Futuhul Ghaib Risalah Kesepuluh: Hawa Nafsu

Risalah Ke-10 
Hawa Nafsu

Referensi pihak ketiga


Dalam wasiatnya yang kesepuluh ini syaikh Abdul Qadir al Jailani berpesan dan bertutur:
Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun kecuali Allah. Dirimu merupakan suatu tanda-Nya. Sifat egois manusia adalah bertentangan dengan Allah. Segala sesuatu yang ada harus patuh dan taat kepada Allah karena semua pada hakikatnya adalah milikNya. Sifat egois manusia itu pongah, darinya timbul dambaan-dambaan palsu. Oleh karena itu jika engkau menyatu dengan kebenaran dan mampu menundukkan dirimu sendiri,maka kau menjadi milik Allah dan akan menjadi musuh terhadap dirimu sendiri. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Daud ‘alaihis salam.
 “Wahai Daud! Akulah tujuan hidupmu, yang tak mungkin bisa kau hindari. Karenanya, berpegang teguhlah kepada tujuan yang satu ini; beribadahlah dengan sebenar-benarnya, sampai kau menjadi lawan dirimu sendiri, semata-mata karena Aku!”
 Bila engkau tidak mementingkan dirimu dan mampu menundukkan egoismu,engkau akan menjadi akrab dan dekat dengan Allah. Engkau akan mendapatkan bagianmu yang suci, yang sangat menyenangkan ruhaniahmu. Kalau sudah demikian maka engkau akan dicintai dan mulia, segala sesuatu tunduk dan patuh kepadamu, takut kepadamu, karena pada dasarnya semua tunduk kepada Tuhan mereka, selaras denganNya karena Dialah yang menciptakan mereka, dan mereka adalah hamba yang mengabdi kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman:
 “Bertasbih (patuh) kepadaNya langit yang tujuh dan bumi, serta apa-apa yang ada di dalamnya. Tiada suatu (makhluk), melainkan patuh serta memujaNya, tetapi kamu tiada mengerti tasbih mereka itu. Sesungguhnya Dia Penyantun dan Pengampun” (QS. Al Isra’: 44)
Segala sesuatu yang ada di jagad raya ini menyadari keridhaanNya dan mentaati perintah-perintahNya. Allah Maha Kuasa lagi Maha Agung. Hanya kita tidak mengetahui bagaimana makhluk lain itu bertasbih kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman:
 “Kemudian Dia menyengaja ke langit, sedang Ia sebagai asap, lalu kataNya kepada langit dan bumi; Datanglah kamu berdua (mengikutlah), baik dengan patuh maupun terpaksa. Sahut keduanya; Kami datang dengan patuh.” (QS. Fushilat: 11)
Dengan demikian dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa bumi dan langit serta seisinya patuh kepada Allah, menurut segala kehendakNya, tidak berjalan sendiri atas kehendak pribadinya. Firman Allah:
 “Dan janganlah kau turutkan hawa nafsu, nanti ia menyesatkanmu dari jalan (agama) Allah.” (QS. Shaad: 26)
Allah juga berfirman yang artinya: Hindarilah hawa nafsumu, karena sesungguhnya tak ada suatu pun menentangKu di seluruh kerajaanKu, kecuali nafsu jasmani manusia.
Diceritakan bahwa suatu ketika Abu Yazid al-Busthami bermimpi, dalam mimpinya seolah-olah ia berjumpa dengan Allah. Ia bertanya kepadaNya:
“Wahai Allah, bagaimana caranya agar aku bisa menjumpaiMu?”
“Buanglah keakuanmu (egois yang mementingkan diri sendiri) dan berpalinglah kepadaKu!” kata Allah dalam mimpi al-Busthami. Lalu al-Busthami berkata, “Aku keluar dari diriku bagaikan seekor ular yang keluar dari selongsong tubuhnya.”
