GENDER DAN ADVOKASI :
KELUARGA, PERLINDUNGAN ANAK, DAN TRAFFICKING
oleh : Moham Soeleiman
oleh : Moham Soeleiman
Advokasi
Perempuan dan anak
merupakan dua hal yang tidak bisa dilepaskan ketika mengkaji masalah kekerasan.
Karena keduanya selalu menjadi obyek kekerasan dan ketidakadilan juga diskriminasi.
Hampir semua media dihiasi dengan berita seputar anak dan perempuan di mulai
kekerasan fisik hingga kekerasan mental. Pemukulan dan pemerkosaan masih sering
dialami oleh anak-anak perempuan. Tak
ayal keduanya selalu menjadi topik pembahasan dan selalu hangat untuk kaji. Bahkan
khusus untuk kasus perkosaan seorang pejabat negara melontarkan nada yang
mungkin cukup menggelitik ketika ditanya tentang hukuman mati bagi pemerkosa,
ia mengatakan “Kita harus hati-hati dalam menjatuhkan hukuman mati, karena
jangan-jangan pemerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati.” Sebuah
pernyataa konyol di tengah-tengah kita gencar-gencarnya memberantas
ketidakadilan gender, menghapus diskriminasi dan memposisikan perempuan
sederajat dengan posisi laki-laki.
Perjuangan perempuan ini
pun terhambat dan masih belum dapat dirasakan hasilnya oleh kaum perempuan
hingga sekarang ini khususnya mengenai ketidakadilan gender bagi kaum miskin.
Kaum miskin selalu menjadi target utama dalam operasi ketidakadilan gender ini terutama
pada perempuan dan anak-anak. PBB mengungkapkan bahwa hampir sepertiga dari
jumlah seluruh korban perdagangan manusia di seluruh dunia adalah anak-anak.
"Sekitar 71 persen
korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak perempuan," kata Kantor
PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dalam laporannya tentang perdagangan
manusia.
Menurut situs web resmi
PBB, perdagangan manusia adalah “kejahatan yang mengeksploitasi wanita,
anak-anak, dan pria untuk berbagai tujuan termasuk kerja paksa dan seks.
Perdagangan manusia bentuknya beragam dan tidak mengenal batas. Para pedagang
manusia seringkali kebal hukum, dan banyak yang mengabaikan kejahatan mereka.
Ini harus diubah,” tegas Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Organisasi Buruh
Internasional memperkirakan bahwa 21 juta orang adalah korban kerja paksa
secara global. “Perkiraan ini juga termasuk korban perdagangan manusia untuk
eksploitasi tenaga kerja dan seksual,” ungkap PBB.
Dari lembar fakta tentang
eksploitasi seks komersil dan perdagangan anak diperoleh data fakta angka global ada sekitar 1.2 juta anak
diperdagangkan setiap tahunnya. Kebanyakan adalah (anak-anak laki-laki dan
perempuan) diperdagangkan untuk eksploitasi seks. Sementara ada sekitar 2 juta
anak di seluruh dunia yang dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri
perdagangan anak menangguk untung 12 miliar dolar per tahunnya (ILO). Untuk
Angka di Asia Timur dan Pasifik diperoleh data jumlah terbesar anak-anak dan
wanita yang diperdagangkan di seluruh dunia ada di antara lain dari Asia.
Perkiraannya berkisar dari 250.000 sampai 400.000 (30 persen dari angka
perkiraan global). Semua Negara terpengaruh oleh perdagangan baik secara
domestik, lintas batas atau luar negeri dan sebagai Negara asal, Negara tempat
singgah atau Negara penerima (UNICEF, lembar fakta tentang eksploitasi seks
komersil dan perdagangan anak).
Komnas Perempuan
melaporkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) pada tahun
2015 sebesar 321.752. Data tersebut bersumber dari data kasus yang ditangani
oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILAG) sejumlah 305.535
kasus, dan dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus.
Terpisah dari jumlah tersebut, ada 1.099 kasus yang diadukan langsung ke Komnas
Perempuan (http://www.komnasperempuan.go.id/lembar-fakta-catatan-tahunan-catahu-2016-7-maret-2016).
Untuk tahun 2017, Ada
259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama
tahun 2016, yang terdiri dari 245.548 kasus bersumber pada data kasus/perkara
yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama (browsing laman BADILAG), serta 13.602
kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengada layanan, tersebar di 34
Provinsi. Tahun 2017 Komnas perempuan mengirimkan 674 lembar formulir kepada
lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon
pengembalian mencapai 34%, yaitu 233 formulir.
