POLITISASI AGAMA
Referensi pihak ketiga
Agama dan Negara
(Religion and Nation State) merupakan tema diskursus penting di wilayah
sosial kemasyarakatan dan bukan hal baru dalam politik. Akan tetapi kini
mendapat aktualisasinya kembali setelah merebaknya fenomena fundamentalisme Islam yang mengenalkan berdirinya negara khilafah
(negara Islam) yakni sebuah kesatuan antara agama dan Islam. Dalam Islam,
aktualisasi hubungan antara agama dan negara sudah ada sejak kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW di Madinah. Namun, bagaimana seharusnya hubungan antara agama dan
negara sepeninggal Nabi Muhammad SAW dan berakhirnya masa kepemimpinan Khulafa>
ra>syidu>n masih dalam perdebatan.
Berbicara tentang agama tentunya tidak akan terlepas dari
segala aturan dan norma yang terkandung didalamnya khususnya sebagai sumber
etika moral yang berkaitan erat dengan perilaku seseorang dalam interaksi
sosial kehidupannya (pedoman hidup seorang sehari-hari). Tidak jauh berbeda
ketika kita berbicara tentang
negara yang juga mencakup seluruh aturan-aturan mengenai tata kemasyarakatan yang berlaku dan mempunyai
kewenangan memaksa bagi setiap masyarakat. Dalam aplikasinya bisa saja aturan
yang dibuat oleh negara sejalan dengan agama, tetapi juga tidak menutup
kemungkinan apa yang ditetapkan berlawanan dengan agama.
Agama dan negara adalah dua
entitas yang sangat penting bagi masyarakat khususnya yang ada
dalam wilayah keduanya,[1]
yang sama-sama berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia. Jika negara berada
pada dimensi kekinian manusia yang sifatnya sekuler, dalam pemenuhan kebutuhan
hidup di dunia, maka agama berperan pada dimensi relegius, yang menyeberang
tanpa batas dari dimensi kekinian ke alam dimasa yang akan datang.
Pada hakikatnya keduanya
berdiri sejajar, namun dalam realitasnya memiliki dinamika tersendirinya.
Awalnya, agama berdiri agak merunduk di belakang negara, kemudian bergerak
disampingnya, akhirnya merangkul pundak Negara bahkan bertindak sebagai negara
itu sendiri. Jadilah apa yang kita kenal agama-negara. Elite agama seringkali
dijadikan alat penyambung lidah penguasa pada masyarakatnya. Sehingga sering
tampil sebagai nabi “negara” bukan nabi “rakyat”. Dalam kedudukannya yang serba
terkungkung akhirnya agamapun tak berdaya berhadapan dengan negara.
Adanya hubungan timbal balik itu akhirnya
kemudian menimbulkan hubungan dominasi-saling mendominasi antar kedua entitas
tersebut. Negara yang didominasi unsur kekuatan agama yang terlalu kuat hanya
akan melahirkan negara teokrasi yang cenderung melahirkan adanya hipokrisi
moral maupun etika yang ditunjukkan para pemuka agama. Kondisi tersebut terjadi
karena adanya pencampuradukan unsur teologis dan materialis secara konservatif.
Adapun negara yang mendominasi relasi agama justru menciptakan negara sekuler
yakni persoalan agama kemudian termarjinalkan dan tereduksikan dalam pengaruh
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada hal menarik yang penting
untuk dikaji mengenai dominasi dan kekuasaan
dari kedua model tersebut. Yakni munculnya gejala hipokrisi moral dan adanya
marjinalisasi agama yang tentu merupakan hal yang mainstream dalam kajian ketika membahas
kedua hal itu. Namun demikian, hal menarik sebenarnya adalah
bagaimana relasi kekuasaan dan pertentangan yang dihadirkan dari dinamika dari
kedua entitas tersebut. Agama yang menjadi bahasa politik justru menjadi agama
penindasan seperti dalam kasus menguatnya kekuasaan Gereja Romawi selama Abad
Kegelapan, pertentangan antara faksi-faksi agama Islam dalam Kekhalifan Umayyah
hingga Abbasiyah.