Jadi kebaikan itu bergantung bagaimana kita bisa memerangi diri sendiri dalam segala hal. Karena diri sendiri itu menyimpan nafsu yang binal dan merusak, serta jasad yang kotor. Jika engkau berada pada derajad keshalihan, maka hendaknya engkau pun mampu memerangi dirimu sendiri sampai kau terbebas dari hal-hal yang terlarang dan syubhat (perkara halal atau haram yang diragukan). Bebaskan dirimu dari pengharapan mereka, dari pengaruh mereka dan dari keinginan untuk mendapatkan duniawi. Jangan pula engkau mengharapkan dari orang lain tentang suatu pemberian, hadiah, kemurahan atau sedekah serta fasilitas lainnya. Misalnya jika engkau bergaul dengan orang kaya jangan mengharapkematiannya untuk mendapatkan warisannya. Bebaskanlah dirimu dari ikatan makhluk dan anggaplah semua dari mereka adalah pintu gerbang yang bisa membuka dan menutup, atau pohon yang suatu ketika berbuah dan pada musim lain gugur daunnya. Ketahuilah keadaan alam dunia ini yang pasang dan surut, yang berubah kadang di atas dan kadang di bawah hanya karena adanya suatu pelaksanaan dan satu perancang. Yang merancang dan melaksanakan adalah Allah atas segala kekuasaanNya.
Tetapi jangan pula engkau melupakan upaya dan usaha manusiawi agar tidak menjadi korban keyakinan kaum fatalis (jabariyyah). Engkauharus menghargai upaya manusiawi tetapi jangan melupakan atas keyakinan bahwa segala sesuatu bisa terjadi hanya karena kehendak Allah. Manusia hanya sebatas berusaha dan berikhtiar, ketentuan Allahlah yang berhak. Oleh karenanya jangan mengagung-agungkan jerih payah manusiawi, jangan menghargai upaya manusiawi secara berlebihan agar engkau tidak lupa bahwa segala sesuatu itu atas kehendak Allah. Hendaknya engkau tanamkan dalam hati bahwa segala jerih payah makhluk itu milik Allah, Dialah yang menggerakkan dengan tangan KekuasaanNya.
Laksanakan perintah Allah yang berkenaan dengan mereka (bermasyarakat). Dan pisahkanlah dirimu darimereka atas dasar perintah Allah juga. Jangan melampaui batas ini sebab hukum Allah itu pasti, yang akan menentukan dirimu dan menentukan mereka. Janganlah menjadi penentu dan memastikan nasib diri sendiri. Sesungguhnya kemajuanmu bersama mereka adalah karena takdirNya. Adapun takdir Allah itu merupakan suatu rahasia, merupakan suatu hal yang gelap. Maka masukilah kegelapan itu dengan membawa pelita sekaligus penentu. Pelita yang kumaksudkan tidak lain adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Jangan sekali-kali meninggalkan keduanya. Jika suatu ketika engkau mendapat ilham atau dalam pikiranmu terlintas suatu gagasan baik,maka sesuaikan/cocokkan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Seandainya gagasan yang terlintas dalam benakmu atau jalan pikiranmu itu sesuai dengan Sunnah Rasul dan ayat-ayat al-Qur’an; bahkan bertentangan, maka hendaknya engkau buang jauh-jauh gagasan itu. Hindarilah jalan pikiran atau gagasan yang sesungguhnya adalah akan menyesatkan dirimu saja. Percayalah gagasan yang terlintas dalam benakmu jika bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah datangnya dari setan. Dan setan berusaha menjerumuskanmu.
Akan tetapi jika gagasanmu atau jalan pikiranmu itu sejalan dengan ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul maka hendaknya engkau pakai dalam menapaki kehidupan beribadah. Barangkali gagasan yang terlintas dalam pikiranmu itu adalah sebuah ilham dari Allah.
Namun jika gagasan itu sesuai dengan ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul tetapi sifatnya menyuburkan nafsu hewani, maka sebaiknya engkau menjauhinya. Misalnya kebolehan tentang makan, minum, cara berpakaian, menikah, dan lain sebagainya. Ketahuilah jika engkau turutkan secara berlebihan – meskipun diperbolehkan – maka hal itu merupakan nafsu hewani. Ia akan subur jika kau biarkan menjadi-jadi.
