AL-QUR'AN DAN HADITH: SEBUAH PEMAHAMAN

Al-Qur’an dan Hadits Nabi adalah kitab panduan dan pegangan umat khususnya Islam. Keduanya, baik Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW menjadi sumber-sumber hukum Islam dan telah menjadi pegangan umat Islam sejak masa hidup Rasulullah Muhammad SAW dan setelah sepeninggalan beliau yakni masa Khalifah (Pengganti), Tabi’in, Salafus Shaleh, hingga sekarang ini. Dengan pemahaman yang baik tentang al-Qur’an dan Hadits akan baik pula cara pandang kita dan pola pikir kita dalam membantuk jati diri sebagai manusia utuh dan insaanul kamil. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya.


AL-QUR’AN DAN HADITH; SEBUAH PEMAHAMAN
Oleh: Sulaiman, S>Pd.I

Referensi pihak ketiga

A. AL-QUR’AN
1. Makna Al-Qur’an
Aspek Etimologis
Makna kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan keduanya berasal dari kata qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan, adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran.[1] Arti inilah disebut dalam firman Allah berikut ini:
 


Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kami lah mengumpulkan nya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai membaca. Maka bila kami telah selesai membacakan nya ikutilah bacaan tersebut” (al-Qiyamah: 17-18).[2]

Aspek Terminologi
Ditinjau dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah banyak dikemukakan oleh para ‘Ulama. Diantaranya mereka ada yang memberikan pengertian sama dengan al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut dikenal dengan sebutan al-kitab.
Kaitannya dengan hal ini Al-Khudari memberikan definisi bahwa al-kitab adalah al-Qur’an yaitu lafal bahasa Arab yang diturunkan pada Muhammad untuk dipelajari dan diingat, yang dinukil secara mutawatir, termaktub diantara dua sisi awal dan akhir, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.[3]
Dalam definisi diatas tegas bahwa al-kitab adalah al-Qur’an itu sendiri. Menurut Al-Amidi penegasan ini dipandang perlu untuk membedakan antara al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya seperti Taurat, Injil dan Zabur. Sebab ketiga kitab ini juga diturunkan oleh Allah yang wajib di imani oleh setiap muslim.[4]
As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.[5]
Menurut istilah ushul fiqh sebagaimana dikemukaakan oleh Abdul Wahab Khallaf, Al Quran adalah: [6]
القرآن هو كلام الله الذي نزّل به الروح الامين على قلب رسول الله محمد ابن عبد الله بألفاظه العربية ومعانيه الحقه، ليكون حجة للرسول على أنّه رسول الله، ودستوراً للناس يهتدون بهداه، وقربة يتعبدون بتلاوته. وهو المدون بين دفتي المصحف، المبدوء بسورة الفاتحة، المختوم بسورة الناس، المنقول الينا بالتواتر كتابة ومشافهة جيلا عن جيل محفوظا من أي تغيير او تبديل مصداق قول الله سبحانه فيه “ إنّا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون”.

“Kalam Allah yang diturunkan dengan perantara malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad ibnu Abdullah dengan bahasa Arab yang makna-maknanya benar supaya menjadi bukti bagi Rasul tentang kebenarannya sebagai rasul, menjadi aturan bagi manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk, dipandang beribadah membacanya, dan ia dibubukan di antara  dua lembar mushaf, diawali dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawattir baik secara tertulis maupun hafalan dari generasi ke generasi dan terpelihara dari segala perubahan dan penggantian, sejalan dengan kebenaran firman Allah S.W.T “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya”.

Dari keterangan tersebut ada beberapa hal yang dapat dipahami, yaitu bahwa Al Quran itu datang langsung dari Allah bukan karangan Nabi sendiri. Al Quran juga tersusun atas bahasa arab, maka dari itu segala bentuk terjemahan ataupun tafsiran walau dalam bentuk bahasa arab bukan dinamakan Al Quran.

2. Sejarah Turun dan Pembukuan Al-Qur’an
Alqur’an Pada Masa Rasulullah Saw
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah atau berupa sebuah surat yang pendek secara lengkap. Dan penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 13 tahun waktu Nabi masih tinggal di Mekkah sebelum hijriyah dan 10 tahun waktu Nabi sesudah hijrah ke Madinah.
Wahyu ilahi yang diturunkan sebelum hijrah tersebut disebut ayat Makiyah merupakan 19/30 dari Al-Qur’an, surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek dan gaya bahasanya singkat padat (ijaz), karena sasaran yang pertama-tama dan utama pada periode Mekkah ini adalah orang-orang Arab asli (suku Quraisy dan suku-suku Arab lainnya) yang sudah tentu mereka paham benar akan bahasa Arab. Mengenai isi surat ayat Makkiyah pada pada umumnya berupa ajakan/seruan untuk bertauhid yang murni atau Ketuhanan Yang Maha Esa secara murni dan juga pembinaan mental dan akhlak.
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam Qadar tanggal 17 Ramadhan pada waktu Nabi telah berusia 41 tahun bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Wahyu yang pertama-tama diterima oleh Nabi adalah ayat 1-5 surat Al-‘Alaq, pada waktu Nabi sedang berada di gua Hira, sedang wahyu yang terakhir adalah surat Al-Maidah: 3, pada waktu Nabi sedang berwukuf di Arafah melakukan Haji Wada’ pada tanggal 9 Djulhijjah tahun kesepuluh Hijriyah 7 Maret 632 M. Antara wahyu pertama dan wahyu terakhir yang diterima Nabi berselang kurang lebih 23 tahun.[7]
Pada masa Nabi, setiap wahyu yang turun, satu ayat atau lebih, terlebih dahulu Nabi Muhammad memahami dan menghafalkannya, kemudian disampaikan dan diajarkan kepada para sahabatnya pesis seperti apa yang diterimanya, tanpa ada perubahan dan penggantian sedikitpun. Selanjutnya Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat yang telah menerima ayat-ayat itu untuk menghafalkannya dan meneruskannya pula kepada para pengikutnya.
Selain itu wahyu tersebut ditulis dan dicatat oleh dewan penulis wahyu yang disebut Khuttab al-Wahy yang telah dibentuk oleh Rasulullah. Mereka ini terdiri dari para sahabat yang telah dapat menulis dan membaca, baik dari golongan Muhajirin ataupun Anshar, baik ketika masih berada di Mekkah maupun di Madinah. Para penulis wahyu tersebut tersebut ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Amer bin Al-‘Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Abi Sufyan, Al-Mughirah bin Syu’bah, Zubair bin Al-‘Awwam, Khalid bin Walid, Al-‘Ala Al-Hadhramiy, Muhammad bin Salamah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Tsabit bin Qais ibn Syammas. Para penulis wahyu ini menurut orientalis Blacherc dalam kutipannya Masyfuk Zuhdi berjumlah 40 oarang, demikian pula Maulana Muhammad Ali menurut kutipan Rif’at Syauqi dan Muhammad Ali Hasan menyebutkan sejumlah itu.[8]
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan lainnya, misalnya hadis Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dari hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id Al-Khudriy yang berbunyi:
لاتكتبوا عني غير القران ومن كتب عني غير القران فليمحه . رواه مسلم
“Janganlah kalian tulis dariku sesuatu kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis dari (sumberku) selain Al-Qur’an supaya menghapusnya.”

