Gender Dan Pembangunan: Women In Development (WiD), Women And Development (WaD), Gender And Development (GaD)


Gender Dan Pembangunan:
Women In Development (WiD), Women And Development (WaD), Gender And Development (GaD)

Oleh : Sulaiman, S.Pd.i

Referensi pihak ketiga


Gender dan Pembangunan
Pembangunan adalah proses perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, infrastuktur, pertahanan, teknologi, kelembagaan dan budaya, yang dilaksanakan secara terencana dan terarah. Artinya, ini semua mencakup segala sendi kehidupan sebuah negara yang menuju kepada kemajuan. Kemajuan-kemajuan yang tentu saja dilaksanakan dengan terencana dan terarah melalui proses bertahap. Seperti yang diungkapkan oleh Kartasasmita (1997) bahwa pembangunan adalah proses perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
Pembangunan yang awalnya menitikberatkan pada aspek fisik dengan harapan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Akhirnya muncullah paradigma baru dalam strategi pembangunan yang disebut people centered development, artinya manusia (rakyat) merupakan tujuan utama dari pembangunan. (Kartasasmita, 1996)
Penempatan manusia sebagai subjek dan objek pembangunan menekankan pentingnya pemberdayaan (enpowerment) manusia, yaitu kemampuan manusia dalam mengaktualisasikan segala potensinya. Kedudukan manusia dalam proses pembangunan adalah sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek dari pembangunan. Dengan demikian kaum lelaki dan kaum perempuan mempunyai kedudukan dan peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan menikmati hasil pembangunan dalam berbagai bidang. Secara normatif, pria dan wanita mempunyai kedudukan dan peranan yang sama, tetapi bila dilihat secara realita terlihat bahwa perempuan mengalami ketertinggalan yang lebih besar dari laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Hal ini tentu memunculkan sebuah pertanyaan: “mengapa terjadi ketertinggalan kedudukan dan peranan perempuan dalam program pembangunan?”.
Berbicara mengenai perempuan tidak akan pernah ada habisnya. Setidaknya pernyataan ini masih menjadi isu dan pembahasan mengenai posisi perempuan dari masa ke masa hingga sekarang.  Perempuan dipandang sebagai masyarakat kelas dua karena biologisnya. Washburn dan Lancaster (1968) yang menyatakan bahwa “Man the Hunter” yang menunjukkan bahwa hanya pria saja yang melakukan pekerjaan (berburu, merujuk pada zaman dimana lelaki pada zaman itu memiliki mata pencarian berburu). Akibatnya, banyak antropolog mengartikan istilah man yang memiliki sinonim dengan male yang berarti laki-laki. Dalam hal ini berburu tidak hanya merupakan aktivitas ekonomi, melainkan sebagai keseluruhan pola aktivitas kehidupan kaum pria (Reiter, 1975). 
Didasarkan akan hal itu, peran perempuan dalam pembangunan seringkali diragukan karena dianggap tidak layak dan tidak mampu. Perempuan dianggap tidak cukup memiliki postur tubuh yang kekar dan kuat, rasional, dan bersifat agresif untuk kemajuan pembangunan masyarakat bahkan bangsa karena perempuan memiliki sifat lemah lembut, emosional, irasional dan feminim. Akibat dari pandangan yang demikian maka muncullah perbedaan status dan peranan laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat yang biasa kita sebut dengan gender. Jadi gender merupakan hasil konstruksi masyarakat tentang perbedaan status dan peranan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan kebudayaan yang mereka miliki.
Gender dalam hal ini adalah sebuah variabel yang kompleks dan merupakan bagian dari konteks sosial, budaya, ekonomi dan politikGender merupakan sebuah perbedaan yang dikonstruksi secara sosial antara laki-laki dan perempuan, sedangkan jenis kelamin merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. (Mansour Fakih, 1997, 8-9) Karena terkonstruksi secara sosial, perbedaan gender tergantung pada usia, status perkawinan, agama, etnik, budaya, ras, kelas/kasta dan seterusnya. Perbedaan jenis kelamin tidak banyak tergantung pada variabel-variabel tersebut. Pembahasan mengenai gender ini sebenarnya tidak akan pernah ada habisnya dan akan selalu menarik untuk di ikuti perkembangannya.
Banyak ahli yang mendukung teori bahwa kaum perempuan memang berada di kelas kedua daripada laki-laki. Katakan saja Aristoteles (384-422 S.M.), yang mengatakan wanita adalah “laki-laki yang tidak lengkap”. Pendapat ini dapat dihubungkan dengan istilah famulus (Latin) atau family (Inggris), yang mula-mula berarti budak domestik. Familia berarti sejumlah budak yang dimiliki seorang laki-laki dewasa, termasuk di dalamnya anak-anak dan istri. Wanita digolongkan dalam kelompok yang dikuasai oleh laki-laki, karena jiwanya dianggap tidak sempurna. Oleh sebab itu dapatlah dimengerti bahwa dalam pelaksanaan demokrasi di Yunani kuno pada sekitar tahun 5000 S.M., kaum wanita, sama seperti yang berlaku pada anak-anak dan budak, tidak mempunyai hak memilih. Kant (1724-1804) dan muridnya, Fichte (1762-1814), juga Schopenhauer (1788-1860) juga menganggap bahwa kaum wanita lebih lemah daripada pria, sebab itu wajar kalau tempat mereka di rumah. Freud secara jelas mengemukakan bahwa dunia ini adalah dunianya pria. Wanita diukur dengan kacamata: apa yang berlaku bagi pria dan apa yang ditentukan oleh pria (Sadli, 1988). Artinya jenis kelamin pria secara biologis sebagai sumber kekuasaan daripada perempuan dan perempuan sebagai makhluk yang lemah. Bahkan di Inggris pada waktu pemerintahan Ratu victoria (1837-1901) menjadi periode yang menguntungkan bagi kaum pria, pasalnya mereka aman dalam kelompok infallibilitas-nya. Mereka sangat pasti terhadap superioritas jenis kelaminnya dan inferioritas kaum wanita (Bowman, 1954).
