ISLAM DAN HAM
Oleh:
Sulaiman, S.Pd.I
1.
Pengertian HAM
Menurut Teaching Rigth yang diterbitkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) Hak Azasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia yang tampaknya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup
misalnya, adalah untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat
membuat seseorang tetap, karena tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai
manusia akan hilang.
Senada dengan pengertian diatas yang menyatakan Hak Azasi Manusia
yang dikemukakan oleh Jhon Locke. Menurut locke, HAM adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa, pencipta sebagai sesuatu yang
bersifat kodrati, karena sifatnya yang demikian maka tidak ada kekuasaan apa
pun di dunia yang mencabut hak azasi manusia. Ia adalah hak dasar setiap
manusia atau lembaga kekuasaan.[1]
HAM tertuang dalam Undang-undang (UU) No. 39 Thn 1999 tentang HAM.
Dalam salah satu bunyipasalnya (pasal 1) secara tersurat dijelaskan bahwa “Hak
azasi manusia” adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugrahnya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dijunjung oleh negara hukum pemerintah
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Sejarah Lahirnya HAM
Pada umumnya para pakar HAM berpendapat bahwa HAM dimulai dengan
lahirnya magna sharta. Piagam ini antara lain mencanagkan bahwa raja yang
semula memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia
sendiri tidak terikat dengan hukum) menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai
dapat diminta pertanggungjawabannya dimuka hukum. Dari piagam inilah lahir
doktrin bahwa raja tak kebal hukum lagi serta bertanggungjawab kepada hukum.
Sejak lahirnya piagam ini maka dimulailah beban baru bagi
pelaksanaan HAM yaitu jika raja melanggar hukum ia harus diadili dan
mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Artinya sejak itu,
sudah mulai dinyatakan bahwa raja terikat dengan hukum dan bertanggungjawab
kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada masa itu lebih
banyak berada ditangannya dengan demikian kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai
emdrio lahirnya morarki konstitusional yang beritikan kekuasaan raja sebagai
simbol belaka.
Pasal 21 dari piagam magna charta menggariskan “Earls and
barons shall be fined by their equat and only in proportion to the measure of
the ossence (para pangeran dan baron akan dihukum atau didenda) berdasarkan
atas kesamaan dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Selanjutnya pada
pasal 40 ditegaskan lagi “…… no one will we deny or deray, rigth or justice”
(……. Tidak seorangpun orang menghendaki kita mengingkari atau menunda tegaknya
keadilan). Lahirnya magna charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan
yang lebih konkrit, dengan lahirnya bill of rights di Inggris pada tahun
1689.
Sejalan dengan prinsip diatas, maka Hak Azasi Manusia dapat
diartikan dengan hak yang dimiliki yang telah diperoleh dan dibawa bersama-sama
dengan kelahiran atau kehadirannya didalam kehidupan masyarakat. Hak yang
dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama atau kelahiran, karena
bersifat azasi dan universal.[2]
Sejalan dengan pemikiran ini, maka PBB memprakarsai berdirinya
sebuah komisi HAM untuk pertama kali yang diberi nama comission on human right
pada tahun 1946. Komisi inilah yang kemudian menetapkan secara terperinci
beberapa hak-hak ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politi, yaitu:
- Hak hidup, kebebasan dan
keamanan pribadi (pasal 3)
- Larangan Perbudakan
(pasal 4)
- Larangan Penganiayaan
(pasal 5)
- Larangan penangkapan
(pasal 9)
- Hak atas pemeriksaan
pengadilan yang jujur (pasal 10)
- Hak atas kebebasan
bergerak (pasal 13)
- Hak atas harta benda
(pasal 17)
- Hak atas Pekerjaan
(pasal 23)
- Hak atas taraf hidup
yang layak (pasal 25)
Dengan mendasarkan Pertanyaan mengenai hubungan HAM dalam
Islam harus dirunut secara sejarah dialektika HAM dalam Islam. Menurut Anas hak
asasi manusia atau lebih dikenal manusia modern sebagai HAM, telah lebih dahulu
diwacanakan oleh Islam sejak empat belas abad silam. Hal ini memberi kepastian
bahwa pandangan Islam yang khas tentang HAM sebenarnya telah hadir sebelum
deklarasi universal HAM PBB pada 18 Shafar 1369 Hijriyah atau bertepatan dengan
10 Desember 1948 Masehi.[3] Secara internasional umat
Islam yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus
1990 mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang
juga dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuan tentang
HAM berdasarkan syari’ah.
HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun
yang lalu.[4] Ini dibuktikan oleh adanya
Piagam Madinah (mitsaq
Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke
kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu berisi antara lain
pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat
yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa.[5] Dari pengakuan terhadap semua
pihak untuk bekerja sama sebagai satu bangsa, didalam piagam itu terdapat
pengakuan mengenai HAM bagi masing-masing pihak yang bersepakat dalam piagam
itu. Secara langsung dapat kita lihat bahwa dalam piagam madinah itu HAM sudah
mendapatkan pengkuan oleh Islam
Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM yang universal; sama
dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (huqul al-insan), yang dalam banyak
hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga harus
diakui, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana Muslim dan negara Islam di
Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan DUHAM dengan interpretasi
tertentu dalam Islam dan bahkan dengan lingkungan sosial dan budaya
masyarakat-masyarakat Muslim tertentu pula.
Bentuk HAM dalam Islam
Islam sebagai agama universal membuka wacana
signifikan bagi HAM. tema-tema HAM dalam Islam, sesungguhnya merupakan tema
yang senantiasa muncul, terutama jika dikaitkan dengan sejarah panjang
penegakan agama Islam. Menurut Syekh Syaukat Hussain yang diambil dari bukunya
Anas Urbaningrum, HAM dikategotrikan dalam dua klasifikasi. Pertama, HAM yang
didasarkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia. Dan kedua, HAM yang
diserahkan kepada seseorang atau kelompok tertentu yang berbeda. Contohnya
seperti hak-hak khusus bagi non-muslim, kaum wanita, buruh, anak-anak dan
sebagainya, merupakan kategori yang kedua ini.[6]
Berdasarkan temuan diatas akan kita coba mencari kesamaan
atau kompatibilitas antara HAM yang terkandung dalam Islam. Akan kita coba
membagi hak asasi manusia secara klasifikasi hak negatif dan hak positif. Dalam
hal ini hak negatif yang dimaksud adalah hak yang memberian kebebasan kepada
setiap individu dalam pemenuhannya.
Yang pertama adalah hak negatif yaitu memberikan
kebebasan kepada menusia dalam pemenuhannya. Beberapa yang dapat kita ambil
sebagai contoh yaitu:
1.
Hak atas hidup, dan menghargai hidup manusia. Islam
menegaskan bahwa pembunuhan terhadap seorang manusia ibarat membunuh seluruh
umat manusia. Hak ini terkandung dalam surah Al-Maidah ayat 63 yang berbunyi :
“Oleh karena itu
kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israil, bahwa: barang siapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memlihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keternagan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantar amereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (QS 5;63)
2.
Hak untuk mendapat perlindungan dari hukuman yang
sewenang wenang. yaitu dalam surat Al An’am : 164 dan surat Fathir 18 yang
masing masing berbunyi :
“Katakanlah:
“Apakah aku mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah tuhan bagi segala
sesuatu. Dan tidaklah sesorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali
kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya
kepadamu apa yang kamu perselisihkan”. (QS
6;164)
“Dan orang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika sesorang yang berat
dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan
dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum
kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang
takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka
mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia
mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah
kembali(mu).” (QS 35;18)
3.
Hak atas keamanan dan kemerdekaan pribadi terdapat dalam
surat An Nisa ayat 58 dan surat Al-Hujurat : 6 yang berbunyi seperti ini:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS
4;58)
“Hai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.” (QS 49;6)
4.
Hak atas kebebasan beragama memilih keyakinan berdasar
hati nurani. Yang bisa kita lihat secara tersirat dalam surat Al Baqarah ayat
256 dan surat Al Ankabut ayat 46 yang berbunyi:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada yang thagut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS
2; 256)
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara
mereka, dan katakanlah: “kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu
adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (QS 29; 46)
5.
