yang mânsukh berikut nâsikhnya.
Para
ulama’ berbeda pandangan dalam mendefinisikan naskh. Namun di
antara sekian banyak pendefinisian, secara umum terdapat dua pendefinisian yang
paling populer.[27] Pertama, penjelasan
tentang selesainya masa berlaku suatu hukum syara’ dengan kemunculan
hukum syara’ yang lebih akhir. Maksud dari selesainya masa berlaku
suatu hukum syara’ adalah bahwa hukum yang ter-naskh telah
ditentukan batas akhir berlakunya di sisi Allah. Definisi ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh Al-Râzi dan Al-Baidlawi. Kedua, Menghapus
hukum syara’ dengan dalil syara’ yang muncul lebih
akhir. Maksud dari menghapus hukum syara’ adalah menghapus
efektifitas hukum syara’ dalam kaitannya dengan perbuatan mukallaf.
Dari dua
definisi ini, Tâj al-Dîn al-Subukî lebih memilih pendefinisian kedua.[28]
Namun, Syaikh al-Islâm Zakariyyâ al-Anshârî menganggap bahwa dua
pendefinisian ini memiliki substansi yang sama.[29]
Para ulama’ sepakat, bahwa secara rasional naskh sangat
mungkin terjadi dan secara faktual benar-benar terbukti.[30] Berbeda
halnya dengan ulama’ Yahudi yang secara rasional mengingkari keberadaan naskh karena
keengganan mereka menerima syari’at Islam yang menaskh semua
syari’at sebelumnya.[31]
Secara
dogmatik, kemungkinan terjadinya naskh didasarkan pada firman
Allah swt. :
Artinya : Dan apabila Kami letakkan suatu
ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih
mengetahui apa yang diturunkanNya, mereka berkata : “Sesungguhnya kamu adalah
orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS:
An-Nahl: 101)[34]
Secara
garis besar, Al-Qur’an adalah sumber hukum utama, dan al-sunnah bertindak
sebagai penjelasnya. Maka ketika terjadi naskh pada suatu ayat
dalam Al-Qur’an, dapatkah ayat tersebut dinaskh dengan al-sunnah,
mengingat keduanya sama-sama bersumber pada wahyu? Dalam permasalahan ini,
mayoritas ulama’ berpendapat bahwa al-sunnah dapat menaskh ayat
Al-Qur’an, karena keduanya bersumber dari wahyu Allah, sebagaimana firman Allah
:
Artinya : Dan tiadalah dia (Muhammad)
mengucapkan sesuatu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diturunkan (kepadanya). (QS: An-Najm 3-4)[35]
Dalam permasalahan ini dicontohkan bahwa ayat wasiat (QS:
Al-Baqarah 180) dinaskh dengan hadith yang diriwayatkan oleh
Turmudzi dan lainnya:
أَلاَ لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه الترمذي)
Artinya : Ingatlah, tidak ada wasiat bagi
ahli waris (HR. Turmudzi).[36]
Yang
jelas dari ungkapan ulama’ terdahulu, bahwa naskh menurut
mereka adalah lebih umum dari pengertian naskh yang
diistilahkan oleh ulama’ ushul fiqh. Ulama’ terdahulu mengungkapkan naskh
sebagai qayyid (pembatasan) terhadap yang muthlaq,
takhsîsh (pengecu-alian) terhadap yang umum dengan dalil muttashil atau munfashil,
dan bayân (kejelasan) dari yang mujmal (general),
sebagaimana pula mereka mengungkapkan naskh sebagagi
penghapusan hukum syara’ dengan hukum syara’ yang muncul lebih akhir sebagai
nash. Karena semuanya memiliki persamaan makna, yakni bahwanaskh dalam
istilahnya adalah bahwa yang dikehendaki dari suatu perintah adalah taklif
(pembebanan). Sedangkan yang dimaksud adalah khithab yang muncul lebih akhir.
Naskh sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn ‘Abbâs adalah peng-qayyid-an
terhadap yang muthlaq, bila ungkapan Allah نؤته
adalah muthlaqdan diberikan qayyid
“dengan kehendak Allah” sebagaimana dalam ayat yang lain لمن نريد . Atau bila hal tersebut bukan termasuk dalam permasalahan taqyîd
al-muthlaq, maka ayat di atas adalah kalam ikhbâr (kalimat
berita). Sedangkan khabar tidak dapat dinaskh.[37]
Dengan
demikian, dalam menentukan ayat-ayat Al-Qur’an yang mansûkh, perlu
adanya kehati-hatian. Karena ketika terjadi kontradiksi antara dua dalil atau
lebih, makanaskh adalah jalan terakhir, setelah terlebih dahulu
mencari kemungkinan takhshîsh, taqyîd, dan tabyîn.