Kecenderungan laki-laki diorientasikan kebidang publik dan wanita kebidang domestik telah memproduksi ketimpangan kekuasaan antara kedua jenis kelamin. Wanita lebih bertanggung jawab terhadap keluarga dan segala kegiatan yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti pengasuhan anak. Laki-laki terlibat langsung dalam bidang ekonomi dan politik (sebagai kegiatan publik) yang dianggap sebagai institusi utama dalam masyarakat modern. (Janet Saltzman Chafez, 1991. 75)
Dalam prosesnya perempuan cenderung dihubungkan dengan kegiatan informal dan dianggap sebagai kegiatan yang tidak begitu penting dalam perkembangan masyarakat modern yang bertumpu pada proses produksi dan birokrasi. Asosiasi semacam ini telah mereproduksi ketimpangan gender yang terus menerus, karena perempuan disosialisasikan ke dalam suatu nilai dan ukuran sosial budaya yang kemudian pilihan akhirnya ditentukan oleh laki-laki atau dalam kerangka struktural yang patriarkal.
Selama berabad-abad diskriminasi terhadap perempuan masih kerap terjadi pada seluruh aspek kehidupan, dan bahkan di seluruh dunia. Hal ini disebabkan lantaran perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang selalu menjadi acuan.
Sejarah perbedaan gender (gender difference) antara perempuan dan laki-laki terjadi melalui proses yang panjang dan dikarenakan oleh banyak hal yaitu dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial kultural melalui ajaran agama dan kenegaraan. Dalam proses sosialisasi yang panjang, gender akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi dan dipahami sebagai kodrat perempuan dan laki-laki.
Diskursus gender ini lama-lama berevolusi dan mempengaruhi sisi biologis antara perempuan dan laki-laki. Ilustrasinya adalah, karena laki-laki dianggap memiliki sifat kuat, maka laki-laki menjadi terlatih dan termotivasi untuk menjadi seperti apa yang diharapkan masyarakat, yaitu berfisik lebih kuat dan lebih besar. Dan sebaliknya perempuan dikonstruksikan menjadi sosok yang lemah lembut, rapi dan pelayan. Sosialisasi ini terjadi sejak seseorang dilahirkan sehingga mempengaruhi perkembangan emosi, visi dan juga fisik seorang perempuan dan laki-laki. Karena konstruksi ini berlangsung lama dan mapan, sifat-sifat ini kemudian dianggap sebagai ketentuan Tuhan.
Peran konstuksi gender ini pada masa-masa awal memang dianggap tidak menimbulkan masalah sehingga tidak dipermasalahkan atau bahkan digugat. Seiring dengan perkembangan pemikiraan, penerapan perbedaan gender dalam kehidupan masyarakat atau yang disebut peran gender (gender role) kemudian dinilai menimbulkan ketidakadilan, dan dalam sistem patriarkat pihak yang dirugikan lagi-lagi adalah kaum perempuan. Peran gender ini sekaligus menetapkan bagaimana keduanya berinteraksi satu sama lain. Peran ini akan selalu mengalami perubahan mengikuti perubahan sosial masyarakat yang dinamis.
Laki-laki dan perempuan pada dasarnya mempunyai persamaan kedudukan, hak, kewajiban dan kesempatan, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun dalam kegiatan pembangunan di segala bidang. Tetapi karena adanya konsep perbedaan gender yang masih demikian kuatnya dalam pandangan masyarakat, mengakibatkan adanya perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan.
Akibatnya adalah kaum perempuan mengalami eksklusi sosial yaitu proses yang menghalangi atau menghambat individu dan keluarga, kelompok dan masyarakat dari sumber daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi dan politik di dalam masyarakat dengan utuh.
Proses ini terutama sebagai konsekuensi dari kemiskinan dan penghasilan yang rendah, tetapi bisa juga dampak dari faktor lain seperti diskriminasi, tingkat pendidikan yang rendah, dan merosotnya kualitas lingkungan. Melalui proses inilah individu atau kelompok masyarakat untuk beberapa periode waktu kehidupan terputus dari layanan, jejaring sosial, dan peluang berkembang yang sebenarnya dinikmati sebagian besar masyarakat (Pierson, 2002).
Ketika sudah terjadi eksklusi sosial, maka akan mengakibatkan dampak sosial lainberupa deskriminasi terhadap kaum perempuan, yaitu rendahnya peranan perempuan di dalam pembangunan, karena hak dan kewajiban yang dijalankan kaum perempuan di dalam pembangunan baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan yang sangat berbeda. Maka terciptalah ketidaksetaraan gender atau ketidakadilan gender dalam pembangunan, sehingga akan mengakibatkan bias gender dalam program pembangunan. (Fakih, 1999:12). Adapun ketidakadilan gender tersebut akan mengakibatkan dampak sosial antara lain : 1) marginalisasi perempuan, 2) penempatan perempuan pada subordinat, 3) stereotype perempuan, 4) kekerasan (violence) terhadap perempuan, 5) beban kerja tidak proposional, dan bahkan 6) perdagangan perempuan (trafficking).
Ini adalah sebuah fakta dari waktu ke waktu meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi itu pun masih sangat kental dan eksis sampai dengan saat ini, juga bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara dunia ketiga di mana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Pada akhirnya perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun disadari atau tidak pada dasarnya ketidaksetaraan itu akan mengakibatkan kerugian bagi semua orang.