Menguatnya negara
dengan menyingkirkan adanya peran agama malah justru menjadikan demoralisasi
masyarakat yang justru akan berkembang tinggi. Maka inti sarinya adalah adanya depolitisasi
agama justru akan menimbulkan anarki, sedangkan apabila terjadi gejala politisasi
agama justru menciptakan adanya hipokrisi dan vigilantilisme. Harus diakui
bahwa pemahaman agama yang dilakukan secara dogmatik malah justru dipolitisasi
menjadi alat justifikasi saja. Sedangkan pemahaman agama secara pragmatik,
malah justru mengarahkan agama hanya menjadi simbol formal saja, tapi minim
instrumentasi nilai dan norma dalam masyarakat.
Polemik antara
agama dan negara memperlihatkan adanya suatu perbedaan pendapat yang
menimbulkan ketegangan-ketegangan politik ideologi. Hal ini dapat dimaklumi
dikarenakan beberapa hal. Pertama, hubungan negara dan agama telah
menjadi perdebatan panjang untuk menentukan batasan batasan dalam hal apa
negara dapat ikut campur dalam urusan agama. Kedua, perdebatan mengenai hubungan negara dan agama
menjadi penting karena persoalan ini merupakan gejala masyarakat yang berakar
dari permasalahan lahirnya gerakan sekularisasi dalam sejarah pemikiran Barat. Ketiga,
masalah kontekstualisasi tipe negara merupakan suatu hal yang penting dalam
hubungan negara dan agama. Keberagamaan hidup dalam beragama juga menjadi
permasalahan penting dalam kehidupan bernegara.
Hubungan antara
agama dan negara dalam praktiknya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni;
Pertama, intersectional (persinggungan antara agama dan
negara). Agama dalam kasus
ini tidak mendapat tempat sama sekali dalam kehidupan bernegara. Agama
dipandang sebagai sesuatu
yang berbahaya dan bagaikan candu bagi masyarakat. Agama dipandang sebagai
ilusi belaka yang diciptakan kaum agamawan yang berkolaborasi dengan penguasa borjuis, dengan tujuan untuk
meninabobokkan rakyat sehingga rakyat lebih mudah ditindas dieksploitasi dan
Agama dianggap khayalan, karena berhubungan dengan hal-hal ghaib yang
non-empirik. Segala sesuatu yang ada, dalam pandangan ini, adalah benda
(materi) belaka. Inilah pandangan ideologi Komunisme-Sosialisme, yang menganut
ideologi serupa atau sudah bermetamorfosis menjadi kapitalisme.
Kedua, integrated (penyatuan
antara agama dan negara). Dalam hal ini agama tidak
terpisah dari negara, sebab agama mengatur segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Sistem dan
norma-norma dalam negara dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan karena
negara menyatu dengan agama. Agama
bukan sekedar urusan pribadi atau ajaran moral yang bersifat individual belaka,
melainkan pengatur bagi seluruh interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam
hidupnya, baik interaksi manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri,
maupun manusia yang satu dengan manusia yang lain. Keberadaan negara bahkan
dipandang sebagai syarat mutlak agar seluruh peraturan agama dapat diterapkan.
Inilah pandangan ideologi Islam, yang pernah diterapkan sejak Rasulullah Saw.
berhijrah dan menjadi kepala negara Islam di Madinah. Keduanya, baik agama dan
negara merupakan dua lembaga yang menyatu (integreted) dengan
pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus sebagai
lembaga agama.[2] Paradigma ini kemudian
melahirkan konsep tentang agama-negara yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan
diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dengan demikian
paradigma integral di sini dapat dikenal sebagai paham Islam: din
wa dawlah yang sumber hukum positifnya adalah hukum agama.[3]
Ketiga, sekularistik (pemisahan antara agama dan negara).
Pandangan ini tidak menafikan agama, tetapi hanya menolak peran agama dalam kehidupan publik. Agama hanya menjadi urusan pribadi antara
manusia dengan Tuhan, atau sekedar sebagai ajaran moral atau etika bagi
individu, tetapi tidak menjadi peraturan untuk kehidupan bernegara dan
bermasyarakat, seperti peraturan untuk sistem pemerintahan, sistem ekonomi,
sistem sosial, dan sebagainya.