Karenanya, perlu mengetahui runtutan peristiwa turunnya suatu khithab (asbâb
al-nuzûl dan asbâb al-wurûd). Di samping itu, dalam
mengadopsi keterangan generasi salaf (baca: shahabat) mengenai ayat-ayat
yang mansûkh, perlu penelusuran yang mendalam. Karena, naskh dalam
penyebutan shahabat memiliki makna yang berbeda dengan naskh dalam
terminologi ushul fiqh. Generasi shahabat menyebut naskh dengan
pengertian yang lebih umum, yakni mencakup takhshîsh, taqyîd,
dan tabyîn, selain juga makna naskh itu sendiri
dalam term ushul fiqh.
6. Al Quran Sebagai Sumber Hukum
Hukum dalam perspektif Islam
merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari totalitas sistem ajaran
Islam. Konsep hukum Islam dalam pandangan Nirwan Syafrin, dianggap memiliki
keunikan[38].
Dikatakan unik karena bersumber secara langsung kepada Allah. Dalam konsep
Islam hanya Allah yang berhak memutuskan atau menetukan sesuatu. Oleh karena
itu, para ulama telah sepakat bahwa hadith tidak dapat menasakhkan Al Quran.
Ulama’ telah sepakat bahwa Al
Quran bisa dibuat dalil dalam berijtihad hukum dan wajib diamalkan. Beberapa
contoh aplikasi Al Quran sebagai sumber dalam berbagai aspek hukum, yaitu:
Artinya:
Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan
mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang
kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada
cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.[39]
b.
Hukum khuluqi, diantaranya tentang sikap terhadap orang tua
dalam firman-Nya:
Artinya:
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia
berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau dan
Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.[40]
Ayat
diatas sebagai salah satu dasar untuk berbuat baik kepada kedua orang tua yang
mana ibunya telah mengandung dan menyapihnya dengan susah payah, dan hal itu
adalah budi baik yang tidak akan pernah terbalaskan.
c. Hukum
‘amali, salah
satunya adalah sebagai berikut:
Artinya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”[41]
7. Keh}ujjahan Al Quran
Seperti yang dikatakan Abdul Wahhab Khallaf sebagai berikut: [42]
“Alasan bahwa Al Quran adalah
hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah undang-undang
yang wajib ditaati ialah karena Al Quran itu datang dari Allah dan diturunkan
kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan keabsahannya.
Sedang bukti atau alasan kalau Al Quran datang dari Allah SWT, ialah bahwa Al
Quran itu i’jaz atau membuat orang tidak mampu mendatangkan atau membuat
yang seperti Al Quran.”
I’jaz tidak berpengaruh
kecuali dengan tiga syarat[43], yaitu:
1.
Tantangan, artinya harus ada perlawanan
2.
Adanya ungkapan dari penantang untuk mengadakan
sebuah tantangan
3.
Tidak ada penghalang untuk melakukan perlawanan
Ketika Nabi mengatakan pada kaum Quraisy bahwa beliau telah diutus
oleh Allah dengan bukti turunnya Al Quran yang langsung dari-Nya, banyak yang
menentang hal tersebut sehingga Allah menurunkan firmannya dalam surat
Al-Qashash, sebaga berikut:
“Katakanlah: Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah
yang kitab tersebut lebih (dapat) memberi petunjuk dari pada keduanya (Taurat
dan Al Quran) niscaya aku mengikutinya, jika kamu sungguh orang yang benar.”
Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya
mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat
daripada mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
dhalim.” (QS. Al-Qashash:49-50). [44]
B.
HADITH
1.
Pengertian Hadith
Secara etimologi, kata al-hadist berasal dari
kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – hadithan dengan pengertian yang
bermacam. Al-hadist dapat berarti a- jadid min al-asyya’ (sesuatu yang baru) sebagai lawan dari kata al-qadim
(sesuatu yang sudah lama, kuno, klasik). Kata al-hadith dapat pula berarti al-qarib,
yakni menunjukkan pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadith juga mempunyai makna al-khabar
yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal
(sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari
seseorang kepada orang lain. Hadith
juga berarti baru, lawan dari lama dekat/baru terjadi, perkataan, cerita, atau
berita.
Dari ketiga
arti kata al-hadis tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian
ketiga, yakni dalam arti al-khabar. Menurut Manna’ al-Qattan, hadis dalam
konteks ini dimaknai sebagai segala perkataan yang dinukil serta disampaikan
oleh manusia, baik kata-kata tersebut diperoleh melalui pendengaran atau wahyu,
baik dalam keadaan terjaga, maupun tertidur. Lebih lanjut, dalam kategori ini
al-Quran masuk sebagai bagian dari hadis. Begitu pula apa yang terjadi pada
manusia di waktu tidurnya juga dinamakan hadis.[45]
Pada umumnya,
para ulama mendefinisikan al-hadist dengan al-sunnah. Sunnah
secara etimologi berarti cara atau jalan hidup yang biasa dipraktekkan, baik
ataupun buruk. Sedangkan secara terminologi,
sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi saw.,
baik perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), sikap/ketetapan (taqriri) maupun sifat fisik dan psikis
Rasulullah saw., baik beliau sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.[46]
2.