Misalnya suatu ketika dalamhatimu mendapatbisikan sesuatu yang tidak kau pahami dan hal itu dalamal-Qur’an dan al-Hadits tidak dilarang dan tidak diperbolehkan (tidak ada hukum dari keduanya), maka tangguhkan dulu. Jangan diterima ilham atau lintasan hati semacam itu. Misalnya dalam benakmu atau mimpimu engkau diminta untuk pergi ke suatu tempat tertentu atau menemui seseorang yang shalih, maka kau tak perlu pergi ketempatnya. Bersabarlah. Tunda dulu permintaan dan dorongan itu, lebih baikkau bertanya pada diri sendiri, apakah yang datang dan terlintas dalam hatimu itu benar-benar suatu ilham dari Allah dan apakah harus dilaksanakan? Adalah sunnah Allah untuk mengulang-ulangi ilha semacam itu. Hal itu juga memerintahkan kepadamu agar engkau berusaha atau berikhtiar menemukan jawabannya. Bisa kau datang kepada para wali (kekasih Allah) atau ahli hikmah untuk menanyakan hal demikian itu (tabir tersebut).
Bila engkau bersabar atas suatu ilham, maka Allah jualah sendiri yang kemudian melakukannya bagimu. Engkau akan digerakkan atas kekuasaanNya.lalu kau akan diantarkan ke maqam (tempat) itu. Bila dalam suatu perjalanan ada ujian yang menghadangmu, engkau pasti bisa melewatinya dengan selamat. Mengapa demikian? Karena Allah tak akan menghukummu atas tindakanmu yang Dia sendiri yang menghendakinya.
Ketahuilah bahwasanya mentaati perintah itu meliputi dua perkara. Yang pertama, mencari sarana duniawi dalam kebutuhan sehari-hari sebatas keperluan saja. Jangan mengupayakan duniawi secara berlebih-lebihan. Jangan menuruti kehendak dan kemauanyang hanya demi memuaskan jasmani saja. Selesaikan tugasmu dalam kaitannya dengan kehidupan.tapi ikatlah nafsumu dari dosa-dosa yang akan menjebakmu. Yang kedua, yaitu yang berhubungan dengan perintah-perintah yang tersembunyi atau batiniah. Misalnya Allah tidak memerintahkan hambanya untuk mengerjakan sesuatu.tetapi juga tidak melarangnya jika hambanya mengerjakannya. Perintah yang demikian ini ditinjau dari hukum ialah tidak ada kejelasan atau biasa disebut dengan perkara mubah. Dalam hal ini engkau tidak bolehmengambil tindakan atas inisiatif nafsumu. Namun hendaknya engkau menunggu perintah, jika Allah memerintahkan maka ruhaniahmu akan menggerakkan dirimu untuk mengerjakannya. Jika Allah tidak berkehendak, maka ruhaniahmu tidak akan mendorongmu untuk melakukannya.
Dapat disimpulkan bahwa jika ada kejelasan hukumnya maka engkau harus bertindak sesuai dengan hukum tersebut (al-Qur’an dan Sunnah). Jika hukumnya tidak jelas, maka engkau harus bertindak atas dasar perintah tersembunyi. Diam menunggu dorongan ruhani yang digerakkan Allah.
Dengan cara yang demikian itu niscaya engkau akan memiliki keteguhan sebagaimana yang didapatkan oleh ahli hakikat. Jika engkau sampai pada hakekat kebenaran yang disebut mahwu (pencelupan) atau fana (peleburan) berarti engkau telah mencapai maqam badal. Yaitu hati yang sepenuhnya dan demi kepentingan apapun telah kau sandarkan kepadaNya. Keadaan yang demikian ini dirasakan dan dimiliki oleh orang yang nuraninya mendapatkan nur, orang muwahhid, orang arif, yang mereka itu adalah amir dari pimpinan, pengawas dan pelindung umat. Dan yang demikian itu termasuk khalifah dari Allah.
Agar bisa mentaati perintah secara benar maka engkau harus bisa mengalahkan dirimu sendiri (nafsu-nafsumu yang diluar ruh). Lalu kau bebaskan dari beban ketergantungan dan kekuatanatas segala hal kecuali hanya kepada Allah. Kalau sudah demikian maka engkau menjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya. Engkau telah menjadi abdiNya, bukan abdi ciptaanNya dan bukan pula hamba dari hambaNya. Terhadap Allah, engkau laksana bayi dalam gendongan sang dukun beranak, mengikuti segala kehendak dan kemauan tanpa melawan atau menolak.

Related Posts:

0 Response to "Futuhul Ghaib Risalah Kesepuluh: Hawa Nafsu"

Post a Comment