Pandangan ini
dikenal dengan Sekularisme, yang menjadi asas ideologi Kapitalisme yang dianut negara-negara Barat seperti Amerika Serikat
dan Eropa serta negara-negara lain pengikut mereka.
Bentuk hubungan
antara agama dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan
sekularismenya atau pemisahan antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia
of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya dengan
sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan
untuk itu, dengan mendukung prinsip-prinsip non-agama atau anti-agama sebagai
dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial.[4]
Pemisahan agama
dan negara tersebut memerlukan proses yang disebut sekularisasi, yang
pengertiannya cukup bervariasi. Menurut Peter L. Berger berarti “sebuah proses
di mana sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat dan budaya dilepaskan dari
dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan”.[5]
Proses sekularisasi yang berakibat pada marjinalisasi agama ini bisa berbeda
antara satu negara dengan negara lainnya, terutama yang dipengaruhi oleh latar
belakang budaya dan sejarah masing-masing masyarakatnya.
Negara-negara
yang mendasarkan diri pada sekularisme memang telah memisahkan diri antara
agama dan negara, meski bentuk pemisahan itu bervariasi. Penerapan sekularisme
secara ketat dapat kita temui di Perancis dan Amerika Serikat, sementara di
negara-negara Eropa lainnya tidak begitu ketat, sehingga keterlibatan negara
dalam urusan agama dalam hal-hal tertentu masih sangat jelas, seperti pengaturan
penanggalan pada hari-hari libur nasional, seperti hari libur agama, pendidikan
agama di sekolah, pendanaan negara untuk agama, keberadaan partai agama, pajak gereja,
dan sebagainya. Bahkan, Alfred Stepan mengatakan, kini masih ada sejumlah
negara Eropa yang tetap mengakui secara resmi lembaga gereja (established
church) dalam kehidupan bernegara, seperti Inggris, Yunani, dan
negara-negara Skandinavia (Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Swedia).[6]
Sekularisasi
politik juga terjadi dalam konteks modernisasi politik di negara-negara
berkembang, termasuk di negera-negara Muslim. Dalam kaitan dengan hal ini
Donald Eugen Smith beberapa dekade lalu mengatakan bahwa sebenarnya
sekularisasi politik dan keterlibatan agama dalam politik ini berjalan secara simultan.
Namun menurut dia, sekularisasi ini betul-betul merupakan proses yang lebih
mendasar, dan hal ini lambat laut akan melenyapkan fenomena partai politik dan
ideologi keagamaan.[7]
Sekularisasi
politik dalam hal-hal tertentu dan tingkat tertentu memang terjadi di
negara-negara Muslim, seperti pembentukan lembaga-lembaga negara modern sebagai
perwujudan sistem demokrasi yang menggantikan lembaga-lembaga negara
berdasarkan keagamaan, pembentukan partai-partai politik, penyelenggaraan
pemilihan umum, dan sebagainya. Bahkan, proses sekularisasi secara terbatas juga
terjadi di negara-negara agama (religious states), yang
mengintegrasikan agama dan negara seperti Arab Saudi dan Iran, dengan
melegislasi aturan-aturan operasional tertentu yang awalnya berasal dari
negaranegara Barat sekuler, seperti peraturan hukum tentang perdagangan
internasional, imigrasi, dan sebagainya.
Namun dalam
kenyataannya, umat Islam tetap memperhatikan faktor agama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, meski negara itu telah melakukan modernisasi dan
sekularisasi politik bersamaan dengan proses globalisasi. Hal ini sebenarnya
tidak terlepas dari karakteristik ajaran Islam itu sendiri, yang tidak hanya
merupakan sistem teologis, tetapi juga cara hidup yang berisi standar etika
moral dan norma-norma dalam kehidupan masyarakat dan negara. Islam tidak
membedakan sepenuhnya antara hal-hal sakral dan profan, sehingga Muslim yang
taat menolak pemisahan antara agama dan negara. Oleh karena itu, sekularisasi
yang terjadi di negara-negara Muslim umumnya tidak sampai menghilangkan
orientasi keagamaan masyarakat dan negara. Bahkan adopsi sistem sekuler,
seperti sistem demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, dalam banyak hal
dilakukan dengan pemberian legitimasi keagamaan melalui ijtihad dan
penyesuaian-pe nyesuaian tertentu.[8]
Tanpa legitimasi ini, ide-ide atau “sistem sekuler” itu tidak akan mendapat
dukung an sepenuhnya dari warga yang mayoritas beragama Islam. Ijtihad ini
merupakan bagian dari modernisasi pemahaman keagamaan (modernisme Islam) agar
ajaran-ajaran Islam tetap kompatibel dengan per kembangan masyarakat modern
tanpa menyalahi ajaran-ajaran Islam yang bersifat mendasar dan absolut (qat’i>).