Fungsi Hadist
Berkaitan
dengan fungsi hadis ini, al-Qur’an menekankan bahwa Rasulullah berfungsi
menjelaskan maksud dari firman Allah yang sebagian besar masih bersifat global,
sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an surat al-Nahl: 44.
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan - keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Disamping ayat
tersebut, dalam surat Ali Imran: 164 juga dijelaskan adanya rasul yang akan
memberikan penjelasan dan pelajaran pada umatnya.
Dari kedua ayat
atersebut, dapat kita pahami bahwa fungsi utama sunnah adalah sebagai penjelas
(bayan) terhadap al-Qur’an. Artinya untuk menggali hukum dalam al-Qur’an
dan memahami ayat-ayatnya sangat memerlukan hadis atau sunnah. Fungsi bayan
lebih banyak dikarenakan Allah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia dengan uslub yang mujmal,[47]
sehingga kita tidak mungkin dapat memahami al-Qur’an hanya berpatokan atau
mengandalkan al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, Allah memberi wewenang
kepada Nabi Muhammad untuk menjelaskan maksud-maksud al-Qur’an, baik dengan
perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.[48]
Adapun fungsi
hadis terhadap al-Qur’an selengkapnya sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw[49],
sebagai berikut:
1.
Hadis berfungsi
sebagai bayan al-Tafshil, yaitu hadis memiliki fungsi untk menjelaskan
atau merinci ke-mujmal-an al-Qur’an, sehingga dapat dipahami umat Islam.
Dalam al-qur’an ada perintah melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat,
mengerjakan haji, berjuang di jalan Allah dan sebagainya. Namun teknik
operasional dari kewajiban-kewajiban tersebut tidak dijumpai dalam al-Qur’an.
QS. Al-Baqarah: 110
“Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu
kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat
apa-apa yang kamu kerjakan.”
Dari ketentuan
teks al-Qur’an tersebut, kemudian Rasulullah mempraktikkan shalat dan kemudian
beliau bersabda:
صلواكمارأيتمونىاصلى
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari).
2.
Hadis berfungsi
sebagai bayan al-ta’kid, yaitu berfungsi memperkuat hukum-hukum yang
telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, sunnah hanya seperti
mengulangi apa yang dikatakan al-Qur’an, sehingga suatu perbuatan mempunyai dua
sumber hukum sekaligus, seperti firman Allah daam QS. An-Nisa’; 29 :
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
Dari ayat atersebut, Rasulullah kemudian menegaskan dalam hadis berikut:
لايحل مال امرئ مسلم الابطيب من نفسه
“Tidaklah halal harta seorang muslim, kecuali (hasil
dari pekerjaan) yang baik dari dirinya sendiri.” (HR. Ahmad).
3.
Hadis berfungsi
sebagai bayan al-muthlaq atau bayan al-taqyid.[50] Hadis
memberikan batasan-batasan atas ayat-ayat yang disebutkan secara mutlak,
sebagaimana misalnya terdapat pada QS. An-Nisa’:7 :
“Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Ayat tersebut bersifat mutlaq (umum), yang kemudian Nabi memberikan qayyid
(batasan), bahwa hak warisan itu tidak dapat diberikan kepada mereka yang
menjadi penyebab kematian orang tuanya, seperti sabda Rasulullah :
ليس للقاتل من المقتول سئ
“Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuh sedikitpun.” (HR. Al-Nasa’i)
4.
Hadis berfungsi
sebagai bayan al-takhsis. Hadis memiliki fungsi mengkhususkan (takhshis)
lafadz-lafadz di dalam al-Qur’an yang masih bersifat umum (amm). Seperti
contoh firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 24 :
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum
itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan
untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah
saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menghalalkan selain yang
tersebut. Akan tetapi kehalalan itu kemudian di-takhshis oleh Nabi, dimana
beliau mengharamkan memadu istri dengan bibi, baik dari garis ibu maupun ayah,[51]
dengan sabdanya :
لايجمع بين المرأةوعمتهاولابين
المرأةوخالتها
“Tidak boleh seorang mengumpulkan (memadu) seorang
wanita dengan ‘ammah (saudara bapak)nya, dan seorang wanita khalah (saudara
ibu)nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
5.