Sedangkan pada tahun 2018
di lembar fakta Catahu Komnas Perempuan tercatat Ada 348.446 kasus kekerasan
terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017, yang
terdiri dari 335.062 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani
oleh Pengadilan Agama, serta 13.384 kasus yang ditangani oleh 237 lembaga mitra
pengadalayanan, tersebar di 34 Provinsi. Komnas Perempuan mengirimkan 751
lembar formulir kepada lembaga mitra pengadalayanan di seluruh Indonesia dengan
tingkat respon pengembalian mencapai 32%, yaitu 237 formulir.
Berkaitan dengan
kekerasan terhadap anak, hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) dari 2011 sampai 2014 menunjukkan peningkatan kasus yang signifikan.
Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311
kasus, 2014 ada 5066 kasus (http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat).
Dari banyaknya kasus yang melilit kaum perempuan dan
anak-anak iniah diperlukan perlindungan hukum yang bisa memberi kenyamanan bagi
mereka. Advokasi yang mana kemudian dianggap perlu dan diprioritaskan bagi
korban ketidakadilan gender ini terus dilakukan sampai mereka mendapat titik
kenyamanan yang betul-betul membuat mereka nyaman.
Advokasi sering dianggap
sebagai salah satu strategi yang ampuh untuk menyelesaiakan permasalahan
sosial. Ada banyak definisi advokasi dan sering sekali definisi tersebut
mempunyai arti yang berbeda tergantung perspektif yang digunakan. Advokasi bagi
pengacara misalnya adalah mewakili individu atau sekelompok orang untuk
beracara di pengadilan (Bateman, 1995; 5). Ezell mendefinisikan advokasi
sebagai “Purposeful activities social workers undertake to change policies,
practices, and condition on behalf of individuals or groups” (serangkaian
kegiatan yang terencana untuk mengubah kebijakan, praktek dan kondisi yang
menindas yang dilakukan oleh pekerja sosial mewakili individu atau sekelompok
orang (Freddolino, 2004; 119). Hal senada diungkapkan oleh Mansur Fakih bahwa
advokasi merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisir untuk
mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan public secara
bertahap maju (Fakih, 2007; viii).
Freddolino mengutip
Kirst-Ashman dan Hull (2002) tujuan advokasi adalah memperjuangkan hak
individu, kelompok atau masyarakat, melindungi dari segala macam bentuk
penindasan (eksploitasi, diskriminasi, kekerasan, marginalisasi), menyelesaikan
hambatan birokratis dalam pemberian layanan sosial, dan memfasilitasi
tersedianya akses terhadap sumberdaya, layanan dan peluang-peluang lain yang
ada (Freddolino, 2004; 120).
Untuk mencapai tujuan
tersebut kegiatan yang terorganisir dan terencana melalui serangkaian kegiatan
adalah sebuah keniscayaan. Mansur Fakih dkk (2007) menjelaskan strategi
advokasi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan diatas adalah (Fakih, 2007;
15):
- Melancarkan tekanan seperti unjuk rasa, boikot, mogok, aksi massa, demonstrasi dll
- Mempengaruhi pendapat umum seperti kampanye, jajak pendapat, siaran/pernyataan
- Mempengaruhi pembuat dan pelaksana kebijakan seperti lobbi, negosiasi, mediasi dan kolaborasi
- Melakukan pembelaan seperti class action dan legal standing
- Mengajukan konsep tanding seperti seminar, legal drafting, counter draf dan judicial review
Disamping strategi
diatas, Velasko (2003) menambahkan strategi advokasi dapat juga dilakukan
melalui membangun jejaring dan koalisi, penelitian dan analisa kebijakan,
pendidikan politik dan peningkatan kesadaran (Caagusan, 2003; 3).
Ada 3 lini atau fokus
advokasi yang perlu diperhatikan agar tujuan advokasi dapat berjalan dengan
lancar yaitu (Fakih, 2007; 45):
1. Lini legislative/isi
(content of law), yaitu penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang
dalam bentuk perundang-undangan, peraturan-peraturan dan keputusan pemerintah.
Lini ini bertujuan untuk mendorong terciptanya payung hukum
2. Lini
eksekutif/struktur/tata laksana (structure of law), yaitu perangkat pelaksana
dari isi hokum yang berlaku.
3. Lini mobilisasi sosial
masyarakat/budaya hukum (culture of law), yaitu persepsi, pemahaman, sikap
penerimaan kedua focus diatas. Lini ini bertujuan untuk mengubah prilaku
masyarakat agar sesuai dengan produk hukum.
Dari penjelasan tersebut
tampak bahwasanya salah satu hasil dari advokasi adalah kebijakan sosial.
Menurut Suharto (2007), kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara
kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi
masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi
pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi
hak-hak sosial warganya (Suharto, 2007; 5). Setidaknya ada tiga kebutuhan utama
bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan yaitu; (1) kebutuhan akan layanan
medis, (2) kebutuhan akan layanan hukum dan (3) kebutuhan akan layanan
psikososial (Myra Diarsi, 2005). Dalam konteks pemulihan korban, ketiga
kebutuhan ini membutuhkan waktu yang cukup panjang dan tidak mudah untuk
menjalaninya. Kegagalan dalam satu proses akan berdampak pada kegagalan proses
pemulihan secara keseluruhan, karena dalam proses ini kondisi perempuan menjadi
sangat rentan.