Hal-hal tersebut di atas yang kemudian membuat kaum perempuan untuk tergerak hatinya dan berkeinginan untuk memiliki persamaan hak terhadap kaum laki-laki. Salah satunya adalah munculnya pergerakan global pada pertengahan abad ke-19 untuk mewujudkan kesetaraan gender dan keadilan gender. Perjuangan ini mulai gencar dilakukan setelah ditetapkannya Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948. Akhirnya perjuangan yang menjadi isu global tersebut menjadi fenomena yang menarik perhatian terutama setelah berakhirnya perang dingin antara blok barat dan blok timur. Perubahan tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) ke pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity), atau dari pendekatan produksi (production centered development) ke pendekatan kamanusiaan (people centered development) dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka.
Perjalanan kesetaraan gender ini pun akhirnya memakan waktu yang tidak sebentar. Berdasarkan periodesasinya, gerakan feminisme ini terbagi menjadi tiga gelombang. Gelombang pertama lebih menekankan pada isu-isu prinsip persamaan hak bagi perempuan (hak dalam bidang sosial, politik, ekonomi, ataupun pendidikan). Feminis gelombang kedua yang mulai muncul tahun 1960an lebih menekankan pada kontestasi masalah diskriminasi dan ketidakadilan. Serta feminis gelombang ketiga yang terjadi sekitar tahun 1990an (yaitu ketika ide-ide post structural dan post modern mulai masuk) memusatkan perhatiannya pada persoalan seputar ketidakadilan, kemiskinan dan relasi gender (Peet, Richard dan Elaine Hartwick, 1993 163).
Secara terus menerus kaum perempuan mulai memperjuangkan hak-haknya mulai dari mengembangkan konsep emansipasi (kesamaan) antara perempuan dan laki-laki pada tahun 1950 dan 1960-an, mendeklarasikan resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB (ECOSOK) pada 12 Juli 1963, World Conference International Year of Woman-PBB yang menghasilkan deklarasi kesamaan perempuan dan laki-laki di Mexico tahun 1975, dan program pemberdayaan perempuan (Woman Empowerment Programs), World Conference UN Mid Decade of Woman yang mengesahkan UN Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Agains Woman (CEDAW) di Kopenhagen tahun 1980, World Conference on Result on Ten Years Woman Movement yang menghasilkan The Nairobi Looking Forward Strategis for the Advancement of Woman yang bertujuan mengkaji mengapa terjadi ketimpangan antara laki-laki dan peremppuan dalam berbagai bidang kehidupan di Nairobi tahun 1985. Dan pada tahun yang sama pula PBB membentuk suatu badan yang dinamakan The United Nation Fund for Woman (UNIFEM) untuk melakukan studi advokasi, kolaborasi dan mendanai kegiatan kesetaraan gender secara internasional. Juga pada tahun 1990 diselenggarakan The 34 th Commision on the Status of Woman di Wina.
World Bank menyebutkan bahwa kesetaraan gender merupakan persoalan pokok pembangunan yang akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan dan memerintah secara efektif. Dalam konteks itulah jika negara kita mau membangun pemerintahan yang maju setidaknya memperhatikan masalah secara khusus yang berkaitan dengan kesetaraan gender (World Bank, 2001).
World Summit for Social Development di Copenhagen pada tahun 1995 mengangkat kesetaraan gender sebagai strategi untuk pembangunan sosial ekonomi dan perlindungan lingkungan. Pada tahun 1995, The Fourth World Conference on Woman, di Beijing, mengungkap ulang pentingnya cara ini, dengan melukiskan agenda untuk memperkuat status perempuan dan mengadopsi sebuah deklarasi dan landasan kerja yang membidik untuk mengatasi rintangan untuk mencapai kesetaraan gender, dan menjamin partisipasi aktif perempuan dalam segala aspek kehidupan. Pemerintah dengan segenap masyarakatnya, dihadapkan dengan area kritis terkait kesenjangan gender (Jurnal Perempuan, 2011).
Dilihat dari sejarah munculnya gerakan dan feminisme yang banyak diinspirasi oleh Negara-Negara Barat, tidak berarti bahwa gagasan-gagasan Negara Barat dianggap tidak relevan bagi negara-negara dunia ketiga. Hal ini didasarkan pada pemahaman karena suatu gagasan tidak dapat dibatasi dalam batas-batas bangsa maupun geografis.
Bagaimanapun juga, ketika istilah feminisme dan gender bersifat asing bagi pendengaran kita, konsep yang sesungguhnya adalah mengungkapkan suatu transformasi sosial. Jadi hal ini dapat menjelaskan bahwa feminisme tidak dimasukkan secara paksa atau dipaksakan. Gender dan perjuangannya muncul di banyak negara disebabkan karena suatu kesadaran tentang hak-hak demokrasi serta ketidakadilan yang semakin menyentuh hak-hak separuh dari penduduknya, yakni kaum perempuan. Hak untuk berpolitik juga mendasari terjadinya gerakan berbasis gender yang membawa isu kepentingan perempuan di dalamnya.
Dalam konteks pembangunan, isu tentang perempuan dan pembangunan menjadi sedemikian pentingnya karena selama ini perempuan pada umumnya pada posisi yang termarjinalkan. Mengingat bahwa wacana feminisme sendiri tidak pernah lepas dari apa yang disebut dengan diskursus pembangunan (discourse of development). Dan strategi perjuangan jangka panjang feminisme tidak hanya sekadar memenuhi pencapaian yang sempit, demi kebutuhan berakhirnya dominasi gender atas perempuan, namun luas lagi mampu menciptakan transformasi sistem yang fundamentalitasnya baru dan baik (Fakih, 1997:110).