Hadis berfungsi
sebagai bayan al-tasyri’. hadis memiliki fungsi menetapkan suatu hukum
yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara jelas. Dalam ha ini seolah-olah
Nabi menetapkan hukum sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan dengan
seksama, apa yang ditetapkan oleh Nabi itu pula hakikatnnya adalah penjelasan
apa yang disinggung Allah dalam al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan
Allah secara terbatas. Sebagai contoh yaitu dalam QS. Al-maidah:3
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Dalam konteks fungsi sunnah sebagai bayan al-tasri’ ini, tidak semua ulama
setuju dengan fungsi sunnah menetapkan hukum baru selain yang terdapat dalam
al-Qur’an. Ulama yang setuju mendasarkan pendapatnya pada ‘ismah Nabi,
khususnnya dalam bidang syariat. Kelompok yang menolak, berpendapat bahwa
sumber hukum hannya Allah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah ketika
hendak menetapkan hukum. Menanggapi perdebatan tersebut, Quraish Shihab
berpendapat apabila fungsi sunnah terhadap al-Qur’an didefinisikan sebagai bayan
murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia sebagai
penjelas, penguat, pemerinci, pembatas maupun tambahan, semuanya bersumber dari Allah.[52]
6.
Hadis berfungsi
sebagai bayan al-naskh. Hadis berfungsi menghapuskan hukum-hukum yang
terdapat dalam al-Qur’an. fungsi hadi yang demikian ini adalah bagi mereka yang
berpendapat bahwa hadis dapat me-nasakh al-Qur’an, walaupun sebenarnya
pendapat semacam ini agak berlebihan. Sebagaimana firman Allah dalam QS.
Al-Baqarah: 180 :
“Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Secara umum para ulama menerimaprinsip nasakh sebagai alat untuk
mempertemukan ayat-ayat al-Qur’an yang secara mencolok bertolak belakang satu
dengan yang lain terlepas dari adanya perbedaan apakah suatu ayat tertentu
telah atau belum dihapus ooleh ayat-ayat lain.
Menurut al-Syafi’i, Ahmad dan ahli Dhahir, sebagaimana diikuti Quraish
Shihab, berpendapat tentang kemungkinan hadis dapat menasakh al-Qur’an.
Sebaliknya Imam Malik, Hanafiah dan mayoritas teolog, berpendapat adanya
kemungkinan nasakh hadis terhadap al-Qur’an. Namun secara umum semua sepakat
bahwa yang dapat menasakh adalah al-Qur’an.
Jadi, tidak bisa dibenarkan
sama sekali jika ada seorang yang mengaku muslim sekalipun mengatakan dirinya
beriman kepada al-quran namun menolak sunnah nabi. Sebab, menolak atau
mengingkari sunnah nabi sama saja halnya dengan mendustakan rialah yang dibaea
nabi untuk membenarkan al-quran. Dan menolak apa yang dibawa nabi berarti
menolak ajaran Allah.
3.
Sejarah Perkembangan Hadith
Sejarah perkembangan hadith merupakan masa atau
periode yang telah dilalui oleh hadith dari masa lahirnya dan tumbuh dalam
pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.[53]
Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadith sejak masa
timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadith, serta segala
hal yang memengaruhi hadith tersebut. Para ulama Muhadithin membagi sejarah
hadith dalam beberapa periode. Adapun para’ulama penulis sejarah hadith
berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadith. Ada yan membagi dalam tiga
periode, lima periode, dan tujuh periode.[54]
M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadith
menjadi tujuh periode sejak periode Nabi SAW hingga sekarang, yaitu sebagai
berikut.[55]
a. Periode Pertama: Perkembangan Nadis pada Masa
Rasulutlah SAW.
Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’
(masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam).[56] Pada periode inilah, hadith lahir berupa
sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi
menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat
Islam.
Para sahabat menerima hadith secara langsung dan tidak
langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. memberi ceramah,
pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun
penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau
dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah
atau utusan daerah yang datang kepada Nabiy
Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan
para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan
baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal,
memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadith dalam amalan
sehari-hari, serta mentablig¬kannya kepada orang lain.
b. Periode Kedua: Perkembangan Hadith pada Masa
Khulafa’ Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal
min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat
pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar
bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadith (As-Sunnah yang harus dipegangi
dalam seluruh aspek kehidupan umat.[57]
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan
hadith tersebar secara terbatas. Penulisan hadith pun masih terbatas dan belum
dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk
memperbanyak meriwayatkan hadith,dan
sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya
untuk menyebarluaskan Al-Quran.[58]
Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadith, yakni:
1. Dengan lafazh asli,
yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal benar
lafazh dari Nabi.
2. Dengan maknanya saja; yakni mereka
merivttayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari Nabi SAW.[59]
c. Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa
Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila
Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadith).[60]
Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir,
Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan
dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam
rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadith.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui
hadith-hadith Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah
Islamiyah untuk menanyakan hadith kepada sahabat-sahabat besar yang sudah
tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikiari, pada masa ini, di samping
tersebarnya periwayatan hadith ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan
untuk mencari hadith pun menjadi ramai.