Pemahaman advokasi anti
kekerasan terhadap perempuan tidak sama dengan pemahaman advokasi secara umum.
Ada bentuk kekhasan yang yang lebih spesifik terkait dengan persoalan yang
dialami oleh perempuan. Pertama, dari aspek pelaku. Kekerasan terhadap
perempuan mempunyai perbedaan yang sangat signifikan menyangkut pelaku
kekerasan. Dalam konteks ini diperlukan tidak hanya tanggungjawab Negara tapi tanggungjawab masyarakat dan
institusi-institusi yang terbangun dalam masyarakat, seperti institusi adat,
agama, dan sebagainya.
Kedua Kekerasan terhadap
perempuan tidak mengenal ruang. Kekerasan dapat terjadi baik diruang publik,
maupun diruang keluarga. Atau jika dipetakan kekerasan terjadi pada tiga ruang
yaitu keluarga, komunitas dan negara. Dalam banyak kasus, wilayah yang paling
tinggi terjadinya kekerasan adalah di lingkungan keluarga. Konsekuensi dari situasi
ini adalah bagaimana menciptakan kebijakan yang dapat masuk dalam hal yang
privat, namun tetap menghargai privacy.
Ketiga, Kekerasan
terhadap perempuan tidak bisa dihapuskan dari akar masalahnya yaitu
diskriminasi. Dalam konteks ini advokasi tidak bisa hanya diarahkan pada
institusi struktural formal, tetapi juga institusi kultural. Kekerasan terhadap
perempuan tidak terlepas dari proses internalisasi nilai-nilai sosial dalam
masyarakat yang terbangun secara sistematik. Akibat internalisasi ini kekerasan
terhadap terhadap perempuan dianggap wajar oleh masyarakat, bahkan jika ada
perempuan yang lebih berdaya, masyarakat cenderung melakukan resistensi
terhadapnya.
Advokasi anti kekerasan
terhadap perempuan memerlukan pemaknaan yang lebih luas yaitu advokasi yang
tidak saja bisa menjangkau persoalan mendasar tetapi juga dapat menjadi bagian
dari proses pemulihan. Advokasi ini tidak saja meliputi penanganan sebelum dan
selama proses, namun juga meliputi pasca advokasi.
Titik tekan dari advokasi
ini terletak pada perempuan korban kekerasan sebagai subjek. Dengan pendekatan
ini, korban kekerasan tidak saja mendapatkan penanganan pemulihan secara umum
dan menjadi objek advokasi, namun lebih dari itu, korban dapat mengenali
persoalan yang dialami dan mempunyai kesadaran untuk berdaya. Pada titik inilah
advokasi kekerasan terhadap perempuan akan bekerja secara utuh, karena
menjadikan prosesnya sebagai bagian dari pemulihan korban.
Tidak hanya pada
perempuan, perlindungan hukum juga harus kita berikan kepada anak yang juga
sering menjadi korban dari ketidakadilan dan diskriminasi. Diskriminasi
(pembedaan) terhadap perempuan dan anak di dalam kehidupan sosial dan bernegara
mendapat legitimasi yang panjang dan berlapis. Tidak mudah menghapus praktek
diskriminasi terhadap perempuan dan anak karena banyak pihak berusaha
mempertahankan dengan berbagai dalih. Budaya dan masyarakat patriarki tertanam
begitu kuat, sehingga banyak pihak tidak sadar bahwa praktek kehidupan sosial
dan bernegara ternyata mendiskriminasi perempuan dan anak.
Karena itu, sebagian
besar masyarakat menganggap bahwa praktek kehidupan yang mendiskriminasi
perempuan dan anak adalah sesuatu yang turun dari langit, sehingga harus
diterima. Protes atau kesadaran mengenai diskriminasi terhadap perempuan dan
anak juga telah lama digaungkan. Upaya untuk mengakhiri diskriminasi terhadap
perempuan dan anak di negara ini pun telah berlangsung cukup lama. Namun tidak
mudah karena mendapat penentangan dari berbagai individu dan kelompok yang
mengambil keuntungan dari diskriminasi tersebut. Apalagi diskriminasi perempuan
dan anak mendapat legitimasi dalam berbagai bentuk kebijakan di dalam negara.
Peraturan perundang-undangan dari yang tinggi hingga yang rendah, program, dan
kegiatan pun masih mendiskrimasi perempuan dan anak.