Disisi lain, Kurang berhasilnya program pembangunan yang dilaksanakan di Negara-negara berkembang mengakibatkan dilakukannya evaluasi terhadap program-program yang telah dilakukan. Salah satu faktor yang ditemukan adalah karena rendahnya partisipasi kaum perempuan di dalam program pembangunan. Hal ini mendorong pemerintah di negara-negara berkembang untuk memunculkan paradigma baru di dalam program pembangunan mereka yaitu pembangunan yang berwawasan gender yakni pendekatan yang menginginkan keikutsertaan kaum perempuan di dalam program pembangunan. Pendekatan pendekatan tersebut antara lain adalah Woman in Development (WID), Woman And Development (WAD), dan Gender And Development (GAD).
Women In Development (WiD)
Konsep dan pendekatan ini muncul pada awal tahun 1970an dalam karya yang publikasikan Easter Boserup tentang Women’s Role in Economics Development. Boserup menganalisis dampak perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern pada laki-laki dan perempuan. WiD approach sangat dipengaruhi oleh pemikiran teori modernisasi, yang menganggap bahwa keterbelakangan perempuan lebih disebabkan karena faktor individu itu sendiri seperti pendidikan rendah. Oleh karena itu melalui pendidikan yang lebih baik akan dapat meningkatkan posisi perempuan dan mengintegrasikannya dalam proses pembangunan. Pengertian WiD ini kemudian digunakan oleh Women’s Committee of Washington DC, dan selanjutnya banyak disuarakan oleh kaum feminist liberal Amerika (American Liberal Feminist), yang memberikan perhatian pada perlunya perubahan-perubahan legal dan administratif untuk menjamin agar perempuan dapat berintegrasi dalam sistem pembangunan. Oleh karena itu, fokus WiD adalah para egaliter dan penetapan desain strategi pembangunan yang dapat mengurangi kerugian perempuan di sektor produktif dan mengakhiri diskriminasi. (Boserup, 1997)
WID dikembangkan oleh pemikir feminis liberal. Program utama yang diusung adalah restrukturasi pembangunan, kesejahteraan, persamaan anti kemiskinan, serta efisiensi dan pemberdayaan.
WID lebih merupakan kritik feminis liberal terhadap teori pembanngunan ala modernis yang dikembangkan oleh kalangan liberal. Dalam pandangan Caroline Moser sebagaimana dikutip oleh Richard Peet (1999:181), setidaknya ada lima variasi dalam WID, yaitu:
a. Pendekatan kesejahteraan : lebih memfokuskan pada peran reproduktif perempuan yang terait dengan persoalan-persoalan seputar populasi (birth control).
b. Pendekatan keadilan : lebih memfokuskan pada resistensi perempuan atas laki
c. Pendekatan anti kemiskinan : memfokuskan pada masuknya perempuan ke dunia kerja atau memperoleh akses untuk melakukan kegiatan secara ekonomi.
d.      Pendekatan efisiensi : fokus pada partisipasi perempuan dalam restrukturisasi tatanan ekonomi baru
e. Pendekatan empowerment : fokus pada pemberdayaan perempuan terkait dengan transormasi hukum dan struktur yang ada secara bottom-up.

Model-model pendekatan di atas itulah yang kemudian banyak diadopsi oleh dunia ketiga atau negara-negara berkembang. Bagi mereka, WID dianggap satu-satunya jalan guna memperbaiki status dan nasib berjuta-juta perempuan di Dunia Ketiga. Agenda utama program WiD adalah bagaimana melibatkan kaum perempuan dalam kegiatan pembangunan. Dengan cepat WiD menjadi satu-satunya kebijakan yang berkaitan dengan perempuan di hampir semua negara Dunia Ketiga. Diskursus WiD dimulai ketika pemerintah Amerika mengeluarkan ”The Percy Amendment to the 1973 Foreign Assistance Act” yang mencantumkan perlunya perhatian terhadap perempuan dalam pembangunan. Amandemen tersebut kemudian mempengaruhi PBB pada tahun 1974 yang kemudian memproklamirkan International Decade of Women (1976-1985). Dan sejak itulah, hampir serentak, pemerintah di negara Dunia Ketiga memasukkan agenda WiD dalam program pembangunan mereka. (Ratih Probosiwi, 2015: 45)
Para penganut pendekatan WID yakin bahwa pembangunan tidak akan terjadi jika perempuan tidak dimasukkan di dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu untuk mengatasi marjinalisasi perempuan, mereka memperjuangkan penerapan proyek pembangunan terpisah atau terintegrasi untuk kaum perempuan. Asumsi yang mereka kemukakan adalah jika kaum perempuan mendapat akses pada sumber daya seperti kredit, pelatihan, kegiatan peningkatan penghasilan maka kaum perempuan akan mampu meningkatkan posisinya sejajar dengan laki-laki.
Konsep WID ini menjelaskan bahwa perbedaan yang terdapat pada laki-laki dan perempuan tidak saja didasarkan pada perbedaan biologis tetapi juga pada perbedaan yang didasarkan oleh bentukan budaya. Disisi yang lain, perbedaan budaya ini tergambar jelas pada perbedaan pola ide-ide, kepercayaan dan norma-norma yang mencirikan pola hidup dan hubungan dalam bermasayarakat atau kelompok masyarakat. Secara budaya perbedaan gender menentukan ideologi-ideologi definisi hak asasi manusia dan tanggungjawab-tanggungjawab yang sesuai dengan perilaku perempuan dan laki-laki. Perbedaan ini juga mempengaruhi akses untuk mengontrol segala sumberdaya dan juga berpartisipasi dalam pembuatan keputusan. Ideologi-ideologi gender ini sering menguatkan kekuasaan laki-laki dan ide dari inferiritinya kaum perempuan. Budaya kadang-kadang di interpretasikan secara langsung sebagai hal yang “wajar” atau “tradisi”, dan diasumsikan sebagai hal yang umum dan tidak tergantikan. Meskipun berdasarkan asumsi-asumsi ini, budaya telah berubah-ubah dan berlangsung secara terus menerus.