Karena meningkatnya periwayatan hadith, muncullah
bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadith di
berbagai daerah di seluruh negeri. Dan pada periode ketiga ini mulai muncul
usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi
setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah
menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang
kemudian dinamakan golongan Syi’ah. Kedua, golongan khawarij, yang
menentang ‘Ali, dan golongan Mu’awiyah, dan ketiga; golongan jumhur
(golongan pemerintah pada masa itu).
Terpecahnya
umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk
mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk
mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadith palsu
dan menyebarkannya kepada masyarakat.
c. Periode Keempat: Perkembangan Hadith pada
Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin
(masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisandan pembukuan secara resmi, yakni yang
diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara
perseorangan, sebelum abad II H hadith sudah banyak ditulis, baik pada masa
tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.[61]
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II
H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H.[62]
Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadith
dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak
membukukandan mengumpulkan dalam
buku-buku hadith dari para perawinya, ada kemungkinan hadith-hadith tersebut
akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke
alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H,
Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn
Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma’mar- Al-Laits, Al-Auza’i, Malik, Ibnu
Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi’bin untuk membukukan hadith Rasul yang terdapat pada
penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa’ad Ibn
Zurarah Ibn ‘Ades, seorang ahli fiqh, murid ‘Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M
atau 106 H/ 724 M), dan hadith-hadith yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn
Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha
Madinah yang tujuh.[63]
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada
gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadith yang ada pada
ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang
membukukan hadith atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn
Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadith.[64]
Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadith atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh haditht yang ada di Madinah
dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang
terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama haditht pada masanya. Setelah
itu, para ulama besar berlomba-lomba membukukan hadist atas anjuran Abu ‘Abbas
As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah
adalah Malik,Yahya ibn Sa’id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan
Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi,
Al-Auza’i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i.[65]
e. Feriode
Kelima: Masa Men-tasbih-kan Hadith dan Penyusuran Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan
hadith. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’ -Al-Malik
tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal
hadith, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli
ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri
lain untuk mencari hadith.[66]
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadith-hadith
yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka
yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadith.
Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang
mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadith. Beliau
pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah,
Mesir, Damsyik, Qusariyah, ‘Asqalani,dan
Himsh.
Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan
hadith yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus
menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima haditht dari para
rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya
dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan
hadith dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk rpengacaukan hadith, para
ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a. Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik
dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan
lain-lain.
b. Memisahkan hadith-hadith yang sahih dari hadith yang dha’if
yakni dengan men-tashih-kan haditht
U1ama haditht yang mula-mula menyaringdan membedakan haditht-haditht yang sahih dari
yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq
ibn Rahawaih, seorang imam hadith yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan
dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya
yang terkenal dengan nama Al-jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya
membukukan hadith-hadith yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini
diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang
mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, di
antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan
An-Nasa’i. Mereka menyusun kitab-kitab hadith yang dikenal dengan Shahih
Al-Bukhari, Shahih Muslirn, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,dan Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian
dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
f. Periode Keenam: Dari Abad IV hingga Tahun
656 H.
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun
656 H, yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru
At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami’.[67]
Ulama-ulama hadith yang muncul pada abad ke-2 dan
ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadith dengan semata-mata
berpegang pada usaha sendiridan
pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di
setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad
keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari ‘Mutaakhirin’.
Kebanyakan haditht yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari
kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha
mencari sendiri kepada para penghapalnya.
g. Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah
Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini
dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami’ wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu
masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.[68]
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini
adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadith, menyaringnya, dan menyusun kitab
enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab fami’ yang umum’:
Pada .periode ini disusun Kitab-kitab Zawa’id,
yaitu usaha mengumpulkan hadith yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke
dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa’id susunan Ibnu Majah,
Kitab Zawa’id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan
masih banyak lagi kitab zawa’id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadith pada periode ini
mengumpulkan hadith-hadith yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah
kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Fami’ Al-Masanid wa As-Sunan
Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan fami’ul fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911
H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung
hadith-hadith yang tidak disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian
ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan
hadith-hadith itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di
antaranya Takhrij Hadith TafsirAl-Kasysyaf karangan Al-Zailai’i (762), Al-Kafi
Asy-Syafi fi Tahrij Ahadith Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dan
masih banyak lagi kitab takhrij lain.
4.
Kedudukan Hadith sebagai Sumber Hukum Islam
Sunnah adalah
sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an.
Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam,
maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum
Islam setelah al-Qur’an. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai
sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang
kebenaran Al-Hadith, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran
dijelaskan umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara
ayatnya adalah sebagai berikut:[69]
1. Setiap
Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad:
33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Patuh
kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran:
31)
3. Orang
yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5,
An-Nisa: 115).
4. Berhukum
terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan
lain mengapa umat Islam berpegang pada hadith karena selain memang di
perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi)
suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak
dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak
berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan
ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam
hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan
secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan
kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi
makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak
mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran
tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu
akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Imam-imam
pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As_sunnah
dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i
berkata;
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله ص م فقولوا بسنة رسول الله ص م ودعوا ما قلت
“Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang
berlawanan dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah
Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”
Perkataan
imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus
kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadith Nabi Saw.