Menguatnya
kembali orientasi keagamaan dan penolakan terhadap sekularisme telah menjadi
fenomena di seluruh dunia Islam sejak akhir dasawarsa 1970-an, terutama karena
semakin tingginya tingkat pendidikan umat Islam sehingga memunculkan pemahaman
dan kesadaran mereka tentang karakteristik ajaran Islam yang memang tidak
memisahkan antara agama dan negara. Bahkan sejak dasawarsa 1980-an, kebangkitan
agama dalam bentuk desekularisasi politik dan sosial cukup nampak di negara ini
sebagai tandingan (counter) terhadap proses sekularisasi politik
tersebut.[9]
Kecenderungan
desekularisasi ini ternyata tidak hanya terjadi dunia Islam, tetapi juga di
banyak negara di dunia, termasuk di Amerika Serikat, karena manusia tetap mem
butuhkan nilai-nilai spiritual, meski mereka hidup dalam masyarakat modern yang
menjunjung rasionalitas. Karena kenyataan itulah sosiolog terkemuka, Peter L.
Berger pada akhir dasawarsa 1990-an menolak teori “secularization”, dan
sebaliknya mengemukakan teori “desecularization of the world”. Hal ini
terjadi karena dalam kenyataannya proses sekularisasi itu menimbulkan reaksi
dalam bentuk gerakan-gerakan tandingan sekularisasi yang kuat (poweful
movements of counter-secularization).[10]
Jadi teori ini merupakan revisi terhadap
teorinya sendiri tentang sekularisasi yang dikemukakan pada akhir dasawarsa
1960-an.[11] Hanya
saja, perlu dibedakan antara desekularasi dalam konteks negara (politik) dan
desekulariasi dalam kehidupan
masyarakat. Di negara-negara Barat
fenomena desekularisasi ini umumnya terjadi dalam konteks kehidupan masyarakat,
sementara negara masih tetap mendukung sekularisme, walaupun sebagian warga
menuntut penghapusan sekularisme.
Sedangkan dalam studi pemikiran politik Islam, khususnya tentang
hubungan Islam dan ketatanegaraan terdapat tiga aliran. Aliran pertama
berpendirian bahwa Islam adalah segala aspek kehidupan manusia termasuk
kehidupan politik dan bernegara. Karena itu umat Islam diwajibkan mengikuti
aturan-aturan bernegara dalam Islam dan tidak meninggalkan sistem yang telah
dilaksanakan oleh Nabi saw. bersama-sama dengan Khulafaur Rasyidin. Tokoh-tokoh
dari aliran ini antara lain: Maulana Abu al-A’la al-Maududi, Rasyid Ridha,
Sayyid Quthub dan Hasan al-Banna. Aliran kedua berpendirian bahwa Islam
adalah semata-mata agama yang mengurusi umat manusia agar hidup mulia dengan
menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur, karena itu merupakan tugas utama
para nabi, termasuk Rasulullah saw, bukan untuk mendirikan sebuah negara.
Tokoh-tokoh dari aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein. Aliran ketiga
berpendirian bahwa Islam tidak memiliki ajaran atau tuntunan
secara lengkap dan detail termasuk sistem ketatanegaraan akan tetapi memiliki
seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan manusia dalam bernegara.
Tokoh-tokohnya antara lain Mohammad Husein Haikal.[12]
Dari ketiga aliran tersebut, Nurcholish Madjid memberikan
komentar bahwa kalau ada di antara umat Islam yang merasa wajib untuk membentuk
negara dan pemerintahan, maka kewajiban itu bukanlah atas dasar perintah nash
yang tegas, melainkan semata-mata atas dasar Ijtihad dan pemikiran rasional
berdasarkan Surah An-Nisa ayat 59 yang berbunyi :
أطيعوا الله
وأطيعوا الرسول
وأولى الامر
منكم....