Hak atas persamaan hak didepan hukum secara tersirat
terdapat dalam surat An-Nisa ayat 1 dan 135 dan Al Hujurat ayat 13:
“Hai sekalian
manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciotakan dari diri yang satu,
dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah)hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu”. (QS 4; 1)
“Wahai orang-orang
yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tau kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS 4; 135)
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjdaikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS 49;13)
6.
Dalam hal kebebasan berserikat Islam juga memberikan
dalam surat Ali Imran ayat 104-105 yang berbunyi:
“Dan hendaklah ada
diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang yang beruntung.” (QS
3;104)
“Dan janganlah
kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat
siksa yang berat.” (QS 3;105)
7.
Dalam memberikan suatu protes terhadap pemerintahan yang
zhalim dan bersifat tiran. Islam memberikan hak untuk memprotes pemerintahan
yang zhalim, secara tersirat dapat diambil dari surat An-Nisa ayat 148, surat
Al Maidah 78-79, surat Al A’raf ayat 165, Surat Ali Imran ayat 110 yang masing
masing berbunyi:
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan)
dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS
4; 148)
“Telah dilaknati
orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa Putera Maryam.
Yang demikian itu. Disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS
5; 78)
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan
yang munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu
mereka perbuat itu.” (QS 5; 79)
“Maka tatkala
mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan
orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada
orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat
fasik.” (QS 7; 165)
“Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
Beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka yang ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS 3; 110)
8.
Dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti bentuk hak
positif dalam hak ekonomi sosial dan Islam pun mengandung secara tersirat
mengenai hak ini.
Hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup manusia secara
tersirat terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 29, surat Ad-Dzariyat ayat 19,
surat Al Jumu’ah ayat 10, yang berbunyi:
“Dia-lah Allah,
yang menjadikan segala yang ada dimuka bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS 2; 29)
“Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian.” (QS 51;
19)
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.” (QS 62; 10)
9.
Dalam hak mendapatkan pendidikan Islam juga memiliki
pengaturan secara tersirat dalam surat Yunus ayat 101, surat Al-Alaq ayat 1-5,
surat Al Mujadilah ayat 11 dan surat Az-Zumar ayat 9 yang masing-masing
berbunyi berbunyi:
“Katakanlah:
“Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa’at tanda
kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang
tidak beriman.” (QS 10; 101)
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “berlapang-lapanglah dalam majlis”,
maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan:berdirilah kamu, maka berdirilah kamu, niscaya Allah akan meninggikan
orang orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS 58; 11)
“(apakah kamu hai orang yang musyrik) ataukah orang-orang
yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut
kepada (azab) akhrat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”.
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
HAM
menurut Al-Qur’an
HAM yang
dijamin oleh Islam seperti yang diatur dalam al-Qur’an sebagai sumber dan dasar
ajaran Islam bagi manusia.[7] HAM
dasar terdapat dalam al-Quran terdiri dari :
a) Hak atas keselamatan jiwa. Dalam Islam jiwa seseorang sangat
dihormati dan keberadaannya harus dipelihara (hifd al-nafs), sebagaiman
firman Allah dalam al-Qur’an Surat (Q.S Al-Isra’/15 :33) yaitu
membunuh orang hanya dibolehkan karena ada alasan yang benar, misalnya qishas bagi
orang yang terbukti membunuh orang lain dengan sengaja.
b) Pengamanan hak milik pribadi (Q.S.
Al-Baqarah/2 :181).
c) Keamanan dan kesucian kehidupan pribadi (Q.S.
An-nur/24 :27)
d) Hak untuk memperoleh keadilan hukum (Q.S. :)
e) Hak untuk menolak kezhaliman (Q.S. An-Nisa’/4 :148)
f) Hak untuk melakukan al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an
al-munkar, yang didalamnya juga mencakup hak-hak kebebasan memberikan
kritik (Q.S. Al-A’raf/7 :165 dan Q.S. Al-Baqarah/2 :110).
g) Kebebasan
berkumpul demi tujuan kebaikan dan kebenaran. Kebebasan berkumpul ini berkaitan
dengan hak asasi pada huruf (f), yakni tujuan untuk menegakkan yang
ma’ruf dan mencegah yang munkar.
h) Hak
keamanan dari penindasan keagamaan. Banyak sekali ayat al-Qur’an yang melarang
pemaksaan, saling bertikai karena perbedaan agama, salah satunya adalah (Q.S.