Budaya-budaya yang dominan menguatkan posisi ideologi-ideologi gender itu dengan kekuatan ekonomi, politik dan sosial, dan cenderung menguatkan posisi kekuasaan laki-laki. Globalisasi juga memiliki implikasi untuk penyebaran peradaban, khususnya bagi peradaban barat.
Perbedaan budaya dan tradisi sering digunakan oleh laki-laki untuk membenarkan tindakan-tindakan yang memaksa perubahan kehidupan perempuan dan berdampak. Intervensi untuk menghadapi kekuatan yang tidak seimbang di usulkan oleh organisasi lokal perempuan atau NGOs yang sering menolak legitimasi, atau ketika sebuah agensi internasional terlibat, dianggap sebagai campur tangan  barat atau ‘imperialisme budaya’. Beberapa komunitas pembangunan internasional juga menyisakan resisten (pertentangan) to menuju kesetaraan gender karena mereka menganggap ini sebagai halangan pada domain yang sangat mendalam di masyarakat. Beberapa perempuan mempertahankan ide-ide budaya dan tradisi agar tetap pada sedikitnya kekuatan yang mereka miliki, atau sebagai bentuk dari perlawanan. Sebagai contoh, sebelum revolusi di Iran, perempuan memakai kerudung untuk menunjukkan perlawanan pada proses westernisasi yang sedang dialami negaranya.
WID juga merupakan reaksi pada perempuan yang telah dilihat sebagai warisan pembangunan yang pasif. Ini menandai sebuah perbaikan penting, menyoroti fakta bahwa wanita perlu di integrasikan dalam proses pembangunan sebagai agen pembangunan yang aktif jika efisien dan efektif pembangunan akan dapat diraih. Kontribusi yang berarti pada perempuan yang produktif telah membuat terlihat, meskipun aturan reproduksi mereka dibatasi. Subordinasi perempuan terlihat dalam ketentuan-ketentuan dari sifat eksklusi mereka dari peredaran pasar, dan pembatasan akses untuk atau dalam mengolah sumberdaya. (Hazel Reeves and Sally Baden, 2000; 33)
Pendekatan Women In Development (WID) atau peningkatan peran wanita dalam pembangunan berpijak dari dua sasaran yaitu: pentingnya prinsip egalitarian dan menitikberatkan pada pengadaan program yang dapat mengurangi atau menghapuskan diskriminasi yang dialami oleh para perempuan di sektor produksi.
Penerapan konsep WID ini ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap partisipasi perempuan dalam pembangunan. Hal ini disebabkan oleh budaya patriarkhi yang membelenggu kebanyakan penduduk negara berkembang, menimbulkan peran sosial budaya dan ekonomi kaum perempuan tersubordinasi oleh laki-laki.
Strategi WID banyak mendapat kritik terutama dari kelompok feminis dengan menekankan tiga asumsi dasar, yaitu: yang pertama, strategi ini diasumsikan sebagai agenda dari dunia pertama terhadap dunia ketiga, kedua strategi ini memiliki bias kepentingan dari kelompok feminisme liberal yang diwakili oleh perempuan kulit putih yang dipandang tidak memiliki kepentingan dengan pembebasan para perempuan didunia ketiga, ketiga strategi ini lebih mengarah pada pengekangan terhadap para perempuan dan bukan merupakan upaya pembebasan.
Kritik lain yang dilancarkan untuk strategi pemberdayaan ini adalah strategi ini lebih menekankan atau fokus pada peran seseorang dan mengabaikan hubungan dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Sehingga strategi ini dipandang belum mampu menjamin perempuan memperoleh manfaat pembangunan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendekatan yang ditawarkan oleh WID di atas sesungguhnya masih menempatkan perempuan sebagai victim. WID masih berkutat pada seputar perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Dalam asumsi, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama rasional, maka akan menjadi tidak rasional ketika kemudian perempuan diperlakukan tidak adil hanya karena mereka adalah perempuan. Sebagai contoh, perempuan masih memperoleh upah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Atau misalnya dalam rekruitmen tenaga kerja maka laki-laki dan perempuan harus diberi porsi yang sama, jangan hanya karena alasan dia adalah perempuan maka perempuan secara otomatis sudah tersingkirkan terlebih dulu sebelum bersaing.
Kritik terhadap pendekatan ini adalah persoalan strategi yang bias kepentingan dari kelompok feminisme liberal, pendekatan ini dianggap lebih mengarah pada pengekangan perempuan dan bukan upaya pembebas, kritik selanjutnya strategi WID lebih menekankan atau fokus pada peran seseorang dan mengabaikan hubungan atau relasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, WID dianggap belum mampu menjamin perempuan memperoleh manfaat pembangunan.
Ketika WID menawarkan solusi melalui peran ganda perempuan yang ditempuh dengan masuknya perempuan ke dalam proses industrialisasi, WID sendiri tidak bisa memberi penjelasan atau menawarkakn strategi yang mampu mereduksi beban berat dalam rumah tangga misalnya, sehingga yang kemudian terjadi justru double burden bagi perempuan. Hal ini dapat dipahami sebab pendekatan-pendekatan yang ditawarkan oleh WID cenderung kompromistis dan tidak konfontatif. Sekali lagi yang menjadi fokus WID adalah poverty dan bukan opressi  dengan mengabaikan subordinasi dan opressi yang mungkin terjadi adalah kemiskinan peempuan, hal itu bukan disebabkan oleh adanya tekanan dari laki-laki. Maka dari itu, solusi yang ditawarkan untuk menghentikan marginalisasi terhadap kaum perempuan adalah salah satunya dengan memperjuangkannya dengan sisi hukum dan peraturan yang memungkinkan agar perempuan memiliki akses dan kontrol yang sama pada pekerjaan dan imbalan ekonomi sehingga tidak terjadi kemiskinan perempuan.