Larangan Rasulullah untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an ini, oleh Dr. Adnan Muhammad Zarzur dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin nilai-nilai akurasi AL-Qur’an. (Ulumul Qur’an, Madkhul ila Tafsir Al-Qur’an wa Bayan I’jazihi, hal 86). Setiap kali turun ayat Al-Qur’an Rasulullah memanggil “jurnalis” wahyu. Hal ini bisa disimak pada hadis riwayat Imam Ahmad yang dinyatakan shahih oleh Ibn Hibban dan Al-Hakim, dari Abdullahbin Abbas, dari Utsman bin Affan.[9]
Kepada para penulis wahyu ini Rasul menunjuk letak masing-masing ayat yang akan mereka tuliskan, yaitu di dalam surat mana, sebelum atau sesudah ayat mana. Hal ini disebabkan susunan ayat itu tidak kronologis, sebab kebanyakan surat tidaklah diturunkan sekaligus komplit. Seringkali suatu surat belum selesai diturunkan semua ayat-ayatnya telah disusuli pula oleh surat-surat lainnya, sehingga apabila turun, Rasulullah lalu menunjukkan letak ayat itu. Apabila suatu surah telah lengkap diturunkan semua ayat-ayatnya Rasulullah lalu memberikan nama untuk surat itu, dan untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat sebelumnya atau sesudahnya, Rasulullah menyuruh letakkan lafazh basmalah pada awal masing-masing surat itu. Tertib urut ayat-ayat dalam masing-masing surat itu dikokohkan pula oleh Nabi sendiri dengan bacaan-bacaannya dalam waktu shalat ataupun di luar shalat.[10]
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata:
كنا عند رسول الله نؤلف القران من الرقاع
“Kami di sisi Rasulullah saw mengumpulkan Al-Qur’an dari kulit.”

Maksudnya mengumpulkan Al-Qur’an dengan mengurutkan ayat-ayatnya, sesuai dengan petunjuk Rasululllah saw dan perintah (wahyu) dari Allah swt. Oleh sebab itu, para ulama bersepakat bahwa pengumpulan AL-Qur’an adalah bersifat “tauqifi”. Yaitu bahwa urutannya sedemikian rupa seperti yang kita lihat saat ini, adalah berdasarkan perintah dari wahyu Allah swt.
Telah diceritakan bahwa Jibril as turun membawa satu atau beberapa ayat kepada Nabi saw. Ia berkata kepada beliau: “Hai Muhammad! Allah swt memerintahkan kepadamu supaya kamu meletakkan ayat ini pada permulaan ini dari sudut ini.” Demikian pula Rasulullah saw berkata kepada para sahabat: “Letakkan ayat itu pada tempat ini.”[11]
Mengenai penulisan Al-qur’an di masa Rasulullah, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Tadwin Al-Qur’an, telah terjadi pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.
Al-Suyuti mengatakan:
وقد كان القران كتب كله في عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم لكن غير مجموع في موضع واحد ولا مرتب السور
“Al-Qur’an betul-betul talah ditulis seluruhnya (dengan lengkap) pada masa Rasulullah saw, hanya saja belum terhimpun dalam satu bahan yang seragam dan surat-suratnya pun belum tersusun urut (seperti yang dapat dilihat sekarang ini).”

2. Kegiatan-kegiatan dalam mentadwinkan Al-Qur’an di masa Rasulullah itu menurut yang diterangkan oleh riwayat-riwayat adalah terjadi dalam periode yang kedua, yaitu periode Madaniy, sedang dalam periode pertama belumlah begitu tampak, walaupun telah ada juga lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu.[12]

Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sejarah dalam penulisan al-Qur’an pada masa nabi dilakukan melalui dua cara yaitu hafalan dan tulisan, artinya setiap ayat yang turun langsung di catat oleh penulis wahyu dan di hafal oleh para sahabat. Teknik penulisan al-Qur’an pada masa rasul adalah menggunakan metode imla’(dekte). Para penulis wahyu diantaranya seperti empat khalifah , zayd bin tsabit, abd allah bin mas’ud, ubayya bin ka’b,  dan lain-lain sehingga jmlah mereka mecapai 43. Mereka menulis al- Qur’an pada pelepah kurma, pohon, daun, kulit, tulang dll. Karena alat tulis sulit di dapat di negara arab. Para sahabat menulis al-Qur’an  dengan  mencatat setiap wahyu yang turun persis sebagaimana yang disampaikan nabi Saw sedikitpun tidak mereka ubah.[13]
Pola penerbitan dan penulisan sesuai dengan arahan Rasul, sehingga pengumpulan al-Qur’an dan penerbitannya adalah mutlak dari rasul bukan berdasarkan ijtihat Pola para sahabat. Sebagaimana sabda beliau:
ضعوا هذه السورة ضع الذي يذكر فيه كذاوكذ.
Letakkan surat ini di tempat yang di dalamnya di sebutkan ini dan ini”[14]

Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah Rasulullah wafat dan di gantikan oleh Abu Bakar, pada masa kekhalifahannya dihadapakan pada langkah berbahaya, di antaranya memerangi kemurtadan  yang terjadi diantara kaum muslimin dan para pengikut musailimah al kazzab. Pada peperangan itulah banyak quraa’ dan huffadz yang gugur lebih dari 70 orang. Melihat kejadian itu, Umar memberikan saran untuk mengumpulkan para quraa’ karena takut al-Qur’an beransur-ansur hilang  atas kematian para penghafal.
Abu Bakar meminta Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf  dan Zaid menerima usulan Abu Bakar dan Umar.
Dalam menghimpun al-Qur’an di masa Abu Bakar Zaid bin Tsabit di bantu oleh Ubay bin Ka’ab, Ali Bin Abi Thalib dan Ustman Bin Affan. Mereka berulang kali mengadakan pertemuan dan mereka mengumpulkan tulisan tulisan yang mereka tuliskan di masa Nabi.
Akhirnya zaid berhasil menghimpun al-Qur’an dalam bentuk kitab yang kemudian diberi nama mushaf. Mushaf ini kemudian disimpan di rumah khalifah Abu Bakar. Setelah beliau wafat disimpan di rumah Umar bin khathab, dan sepeninggalan Umar di simpan di rumah hafshat bin Umar, salah seorang janda Rasul.[15]
Lembaran-lembaran Al-Qur’an yang dikumpulakn menjadi satu mush}af pada zaman Abu Bakar mempunyai beberapa segi kelebihan yang amat penting:
1. Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.
2. Yang ditulis pada mush}af hanya ayat yang sudah jelas tidak di nasakh bacaannya.
3. Telah menjadi ilma’ umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4. Mush}af itu memiliki Qira-ah Sab’ah yang dinuqil secara shahih.[16]
Tidak syak, ketiga tokohyang disebut di atas berperan penting dalam pengumpulan Al-Qur’an. Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentu punya arti tersendiri. Dan Zaid sudah barang tentu mendapat kehormatan besar, karena ia dipercaya menghimpun Kitab Suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan dan ketelitian juga kerja keras. Tak bisa disangkal dalam hal ini khalifah Abu Bakar sebagai decision maker menduduki posisi tersendiri. Tak berlebihan bila Ali Bin Abi Thalib memujinya dengan mengatakan: ”Orang yang paling besar pahalanya di dalam masalah mush}af adalah Abu Bakar. Dialah orang yang pertama yang (mengambil keputusan) mengumpulkan kitab Allah”.[17]