Ali Imran/3 :100 ).
i) Hak untuk tidak menerima tindakan apapun
tanpa ada kejahatan yang dilakukannya. Dengan kata lain seorang harus dianggap
tidak bersalah, jika ia belum terbukti melakukan kejahatan.
j) Hak memperoleh perlakuan yang sama dari
negara dan tidak melebihkan seseorang atas orang lain (Q.S. Al-Qashash/28 :4).[8]
Implementasi
HAM dalam Islam.
Ajaran
Islam tentang HAM di atas telah diaktualisasikan dalam kehidupan bermasayarakat
pada zaman Nabi Muhammad saw dan Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pertama)
seperti tersirat dalam beberapa Sunnah dan tradisi sahabat berikut ini.
1. Petuah Rasulullah SAW kepada
seorang wanita yang datang berkonsultasi kepadanya atas anjuran Usamah :
“Dari Urwah, dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa
Usamah suatu saat menganjurkan kepada seorang wanita untuk datang kepada Nabi.
Nabi berkata, “berapa bangsa sebelummu telah dihancurkan, karena mereka
menjatuhkan hukuman kepada masyarakat kelas bawah, tetapi tidak menghukum
anggota masyarakat kelas atas (pada waktu mereka melakukan tindak kejahatan).
Demi Tuhan yang ditangan-Nya terletak kehidupanku, andaikata anak perempuanku
Fatimah melakukannya, tentu saya potong tangannya”.[9]
2. Persetujuan Rasulullah SAW kepada
para sahabatnya:
“Dalam peristiwa perang badar, Nabi memilih
suatu tempat khusus yang dianggap pantas untuk menyerang musuh. Salah seorang
sahabatnya, Hubab bin Mandhar, bertanya kepada Nabi, apakah yang menyebabkannya
memilih tempat khusus itu karena berasal dari wahyu Tuhan. Nabi menjawab tidak.
Dengan ucapan itu Hubab bin Mandhar lantas mengajukan suatu tempat
alternatif untuk memberikan serangan terhadap musuh, karena menurut
anggapannya, tempat itu secara strategis lebih baik tempatnya. Nabi menyetujuinya”.[10]
3. Perjanjian Rasulullah dengan
golongan Kristen Najran :
“Dari Muhammad Sang Nabi kepada Abu Harist,
uskup Najran, pendeta-pendeta, rahib-rahib, orang-orang yang hidup di
gereja-gereja mereka dan budak-budak mereka; semunya akan berada dibawah
lindungan Allah dan nabinya; tidak ada uskup yang diberhentikan dari
keuskupannya, tidak ada rahib yang yang akan diberhentikan dari biaranya dan
tidak ada pendeta yang akan diberhentikan dari posnya, dan tidak akan terjadi
perubahan dalam hak-hak yang mereka telah nikmati sejak lama.[11]
4. Pesan Khalifah Abu Bakar
ketika mengirim ekspedisi pertama ke negri Syam:
“Hendaklah kamu bersikap adil. Jangan
patahkan keyakinan yang telah kamu ikrarkan. Jangan memenggal
seseorangpun. Jangan bunuh anak-anak, laki-laki dan perempuan. atau membakar
pohon-pohon kurma, dan jangan tebang pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan.
Jangan bunuh domba-domba, ternak-ternak atau unta-unta, kecuali untuk sekedar
dimakan. Mungkin sekali kamu akan bertemu dengan orang-orang yang telah
mengundurkan diri ke dalam biara-biara, maka biarkan mereka dan kegiatan mereka
dalam keadaan yang damai.”[12]
5. Prinsip-prinsip hak asasi
manusia yang termaktub di dalam Piagam Nabi (Kitab an-Nabi) yang oleh
beberapa ahli hukum tata Negara dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama di
dunia yakni dokumen historis tentang aturan-aturan dasar penyelenggraan Madinah
sebagai sebuah komunitas dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Ketika hijrah
ke Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah, penduduk kota itu tidaklah
homogen. Paling tidak terdapat kelompok kaum muslimin, yang terdiri dari dua
bagian, yakni Muhajirin dan Anshar, kelompok keagamaan Yahudi dan kelompok
masyarakat Arab yang menganut Paganisme.