Dan apa yang dikat erikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus
kita tinggalkan apabila dalam akan Asy-Syafi’i ini juga dikatakan oleh para
ulama yang lainnya.[70]
Tetapi
Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti
oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum
kerasulannya.
5.
Hubungan Hadith dengan al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka
As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas
daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam
hubungan dengan Al-Qur’an itu berdasarkan kitab Ar-Risalah adalah sebagai
berikut :[71]
1. Bayan At- Taqrir,
Bayan taqrir bisa juga disebut bayan ta’kid
dan bayan al-isbat jadi yang dimaksud dengan bayan taqrir yaitu As-Sunnah
berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadith
yang berbunyi:
فإذا رأيتموه فصومواوإذارأيتموه فأفطروا
(Apabila
kamu melihat bulan maka berpuasalah dan apabila
kamu melihat bulan maka berbukalah) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam
surat Al-Baqarah : 185.
2. Bayan At-Tafsir,
Yang disebut dengan bayan tafsir yaitu
menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadith :
صلو كما رأيتموني أصلي (رواه البخاري ومسلم)
“Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.”
Adalah merupakan tafsiran daripada ayat
Al-Qur’an yang umum, yaitu :
أقيمواالصلاة
“Kerjakan
shalat.”
Demikian pula hadith:
خذواعني مناسككم
“Ambillah
dariku perbuatan hajiku.”
Adalah tafsir dari
ayat Al-Qur’an;
وأتموالحج
“Dan sempurnakanlah haji.”
3. Bayan
At-Tasyri’
Dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah
mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam
Al’Qur’an. Bayan ini jugaa disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim.
Hadith merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak
ada dalam Al-Qur’an.
Hadith bayan at-tasyri’ ini
merupakan hadith yang diamalkan sebagaimana dengan hadith-hadith lainnya. Ibnu
Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadith-hadith Rasulullah Saw itu yang berupa
tambahan setelah Al-Qur’an merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan
tidak boleh kitaa tolak sebagai umat Islam.
Suatu contoh dari hadith dalam kelompok
ini adalah tentang hadith zakat fitrah yang berbunyi;
إن رسول الله صلي الله عليه وسلم فرض زكاة الفطرمن رمضا ن علي
النا س صاعا من تمرأوصاعا من شعيرعلي كل حراوعبد ذكر أو أنثي من المسلمين
Artinya:
“Rasulullah
Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulam Ramadhan satu
sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba,
laki-laki atau perempuan.”
Hadith yang termasuk bayan tasyri’
ini wajib diamalkan sebagaimana dengan hadith-hadith yang lainnya.
4. Bayan An-Nasakh
Kata An-Nasakh dari segi bahasa adalah al-itbal
(membatalkan), Al-ijalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan). Menurut
ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang
dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam
Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadith-hadith muawatir dan
masyhur saja. Sedangkan terhadap hadith ahad ia menolaknya.
Salah satu contoh hadith yang biasa
diajukan oleh para ulama adalah hadith;
لا وصية لوارث
Yang
artinya; “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Artinya:
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”(QS:Al-Baqarah: 180).[72]
6.
Pembagian Hadith
Para ulama hadith berbeda pendapat tentang
pembagian hadith ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi
sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian,
yakni hadith mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi
dua, yakni hadith mutawatir dan hadith ahad.
Dari segi Kuantitas hadith dibagi menjadi; 1) Hadith
Mutawatir, 2) Hadith Masyhur, dan
3) Hadith Ahad. Pembagian Ini, telah disepakati oleh kebanyakan Ulama Fiqh
dan Ulama Ushul. Sedang menurut kebanyakan Ulama Hadith, cukup dibagi
menjadi dua saja. Yakni: Hadith Mutawatir, Hadith Ahad.[73]
Dari segi kualitasnya, dengan melihat kenyataan,
bahwa sanad Hadith ada yang bersambung dan ada yang tidak bersambung, kemudian
perawinya ada yang dapat dipercaya dan ada yang tidak, serta kandungannya ada
yang janggal dan ada yang wajar, maka ulama Hadith lalu membagi Hadith dari
segi kualitas sanad, perawi dan juga matannya, pada: Hadith Shahih, Hadith
Hasan, dan Hadith Dha’if.[74]
7. Takhrijul Hadith
Takhrij menurut bahasa memiliki
beberapa makna. Yang paling mendekati disini adalah adalah berasal dari kata
kharaja (خرج)
kata al-ikhraj (الاخرج) dan
kata al-makhraj (المخرج).
Louis Ma’luf dalam Kamusnya al-Munjid menerangkan
bahwa kata takhrij adalah bentuk mashdar dari katakerja kharraja, yukharriju,
takhrij, kata ini diartikan sebagai “menjadikan sesuatu keluar dari suatu
tempat atau menjelaskan suatu masalah”.[75]
Mahmud al-Thahan dalam kitabnya Usul al-Takhrij wa Dirasat
al-Asanid, menjelaskan bahwa at-takhrij menurut pengertian asal bahasanya
adalah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada tiga pengertian takhrij, yaitu الإستنباط(mengeluarkan dari sumbernya), التدريب (melatih atau membiasakan), dan التوجيه (mengarahkan dan menjelaskan duduk persoalan).[76]
Dengan terminologi menurut Mahmud al-Thahan takhrij
al-hadith adalah :
التخريج هو الدلالة على
موضع الحديث فى مصادره الاصلية التى اخرجته بسنده ثم بيان مرتبته عند الحاجة
“Takhrij ialah penunjukan
terhadap tempat hadith dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan
martabatnya sesuai dengan keperluan.[77]
Takhrij menurut istilah menurut Nawir Yuslem adalah
menunjukkan tempat hadith pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadith tersebut
dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Said bin Abdillah bin al-Hamid, menjelaskan definisi
takhrij, bahwa Secara terminologi (ishtilah) term takhrij didefinisikan dalam
tiga bagian :
1. Takhrij adalah mengeluarkan hadith kepada manusia dengan
menuturkan sanad dan matannya. Sebagaimana dicontohkan bahwa hadith ini
dikeluarkan oleh Bukhari dengan artian Bukhari telah menampakkan hadith dan
menjelaskannya kepada orang-orang dengan cara menuturkan sanad dan matannya
secara sempurna.
2. Takhrij adalah mengeluarkan (menampakkan)
hadith-hadith pada kitab-kitab tertentu dengan menuturkan sanad orang yang
mentakhrij hadith tersebut yang telah dituturkan oleh pengarang kitab tertentu.
Sebagaimana dicontohkan bahwa kitab azkar karangan Imam Nawawi kemudian Ibnu
Hajar mentakhrij hadith dalam kitab azkar, karena dalam kitab tersebut tidak
disebutkan hadith lengkap dengan sanadnya.
3. Takhrij adalah menunjukkan hadith akan
sumbernya yang asli yang telah mengeluarkan hadith tersebut lengkap dengan
sanadnya serta menjelaskan derajat hadith tersebut ketika diperlukan.[78]
Metodologi Tahrij Hadith
1. Metode takhrij dengan jalan mengetahui rawi
hadith dari sahabat atau proses penelusuran hadith yang didasarkan pada
pengetahuan akan rawi atau di tingkat sahabat.[79]
2. Metode takhrij dengan jalan mengetahui lafaz
awal suatu matan hadith.[80]
3. Metode takhrij yang didasarkan pada
lafal-lafal tertentu dalam matan hadith, terutama lafal-lafal yang gharib atau
lafal-lafal yang asing untuk mempercepat proses takhrij.
Salah satu kitab yang paling terkenal untuk membantu dalam
proses takhrij dengan menggunakan metode ini adalah kitab al-Mu’jam al-Mufahras
li al-Fadh al-Hadith an-Nabawi karya A. J. Wensinck seorang guru besar bahasa
arab dari Universitas Leiden Belanda (w. 1939 M). kitab al-Mu’jam al-Mufahras
li al-Fadh al-Hadith an-Nabawi ini merujuk pada Sembilan kitab induk hadith
yaitu : Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Turmudzi, sunan Abu Daud, Sunan
Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darimy, Muwaththa’ Imam Malik dan Musnad Imam
Ahmad.[81]
[3] Khudari Beik, Tarikh al-Tasyri
al-Islamiy, (Indonesia: Dar Ihya wa al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1981)
[4] Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, (Kairo,
Muassasah Al-Halaby), 147-148.
[5] M. Ali As-Shabuni, Al- Tibyan Fi Ulum
Al-Qur’an, Dar Al-Arshad,Beirut, hal. 10
[6] Abd. Wahab Al Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (terj: Faiz el Muttaqien), Jakarta, Pustaka Amani, 2003, hal 23
[20] ‘Abd Al-Wahhâb
Khallâf, 'Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Qalam, cet. XII
1978, hlm. 32-33; Muhammad al-Khudlarî Bik, Tarikh Al-Tasyrî’
Al-Islâmî, Beirut: Dâr al-Fikr, cet VIII 1967, hlm. 17-18.
[22] Muhammad
‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqâni, Manâhil al-‘Urfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut,
Dâr al-Fikr, 1996, juz I hlm 76.
[27] Wahbah
al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, juz II hlm.
933-934. Naskh, oleh ulama’ salaf didefinisikan secara lebih umum
daripada dua pendefinisian tersebut. Yakni mencakup pula takhsish,
taqyid, dan tabyin, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian.