Mengubah Persepsi Karena
itu, untuk menjadikan isu dan masalah perempuan dan anak sebagai masalah
penting, dan menempatkannya dalam kebijakan negara, maka mengubah persepsi atau
pandangan para pihak dianggap efektif. Namun, mengubah pandangan berbagai
pihak, harus diikuti dengan perubahan berbagai faktor yang selama ini
ditengarai menyebabkan pelestarian diskriminasi perempuan dan anak. Dari sisi
instrumen hukum, diperlukan aturan yang dapat menghapus diskriminasi, sekaligus
melindungi perempuan dan anak.
Secara umum apa yang
dimaksud dengan anak adalah keturunan atau generasi sebagai suatu hasil dari
hubungan kelamin atau persetubuhan (sexual intercoss) antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan.
Kemudian di dalam hukum adat sebagaimana yang dinyatakan oleh Soerojo
Wignjodipoero yang dikutip oleh Tholib Setiadi, dinyatakan bahwa:
“kecuali dilihat oleh
orang tuanya sebagai penerus generasi juga anak itu dipandang pula sebagai
wadah di mana semua harapan orang tuanya kelak kemudian hari wajib ditumpahkan,
pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak
mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah” (Tholib Setiady, 2010: 173).
Perlindugang terhadap
anak menjadi satu dari beberapa hal yang harus dilakukan agar anak merasa
nyaman dalam menjalani kehidupannya. Upaya perlindungan ini dilakukan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,berkembang
dan berpartisipasi, secara optimal.
Salah satu instrumen yang
digunakan dalam perlindungan anak adalah hukum. Perlindungan Hukum bagi anak
dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kekerasan
dan hak anak serta berbagai upaya yang berhubungan dengan kesejahteraan anak, ada
beberapa konsep dan pengertian yang telah dikemukakan menegenai perlindungan
anak. perlindungan anak menurut arief gosita merupakan suatu usaha mengadakan
kondisi dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara
manusiawi (Arief Gosita, 1993; 76).
Oleh karena itu, setiap
hak anak harus dijunjung tinggi demi pencapaian tujuan yaitu lahirnya generasi
muda yang sehat untuk kelangsungan kehidupan berbangsa.
Anak adalah manusia yang
merupakan pembawa hak, yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban
yang disebut subjek hukum. Pengertian anak diatur dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi sebagai
berikut :
“Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”
Tiap-tiap peraturan
perundang-undangan mengatur secara tersendiri mengenai kriteria anak. Kriteria
anak berpengaruh pada kedudukan hukum anak sebagai subjek hukum. Dalam hukum
indonesia terdapat pluralisme mengenai batasan usia, hal ini yang menyebabkan
tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri mengenai
kriteria tentang anak (Darwan Prints, 2002; 2).
Negara memiliki kewajiban
untuk melindungi seluruh warga negaranya dan sudah sewajarnya negara memberikan
perhatian lebih kepada para korban kejahatan yang mungkin mengalami penderitaan
baik secara ekonomi, fisik maupun psikis. Negara juga mempunyai tanggung jawab
untuk memrikan kesejahteraan pada masyarakatnya warga negaranya. Dengan
demikian pada saat anggota masyarakatnya mengalami kejadian/peristiwa yang
mengakibatkan kesejahteraannya terusik dan menjadi korban kejahatan, maka sudah
sewajarnya apabila negaranya bertanggung jawab untuk memulihkan kesejahteraan
warga negaranya, mengingat mengingat negara telah gagal dalam memberikan
kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Mengabaikan perlindungan
anak adalah suatu yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, dan juga kurang
perhatian dan tidak diselanggarakannya perlindungan anak akan membawa akibat
yang sangat merugikan diri sendiri dikemudian hari. Salah satu contoh kurang
diperhatikannya maslah penegakan hukum pidan dimana masalah ini berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap korban tindak pidan, dan dalam penyelesaian perkara
pidana, banyak ditemukakan korban kejahatan kurang memperoleh hukum yang
memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateril maupun material (Didik M.
Arief Mansur, 11-24).
Dalam kaitannya dengan
persoalan perlindungan hukum, UUD 1945 jelas menyatakan bahwa Negara memberikan
perlindungan kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar. Masalah kemiskinan
semakin saja menjadi penyakit yang terus menerus muncul di Negara ini. Kejahatan
yang terjadi menimpa anak-anak di Negara ini faktor utamanya adalah disebabkan
karena kemiskinan, dimana faktor kemiskinan ini mempunyai kontribusi besar
dalam tindakan penelantaran anak yang dilakukan oleh orang tua kandung (Emelia
Krisnawati, 2005 ; 1).