Setibanya di Yatsrib, Nabi segera mengadakan
fakta kesepakatan bersama dengan kelompok-kelompok masyarakat yang hetrogen itu
untuk menyatukan mereka ke dalam komunitas baru, yang dinamakan dengan Madinah.
Sekarang setelah beberapa serjana melakukan studi yang mendalam terhadap teks
ini, mereka dengan mudah mensistematikan piagam ini menjadi 10 Bab dan 47
Pasal, yang di dalamnya memuat rumusan-rumusan penting tentang hak asasi
manusia.[13]
Penegasan
yang terpenting yang termaktub dalam Piagam Madinah yaitu pengakuan terhadap
pluralitas masyarakat, yang dalam hak-hak dan kewajiban adalah sama tanpa
membedakan asal-usul agama. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki otonomi ke
dalam, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan hubungan ke luar yang
harus dilakukan atas nama Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah saw sebagai
kesatuan komunitas. Nabi Muhammad diangkat sebagai pemimpin komunitas ini,
tetapi beliau tidaklah menjadi seorang autokrat karena hukum Tuhan diatas
segala-galanya dan setiap pengambilan keputusan dilakukan dengan prinsip musyawarah.
Karena masyarakatnya sangat majemuk, maka dalam komunitas Madinah diberlakukan
berbagai subsistem hukum. Dalam arti kaum muslimin tunduk kepada hukum Islam,
sementara kaum Yahudi tunduk kepada hukum Taurat dan penganut paganisme tunduk
kepada hukum adat mereka.
Kebebasan
menjalankan ibadah keagamaan dengan sendirinya dijamin dalam teks Piagam
Madinah. Hal ini disebabkan karena pada prinsipnya Islam menegaskan bahwa
keyakinan keagamaan tidak dapat dipaksakan terhadap seseorang, meskipun dakwah
wajib dijalankan. Hak milik, hak kebebasan pribadi, hak untuk mendapat jaminan
keselamatan pribadi dan kelompok semuanya dijamin dalam piagam, demikian pula
hak untuk ikut serta dalam pembelaan komunitas, jika diserang oleh kelompok
diluarnya. Dengan demikian, partisipasi dalam penyelenggaraaan kehidupan
ekonomi, sosial dan politik terbuka bagi semua orang.
Meskipun
dokumen-dokumen yang diwariskan oleh Islam tetap ada dan tetap terpelihara oleh
jutaan kaum di seluruh dunia, namun masih saja terdapat anggapan bahwa hak
asasi manusia, dianggap seolah-olah sesuatu yang asing dari khazanah peradaban
kaum Muslimin. Anggapan seperti itu patut kita sesali, mengingat rujukan
akademis dan intelektual di banyak masyarakat Timur hingga sekarang tetap
mengacu ke dunia Barat. Sehingga tidak mengherankan jika timbul kritik terhadap
kaum intelektual di Asia dan Afrika, dimana mereka dituduh sebgai
“orang Barat di negeri Timur”. Namun perkembangan yang terjadi dalam masyarkat
Islam sekarang ini telah memberikan harapan baru untuk mewarisi tradisi sejarah
peradaban umat manusia secara jujur dan berimbang. Penilain seperti itu tentu
bukan dimaksud sekedar memenuhi dahaga intelektual kaum cendikiawan, karena
langkah selanjutnya adalah bagaimana menyerap dan mengimplementasikan nilai-nilai
ajaran Islam itu kedalam kehidupan umat manusia dalam mengadapi tantangan
zaman.