“Taatlah kepada Allah, taatlah kepada
Rasul dan kepada orang-orang yang berkuasa di antara kamu.”
Keharusan membentuk ‘negara Islam’
kata Nurcholish, sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah. Buktinya, Nabi
Muhammad saw sendiri baru dimakamkan tiga hari setelah wafat, akibat keributan
umat tentang soal suksesi. Pola suksesi saat itu tidak jelas sehingga terjadilah
permasalahan yang sulit diselesaikan. Oleh karena itu, masalah kenegaraan
bukanlah suatu kewajiban bahkan tidak menjadi integral dari Islam. Mengenai
munculnya gagasan negara Islam atau Islam sebagai negara, tidak lain merupakan
bentuk kecenderungan apologetic.[13]
Menurut Cak Nur, apologetis
tersebut dapat ditinjau dari dua segi: Pertama, kemunculannya adalah
apologi terhadap ideologi-ideologi Barat seperti demokrasi, sosialisme,
komunisme dan lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tersebut
direspon dalam apresiasi yang bersifat ideologi politis, yang melahirkan
pandangan dan berujung pada perjuangan Islam politik yang mencita-citakan terbentuknya
“negara Islam”, sebagaimana terdapat negara demokrasi, negara sosialis, negara
komunis, dan lain sebagainya. Kedua, pandangan legalisme sebagai
kelanjutan fikihisme yang begitu dominan di kalangan umat Islam, yang
dibuat untuk memenuhi kebutuhan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan
negara pada masa lalu. Pemahaman yamg demikian masih kuat mengiringi wacana
politik Islam modern, yang mengasumsikan bahwa untuk menegakkan sebuah syari’at
maka haruslah dimulai dari negara sebagai elemen kekuasaan yang akan mampu
mengatur dan menegakkannya. Padahal, menurut Cak Nur, fikih itu telah
kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perombakan
secara total, sehingga sesuai dengan pola kehidupan modern dari segala aspeknya
sudah tidak lagi menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan
juga orang-orang lain. Dengan demikian, dalam pandangan Cak Nur, hasilnya tidak
perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang,
untuk mengatur kehidupan bersama.[14]
Jadi konsep negara
Islam adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama.
Negara baginya, merupakan aspek kehidupan duniawi yang dimensinya rasional dan
kolektif. Sedangkan agama merupakan segi lain yang dimensinya spiritual dan individual.
Islam tidak perlu menuntut negara atau pemerintah Indonesia menjadi negara atau
pemerintah Islam. Baginya adalah substansi atau esensi-esensinya, bukan bentuk
formalnya yang sangat simbolis.[15]
Pembentukan negara
adalah suatu kewajiban bagi umat manusia dalam bentuk demokratis, meskipun
tidak ada keharusan dari Islam dalam bentuk negara Islam, karena membentuk
negara itu dapat memberikan beberapa pirnsip yang dipakai dalam mewujudkan
masyarakat dimaksud, yaitu: Pertama, pemerintahan yang adil dan
demokratis (musyawarah), kedua, organisasi pemerintah yang dinamis, ketiga,
kedaulatan.[16]
Dalam konteks Indonesia, Islam adalah agama dan
negara. Tidak ada pemisahan di antara keduanya, sedangkan pemerintah merupakan
perlengkapan agama.[17]
Menurut Romy, Antara agama dan negara tidak serta merta harus dipisahkan. Imbuhnya,
dalam sila pertama Pancasila, di Indonesia agama dan
negara memiliki hubungan simbiosis mutualisme yang saling melengkapi dan
menguntungkan. Negara diisi
oleh spirit kerohanian agama dan agama dilindungi bahkan diatur oleh negara.
Keberadaan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama memperlihatkan peran negara
dalam hukum agama. Namun jika dilihat dalam takaran yang lebih luas dan dalam,
keberadaan produk perundang-undangan tersebut juga memperlihatkan bahwa agama
mempengaruhi jalannya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah
(masyarakat). Dengan kata lain agama juga berperan serta dalam pemerintahan.