Untuk menyadarkan
masyarakat tentang pentingnya perlindungan anak ini, secara global (UNICEF)
mengembangkan dan mengkampanyekan tesis pembangunan yang pro anak, di mana
sudah tiba saatnya bagi bangsa dan negara di dunia meletakkan kebutuhan dan
anak-anak dalam pusat strategi pembangunan. Untuk menjamin tegaknya hak-hak
anak, pada tahun 1989 PBB menyetujui Konvensi Hak Anak (KHA-UN’s Convertion on
the Rights of the Child) menjadi dokumen HAM yang spesifik mengenai hak anak,
terlengkap dan telah diratifikasi oleh paling banyak negara peserta (state
parties).
Selain Konvensi Hak Anak, ada beberapa instrumen
internasional lainnya yang materi hukumnya berkenaan tentang perlindungan hak
asasi anak. Instrumen-instrumen internaional tersebut dijadikan dasar perlindungan
hak-hak anak, yaitu (Muhammad Joni & Zulchaena, 1998; 98-99):
a.
The Universal Declaration of Human
Rights (1948).
Yakni Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilahirkan tahun 1948 merupakan dokumen HAM yang
penting. Dalam pasal 4 Deklarasi HAM ini disebutkan bahwa tidka seorang pun
bisa berada dalam perbudakan (slavery) atau perhambaan (servitude). Pasal 5
Deklarasi HAM disebutkan bahwa tidak seorangpun bisa menjadi korban penyiksaan
(torture), atau kekejaman (cruel), perbuatan tidak manusiawi dan penurunan
derajat kemanusiaan;
b.
The Slavery Convertion (1926) and
Supplementary Convertion on the Abolition of Slavery, the Slavery Trade and
Practices Similar to Slavery (1956).
Yakni Konversi tentang
Perbudakan tahun 1926, dan tambahan Konversi tentang Penghapusan Perbudakan,
Perdagangan Belian dan Praktek Yang disamakan dengan Perbudakan tahun 1956.
Pasal 1 Konversi ini menyebutkan bahwa anak adalah orang yang berusia dibawah
18 tahun. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa negara-negara peserta harus membuat
batas-batas usia kawin;
c.
The convertion on the Suppresion on
Traffic in Person and the Explotation of the Prostitution of Others (1949).
Yakni Konversi tentang
Penindasan dari Perdagangan Manusia dan Eksploitasi dari Pelacuran termasuk
juga dalam konteks perlindungan anak dari perdagangan manusia dan
pelacuran;
d.
The International Covenant on Civil and
Political Rights (1966.
Yakni instrumen
internasional tentang hak-hak sipil dan hak-hak politik tahun 1966. Dalam Pasal
7 disebutkan bahwa tidak seorangpun bisa menjadi subjek penyiksaan, kekejaman,
tindakan tidak manusiawi dan penurunan derajat manusia;
e.
The Convertion on the Elimination of all
Forms of Discrimination Againts Women (1981).
Yakni perlindungan
perempuan dewasa dan anak dari segala bentuk diskriminasi;
f.
The Labour Convertions of the
International Labour Organization:
- Konversi
Nomor 29 dan Nomor 105 tentang kerja paksa (force labour) dan penghapusan kerja
paksa.
- Konversi
Nomor 79 dan Nomor 90 tentang kerja malam hari bagi pekerja usia muda.
- Konversi Nomor 138 tentang batas minimum bagi
anak-anak yang boleh bekerja.
g.
The Tourism Bill of Rights and the
Tourist Code (1985) yang telah disahkan oleh WTO (Worl Tourism Organization)
Dalam Pasal VI disebutkan
bahwa negara-negara peserta mencegah kemungkinan menggunakan pariwisata untuk
eksploitasi pelacuran dalam segala maksudnya;
h.
Refuge and Humanitarian Law
Dalam kancah dunia
internasional isu tentang perlindungan hukum terhadap anak sangat ramai
dibicarakan, karena berbagai dokumen dan pertemuan internasional telihat sering
diadakan bahwa telah menjadi kebutuhan unruk melindungi anak diantaranya
mencakup berbagai bidang atau aspek; (Bardan Nawali, 1997; 69.)
1) Perindungan
terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak;
2) Perlindungan
anak dalam proses peradilan
3) Perlindungan
kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan
sosial)
4) Perlindungan
anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan
5) Perlindungan
anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran,
dan pornografi), perdagangan atau penyalahgunaan obat-obatan, memperalat alat
dalam melakukan kejahatan;
6) Perlindungan
terhadap anak-anak jalanan;
7) Perlindungan
anak dari akibat-akibat peperangan atau konflik bersenjata;
8) Perlindungan
anak terhadap tindakan kekerasan.
Perlindungan anak dapat
berjalan secara sinergis bila peraturan yang ada juga mengakomodasi segala
kegiatan anak dengan berpedoman pada batasan umur seorang anak yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Setelah pengaturan tersebut jelas,
maka anak akan terjamin perlindungannya sebab hukum pidana dapat mengantisipasi
segala bentuk pelanggaran maupun kejahatan terhadap anak.