Seiring
berjalannya waktu berbagai dinamika dan dialektika mempengaruhi konsep asasi
dari hak asasi manusia, terutama dalam penilaian penerapan hak asasi manusia
pada suatu bangsa. Penilaian terhadap pelaksanaan hak asasi manusia di suatu
negara, hendaklah dilakukan secara jujur dan proporsional serta dilandasi oleh
iktikad yang baik, dengan kesadaran bahwa masalah ini adalah perjuangan
kemanusiaan yang sangat penting. Tetapi, adalah tidak jujur dan tidak adil,
jika menjadikan isu hak asasi manusia sebagai alat untuk melakukan penekanaan
politik terhadap negara-negara berkembang dan negara baru, khususnya di Asia
dan Afrika, untuk kepentingan diri sendiri, apalagi dilakukan dengan standar
ganda. Lebih buruk lagi jika isu hak asasi manusia dijadikan sebagai “offensif
propoganda” untuk menyerang dan memojokkan satu bangsa sambil
menyembunyikan dan menutupi kesalahan yang mereka lakukan agar mereka tidak
diserang lebih dahulu.[14]
Kebanyakan
kaum Muslimin merasakan akibat penerapan standar ganda dibidang hak asasi
manusia, sejak terjadinya peristiwa yang disebut sebagai serangan kaum teroris
terhadap gedung World Trade Center di New York
pada tanggal 11 September 2001. Kita dapat memahami penegasan berbagai pihak
bahwa perang melawan teroris bukanlah ditujukan kepada kaum Muslimin, karena
terorisme dapat dilakukan oleh pemeluk agama apa saja di muka bumi ini. Namun
akses negatif terhadap perang terhadap terorisme yang dirancang Amerika Serikat
itu kini lebih banyak dirasakan oleh kaum Muslimin dibandingkan dengan pemeluk
agama lain. Akibatnya, tidak jarang hak asasi manusia mereka
abaikan, bahkan dilanggar secara sewenang-wenang. Berbagai bentuk sikap prejudis,
rasialis, xenophobia dan Islamophobia kini seakan-akan
muncul lagi dalam percaturan politik antar bangsa. Fenomena ini sangat ironis
terjadi di tengah abad yang justru di awal kelahirannya memberikan banyak
harapan terhadap penghormatan dan penegakan hak asasi manusia. Dominasi
pemberitaan media massa sering pula dimanfaatkan untuk membangun
persepsi buruk terhadap umat Islam yang tidak berdaya melakukan bantahan dan
klarisifikasi atas berita-berita seperti itu.
Mencari
Perspektif Baru dalam Penegakan Hak-Hak Asasi Manusia
Sejumlah pertanyaan diajukan dengan
sejumlah validitas landasan ideologis dan hak-hak asasi manusia, yang diterima
selama ini di kalangan negara-negara yang mempraktikkannya,[15]
katakanlah negara-negara industrial kapitalistis yang sudah maju di dunia
pertama. Aswab Mahasin[16]
mempertanyakan kebenaran pengambilan oper begitu saja landasan yang ada selama
ini, dan dengan sendirinya bentuk-bentuk perjuangan yang dilakukan. Benarkah
anggapan selama ini, bahwa penafsiran liberalistis dari hak-hak asasi manusia
itu sendiri memang menjadi kebutuhan nyata rakyat negara-negara berkembang?
Ternyata tidak, karena kebutuhan nyata mereka adalah penemuan identitas diri
melalui serangkaian upaya sosial-ekonomis untuk meningkatkan kualitas hidup
mereka sendiri. Atau dengan kata lain, harapan terletak pada dukungan kepada
kelas menengah yang lemah untuk mengembangkan diri dan menumbuhkan kekuatan
mereka dari bawah. Perjuangan hak-hak asasi manusia baru ada arti pentingnya,
jika didukung oleh aspirasi mereka yang membutuhkan perlindungan hak-hak
praktis mereka dari jarahan kekuasaan negara. Mereka yang tidak punya apa-apa
lagi untuk dipertahankan, karena hidup dalam siklus kultur kemiskinan yang
tidak pernah berhenti, sudah tentu tidak merasakan keperluan akan perlindungan
tersebut.
Kalau pada Mahasin, perjuangan hak-hak asasi
manusia memiliki konotasi sosial-ekonomis, hal lain juga dapat disaingi dari
pendapat-pendapat lain yang berkembang di berbagai negara. Henry Shue,
misalnya, mengemukakan apa yang dinamakannya sebagai hak memperoleh kehidupan
wajar (right of subsistence) sebagai kebutuhan yang tidak boleh
ditinggalkan sama sekali[17]. Hanya
saja, kalau Mahasin memberikan rumusan yang lebih diarahkan kepada penciptaan
kelompok tertentu di masyarakat, betapa besar sekalipun kelompok itu sendiri.
Shue lebih memusatkan perhatian kepada pengembangan diri manusia sebagai
perorangan melalui pemenuhan hak hidup yang sedemikian itu. Arah taktis dari
kedua strategi yang bersamaan ini lalu menjadi berbeda satu dari yang lain.