Al-Qur’an Pada Masa Khalifah Uthman Bin Affan
Pada masa ustman ini Islam telah banyak tersebar luas. Kaum muslimin hidup berpencar di berbagai penjuru kota maupun pelosok. Disetiap kampung terkenal s}uh}uf sahabat yang mengajarkan al-Qur’an pada penduduk kampung itu. Penduduk Syam memakais}uh}uf  ‘Ubai bin ka’b. penduduk kuffah memekai  mush}af Abdullah bin mas’ud. Dan yang lain lagi memakai s}uh}uf Abu Musa Al-Asy’ari. Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentuk s}uh}uf di kalangan mereka. sampai hal ini membawa mereka kepada pertengtangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, karena disebabkan perbedaan s}uh}uf tersebut.[18]
Kemudian ustman meminta kepada hafshah supaya memberikan s}uh}uf-s}uh}uf yang ada padanya untuk disalin kedalam beberapa mushaf. Sesudah s}uh}uf diterima beliau menyuruh Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Zaid Bin Ash, Abd. Arrahman Bin Haris Bin Hisyam untuk menyalin dari s}uh}uf-s}uh}uf  menjaddi beberapa mushaf. Setelah mereka selesai melaksanakan pekerjaan tersebut, s}uh}uf-s}uh}uf itu dikembalikan kepada Hafshah. Kemudian Usman mengirim ke Kufah, Basrah, Syams serta satu di tangan khalifah Utsman sendiri.[19] Kemudian memerintahkan supaya dibakar segala mushaf-mushaf yang lain dari badan yang ditulis oleh badan yang terdiri dari empat tadi. Usman menyuruh kaum muslimin supaya membaca al-Qur’an yang bermaterai ai-Imam.
Sesudah masa Ustman bisa disebut tidak ada lagi perubahan yang berarti.  pada masa Utsman adalah sekedar memperbanyak salinan mushaf yang dikumpulkan pada masa aba bakar untuk di kirim kan keberbagai wilayah Islam. Adapun sebab pengumpulan alquran adalah terjadinya perbedaan suhuf dalam pembacaan alquran.

3. Pokok-pokok kandungan Al-Qur’an
Secara garis besar, hukum-hukum  yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan dalam tiga hal.
Pertama, hukum-hukum yang berkenaan dengan i’tiqâd (keyakinan), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan iman kepada Allah SWT., Malaikat – malaikat-Nya dan Rasul-rasul-Nya. Inilah  yang menjadi pembahasan ilmu kalam (Ushûl al-dîn).
Kedua, hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlaq (etika), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan perilaku hati yang mengajak manusia untuk berakhlaq mulia dan berbudi luhur. Ini adalah pembahasan ilmu akhlaq.
Ketiga, hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘amaliyyah (tindakan praktis), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan semua tindakan yang dilakukan oleh manusia secara nyata, meliputi ucapan serta perbuatan yang berhubungan dengan perintah, larangan dan penawaran yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hal inilah yang menjadi pembahasan ilmu fiqh.[20]

4. Asbâb al-Nuzûl
Al-Ja’bari, sebagaimana dikutip oleh Al-Suyûthi menyatakan bahwa penurunan wahyu adakalanya tanpa dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa, adakalanya pula dilatarbelakagi oleh timbulnya suatu peristiwa atau pertanyaan yang diajukan oleh shahabat. Dalam kaitannya dengan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, pengetahuan akan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya wahyu (asbâb al-nuzûl) memegang peranan penting. Beberapa ayat tidak dapat dipahami maksud  sebenarnya tanpa mengetahui asbâb al-nuzûlnya.[21]
Al-Zarqânî memberikan pendefinisian asbâb al-nuzûl sebagai hal-hal yang diungkapkan atau dijelaskan hukumnya oleh suatu ayat atau beberapa ayat pada saat ayat tersebut diturunkan. Maksudnya adalah bahwa asbâb al-nuzûl merupakan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah atau merupakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari kalangan shahabat dan menjadi perhatian khusus Rasulullah.[22]
Dengan mengetahui asbâb al-nuzûl ada beberapa manfaat yang didapatkan. Secara terperinci Al-Suyûthî dan Al-Zarqânî menuturkan dalam karyanya masing-masing.[23] Pertama, mengetahui hikmah pensyari’atan suatu hukum. Kedua, membantu pemahaman makna suatu ayat serta menjelaskan isykâl (kejanggalan atau kesulitan makna)nya. Sebagaimana ayat:
 


Artinya : Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke manapun kamu menghadap, maka di situlah wajah Allah. (QS: Al-Baqarah: 115)[24]

Ayat di atas menegaskan bahwa seseorang tidak wajib menghadap kiblat ketika melakukan shalat, dalam perjalanan maupun tidak. Namun hal ini menyalahi ijma’. Dengan mengetahui sebab turunnya ayat akan diketahui bahwa ayat tersebut hanya tertentu pada shalat sunnat dalam perjalanan. Atau dalam kasus seseorang yang buta arah sehingga ia menentukan arah kiblat dengan ijtihad (upaya dan kemantapan hati)nya sendiri, dan ternyata pilihannya salah. Maka ia tidak wajib mengqadlâ’.
Ketigamenepis persangkaan hashr (ketertentuan pada suatu hal semata). Sebagaimana firman Allah :


ArtinyaKatakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS: Al-An’am 145)[25]

Al-Syâfi’î mengatakan bahwa ketika orang-orang kafir menganggap haram apa yang dihalalkan Allah, menganggap halal apa yang diharamkan Allah, dan selalu berseberangan dan bertentangan dengan syari’at-Nya, maka turunlah ayat ini dengan tujuan menentang kehendak mereka. Seakan-akan Allah berfirman : ”Tidak ada keharaman kecuali apa yang kalian halalkan, yakni bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan makanan yang dibuat persembahan kepada selain Allah”. Dengan ayat ini tidaklah dimaksudkan kehalalan dari selain hal-hal yang dituturkan. Karena tujuan ayat ini hanya menetapkan keharaman, bukan menetapkan kehalalan.
Keempat, mentakhs}i>s} hukum dengan asba>b al-nuzu>l ayat, menurut orang-orang yang memiliki pandangan bahwa yang dijadikan standar hukum adalah  khushûs al-sabab (spesifikasi latar belakang turunnya ayat), bukan ’umûm al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat). Kelima, Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari cakupan keumuman hukumnya walaupun ada keterangan yang mentakhshîsh keumuman ayat. Sehingga tatkala sebab turunnya ayat diketahui, maka takhshîsh hanya berlaku pada selain kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat. Karena tercakupnya kasus ketika ayat turun dalam keumuman redaksi lafazh merupakan sesuatu yang qath’i (pasti), dan mengeluarkannya dari cakupan keumuman berdasarkan ijtihad adalah tidak diperbolehkan. Keenam, mengetahui perihal apa dan tentang siapa ayat diturunkan. Ketujuh, secara psikologis, dapat me-mudahkan penghafalan dan menancapkan kefahaman bagi orang yang mendengarkan ayat sekaligus mengetahui latar belakang turunnya. Karena sabab dan hukum terkait dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Sedangkan suatu peristiwa terkait dengan tokoh pelaku, dimensi ruang dan waktunya. Hal-hal inilah yang menjadi faktor kuatnya ingatan, serta kemudahan mengingatnya saat mengingat kaitan peristiwanya.[26]