Julia bahkan menambahkan, seharusnya peran perempuan dalam pembangunan lebih dititikberatkan pada pendekatan anti kemiskinan (anti poverty approach), efisiensi (efficiency approach), dan pemberdayaan, (empowerment approach) sehingga yang berlaku bukan lagi WID yang eksploitatif. (Julia C. Mosse, 1996; 205)
Atas dasar itulah suatu pendekatan baru muncul sebagai antitesa dari pendekatan awal dari konsep WID yang telah dianggap gagal. WID atau pendekatan feminis liberal hanya menawarkan sedikit perlindungan melawan kenyataan ini karena WID tidak melawan relasi sosial dasar gender. Ini berdasarkan asumsi bahwa relasi gender akan merubah perempuan menjadi rekan kerja penuh secara ekonomi dalam pembangunan.

Women And Development (WaD)
Pendekatan WAD yang muncul pada pertengahan 1970an berakar dari gagasan feminis sosialis tentang pembangunan. WAD sendiri banyak mangadopsi teori Marxis dan Neo-Marxis (dependecia theory) yang menyebabkan timbulnya keterbelakangan. Sehingga isu yang diangkat dalam WAD adalah patriarkhi, intensifikasi patriarkhi, kapitalisme, dan private poverty (Peet, 1999; 183)
Fokus utama dari pendekatan ini adalah melihat relasi laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan. Proses pembangunan sering menyebabkan marginalisasi kaum perempuan. Perempuan sesungguhnya selalu memainkan peranan penting ekonomi dalam masyarakat, yakni sebagai aktor produktif maupun reproduktif, namun ketika terbuka kapitalisme global maka mulailah terjadi opresi dan marginalisasi. Hal ini disebabkan selain adanya keterbatasan dari modernisasi juga disebabkan adanya struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil di masyarakat. Keterbelakangan perempuan dianggap akibat adanya struktur yang tidak adil tersebut.
Patriarchal division of labour yang didasarkan pada pembagian secara struktural dan subordinasi manusia yang satu terhadap  manusia yang lain, laki-laki atas perempuan, asing atas lokal, hingga ilmu pengetahuan dan teknologi hanya menjadi kekuasaan laki-laki. Bias stereotif atas jabatan pekerjaan ini kemudian terus menerus disosialisasikan melalui pendidikan ataupun media massa, yang mengakibatkan pola pikir terbentuk dengan sendirinya (Laily, 2008; 324).
Oleh karena itu kritik terhadap kapitalisme haruslah disertai dengan kritik dominasi terhadap perempuan (dialektika struktur kelas kapitalis-struktur hierarkhi seksual). Analisis patriarkhi ini harus dimasukkan dalam analisis mode of production karena keterlibatan perempuan pada sektor publik ketika tidak disertai dengan adanya perubahan norma kultural dalam rumah tangga maka justru akan menimbulkan adanya peran ganda terhadap diri perempuan daripada menaikkan status atau kekuasaan mereka. Akbatnya, perempuan akan menjadi budak dari sistem tersebut.
Ketidakadilan dalam pandangan ini terjadi bukan dari perbedaan biologis yang ada pada diri laki-laki dan perempuan, melainkan lebih karena penilaian dan asumsi terhadap perbedaan itu. Dalam hal ini penyebab penindasan tidak melulu karena kegiatan produksi ataupun reproduksi melainkan juga disebabkan karena konstruksi sosial dari kedua kegiatan tersebut.
Pendekatan WAD sendiri pada dasarnya mengambil teori dependensiaà, yakni dimana pada konteks global, negara-negara berkembang akan semakin berkembang melalui eksploitasi negara-negara yang menjadi peripernya. Pendekatan ini berasumsi bahwa perempuan sudah berpartisipasi aktif dalam pembangunan. WAD  telah mengadvokasi bahwa baik wanita bekerja yang dibayar ataupun tidak dibayar sama pentingnya dalam pembangunan. Berbeda dengan WID, WAD percaya bahwa dibawah kapitalisme global, penekanan terhadap perempuan tidak akan berakhir.
WAD merupakan pendekatan ketergantungan. Perempuan sudah sejak awal memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, baik di sektor publik maupun domestik. Secara tidak langsung, hal ini berarti kaum perempuan turut serta mendukung struktur masyarakat yang timpang atau tidak adil terhadap perempuan. Pendekatan WAD berfokus pada hubungan perempuan dan pembangunan yang melihat kaum laki-laki kelas bawah di dunia ketiga, juga tertindas oleh struktur masyarakat internasional yang tidak adil. Pada perkembangannya, WAD belum menganalisis problem perempuan secara terpisah dengan problem laki-laki. Padahal relasi perempuan dan laki-laki masih timpang. Banyak asumsi bahwa sebelum dipastikan perempuan mendapatkan akses ke pekerjaan yang lebih baik untuk meningkatkan posisinya, masuknya kaum perempuan di sektor publik belum memecahkan masalah perempuan.
Paradigma WAD menekankan pada perbedaan pengetahuan perempuan, pekerjaan, dan tujuan maupun tanggung jawab perempuan. Hal ini memiliki maksud bahwa perempuan sudah seharusnya memiliki peran khusus. Dimana peran khusus tersebut harus dimainkan dalam proses pembangunan, seperti halnya kaum laki-laki. WAD mengasumsikan bahwa perempuan sudah berpartisipasi aktif dalam pembangunan. WAD juga memberikan pemahaman bahwa baik wanita bekerja yang dibayar ataupun tidak dibayar sama pentingnya dalam pembangunan. Berbeda dengan WID, WAD percaya bahwa dibawah kapitalisme global, penekanan terhadap perempuan tidak akan berakhir, karena dalam pemahaman tersebut terjadi pemaksimalan keuntungan individu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dimaksudkan membantu kepentingan publik.