Pada Mahasin, kelompok ekonomis dari kelas menengah ini harus dikembangkan dari
bawah, berarti pada waktunya nanti akan berhadapan secara diametral dengan
kekuasaan (kalau masih ada) yang mengurangi atau meniadakan hak-haknya atas
perlindungan dari perampasan hak-hak milik dan akibat-akaibat lain yang timbul
dari perampasan hak milik itu. Pada Shue, beban menyelenggarakan hak atas
kehidupan yang wajar pada dasarnya tidak menghadapkan rakyat kepada pemerintah
yang mau memenuhi hak itu sendiri, sehingga watak konfrontatif lalu menjadi
langka dari hak tersebut. Kalau Mahasin menganggap penciptaan kelas menengah
yang kuat sebagai bagian dari perjuangan hak-hak asasi manusia, katakanlah
sebagai titik tolaknya, maka pada Shue perjuangan tersebut justru terpusat pada
watak sosial-ekonomisnya itu sendiri.
Dalam bentuknya yang lain, pendekatan
sosial-ekonomis tersebut juga digunakan dalam klaim perjuangan hak-hak asasi
manusia dari perjuangan menciptakan Orde Ekonomi Internasional Baru. Dengan
penuh kemarahan Walter Lacquer[18] menyerang
impotensi lembaga-lembaga internasional yang menangani masalah hak-hak asasi
manusia. Setelah PBB berhasil menegakkan prinsip universalitas masalah hak-hak
manusia, secepat itu pula universalitas itu dikebiri dengan menghentikan
kemungkinan campur tangan PBB dalam urusan dalam negeri anggota-anggotanya. Ini
membuat mustahil penerimaan protes mereka yang kehilangan hak-hak mereka oleh
PBB, dan secara efektif mematikan prinsip universalitas yang sudah diterima
itu. Komisi hak-hak asasi manusia lalu hanya menjadi forum lelucon yang tidak
lucu, di mana tampak jelas impotensi PBB di hadapan dunia secara keseluruhan.
Hak-hak kelompok minoritas agama, etnis dan bahasa tidak pernah disepakati, dan
dengan sendirinya tidak tertampung, dalam klausul-klausul Deklarasi Hak-hak
Asasi Manusia yang diprodusir PBB.
[2] A. Ubaidilah, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000),
hlm. 78.
[3] Anas Urbaningrum, Islam -
Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid. (Jakarta: Penerbit Republika, 2004),
91.
[4] Ibid.
[5] Idris Thaha, Demokrasi
Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais. (Jakarta:
Penerbit Teraju, 2004), 102.
[6] Anas Urbaningrum, Islam - Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid, 92.
[7] Syekh Syukat Hussain, Hak asasi Mausia
Dalam Islam. Terjemahan Abdul Rahim C.N , (Jakarta: Insani Press,
1996), 59.
[8] Huzni Thoyyar. “Polemik hak Asasi
manusi, Bagaimana Konsepsi Islam?”, (Suara Hidayatullah, X, Februari,
1998), 72.
[9] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz
15. Kitab Hudud (Bairut: Dar Fikri)
[10] Altaf Gauhar, ed. 1978. The Challenge
of Islam. (London : Islamic Council of Europe) dalam Fatah
Santosos, Islam dan Hak Asasi Manusia. (Akademika, 03, 1993),
19.
[11] Ibid, 14.
[12] Ibid.
[13] Yusril Izza Mahendra, “Konsepsi Islam
Tentang HAM dan Persaudaraan”, (Jurnal Dirosah Islamiyah, 1, 2003),
141.
[14] Ibid. 145
[15] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan:
Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid
Institute, 2007), 356.
[16] Aswab Mahasin, “Human Rights and Social
Stratification”, (Prisma, edisi Inggris, no. 13).
[17] Henry Shue, Fondations For A Balanced U.S. Policy
on Human Rights, Working Paper on Human Rights And Foreign Policy, Center
For Philosophy And Public Policy, 1977.
[18] Walter Lacquer, The Issue of Human Rights,
(Comentary, vol. 63 no. 5, May 1977).
DOWNLOAD FILE
0 Response to "ISLAM DAN HAM"
Post a Comment