5. Naskh dalam Al-Qur’an
Dalam kaitannya dengan pembahasan Al-Qur’an, permasala-han naskh (penyalinan hukum) tidaklah dapat diabaikan. Karena sebagai sumber hukum primer, Al-Qur’an haruslah menjadi rujukan utama dan pertama dalam penetapan hukum syari’at. Ketika suatu ayat Al-Qur’an disalin atau diganti hukumnya dengan ayat lain, maka keterkaitan ayat yang  mansûkh (disalin hukumnya) tersebut dengan perbuatan mukallaf  (pengemban beban syari’at) menjadi terputus dan tidak efektif lagi. Karenanya, dalam melakukan istinbâth (penggalian hukum dari  nash-nash Al-Qur’an dan al-sunnah), seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan mendalam tentang ayat-ayat mansûkh berikut dalil yang menyalin (nâsikh)nya. Permasalahan naskh menjadi begitu penting tatkala terjadi perdebatan seputar definisi naskh, kemungkinan terjadinya, boleh tidaknya ayat-ayat Al-Qur’an dinaskh dengan dalil selainnya dan sebaliknya, serta penentuan ayat-ayat yang mânsukh berikut nâsikhnya.
Para ulama’ berbeda pandangan dalam mendefinisikan naskh. Namun di antara sekian banyak pendefinisian, secara umum terdapat dua pendefinisian yang paling populer.[27] Pertama, penjelasan tentang selesainya masa berlaku suatu hukum syara’ dengan kemunculan hukum syara’ yang lebih akhir. Maksud dari selesainya masa berlaku suatu hukum syara’ adalah bahwa hukum yang ter-naskh telah ditentukan batas akhir berlakunya di sisi Allah. Definisi ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Râzi dan Al-Baidlawi. Kedua, Menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang muncul lebih akhir. Maksud dari menghapus hukum syara’ adalah menghapus efektifitas hukum syara’ dalam kaitannya dengan perbuatan mukallaf.
Dari dua definisi ini, Tâj al-Dîn al-Subukî lebih memilih pendefinisian kedua.[28] Namun, Syaikh al-Islâm Zakariyyâ al-Anshârî menganggap bahwa dua pendefinisian ini memiliki substansi yang sama.[29]
Para ulama’ sepakat, bahwa secara rasional naskh sangat mungkin terjadi dan secara faktual benar-benar terbukti.[30] Berbeda halnya dengan ulama’ Yahudi yang secara rasional mengingkari keberadaan naskh karena keengganan mereka menerima syari’at Islam yang menaskh semua syari’at sebelumnya.[31]
Secara dogmatik, kemungkinan terjadinya naskh didasarkan pada firman Allah swt. :

 Artinya : Allah menghapuskan apa yang Dia kehendakidan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfuzh). (QS : Ar-Ra’d: 39)[32]

 
 Artinya : Ayat yang mana saja yang Kami naskh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ?(QS : Al-Baqarah 106)[33]
 


Artinya : Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkanNya, mereka berkata : “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS: An-Nahl: 101)[34]

Secara garis besar, Al-Qur’an adalah sumber hukum utama, dan al-sunnah bertindak sebagai penjelasnya. Maka ketika terjadi naskh pada suatu ayat dalam Al-Qur’an, dapatkah ayat tersebut dinaskh dengan al-sunnah, mengingat keduanya sama-sama bersumber pada wahyu? Dalam permasalahan ini, mayoritas ulama’ berpendapat bahwa al-sunnah dapat menaskh ayat Al-Qur’an, karena keduanya bersumber dari wahyu Allah, sebagaimana firman Allah :
 

Artinya : Dan tiadalah dia (Muhammad) mengucapkan sesuatu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diturunkan (kepadanya). (QS: An-Najm 3-4)[35]

Dalam permasalahan ini dicontohkan bahwa ayat wasiat (QS: Al-Baqarah 180) dinaskh dengan hadith yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan lainnya:
أَلاَ لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه الترمذي)
Artinya : Ingatlah, tidak ada wasiat bagi ahli waris (HR. Turmudzi).[36]

Yang jelas dari ungkapan ulama’ terdahulu, bahwa naskh menurut mereka adalah lebih umum dari pengertian naskh yang diistilahkan oleh ulama’ ushul fiqh. Ulama’ terdahulu mengungkapkan  naskh  sebagai qayyid (pembatasan) terhadap yang  muthlaqtakhsîsh  (pengecu-alian) terhadap yang umum dengan dalil muttashil atau munfashil, dan  bayân (kejelasan) dari yang mujmal (general), sebagaimana pula mereka mengungkapkan  naskh  sebagagi penghapusan hukum syara’ dengan hukum syara’ yang muncul lebih akhir sebagai nash. Karena semuanya memiliki persamaan makna, yakni bahwanaskh dalam istilahnya adalah bahwa yang dikehendaki dari suatu perintah adalah taklif (pembebanan). Sedangkan yang dimaksud adalah khithab yang muncul lebih akhir.
Naskh sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn ‘Abbâs adalah peng-qayyid-an terhadap yang muthlaq, bila ungkapan Allah   نؤته   adalah  muthlaqdan diberikan qayyid  “dengan kehendak Allah” sebagaimana dalam ayat yang lain لمن نريد . Atau bila hal tersebut bukan termasuk dalam permasalahan taqyîd al-muthlaq, maka ayat di atas adalah kalam ikhbâr  (kalimat berita). Sedangkan khabar tidak dapat dinaskh.[37]
Dengan demikian, dalam menentukan ayat-ayat Al-Qur’an yang  mansûkh, perlu adanya kehati-hatian. Karena ketika terjadi kontradiksi antara dua dalil atau lebih, makanaskh adalah jalan terakhir, setelah terlebih dahulu mencari kemungkinan takhshîshtaqyîd, dan tabyîn. Karenanya, perlu mengetahui runtutan peristiwa turunnya suatu khithab (asbâb al-nuzûl dan asbâb al-wurûd). Di samping itu, dalam mengadopsi keterangan generasi salaf (baca: shahabat) mengenai ayat-ayat yang mansûkh, perlu penelusuran yang mendalam. Karena, naskh dalam penyebutan shahabat memiliki makna yang berbeda dengan naskh dalam terminologi ushul fiqh. Generasi shahabat menyebut naskh dengan pengertian yang lebih umum, yakni mencakup takhshîshtaqyîd, dan tabyîn, selain juga makna naskh itu sendiri dalam term ushul fiqh.