Para pendukung pendekatan WAD berpendapat bahwa kaum perempuan tidak akan pernah mendapatkan bagian dari manfaat pembangunan yang adil dan merata jika pengaruh budaya patriarkhi belum dapat diatasi. Mereka melihat bahwa mengatasi kemiskinan dan dampak kolonialisme juga penting untuk mempromosikan persamaan gender dalam proses pembangunan.
Di sisi lain, pemikiran WAD ini masih mengandung kelemahan. Di antaranya adalah justru gerakan perempuan dalam paradigma WAD semakin mempertajam batas antara peran laki-laki dan perempuan, marjinalisasi dan kecilnya skala gerakan membatasi potensi transformatif yang hanya ada pada organisasi perempuan meskipun cukup berhasil meningkatkan kesadaran perempuan (Cornely et al. 2000). Pemahaman tersebut menimbulkan persepsi yang berbeda, karena belum bisa mengemas bagaimana relasi yang baik antara perempuan dan laki-laki sehingga proses pembangunan tidak menjadi timpang. Akan tetapi, dalam pergerakan ini terdapat kerjasama yang baik dengan didasari penghargaan terhadap hak dan kewajiban yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Dengan kata lain, WAD gagal menganalisa dalam skala penuh antara patriarki dan subordinasi perempuan. Bagi WAD ini berimplikasi bahwa partisipasi wanita akan semakin baik jika ada perubahan dalam unsur kelembagaan. Meskipun dianggap gagal, namun WAD telah menggiring kepada pergeseran dimana wanita semakin produktif atas dasar pengorbanan sisi reproduktif dan kerja serta kehidupannya. Pendekatan ini ternyata juga gagal dalam mempengaruhi akses kaum perempuan dalam program pembangunan.

Gender And Development (GaD)
Kegagalan pendekatan WID dan WAD menyebabkan pada tahun 1980-an muncul pendekatan baru yakni Gender dan Pembangunan (Gender And Development-GAD). Pendekatan GAD (Gender and Development) atau Gender dan Pembangunan ini adalah pendekatan terhadap kebijakan dan program pembangunan yang difokuskan atas dasar konstruksi sosial dari perbedaan perempuan dan laki-laki serta pentingnya upaya mempertanyakan kembali peran dan relasi gender. Pendekatan GAD muncul dari rasa kecewa atas lambannya kemajuan dari pendekatan WID bagi perubahan hidup perempuan dan dalam pengaruhnya bagi agenda pembangunan yang lebih besar.
GAD dipengaruhi oleh socialist feminist approach dan dikenal sebagai upaya pemberdayaan perempuan (woman’s empowerment) atau pengarusutamaan gender. GAD menganggap perempuan sebagai agen perubahan daripada objek pasif dalam pembangunan. Oleh karena itu, perempuan harus mampu mengorganisir dirinya dalam proses pembangunan. Pembangunan harus dilihat sebagai usaha memandirikan dan membangun kekuatan internal kaum perempuan.
Pendekatan GAD ini menggunakan analisis gender dalam menguraikan problem perempuan dalam pembangunan. Pendekatan ini melihat bahwa perempuan bukanlah kelompok otonom melainkan mereka terbagi ke dalam kelas, ras, dan keyakinan. Peranan perempuan dalam masyarakat juga tidak dapat dilihat sebagai otonom melainkan sudah terbentuk melalui internalisasi gender. Pendekatan GAD meletakkan persoalannya bukan pada perempuannya, melainkan pada ideologi atau keyakinan yang dianut oleh laki-laki dan perempuan tersebut yang kemudian pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada kebijakan dan pelaksanaan pembangunan. Akibat kebijakan kebijakan pembangunan yang buta gender mengakibatkan dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan.
Analisis gender memusatkan perhatiannya pada ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan tersembunyi di berbagai tempat, seperti tradisi masyarakat, keyakinan agama, serta kebijakan dan perencanaan pembangunan.
Tidak seperti WID ataupun WAD, GAD melihat negara adalah sebagai aktor penting yang akan mempromosikan emansipasi perempuan. Strategi yang ditempuh adalah institusionalisasi gender dalam kebijakan negara dan perubahan sosial. Pada titik ini, GAD akan banyak berbicara lebih jauh tentang persoalan struktur sosial, politik, ekonomi yang melingkupinya. Tujuan daripada GAD adalah untuk melakukan transformasi sosial atas struktur gender yang tidak adil sekarang ini (Laily, 2008; 324).
Kate Young tidak lagi menyebut perempuan dan laki-laki dalam entitas jenis kelamin dan perbedaanya, tetapi mulai mengenalkan konsep gender, seperti yang diungkapkan oleh Kate Young berikut:
“Women are incorporated into the development process but in very specific ways; that a focus on women alone was inadequate to understand the opportunities for women for agency or change; that women are not a homogenous category but are divided by class, color, and creed; that any analysis of social organizations and social process has to take into account the structure and dynamic of gender relations” (dalam Melkote dan Stevees, 2001: 189)
Kate Young (1987) juga telah mengidentifikasi beberapa dari aspek-aspek kunci dari pendekatan GAD. Mungkin yang paling signifikan, pendekatan GAD dimulai dari perspektif holistik, melihat totalitas dari organisasi sosial, ekonomi, dan kehidupan politik agar memahami bentuk dari bagian aspek-aspek masarakat (Young, 1987; 2).
Para pendukung pendekatan GAD melihat bahwa dengan meningkatkan akses perempuan pada layanan publik akan dapat mengatasi persoalan subordinasi tersebut. Mereka berpendapat bahwa nilai peran produksi (kerja berbayar dan kerja tak berbayar) serta peran reproduksi (melahirkan dan merawat anak) para ibu rumah tangga dapat memberikan manfaat pada rumah tangga dan industri.