“Dalam sila pertama Pancasila, di Indonesia agama dan negara memiliki hubungan simbiosis mutualisme yang saling melengkapi dan menguntungkan.”
Meskipun dalam
kenyataannya hubungan negara dan agama yang seperti dijelaskan di
atas seringkali menjadi “rumit”. Katakan dalam hal ini agama seringkali
dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering
dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Maka agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di
tengah-tengah dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu
mendiskusikannya terus menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama
dan negara bagai dua sisi mata uang, dimana keduanya bisa dibedakan, namun
tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling membutuhkan.[18]
“Mempertentangkan agama dengan negara adalah hal yang tidak sepatutnya diteruskan.”
Dalam konteks sejarah kemerdekaan Indonesia, Islam
dan perjalanan panjang sejarah Indonesia, pada hakikatnya merupakan dua sisi
pedang yang sulit terpisahkan. Kelahiran Indonesia sendiri tidak luput dari
peran serta tokoh-tokoh serta organisasi-organisasi Islam besar di Indonesia,
mulai dari para pedagang Arab, Gujarat India, dan Cina, kerajaan besar Islam
mulai dari Aceh hingga Ternate, tokoh Padri di Sumatera Barat, hingga
organisasi besar Islam awal abad ke 20 seperti Muhammadiyah, Sarikat Islam,
Persis, hingga Nahdhatul Ulama (NU). Semua memiliki peran khusus dalam mengisi
proses perjuangan bangsa menuju kemerdekaan.
Dalam prosesnya, agama tidak bisa dipisahkan dengan
kemerdekaan Indonesia. KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan KH
Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), justru menggunakan kekuatan agama
untuk kepentingan politik. KH Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari itu justru
mempolitisasi agama untuk mendirikan NKRI. Dalam hal ini keduanya telah
menggunakan kekuatan politik sebagai istrumen untuk membangun bangsa.
Bahkan secara khusus,
hubungan politik dengan agama bermula sesaat setelah baginda Rasulullah saw.
wafat. Persoalan politik pertama saat itu yang muncul adalah seputar suksessor dari
sepeninggalnya nabi Muhammad Saw., bagaimana cara pengangkatannya dan
apa saja kriterianya? Suksesi pertama dalam sejarah kaum muslimin ini berjalan
mulus dengan dibaiatnya Abu Bakar ra. secara aklamasi walaupun melalui proses
demokrasi dan musyawarah yang tidak mudah.[19]
Di negara barat yang sudah mengalami sekularisasi pun,
peran agama masih cukup penting. Bahkan, belakangan terjadi kecenderungan
munculnya konservatisme dalam beragama. Hal ini tidak lepas dari fakta tentang
masih banyak orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama di tengah-tengah
proses modernisasi yang terus berlangsung secara kuat. Di Amerika latin,
misalnya, sejumlah gereja katolik yang menganut ‘teologi pembebasan’ membangun
aliansi dengan politisi untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan publik yang pro
kelompok miskin.
Banyak faktor yang memyebabkan terjadinya kebangkitan kembali politisasi agama.
Tetapi, sebagaimana digarisbawahi oleh Emile Sahliyeh (1990:10), kebangkitan
politisasi agama can also be explained by employing a resource mobilization
model. Di dalam model ini terdapat tiga komponen utama yaitu; Pertama
the presence of opportunity munculnya atau berpengaruhnya kelompok agama di dalam
panggung politik tidak akan terjadi tanpa adanya kesempatan untuk membangun
organisasi dan pengaruh. Kedua adalah the avibility of organization
structure and political resources. Kemunculan kelompok-kelompok itu sangat
tergantung pada adanya sejumlah sumber-sumber seperti kepemimpinan politik,
struktur organisasi, jaringan, kader, dana, ideologi dan status sosial ekonomi.