6. Al Quran Sebagai Sumber Hukum
Hukum dalam perspektif  Islam merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari totalitas sistem ajaran Islam. Konsep hukum Islam dalam pandangan Nirwan Syafrin, dianggap memiliki keunikan[38]. Dikatakan unik karena bersumber secara langsung kepada Allah. Dalam konsep Islam hanya Allah yang berhak memutuskan atau menetukan sesuatu. Oleh karena itu, para ulama telah sepakat bahwa hadith tidak dapat menasakhkan Al Quran.
Ulama’ telah sepakat bahwa Al Quran bisa dibuat dalil dalam berijtihad hukum dan wajib diamalkan. Beberapa contoh aplikasi Al Quran sebagai sumber dalam berbagai aspek hukum, yaitu:
a.    Hukum I’tiqad, dalil Al Quran sebagai dalil tentang iman sebagai berikut:
 
Artinya: Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.[39]
    
b.    Hukum khuluqi, diantaranya tentang sikap terhadap orang tua dalam firman-Nya:
 

Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.[40]

Ayat diatas sebagai salah satu dasar untuk berbuat baik kepada kedua orang tua yang mana ibunya telah mengandung dan menyapihnya dengan susah payah, dan hal itu adalah budi baik yang tidak akan pernah terbalaskan.
c.    Hukum ‘amali, salah satunya adalah sebagai berikut:
 


Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”[41]

7. Keh}ujjahan Al Quran
Seperti yang dikatakan Abdul Wahhab Khallaf sebagai berikut: [42]
“Alasan bahwa Al Quran adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah undang-undang yang wajib ditaati ialah karena Al Quran itu datang dari Allah dan diturunkan kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan keabsahannya. Sedang bukti atau alasan kalau Al Quran datang dari Allah SWT, ialah bahwa Al Quran itu i’jaz atau membuat orang tidak mampu mendatangkan atau membuat yang seperti Al Quran.”
I’jaz tidak berpengaruh kecuali dengan tiga syarat[43], yaitu:
1.      Tantangan, artinya harus ada perlawanan
2.      Adanya ungkapan dari penantang untuk mengadakan sebuah tantangan
3.      Tidak ada penghalang untuk melakukan perlawanan
Ketika Nabi mengatakan pada kaum Quraisy bahwa beliau telah diutus oleh Allah dengan bukti turunnya Al Quran yang langsung dari-Nya, banyak yang menentang hal tersebut sehingga Allah menurunkan firmannya dalam surat Al-Qashash, sebaga berikut:
 

“Katakanlah: Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab tersebut lebih (dapat) memberi petunjuk dari pada keduanya (Taurat dan Al Quran) niscaya aku mengikutinya, jika kamu sungguh orang yang benar.” Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.” (QS. Al-Qashash:49-50). [44]

B. HADITH
1. Pengertian Hadith
Secara etimologi, kata al-hadist berasal dari kata hadatsayahdutsuhadtsanhadithan dengan pengertian yang bermacam. Al-hadist dapat berarti a- jadid min al-asyya’ (sesuatu yang baru) sebagai lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang sudah lama, kuno, klasik). Kata al-hadith dapat pula berarti al-qarib, yakni menunjukkan pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadith juga mempunyai makna al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal (sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain. Hadith juga berarti baru, lawan dari lama dekat/baru terjadi, perkataan, cerita, atau berita.
Dari ketiga arti kata al-hadis tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian ketiga, yakni dalam arti al-khabar. Menurut Manna’ al-Qattan, hadis dalam konteks ini dimaknai sebagai segala perkataan yang dinukil serta disampaikan oleh manusia, baik kata-kata tersebut diperoleh melalui pendengaran atau wahyu, baik dalam keadaan terjaga, maupun tertidur. Lebih lanjut, dalam kategori ini al-Quran masuk sebagai bagian dari hadis. Begitu pula apa yang terjadi pada manusia di waktu tidurnya juga dinamakan hadis.[45]
Pada umumnya, para ulama mendefinisikan al-hadist dengan al-sunnah. Sunnah secara etimologi berarti cara atau jalan hidup yang biasa dipraktekkan, baik ataupun buruk. Sedangkan secara terminologi, sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi saw., baik perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), sikap/ketetapan (taqriri) maupun sifat fisik dan psikis Rasulullah saw., baik beliau sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.[46]

2. Fungsi Hadist
Berkaitan dengan fungsi hadis ini, al-Qur’an menekankan bahwa Rasulullah berfungsi menjelaskan maksud dari firman Allah yang sebagian besar masih bersifat global, sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an surat al-Nahl: 44.
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan - keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”

Disamping ayat tersebut, dalam surat Ali Imran: 164 juga dijelaskan adanya rasul yang akan memberikan penjelasan dan pelajaran pada umatnya.
Dari kedua ayat atersebut, dapat kita pahami bahwa fungsi utama sunnah adalah sebagai penjelas (bayan) terhadap al-Qur’an. Artinya untuk menggali hukum dalam al-Qur’an dan memahami ayat-ayatnya sangat memerlukan hadis atau sunnah. Fungsi bayan lebih banyak dikarenakan Allah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dengan uslub yang mujmal,[47] sehingga kita tidak mungkin dapat memahami al-Qur’an hanya berpatokan atau mengandalkan al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, Allah memberi wewenang kepada Nabi Muhammad untuk menjelaskan maksud-maksud al-Qur’an, baik dengan perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.[48]
Adapun fungsi hadis terhadap al-Qur’an selengkapnya sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw[49], sebagai berikut:
1.        Hadis berfungsi sebagai bayan al-Tafshil, yaitu hadis memiliki fungsi untk menjelaskan atau merinci ke-mujmal-an al-Qur’an, sehingga dapat dipahami umat Islam. Dalam al-qur’an ada perintah melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji, berjuang di jalan Allah dan sebagainya. Namun teknik operasional dari kewajiban-kewajiban tersebut tidak dijumpai dalam al-Qur’an. QS. Al-Baqarah: 110

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”

Dari ketentuan teks al-Qur’an tersebut, kemudian Rasulullah mempraktikkan shalat dan kemudian beliau bersabda:
صلواكمارأيتمونىاصلى
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari).

2.        Hadis berfungsi sebagai bayan al-ta’kid, yaitu berfungsi memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, sunnah hanya seperti mengulangi apa yang dikatakan al-Qur’an, sehingga suatu perbuatan mempunyai dua sumber hukum sekaligus, seperti firman Allah daam QS. An-Nisa’; 29 :
 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Dari ayat atersebut, Rasulullah kemudian menegaskan dalam hadis berikut:
لايحل مال امرئ مسلم الابطيب من نفسه
“Tidaklah halal harta seorang muslim, kecuali (hasil dari pekerjaan) yang baik dari dirinya sendiri.” (HR. Ahmad).