Tujuan akhir pendekatan GAD adalah terjadinya pergeseran hubungan kekuasaan yang akan memberikan otonomi lebih besar terhadap kaum perempuan. Kesetaraan dan keadilan gender masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum perempuan. Oleh sebab itu pemerintah telah mengambil kebijakan, tentang perlu adanya strategi yang tepat sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Bagi pendekatan GAD, letak persoalannya bukanlah pada kaum perempuan sebagaimana diasumsikan semula, akan tetapi pada bagaimana menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Pendekatan ini menitikberatkan pada pemberdayaan (empowerment) dan perubahan struktur gender.
Perbedaan antara WID dan GAD, pada dasarnya, berdasarkan atas pendekatan penilaian dan penanganan posisi yang tidak sama dari perempuan dalam masyarakat. GAD tidak menyisihkan perempuan sebagai subyek sentral. Namun kiranya lebih, sementara pendekatan WID difokuskan secara eksklusif pada perempuan untuk meningkatkan posisi ketidaksejajaran perempuan, maka pendekatan GAD mengakui, bahwa peningkatan status perempuan memerlukan analisis (pen: analisis gender) mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan maupun menyamakan pendapat dan kerjasama laki-laki . Penekanan ditempatkan pada kebutuhan untuk memahami cara-cara, dimana hubungan yang tidak sejajar antara perempuan dan laki-laki dapat memberikan sumbangsih pada rentang dan bentuk pemisahan yang akan dihadapi perempuan dalam proses pembangunan ini. Juga terdapat suatu pengakuan yang terbuka, bahwa peranserta dan komitmen laki-laki diperlukan untuk mengubah secara fundamental kedudukan sosial dan ekonomi perempuan. Pengakuan ini akan menyebabkan suatu pergeseran dari suatu fokus eksklusif mengenai perempuan pada pendekatan GAD, yang juga, menentukan faktor-faktor dalam persamaan hak laki-laki dan lingkungan sesuai dengan budaya yang lebih luas. (ADB, 1998; 22)
Pendekatan ini memiliki ketegangan antara kebutuhan kesadaran feminis di satu pihak dan kebutuhan menjaga integritas materialisme Marxisme dipihak lain, sehingga analisis patriarki perlu ditambahkan dalam analisis mode of production.
Mereka mengkritik asumsi umum, hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, namun tidak selalu menaikkan status perempuan. Rendahnya tingkat partisipasi berkorelasi dengan rendahnya status perempuan.Tetapi keterlibatan perempuan justru dianggap menjerumuskan perempuan, karena mereka akan dijadikan budak (virtual slaves). Bagi feminis sosialis meningkatnya partisipasi ekonomi perempuan lebih berakibat pada peran antagonisme seksual ketimbang status sosial (Ratih, 2015; 47).

Daftar Pustaka

Asian Development Bank, 1998, Kebijakan ADB Mengenai Gender Dan Pembangunan.
Ayu, M. R. (1997). Cahaya Rumah Kita. Bandung: Penerbit Mizan.
Boserup, E. (1997). Women's Role in Economic Development. London: Earthscan.
Bowman, Henry A., 1954. Marriage for Moderns. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.
Cornely et al. 2000Theoretical Perspectives on Gender and Development. Published by the International Development Research Centre, Canada.
Hazel Reeves and Sally Baden, 2000, Gender and Development: Concepts and DefinitionsPrepared for the Department for International Development (DFID) for its gender mainstreaming intranet resourceInstitute of Development StudiesBRIDGE (development - gender)
Janet Saltzman Chafez, 1991. The Gender Division of Labor and The Reproduction of Disatvantage: Toward an Integreted Theory, dalam Rase Lesser Blumberg (ed), Gender Family and Economy (London : Sage Publications).
Julia C. Mosse, 1996Gender dan Pembangunan (Half the world, Half a Chance, an Introduction to Gender and Development), alih bahasa Harlian Silawati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Kertasasmita, 1996. Pembangunan Untuk Rakyat (Memadukan Pertumbuhan DanPemerataan), CIDES, Jakarta.
Laily Muthmainnah, 2008, Kritik Feminis Terhadap Developmentalisme, Jurnal filsafat vol.18 Nomor 3, Yogyakarta; UGM.
Melkote, S.R., Steeves, H.L., 2011, Communication for Development in The Third World: Theory and Practice for Empowerment, 2nd ed, (India: Sage Publication India)
Nasaruddin Umar dalam Jurnal Paramadina, Perspektif Gender dalam Islam. baca juga Mansour Fakih, 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Cet. 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Peet, Richard dan Elaine Hartwick, 1999, Theories of Development, The Guilford Press, New York, Chapter.6. Feminist Theories of Development.
Pierson, J. 2002. Tackling Social Exclusion. London and New York: Routledge.
Ratih Probosiwi, 2015, Perempuan dan Perannya dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Women And Its Role On Social Welfare Development),  Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara,  Volume 3 Nomor  1.
Reiter, Rayna R.(ed.), 1975. Toward an Anthropology of Women. New York: Monthly Review Press.
Sadli, Saparinah, 1988. Pengembangan Diri Wanita dalam Keluarga dan Lingkungan Sosial, dalam Bachtiar, Harsya W., Tan, Mely G., Sadli, Saparinah, & Sumardi, Muljanto, Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Gender dalam Perspektif Islam, Studi Terhadap hal-hal yang Menguatkan dan Melemahkan Gender dalam Islam, dalam Mansour Fakih et al.
Young, Kate, 1987, Gender and Development, Notes for a Training Course on Gender and Development disponsori oleh Aga Khan Foundation, Toronto.

Related Posts: