Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh Dua: Meminta Kepada Selain Allah

Risalah Ke-42
Meminta Sesuatu Kepada Selain Allah

Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang keempatpuluh dua ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Ketahuilah bahwa keadaan ruhani manusia itu ada dua hal, yaitu bahagia dan duka. Jika dalam keadan duka maka timbullah berbagai kecemasan, keluhan, merasa tak senang, timbul lidah yang menggerutu, tida sabar dan kemudian menyalahkan Allah. Bahkan ia cenderung memperturutkan perilaku buruk, dosa karena menyekutukan Allah dengan makhluk dan benda – benda duniawi. Akhirnya, terjadilah apa yang disebut kekafiran.
Bila dalam keadaan bahagia ia menjadi kurban kerakusan, korban kehinaan hawa nafsu. Jika nafsu dituruti maka ia akan menanamkan keinginan – keinginan lainnya dan meremehkan karunia yang telah dimilikinya. Ia tak menghargai karunia yang telah didapatkan, bahkan ia berlebih – lebihan karena meminta karunia yang lain; yang lebih banyak lagi. Sikap dan getaran jiwa (hati) yang demikian itu hanya akan mempersulit dirinya sendiri dalam kesulitan di dunia maupun di akhirat. “ Sesungguhnya siksaan yang paling pedih yaitu bagi pengupayaan yang bukan bagiannya.”
Orang yang demikian ini – yang mempunyai jiwa diperbudak nafsu -, bila mendapatkan kesulitan, maka yang dikehendaki hanya terpusat pada sirnanya kesulitan tersebut. Ia selalu merasa menderita dan tak pernah mengingat tentang karunia yang pernah dilimpahkan kepadanya sebelum itu (sebelum dirundung kesulitan). Sama sekali ia tak mau mencari hikmah dibalik kesulitan tersebut.
Kemudian jika mendapat kebahagiaan, maka ia kembali lupa daratan, sombong, tamak, dan membangkang terhadap Tuhannya serta tenggelam dalam lingkungan dosa. Dalam masa kejayaan ia sama sekali lupa dengan kesulitan atau penderitaan yang pernah dirasakan.
Orang yang demikian itu dengan cepat ia akan segera binasa dalam gelimangnya harta. Dalam nikmat-nikmat yang dirasakan akan mempercepat pada taraf kekufuran daripada ketika ia mendapatkan musibah. Kekayaan yang melupakan akan mengantar pemiliknya cenderung berbuat dosa.
Seandainya setelah berlalu dari bencana (setelah penderitaannya sirna) ia mau berbuat kebaikan, patuh, dan banyak bersyukur, maka hal yang demikian ini lebih baik baginya di dunia maupun di akhirat. Karena di dunia ia mendapatkan nikmat berupa rizki, dan jangan rizki itu ia manfaatkan untuk jalan kebaikan (jalan Allah). Tentu hidupnya akan bahagia.
Oleh sebab itu, barangsiapa yang menginginkan keselamatan hidup di dunia ini dan kebaikan di akhirat, maka haruslah selalu bersikap sabar, pasrah, menghindar dari sifat dan kebiasaan keluh kesah terhadap orang lain.
Apabila dirimu selalu berbuat sabar, taat, teguh, tidak rakus dan berjalan pada jalan Allah, maka karunianya akan menjadi suatu kenikmatan. Apabila nikmat itu dicabut oleh Allah darimu, maka pencabutan itu menjadi karunia. Jika engkau mendapat hukuman, sedangkan engkau tetap sabar, maka hukumanNya adalah suatu rahmat bagimu. Jika engkau mendapat musibah itu adalah obat ruhani bagimu. Jika engkau mendapat kemurahanNya, sedangkan engkau banyak bersyukur, maka karunia itu merupakan suatu kebaikan bagimu.
Ketahuilah jika Allah menghendaki sesuatu maka cukup dengan berfirman “Kun-jadilah!” maka segala sesuatu yang di kehendakiNya itu terjadi (maujud). Maka seluruh tindakanNya baik, bijak dan tepat. Kecuali salah satu rahasia; Dia merahasiakan waktu kapan Dia berkehendak atas hambanya.
Oleh sebab itu seorang hamba sebaiknya selalu berpasrah dan mengabdi kepadaNya, menghindari segala larangan-laranganNya, ikhlas menerima ketentuanNya. Jangan sekali-kali menyalahkan Allah atas takdirNya yang tak meng-enak-kan dan ditimpakan kepadamu. Abdullah bin Abbas berkata:
 “Ketika berada di belakang Rasulullah SAW, beliau berkata kepadaku : Anakku, jagalah kewajiban-kewajiban terhadap Allah, maka Allah akan menjagamu; jagalah kewajiban-kewajiban terhadap Allah maka kau akan mendapatiNya di depanmu.”
Kini engkau telah mengetahui dan menyadari betapa pentingnya sifat tawadluk dan taat kepada Allah. Oleh sebab itu jika engkau membutuhkan pertolongan, jangan sekali-kali minta pertolongan kepada sesama makhluk, tetapi mintalah dan bermohonlah kepada Allah. Misalkan sebuah pena, jika telah menuliskan segala sesuatu yang terjadi, maka tintanya menjadi kering.
Apabila si hamba-hamba Allah berupaya keras memberikan sesuatu kepada orang lain, padahal Allah tak menghendaki; maka ia tak akan mampu melakukannya. Apabila hamba-hamba Allah berusaha untuk merugikanmu, tetapi Allah tak menghendakinya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Mereka tak akan berhasil dalam upaya merugikanmu.
Oleh sebab itulah, maka jika engkau bisa melakukan sesuatu berdasarkan perintah Allah maka laksanakan sepenuh iman di dadamu. Namun jika engkau tak mampu melakukan yang demikian itu, maka hendaknya engkau bersabar dalam menghadapi sesuatu yang tak kau senangi atau yang tak kau sukai. Kemudian disertai dengan mengingat dan tafakkur bahwa di dalam sesuatu yang tak kau sukai itu terkandung banyak kebaikan.
Sadarilah bahwa pertolongan Allah datang melalui kesabaran dan keridhahan, dan ketahuilah bahwa dalam kesulitan itu terdapat kemudahan. Maka hendaklah setiap orang beriman itu menjadikan sunnah sebagai cermin bagi hatinya, sebagai perhiasan lahiriah dan ruhaninya. Hendaknya hadits sebagai dasar kedua setelah al-Qur’an dijadikan sebagai motto atau slogan hidup. Sehingga setiap gerak-gerik, ucapan dan sesuatunya berjalan atas aturan yang terdapat pada hadits tersebut. Hal yang demikian itu akan menjadikan kebaikan, hidup di dunia dan akhirat. Semoga Allah memberikan kemuliaan seorang mukmin yang berlaku konsekuen atas dasar al-Qur’an dan al-Hadits tersebut.

Related Posts:

0 Response to "Futuhul Ghaib Risalah Keempatpuluh Dua: Meminta Kepada Selain Allah"

Post a Comment