Ketiga adalah the present of motivies. Adanya intensif, alasan,
dan motivasi-motivasi tertentu memberikan landasan yang kuat bagi kemunculan
kembali kelompok-kelompok agama di dalam politik.[20]
Di Indonesia, munculnya partai politik berbasis agama tidak lepas dari adanya kesempatan yang luas setelah keruntuhan pemerintahan
orde baru, adanya sumber daya yang memadai dan motivasi untuk memengaruhi
proses-proses politik berdasarkan agama-agama tertentu. Meskipun demikian
kemunculannya tidak bisa semata-mata dipahami akibat dari runtuhnya
pemerintahan otoriter dan menguatnya proses demokratisasi. Kalapun yang terkhir
ini memiliki peran, lebih sebagai factor hantaran yang memungkinkan adanya
percepatan bagi lahirnya kembali politik aliran berbasis agama. Dalam pandangan
Bahtiar Effendy (2003:202), kemunculan kembali partai-partai islam tidak saja
dipahami sebagai sebuah nilai-nilai yang diperjuangkan di arena politik. Islam
juga bisa berfungsi sebagai instrument untuk memperjuangkan dan mempertahankan
kekuasaan.
Politik dalam agama
diperbolehkan asalkan memiliki tujuan yang mulia dan untuk kemajuan bangsa. Dan
politisasi agama justru tidak diperkenankan dalam hal untuk kepentingan dirinya
sendiri atau golongannya. Bahkan tidak jarang sekarang saat ini ayat-ayat kitab suci banyak disalahgunakan hanya
untuk kepentingan kekuasaan. Inilah yang dilarang. Politisasi agama, seperti
memanfaatkan simbol agama dalam berpolitik, merupakan hal terlarang. Apalagi,
tujuan dan aktifitas berpolitiknya tidak terkait sama sekali dengan tuntunan
politik agama. Ini sama berbahayanya
dengan pilihan politik pencitraan yang kini menjadi tren politik baru dalam
praktik politik Indonesia.
Karakter buruk yang melekat dalam praktik politisasi
agama adalah pelabelan berdasar cara pandang dan sikap diskriminatif terhadap
suatu subyek, baik personal maupun golongan, yang pada gilirannya terjadi
peminggiran sistematis terhadap subyek dan menghapus hak-haknya untuk
diperlakukan setara. Sebenarnya, politisasi agama juga merupakan cara
berpolitik yang tidak rasional karena memperdebatkan sesuatu yang bukan
merupakan domain politik. Di dalamnya melekat pula pembodohan sistematis kepada
publik, suatu yang seharusnya dihindari dalam berdemokrasi. Kontestasi ide
menjadi kabur oleh aneka bangunan sentimen identitas. Karena itu, demi
penguatan demokrasi yang lebih berkualitas, politisasi identitas (agama) wajib
dihindari. Berdemokrasi dan berkontestasilah secara rasional dan cerdas dengan
memperdebatkan substansi-substansi yang menjawab kebutuhan masyarakat.
Menyeret-nyeret
agama ke dalam ranah
politik apalagi
dilakukan secara manipulatif jelas akan memberikan dampak buruk, bukan hanya terhadap kehidupan politik
melainkan
juga kehidupan
agama pada saat yang sama. Dalam konteks politik, fenomena ini jelas merupakan sesuatu yang kontra produktif terhadap perkembangan
demokrasi
yang sedang
berjalan di negeri ini. Ketika demokrasi sangat menekankan rule of the game dalam berpolitik,
selain kebebasan
tentu saja, maka
tentu menjadi terkendala dengan maraknya aksi kekerasan yang jelas-jelas tidak menghormati rule of the game tersebut.
Bagi kehidupan
keagamaan sendiri, manipulasi agama untuk kepentingan politik jelas akan menodai agama itu sendiri. Agama, meminjam gagasan teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin, akan kehilangan fungsi liberatifnya di
tengah-tengah
pemeluknya. Agama
yang sejatinya mampu membebaskan manusia dari sikap-sikap primordialistik, chauvinistic,
kepicikan cara berpikir dan sebagainya, justru, dengan maraknya fenomena di
atas, menjadi faktor penumbuh subur sikap-sikap tersebut.
Di saat agama
seharusnya menjadi penebar kedamaian di muka bumi ini, tetapi justru, ketika diseret untuk kepentingan
politik,
menjadi penebar
kebencian yang berakibat pada pertumpahan darah. Ketika agama seyogianya mengusung
misi profetik-keilahian, oleh para oknum pemegang kedudukan politik dan
kekuasaan, agama justru diperosokkan ke dalam lumpur profan yang kotor. Dengan
demikian, agama seolah telah kehilangan jati dirinya di dalam kubangan politik.[21]
[1] John L.