3.        Hadis berfungsi sebagai bayan al-muthlaq atau bayan al-taqyid.[50] Hadis memberikan batasan-batasan atas ayat-ayat yang disebutkan secara mutlak, sebagaimana misalnya terdapat pada QS. An-Nisa’:7 :

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

Ayat tersebut bersifat mutlaq (umum), yang kemudian Nabi memberikan qayyid (batasan), bahwa hak warisan itu tidak dapat diberikan kepada mereka yang menjadi penyebab kematian orang tuanya, seperti sabda Rasulullah :
ليس للقاتل من المقتول سئ
“Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuh sedikitpun.” (HR. Al-Nasa’i)

4.        Hadis berfungsi sebagai bayan al-takhsis. Hadis memiliki fungsi mengkhususkan (takhshis) lafadz-lafadz di dalam al-Qur’an yang masih bersifat umum (amm). Seperti contoh firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 24 :

  

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menghalalkan selain yang tersebut. Akan tetapi kehalalan itu kemudian di-takhshis oleh Nabi, dimana beliau mengharamkan memadu istri dengan bibi, baik dari garis ibu maupun ayah,[51] dengan sabdanya :
لايجمع بين المرأةوعمتهاولابين المرأةوخالتها
“Tidak boleh seorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudara bapak)nya, dan seorang wanita khalah (saudara ibu)nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

5.        Hadis berfungsi sebagai bayan al-tasyri’. hadis memiliki fungsi menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara jelas. Dalam ha ini seolah-olah Nabi menetapkan hukum sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama, apa yang ditetapkan oleh Nabi itu pula hakikatnnya adalah penjelasan apa yang disinggung Allah dalam al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas. Sebagai contoh yaitu dalam QS. Al-maidah:3


“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam konteks fungsi sunnah sebagai bayan al-tasri’ ini, tidak semua ulama setuju dengan fungsi sunnah menetapkan hukum baru selain yang terdapat dalam al-Qur’an. Ulama yang setuju mendasarkan pendapatnya pada ‘ismah Nabi, khususnnya dalam bidang syariat. Kelompok yang menolak, berpendapat bahwa sumber hukum hannya Allah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah ketika hendak menetapkan hukum. Menanggapi perdebatan tersebut, Quraish Shihab berpendapat apabila fungsi sunnah terhadap al-Qur’an didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia sebagai penjelas, penguat, pemerinci, pembatas maupun tambahan, semuanya  bersumber dari Allah.[52]

6.        Hadis berfungsi sebagai bayan al-naskh. Hadis berfungsi menghapuskan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. fungsi hadi yang demikian ini adalah bagi mereka yang berpendapat bahwa hadis dapat me-nasakh al-Qur’an, walaupun sebenarnya pendapat semacam ini agak berlebihan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 180 :






“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Secara umum para ulama menerimaprinsip nasakh sebagai alat untuk mempertemukan ayat-ayat al-Qur’an yang secara mencolok bertolak belakang satu dengan yang lain terlepas dari adanya perbedaan apakah suatu ayat tertentu telah atau belum dihapus ooleh ayat-ayat lain.
Menurut al-Syafi’i, Ahmad dan ahli Dhahir, sebagaimana diikuti Quraish Shihab, berpendapat tentang kemungkinan hadis dapat menasakh al-Qur’an. Sebaliknya Imam Malik, Hanafiah dan mayoritas teolog, berpendapat adanya kemungkinan nasakh hadis terhadap al-Qur’an. Namun secara umum semua sepakat bahwa yang dapat menasakh adalah al-Qur’an.
Jadi, tidak bisa dibenarkan sama sekali jika ada seorang yang mengaku muslim sekalipun mengatakan dirinya beriman kepada al-quran namun menolak sunnah nabi. Sebab, menolak atau mengingkari sunnah nabi sama saja halnya dengan mendustakan rialah yang dibaea nabi untuk membenarkan al-quran. Dan menolak apa yang dibawa nabi berarti menolak ajaran Allah.

3. Sejarah Perkembangan Hadith
Sejarah perkembangan hadith merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadith dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.[53] Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadith sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadith, serta segala hal yang memengaruhi hadith tersebut. Para ulama Muhadithin membagi sejarah hadith dalam beberapa periode. Adapun para’ulama penulis sejarah hadith berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadith. Ada yan membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.[54] 
M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadith menjadi tujuh periode sejak periode Nabi SAW hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.[55]
a.   Periode Pertama: Perkembangan Nadis pada Masa Rasulutlah SAW.
Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam).[56]  Pada periode inilah, hadith lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Para sahabat menerima hadith secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabiy
Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadith dalam amalan sehari-hari, serta mentablig¬kannya kepada orang lain.

b.   Periode Kedua: Perkembangan Hadith pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadith (As-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.[57]
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadith tersebar secara terbatas. Penulisan hadith pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadith,dan  sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.[58] Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadith, yakni:
1.  Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
2.  Dengan maknanya saja; yakni mereka merivttayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari Nabi SAW.[59]

c. Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadith).[60] Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadith.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadith-hadith Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadith kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikiari, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadith ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadith pun menjadi ramai.
Karena meningkatnya periwayatan hadith, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadith di berbagai daerah di seluruh negeri. Dan pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi’ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu’awiyah, dan ketiga; golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).
 Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadith palsu dan   menyebarkannya kepada masyarakat.

c. Periode Keempat: Perkembangan Hadith pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisandan  pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadith sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.[61]
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H.[62] Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadith dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan  mengumpulkan dalam buku-buku hadith dari para perawinya, ada kemungkinan hadith-hadith tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma’mar- Al-Laits, Al-Auza’i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi’bin untuk membukukan hadith Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zurarah Ibn ‘Ades, seorang ahli fiqh, murid ‘Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadith-hadith yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.[63]
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadith yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadith atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadith.[64] Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadith atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh haditht yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama haditht pada masanya. Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukukan hadist atas anjuran Abu ‘Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa’id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza’i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi’i.[65]

e.    Feriode Kelima: Masa Men-tasbih-kan Hadith dan Penyusuran Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadith. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’ -Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadith, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadith.[66]
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadith-hadith yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadith.
Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadith. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, ‘Asqalani,dan  Himsh.
Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadith yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima haditht dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadith dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk rpengacaukan hadith, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a.    Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan  lain-lain.
b.         Memisahkan hadith-hadith yang sahih dari hadith yang dha’if yakni dengan men-tashih-kan haditht
U1ama haditht yang mula-mula menyaringdan  membedakan haditht-haditht yang sahih dari yang palsu dan  yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam hadith yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadith-hadith yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan  Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan  Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan  An-Nasa’i. Mereka menyusun kitab-kitab hadith yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslirn, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,dan  Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.

f. Periode Keenam: Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami’.[67]
Ulama-ulama hadith yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadith dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiridan  pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari ‘Mutaakhirin’. Kebanyakan haditht yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya.

g. Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami’ wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.[68]
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadith, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab fami’ yang umum’:
Pada .periode ini disusun Kitab-kitab Zawa’id, yaitu usaha mengumpulkan hadith yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa’id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa’id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa’id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadith pada periode ini mengumpulkan hadith-hadith yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Fami’ Al-Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan fami’ul  fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadith-hadith yang tidak disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadith-hadith itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadith TafsirAl-Kasysyaf karangan Al-Zailai’i (762), Al-Kafi Asy-Syafi fi Tahrij Ahadith Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.

4. Kedudukan Hadith sebagai Sumber Hukum Islam
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam setelah al-Qur’an. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadith, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara ayatnya adalah sebagai berikut:[69]
1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadith karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As_sunnah dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i berkata;

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله ص م فقولوا بسنة رسول الله ص م ودعوا ما قلت
Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”

Perkataan imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadith Nabi Saw. Dan apa yang dikat erikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam akan Asy-Syafi’i ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.[70]
Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

5. Hubungan Hadith dengan al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu berdasarkan kitab Ar-Risalah adalah sebagai berikut :[71]
1. Bayan At- Taqrir,
Bayan taqrir bisa juga disebut bayan ta’kid dan bayan al-isbat jadi yang dimaksud dengan bayan taqrir yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadith yang berbunyi:
فإذا رأيتموه فصومواوإذارأيتموه فأفطروا
(Apabila kamu melihat bulan maka berpuasalah dan apabila kamu melihat bulan maka berbukalah) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.

2. Bayan At-Tafsir,
Yang disebut dengan bayan tafsir yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadith :
صلو كما رأيتموني أصلي (رواه البخاري ومسلم)
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.
Adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :
أقيمواالصلاة
Kerjakan shalat.
Demikian pula hadith:
خذواعني مناسككم
Ambillah dariku perbuatan hajiku.”
Adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an;
وأتموالحج
 “Dan sempurnakanlah haji.”

3.      Bayan At-Tasyri’
Dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al’Qur’an. Bayan ini jugaa disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadith merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur’an.
Hadith bayan at-tasyri’ ini merupakan hadith yang diamalkan sebagaimana dengan hadith-hadith lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadith-hadith Rasulullah Saw itu yang berupa tambahan setelah Al-Qur’an merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan tidak boleh kitaa tolak sebagai umat Islam.
Suatu contoh dari hadith dalam kelompok ini adalah tentang hadith zakat fitrah yang berbunyi;
إن رسول الله صلي الله عليه وسلم فرض زكاة الفطرمن رمضا ن علي النا س صاعا من تمرأوصاعا من شعيرعلي كل حراوعبد ذكر أو أنثي من المسلمين
Artinya:
“Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulam Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.”

Hadith yang termasuk bayan tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana dengan hadith-hadith yang lainnya.

4.      Bayan  An-Nasakh
Kata An-Nasakh dari segi bahasa adalah al-itbal (membatalkan), Al-ijalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadith-hadith muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadith ahad ia menolaknya.
Salah satu contoh hadith yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadith;
لا وصية لوارث
Yang artinya; “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.

Hadith ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180:


Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah: 180).[72]

6. Pembagian Hadith
Para ulama hadith berbeda pendapat tentang pembagian hadith ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadith mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadith mutawatir dan hadith ahad.
Dari segi Kuantitas hadith dibagi menjadi; 1) Hadith Mutawatir, 2)  Hadith Masyhur, dan 3) Hadith Ahad. Pembagian Ini, telah disepakati oleh kebanyakan Ulama Fiqh dan Ulama Ushul. Sedang  menurut kebanyakan Ulama Hadith, cukup dibagi menjadi dua saja. Yakni: Hadith Mutawatir, Hadith Ahad.[73]
 Dari segi kualitasnya, dengan melihat kenyataan, bahwa sanad Hadith ada yang bersambung dan ada yang tidak bersambung, kemudian perawinya ada yang dapat dipercaya dan ada yang tidak, serta kandungannya ada yang janggal dan ada yang wajar, maka ulama Hadith lalu membagi Hadith dari segi kualitas sanad, perawi dan juga matannya, pada: Hadith Shahih, Hadith Hasan, dan Hadith Dha’if.[74]

7. Takhrijul Hadith
Takhrij menurut bahasa memiliki beberapa makna. Yang paling mendekati disini adalah adalah berasal dari kata kharaja (خرج) kata al-ikhraj (الاخرج) dan kata al-makhraj (المخرج).
Louis Ma’luf  dalam Kamusnya al-Munjid menerangkan bahwa kata takhrij adalah bentuk mashdar dari katakerja kharraja, yukharriju, takhrij, kata ini diartikan sebagai “menjadikan sesuatu keluar dari suatu tempat atau menjelaskan suatu masalah”.[75]
Mahmud al-Thahan dalam kitabnya Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, menjelaskan bahwa at-takhrij menurut pengertian asal bahasanya adalah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada tiga pengertian takhrij, yaitu الإستنباط(mengeluarkan dari sumbernya), التدريب (melatih atau membiasakan), dan التوجيه (mengarahkan dan menjelaskan duduk persoalan).[76]
Dengan terminologi menurut Mahmud al-Thahan takhrij al-hadith adalah :
التخريج هو الدلالة على موضع الحديث فى مصادره الاصلية التى اخرجته بسنده ثم بيان مرتبته عند الحاجة

“Takhrij ialah penunjukan terhadap tempat hadith dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan martabatnya sesuai dengan keperluan.[77]

Takhrij menurut istilah menurut Nawir Yuslem adalah menunjukkan tempat hadith pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadith tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Said bin Abdillah bin al-Hamid, menjelaskan definisi takhrij, bahwa Secara terminologi (ishtilah) term takhrij didefinisikan dalam tiga bagian :
1.       Takhrij adalah mengeluarkan hadith kepada manusia dengan menuturkan sanad dan matannya. Sebagaimana dicontohkan bahwa hadith ini dikeluarkan oleh Bukhari dengan artian Bukhari telah menampakkan hadith dan menjelaskannya kepada orang-orang dengan cara menuturkan sanad dan matannya secara sempurna.
2.       Takhrij adalah mengeluarkan (menampakkan) hadith-hadith pada kitab-kitab tertentu dengan menuturkan sanad orang yang mentakhrij hadith tersebut yang telah dituturkan oleh pengarang kitab tertentu. Sebagaimana dicontohkan bahwa kitab azkar karangan Imam Nawawi kemudian Ibnu Hajar mentakhrij hadith dalam kitab azkar, karena dalam kitab tersebut tidak disebutkan hadith lengkap dengan sanadnya.
3.       Takhrij adalah menunjukkan hadith akan sumbernya yang asli yang telah mengeluarkan hadith tersebut lengkap dengan sanadnya serta menjelaskan derajat hadith tersebut ketika diperlukan.[78]

Metodologi Tahrij Hadith
1.   Metode takhrij dengan jalan mengetahui rawi hadith dari sahabat atau proses penelusuran hadith yang didasarkan pada pengetahuan akan rawi atau di tingkat sahabat.[79]
2.  Metode takhrij dengan jalan mengetahui lafaz awal suatu matan hadith.[80]
3.       Metode takhrij yang didasarkan pada lafal-lafal tertentu dalam matan hadith, terutama lafal-lafal yang gharib atau lafal-lafal yang asing untuk mempercepat proses takhrij.

Salah satu kitab yang paling terkenal untuk membantu dalam proses takhrij dengan menggunakan metode ini adalah kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadh al-Hadith an-Nabawi karya A. J. Wensinck seorang guru besar bahasa arab dari Universitas Leiden Belanda (w. 1939 M). kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadh al-Hadith an-Nabawi ini merujuk pada Sembilan kitab induk hadith yaitu : Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Turmudzi, sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darimy, Muwaththa’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad.[81]



[1]     Subhi Saleh, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H. hlm. 19.
[2]     QS. Qiyamah: 17-18
[3]     Khudari Beik, Tarikh al-Tasyri al-Islamiy, (Indonesia: Dar Ihya wa al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1981)
[4]     Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, (Kairo, Muassasah Al-Halaby), 147-148.
[5]     M. Ali As-Shabuni, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Arshad,Beirut, hal. 10
[6]     Abd. Wahab Al Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh (terj: Faiz el Muttaqien), Jakarta, Pustaka Amani, 2003, hal 23
[7] Ibid.
[8] A. Chairudji Abd. Chalik. Ulumul Qur’an. (Jakarta: Diadit Media, 2007) hlm 47-48
[9] Kamaluddin Marzuki. Ulum Al-Qur’an (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) hlm 67-68
[10] A. Chairudji Abd. Chalik. Op.cit. hlm 49
[11] M. Qodirun Nur. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. (Jakarta: Pustaka Amani, 2001) hlm 80
[12] Ibid. hlm 53-54
[13]    Nasrudin Baidan, Metode Penafsir Al-qur’an, (Yogyakarta:Pustakapelajar.2011), 31.
[14]    Nasrudin Baidan, Metode Penafsir Al-qur’an, (Yogyakarta: Pustakapelajar, 2011), 32.
[15] Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an & Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Puttra, 2011), 73-74.
[16]    M. Qodirun Nur. Loc.cit. hlm 86
[17]    Kamaluddin Marzuki. Loc.cit. hlm 69-70
[18]    Syaikh Muhammadi Ali Ash Ash Shobuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis,(Semarang: PA, 1988), 82.
[19] Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an II, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 22.
[20]    ‘Abd Al-Wahhâb Khallâf, 'Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Qalam, cet. XII 1978, hlm. 32-33; Muhammad al-Khudlarî Bik, Tarikh Al-Tasyrî’ Al-Islâmî, Beirut: Dâr al-Fikr, cet VIII 1967, hlm. 17-18.
[21]    Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur'ân, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. juz I. 77
[22]    Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqâni, Manâhil al-‘Urfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut, Dâr al-Fikr, 1996, juz I hlm 76.
[23]    Al-Zarqâni, ibid., juz I hlm. 78-81; Al-Suyûthî loc.cit.
[24]    QS: Al-Baqarah: 115
[25]    QS: Al-An’am 145
[26]    Al-Zarqânî, ibid., juz I hlm. 81.
[27]    Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, juz II hlm. 933-934. Naskh, oleh ulama’ salaf didefinisikan secara lebih umum daripada dua pendefinisian tersebut. Yakni mencakup pula takhsish, taqyid, dan tabyin, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian.
[28]    Taj al-Din al-Subuki, Jam’ al-Jawâmi’, Al-Biqa’: Dar Ibn ‘Abûd, 1995, juz II, hlm. 75-76. Ia menjelaskan, bahwa dengan pendefinisian kedua, tercakup pula naskh terhadap suatu hukum sebelum mungkin untuk diamalkan, hal mana ini juga merupakan salah satu bahan kontroversi di antara ulama’ ushul fiqh.
[29]    Zakariyyâ al-Anshârî, Ghâyat al-Wushûl, Surabaya: Al-Hidayah, tt., hlm. 87
[30]    Hanya saja ada riwayat syadz (asing) yang mengungkapkan bahwa Abû Muslim al-Ashfihâni, seorang ulama’ tafsir kalangan Mu’tazilah, mengingkari terjadinya naskh, walaupun secara rasional ia tidak menolak bahwa naskh bukanlah suatu hal yang mustahil terjadi. Namun, inipun tidak lebih dari sekedar kontroversi dalam tataran retorika, karena ia menggolongkan naskh sebagaimana yang dikehendaki mayoritas ulama’ sebagai takhshîsh terhadap suatu hukum pada dimensi waktu tertentu.  Al-Syaukani, op.cit., hlm. 185; Zakariyyâ al-Anshârî, ibid., hlm. 90.
[31]    Wahbah al-Zuhayli, op.cit., juz I hlm. 946.
[32]    QS : Ar-Ra’d: 39
[33]    QS : Al-Baqarah: 106
[34]    QS: An-Nahl: 101
[35]    QS: An-Najm: 3-4
[36]    Menurut keterangan Ibn Abbas, bahwa yang menaskh ayat wasiat adalah ayat mawarits. Namun,  keterangan ini pun masih menimbulkan spekulasi, apakah yang dimaksudkan naskh oleh Ibn Abbas adalah pengertian naskh  menurut ulama’ ushul fiqh, atau naskh dalam pengertian luas yang mencakup pula takhsish, taqyid dan tabyin,  sebagaimana yang akan dipaparkan kemudian.
[37]    Al-Syâthîbî, Ibid., juz III hlm. 109.
[38]    Makalah Workshop Pemikiran Islam “Mencari Akar Epistemologi Islam”, Yogyakarta, 8-11 April 2005.
[39]    QS. Al-Baqarah: 257.
[40]    QS. Al-Ahqaaf: 15.
[41]    QS. Al-Imran: 92
[42]    Ibid, hal 24.
[43]    Abd. Wahab Khallaf, ilmu ushul fiqih, terj: Faiz El Muttaqien, hal.20
[44]    QS. Al-Qashash: 49-50
[45]    Manna‘ Khalil Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Mansyurat al-‘Asr al-Hadis, 1973) 22-23.
[46]    Tim Penyusun IAIN SA, Pengantar Studi Islam, (IAIN Ampel Press: Surabaya, 2009), 41.
[47]    Badran Abu al-‘Ainain Badran, Bayan al-Nusus al-Tasyri’iyah, Thuruquha wa anwa’uha, (Iskandariyah: Al- Thaba’ah wa al-Masyr wa al-Tanzi, 1982), 5.
[48]    Muhammad Abu zahw, al-Hadith wa a-Muhadditsun (Mesir: Mathba’ah Misra,tth), 37
[49]    Ibid, 37-38
[50]    Abu Zahra Ushul, 170
[51]    Abu Zahra, Ushul, 113.
[52]    Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), 123.
[53]    Endang Soetari, Ilmu Hadith: Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung; Mimbar Pustaka. 2005), 29.
[54]    Ibid. 30.
[55]    M. Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadith. (Jakarta: Bulan Bintang. 1987), 46.
[56]    Barmawie Umarie. Status Hadith sebagai Dasar Tasjri. (Solo: AB. Siti Sjamsijah, 1965), 17.
[57]    Soetari. Op.cit. hlm. 41-46. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit. 59-69. Barmawie Umarie. Op. Cit. 17-18
[58]    Ash- Shiddieqy. Op. cit.  62.
[59]    Ibid, 63
[60]    Ibid.  47-54. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit. 69-78.
[61]    Ibid, 78-88
[62]    Soetari. Op.cit.hlm.54
[63]    Ketujuh Fuqaha Madinah adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id Ibn Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. op.cit. hlm. 79.
[64]    Az-Zuhri menerima hadith dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel.
[65]    Ibid, 88.
[66]    Ibid, 89-104
[67]    Ibid, 101-102.
[68]    Umarie. op. Cit,  21; Lihat Ash-Shidieqy. op. Cit, 126-134.
[69]    Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadith 2, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 365.
[70]    Ibid, 355-357.
[71]    Ibid.hal.76
[72]    Ibid, 76-86.
[73]    M. Syuhudi Ismail, Pengantar ilmu Hadith, (Bandung:Angkasa,1991), 132-133.
[74]    M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op.Cit,142-145.
[75]    Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyariq, 1986), 174.
[76]    Mahmud al-Thahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Riyadh, Maktabah al-Ma’arif, 1991 M/1412 H), 97.

[77]    Ibid.
[78]    Said bin Abdillah bin al-Hamid, Thuruqu Takhrij al-Hadith, (Riyadh: Darul Ulum al-Sunnah Linnasir, 2000), 6-7.
[79] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadith Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 32.
[80]    Mahmud al-Thahhan, ibid 59-70.
[81]    Ibid, hal 81-82





DOWNLOAD DISINI PDF

Related Posts:

0 Response to "AL-QUR'AN DAN HADITH: SEBUAH PEMAHAMAN"

Post a Comment