Secara sederhana,
trafficking adalah sebuah bentuk perbudakan modern. Perdagangan manusia atau
yang lebih dikenal dengan istilah Human Trafficking merupakan sebuah kejahatan
yang sangat sulit diberantas dan disebut-sebut oleh masyarakat internasional
sebagai bentuk perbudakan masa kini dan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun
internasional.
Definisi yang paling
banyak diterima di seluruh dunia adalah definisi dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in
Persons, especially Women and Children, A/55/383. Protocol tambahan dari Convention Against Transnational Organized Crime ini merumuskan human trafficking dalam Pasal 2, sebagai berikut:
(a) ….[T]he recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs;
Trafiking adalah: “perekrutan,
pengangkutan, pengiriman, penampungan atau penerimaan orang ini, dengan cara
ancaman atau penggunaan kekerasan atau jenis paksaan lainnya, penculikan,
pemalsuan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau
pemberian atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai kesepakatan
seseorang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.”
(Suplemen konvensi PBB mengenai kejahatan transnasional, 2000) Eksploitasi
dapat meliputi, paling tidak, adalah: Pertama, eksploitasi untuk melacurkan
orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual. Kedua, kerja atau
pelayanan paksa. Ketiga, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan
perbudakan. Keempat, penghambaan. Kelima, pengambilan organ-organ tubuh (Ann
Jordan, 2002).
Protokol di atas dengan demikian memberikan rumusan yang
jelas tentang apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia. Definisi di atas
memuat tiga elemen yang berbeda yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya,
(Ly Vichuta and Menh, 2003) yakni : (1) Elemen pertama: tindakan atau perbuatan;
Rekruitmen, transportasi, pemindahan, penempatan dan penerimaan orang. (2) Elemen
kedua: dengan cara; Dengan menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan,
tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau
pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan
dari orang-orang. (3) Elemen ketiga : tujuan atau maksud; Untuk tujuan
eksploitasi. Eksploitasi mencakup setidak-tidaknya eksploitasi pelacuran dari
orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa,
perbudakan, penghambaan dan pengambilan
organ tubuh.
Secara historis,
perdagangan orang dapat dikatakan sebagai perbudakan dan juga melanggar hak
asasi manusia. Kondisi ini berkembang pada masyarakat ekonomi yang memiliki
tingkat ekonomi lemah, pemahaman agama atau moralitas yang kurang, dan
bergantung pada kelompok masyarakat ekonomi kuat. Alasan yang diberikan oleh
korban umumnya perbuatan mereka adalah legal dengan dasar perjanjian.
Pelanggaran hak asasi manusia yang berupa perbudakan umumnya berupa perampasan
kebebasan dari seseorang, yang dilakukan oleh kelompok ekonomi kuat kepada
kelompok ekonomi lemah. Maka, atas dasar itu pencegahan perdagangan orang dalam
perspektif pelanggaran hak asasi manusia harus dilakukan secara komprehensif
dan integral, yang dapat dilakukan melalui tataran kebijakan hukum pidana
dengan cara legislasi, eskekusi, dan yudikasi. (Farhana, 2010: 198)
Menurut Supriyadi (2005;
2-3) perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara
modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan
berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan transformasi maka modus
kejahatan perdagangan manusia pun semakin canggih. “Perdagangan orang/manusia
bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir (organized), dan lintas
negara (transnational), sehingga dapat dikategorikan sebagai transnational
organized crime (TOC)”
Karena bersifat modern,
bentuk kejahatannya sering dilakukan secara tertutup dan bergerak di luar
hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) pun dengan cepat berkembang
menjadi sindikasi lintas batas negara dengan cara kerja yang mematikan.
Hampir tidak ada negara
yang kebal dengan kasus perdagangan manusia di dunia ini. Perdagangan manusia
dapat mengambil korban dari siapapun, baik orang dewasa dan anak, laki-laki
maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam situsi dan kondisi yang rentan.
Modus yang digunakan dalam kejahatan ini sangat beragam dan juga memiliki aspek
kerja yang rumit. Dan hampir setiap tahunnya, menurut laporan mengenai
perdagangan manusia yang dikeluarkan oleh Deplu AS, pada tahun 2004 saja
diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan
menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional.
Helge Konrad mengemukakan
bahwa “human trafficking” merupakan masalah yang kompleks, dan banyak hal yang
menjadi faktor pendorong . Ia menyatakan bahwa: (Helga Konrad, 2002; 5)
The causes of trafficking are complex. While there are numerous contributing faktors, which have to be analysed and taken into account in political decision making – the unequal economic development of differentcountries, mass unemployment in many countries of origin, but alsoinequality, discrimination and gender-based violence in our societies, theprevailing market mechanisms; the patriarchal structures in the sourceand destination countries; the demand side including the promotion of sextourism in many countries of the world, the mindsets of men, etc. – theprimary root cause is poverty, most particularly among women.
Kompleksitas masalah
“human trafficking” diperberat lagi dengan ketidaktahuan dengan pasti berapa
jumlah dari para korban. Beberapa sumber data tidak dapat menjelaskan secara
pasti berapa jumlah “human trafficking”. Tetapi sebagai suatu gambaran dapatlah
dikemukakan bahwa pada bulan Maret 2001, European Commission melaporkan bahwa
setiap tahun, sebanyak 120.000 wanita dan anak-anak diperdagangkan ke Eropa
Barat (Frank Laczko, 2002; 4). Demikian pula, laporan dari
UNICEF/OHCHR/OSCE/ODHR periode Juni 2002, yang melaporkan bahwa Di Moldova, 90%
remaja (18 – 29 tahun) meninggalkan Moldova untuk bekerja di negara lain.
Demikian pula, sekitar 60% anak Albania bekerja di negara Eropa sebagai pekerja
sex. International Organisation for Migration (IOM) memberi estimasi bahwa
170.000 orang telah dijual ke Balkan (Helga Konrad, 2002; 5).
Dari seluruh kasus
perdagangan manusia yang paling banyak korbannya adalah anak-anak dan
perempuan. Karena pada dasarnya kedudukan anak dan perempuan yang selalu
subordinatif dibanding kaum laki-laki ini membawa sejumlah konsekuensi yang
merendahkan peran mereka dalam masyarakat. Juga karena perdagangan perempuan
dan anak-anak merupakan bisnis terbesar ketiga setelah “drug trafficking” dan
“trafficking in weapons”. “Human trafficking” merupakan bisnis yang
menguntungkan, karena “low risk, expendable, reuseable and resellable.
Pada saat mereka masih
berada di bawah naungan orang tua, anak perempuan dipandang sebagai milik
(property) sang ayah; sehingga semua keputusan berada di tangan ayah. Ketika
beranjak dewasa pun, posisi ayah kemudian banyak digantikan oleh saudara
laki-laki. Pada saat mereka memasuki perkawinan, pembayaran mahar atau mas
kawin banyak dipandang sebagai pamoli atau pembeli wanita untuk masuk ke dalam
keluarga si suami, sehingga dianggaplah mereka sebagai milik suami. Menempatkan
anak perempuan lebih rendah daripada anak lelaki juga di beberapa negara telah
banyak menimbulkan infanticide terhadap bayi perempuan, sebagaimana dilaporkan
oleh berbagai sumber.
Dalam kondisi yang dipicu
oleh konstruksi sosial politik semacam ini, fenomenon perdagangan manusia
menjadi salah satu bentuk viktimisasi yang dialami khususnya oleh perempuan
(dan juga anak) yang paling menguntungkan.
Kebanyakan korban
trafficking dirayu ke kota besar atau ke luar negeri dengan janji diberi
pekerjaan menarik seperti pelayan, penjaga toko dan pekerja rumah tangga, tapi
malah ditipu dan dipaksa ke dalam pekerjaan yang menyiksa atau bahkan
prostitusi. Hal ini karena didasari keinginan korban yang ingin cepat mendapat
pekerjaan dan janji-janji yang diberikan oleh pelaku perdagangan.
Ada beberapa bentuk trafficking
manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak: Pertama, Kerja Paksa Seks
& Eksploitasi seks. Kedua, Pembantu Rumah Tangga (PRT). Ketiga, Kerja
Migran. Keempat, Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya. Kelima, Pengantin
Pesanan. Keenam, Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak. Ketujuh, Trafficking atau penjualan
Bayi.
Sebagai bahan
perbandingan tentang bentuk-bentuk trafficking menurut The U.N. Protocol to
Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and
Children dikategorikan menjadi 7 bentuk sebagai berikut (Wiwiek; 3-4):
1. Trafficking
for the exsploitation of prostitution of others (eksploitasi di bidang
prostitusi atau yang menyerupainya);
2. Trafficking
for other forms of sexual exsploitation (eksploitasi dalam bentuk lain dari
seksual);
3. Trafficking
for forced labor (eksploitasi dalam bentuk kerja paksa);
4. Trafficking
to place someone in a condition of servitude (menempatkan orang dalam kondisi
perbudakan);
5. Trafficking
for the purpose of enslavement of someone (memperbudakan orang);
6. Trafficking
for purposes similar to slavery (memperlakukan seseorang serupa dengan
perbudakan); dan
7. Trafficking
of organs, or the removal of organs from human beings (dalam bentuk perdagangan
organ tubuh manusia)
Ada beberapa permasalahan
krusial yang timbul dalam rangka memberantas tindak pidana perdagangan orang
atau trafficking antara lain disebabkan budaya patriarkhi yang masih
memposisikan wanita tak setara dengan laki-laki; kemiskinan dan kesempatan
untuk berkarier bagi wanita masih sangat terbatas; paradigma intelektualitas
atau professionalisme kaum wanita belum dianggap setara dengan laki-laki; kaum
wanita masih dianggap sebagai subordinasi dalam keluarga. Pada kasus tertentu,
di dalam masyarakat masih ada budaya malu atau tabu melaporkan perlakuan kasar
dari suami terhadap isteri, anak-anak serta wanita di dalam lingkungannya dan
lain sebagainya. Putus sekolah, ketidaktahuan orangtua, serta besarnya harapan
orangtua agar anak tidak lagi menjadi tanggungan mereka juga menjadi faktor
lain dari perdagangan manusia.
Untuk lebih efektif dan efisiensinya upaya penanganan terhadap kejahatan perdagangan
orang atau trafficking adalah sinergisasi potensi yang ada, yakni
mensosialisasi dan memotivasi peran dari berbagai pihak agar concern terhadap
bahaya dari kejahatan trafficking. Penegakan hukum bukan merupakan tugas
dan kewajiban dari Polisi, Jaksa dan Hakim semata, tetapi juga merupakan
kewajiban dan hak dari masyarakat (Koesnadi Hardjasoemantri, 2002; 357) karena
bisa jadi ada beberapa lembaga bahkan orang yang turut serta dalam perdagangan
orang ini.
Denga kata lain usaha
penanganan tindak pidana perdagangan orang atau trafficking memerlukan
suatu strategi yang terstruktur, terukur dan kerjasama lintas program serta
lintas sektoral antara pemerintah (Penegak Hukum) dan masyarakat. Sinergisasi
peran pemerintah secara formal dengan masyarakat sebagai stakeholdership dalam
mencegah tindak pidana trafficking merupakan keharusan yang tidak dapat
ditawar.
Daftar Pustaka
Ann Jordan, 2002, The
Annotated Guide to the Complete UN Trafificking Protocol, International Human
Rights Law Group, Washington, DC.
Arief Gosita, 1993,
Masalah Korban kejahatan. Akademindo pressindo. Jakarta.
Bardan Nawali, 1997, Masalah
Perlindungan Hukum bagi Anak, Peradilan Anak Indonesia, Maju Mundur,
Bandung.
Bateman, 1995, Advocacy
Skills: A Handbook For Human Service Professionals, (Burlington: Ashgate
Publishing Company).
Caagusan (ed), 2003,
Handbook On Advocacy Strategy And Techniques Development, (Manila: Institute
For Popular Democracy).Darwan Prints, 2002, Hukum Anak Indonesia, Bandung. PT.
Citra Aditya Bakti.
Emeliana Krisnawati. ,
2005, Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV. Utama, Bandung.
Freddolino et.al, 2004,
The Practice of social work A Differential Model Of Advocacy In Social Work
Practice, In Families And Society, in The Journal Of Contemporary Social
Services: Jan-March: 85.
Fakih dkk, 2007, Mengubah
Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Insist Press).
Farhana, 2010, Aspek
Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Frank Laczko, Amanda
Klekowski von Koppenfels dan Jana Barthel, 2002, Trafficking in Women from
Central and Eastern Europe: A Review of Statistical Data, European Conference
On Preventing And Combating Trafficking in Human Beings: Global Challenge For
The 21st Century, September. Brussels, Belgium.
Helga Konrad, 2002, Trafficking
In Human Beings – The Ugly Face of Europe, European Conference on Preventing
and Combating Trafficking In Human Beings Global Challenge for the 21st
Century, Brussels, Belgium, September.
Koesnadi Hardjasoemantri, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Revisi, Cetakan Keempatbelas,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ly Vichuta and Menh,
2003, Gender Human Trafficking and The Criminal Justice System in Cambodia,
Navy, Desember.
Myra Diarsi, Evi Douren,
Titiana Adinda, Siska Dewi, Beka Ulung Hapsara, 2005, Layanan Terpadu;
Pertautan Multi Disiplin dan Sinergi Kekuatan Masyarkat dan Negara, Komnas
Perempuan, September Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah,Menanggulangi dan
Menghukum Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen
konvensi PBB mengenai kejahatan transnasional.
Suharto, 2008, Kebijakan
Social Sebagai Kebijakan Publik, Jakarta: Alfabeta.
Supriyadi Widodo Eddyono,
2005, Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU
KUHP Seri#5, Jakarta; Elsam.
Wiwiek Setyawati Firman,
Penanganan Trafficking/Perdagangan Orang dari Perspektif Hukum HAM
Internasional dan Politik Luar Negeri, Makalah Pada Diskusi di Deplu, tt,
Jakarta.
0 Response to "GENDER DAN ADVOKASI : KELUARGA, PERLINDUNGAN ANAK, DAN TRAFFICKING"
Post a Comment