Esposito, Islam and Politics, terj. H.M. Joesoef Sou’yb, “Islam dan
Politik”, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), h. 38.
[2] Nurcholis Madjid, “Agama Dan Negara
Dalam Islam: Telaah Krisis Atas Fiqh Siyasah Sunni,” in Konstekstualisasi Doktrin Islam
Dalam Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 1995), 15.
[3] 7Konsep negara seperti ini dapat kita
temukan dalanm kelompok Islam Shi’ah pada pemerintahan Shah Imam Khumayni,
hanya saja Shi’ah tidak menggunakan term dawlah akan tetapi lebih
suka menggunakan term imamah. Lihat dalam William O Baeman,
“Iranian Revolution,” in The Oxforld
Encyclopedia Of The Moden Islamic World, ed. John L. Esposito (New York: Oxforld University
Press, 1995), 232.
[4] The Encyclopedia of Religion, vol. 13, (New York:
Macmillan Publishing Company), h. 159.
[5] Gergely Rosta, “Secularization or
Desecularization in the Work of Peter Berger, and the Changing Religiosity of
Europe”, dalam http://www.crvp.org/book/Series07/VII-26/chapter-14.htm.
[6] Lihat Alfred Stepan, The World’s Religious Systems and
Democracy: Crafting The “Twin Tolerations”, dalam https://mail2.mpil.de/exchange/mboecken/Entw%C3%BCrfe/Project
Manager-Constitution Process-Governance.EML/, h.
6-7.
[7] Donald Eugen Smith, Religion and Political
Development, (Boston: Little Brown and Company, 1970), h. 124
[8] Masykuri Abdillah, Responses of Indonesian Muslim
Intellectuals to the Concept of Democracy 1966-1993, (Hambur: Abera Verlag,
1997).
[9] Bahkan di Turki, sebuah negara Muslim yang telah
menerapkan sekularisme sejak tahun 1924, umat Islam sejak dua dasawarsa
laluberupaya memiliki kembali orientasi keagamaan, meski militer dengan cara
keras dan represif melakukan pembentengan terhadap ideologi sekularisme dari
“rongrongan” agama.
[10] Lihat Peter L. Berger et al., The Desecularization of
the World: Resurgent Religion and World Politics, (Washington DC: Ethics
and Public Policy Center, 1999), h. 1-4. Teori sekularisasi ini antara lain
dikemukan oleh Donald Eugene Smith, sebagaimana dapat dilihat dalam bukunya, Religion
and Political Development, (Boston: Little Brown and Company, 1970), h.
124.
[11] Lihat Pippa Norris dan Ronald Inglehart, Sacreed and
Secular: Religion and Politics Worldwide, tr. Sekularisasi Ditinjau
Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini, (Jakarta: Alvabet dan
Yayasan Wakaf Paramadina), h. 4.
[12] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Ul Press, 1993), Edisi ke-5, h. 1-2.
[13] Proses
Munculnya Apologi tentang Islam sebagai negara ini tumbuh dari dua jurusan: Pertama,
Apologi Kepada Ideologi Barat (Modern seperti demokrasi, Sosialisme, Komunisme
yang sering bersifat totaliter. Kedua, Legalisme, yang membawa sebagai
kaum muslim ke pikiran apologitis “Negara Islam” itu (menggambarkan Islam
adalah struktur dan kumpulan Hukum 1987) h. 253-255.
[14] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Cet. 2, Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 255
[15] Nurcholis Madjid, “Suatu Tahapan terhadap Masa Depan Politik Indonesia”, dalam Prisma, edisi ekstra,
Jakarta, 1984, h. 31
[16] Ibid
[17] Hamka, Studi
Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Cet. ke-2, h. 137.
[18] Ahmad
Ali Nurdin, Agama dan Politik: Kumpulan Makalah untuk Diskusi Kelompok,
UIN SGD Bandung.
[19] Husain bin Muhammad bin al-Jâbir, Menuju Jamaatul
Muslimah, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tahmid, (Jakarta: Robbani Press, 1996),
Cet. ke-4 h. 87.
0 Response to "POLITISASI AGAMA"
Post a Comment