[28] Taj
al-Din al-Subuki, Jam’ al-Jawâmi’, Al-Biqa’: Dar Ibn ‘Abûd,
1995, juz II, hlm. 75-76. Ia menjelaskan, bahwa dengan pendefinisian kedua,
tercakup pula naskh terhadap suatu hukum sebelum mungkin untuk
diamalkan, hal mana ini juga merupakan salah satu bahan kontroversi di antara
ulama’ ushul fiqh.
[30] Hanya
saja ada riwayat syadz (asing) yang mengungkapkan bahwa
Abû Muslim al-Ashfihâni, seorang ulama’ tafsir kalangan Mu’tazilah, mengingkari
terjadinya naskh, walaupun secara rasional ia tidak menolak
bahwa naskh bukanlah suatu hal yang mustahil terjadi. Namun,
inipun tidak lebih dari sekedar kontroversi dalam tataran retorika, karena ia
menggolongkan naskh sebagaimana yang dikehendaki mayoritas
ulama’ sebagai takhshîsh terhadap suatu hukum pada dimensi
waktu tertentu. Al-Syaukani, op.cit., hlm. 185;
Zakariyyâ al-Anshârî, ibid., hlm. 90.
[36] Menurut
keterangan Ibn Abbas, bahwa yang menaskh ayat wasiat adalah
ayat mawarits. Namun, keterangan ini pun masih
menimbulkan spekulasi, apakah yang dimaksudkan naskh oleh Ibn Abbas
adalah pengertian naskh menurut ulama’ ushul fiqh, atau naskh dalam
pengertian luas yang mencakup pula takhsish, taqyid dan tabyin,
sebagaimana yang akan dipaparkan kemudian.
[38] Makalah
Workshop Pemikiran Islam “Mencari Akar Epistemologi Islam”, Yogyakarta,
8-11 April 2005.
[39] QS. Al-Baqarah: 257.
[40] QS. Al-Ahqaaf: 15.
[41] QS. Al-Imran: 92
[42] Ibid, hal 24.
[43] Abd. Wahab Khallaf, ilmu ushul fiqih, terj:
Faiz El Muttaqien, hal.20
[44] QS. Al-Qashash: 49-50
[45] Manna‘ Khalil Qattan, Mabahis fi
‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Mansyurat al-‘Asr al-Hadis, 1973) 22-23.
[46] Tim Penyusun IAIN SA, Pengantar Studi Islam, (IAIN Ampel Press: Surabaya, 2009), 41.
[47] Badran Abu al-‘Ainain Badran, Bayan
al-Nusus al-Tasyri’iyah, Thuruquha wa anwa’uha, (Iskandariyah: Al- Thaba’ah
wa al-Masyr wa al-Tanzi, 1982), 5.
[48] Muhammad Abu zahw, al-Hadith wa
a-Muhadditsun (Mesir: Mathba’ah Misra,tth), 37
[50] Abu Zahra Ushul, 170
[51] Abu Zahra, Ushul, 113.
[53] Endang Soetari, Ilmu Hadith: Kajian
Riwayah dan Dirayah. (Bandung; Mimbar Pustaka. 2005), 29.
[54] Ibid. 30.
[55] M. Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadith. (Jakarta: Bulan Bintang. 1987), 46.
[56] Barmawie Umarie. Status Hadith sebagai
Dasar Tasjri. (Solo: AB. Siti Sjamsijah, 1965), 17.
[57] Soetari. Op.cit. hlm. 41-46. Lihat
juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit. 59-69. Barmawie Umarie. Op. Cit.
17-18
[58] Ash- Shiddieqy. Op. cit. 62.
[59] Ibid, 63
[60] Ibid. 47-54. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit.
69-78.
[61] Ibid, 78-88
[62] Soetari. Op.cit.hlm.54
[63] Ketujuh Fuqaha Madinah adalah AI-Qasim,
`Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id Ibn Musavyab, Abdillah Ibn
Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid IbnTsabit, dan Sulaiman
IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. op.cit. hlm. 79.
[64] Az-Zuhri menerima hadith dari Ibnu ‘Umar,
Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan
Abu Umamah ibn Sahel.
[66] Ibid, 89-104
[67] Ibid, 101-102.
[68] Umarie. op. Cit, 21; Lihat Ash-Shidieqy. op. Cit, 126-134.
[69] Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadith 2, (
Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 365.
[70] Ibid, 355-357.
[71] Ibid.hal.76
[72] Ibid, 76-86.
[76] Mahmud al-Thahhan, Usul
al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Riyadh, Maktabah al-Ma’arif, 1991 M/1412
H), 97.
[78] Said bin Abdillah bin
al-Hamid, Thuruqu Takhrij al-Hadith, (Riyadh: Darul Ulum al-Sunnah
Linnasir, 2000), 6-7.
0 Response to "AL-QUR'AN DAN HADITH: SEBUAH PEMAHAMAN"
Post a Comment