Futuhul Ghaib Risalah Kelimapuluh Lima : Membuang Kesenangan Hidup

Risalah Ke-55
Membuang Kesenangan Hidup


Referensi pihak ketiga

Dalam risalahnya yang kelimapuluh lima ini, beliau Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Perlu engkau ketahui bahwa kesenangan hidup itu dicampakkan tiga kali. Pada mulaya manusia berada dalam kegelapan, kejahilan, kekacauan, bertindak atas dorongan alaminya pada segala keadaan, tanpa pegabdian kepada Allah dan tidak memperhatikan hukum agama. Dalam keadaan yang demikian ini, Allah  memandang dengan rahmatNya. Allah memberi anugerah kepada orang yang demikian itu berupa pengingat. Pengingat dari sesama manusia, yaitu muballigh atau ulama yang berdakwah amar makruf nahi mungkar. Pengingat lainnya berupa kata hati yang sesekali mencegah perbuatan buruk. Jika berbuat buruk maka ada lintasan yang terasa bahwa perbuatan itu bertentangan dengan kata hatinya. Namun karena nafsunya kuat, maka hati bisa terkalahkan.
Orang yang demikian itu jika diingatkan oleh orang shalih dan kata hatinya sendiri, kemudian sadar maka ia akan meninggalkan perbuatan buruknya. Perbuatan yang semula seringkali menentang hukum, akhirnya sirna dari dirinya. Kini hati dan jiwanya serta nafsunya cenderung untuk berbuat baik yang disesuaikan dengan syariat Allah dalam setiap gerak langkahnya.
Kalau sudah demikian maka seseorang tersebut menjadi hamba Allah, yakni menjadi seorang muslim di hadapan syariatNya, lepas dari perbuatan buruk, dan ia kini membuang segala yang haram di dunia. Dalam masalah makan, minum, berpakaian, kawin, bertempat tinggal selalu berusaha mencari jalan halal dan meninggalkan jalan yang haram.
Ia berjalan di atas kebenaran dalam segala kehidupan dan setiap situasi maupun kondisi. Karena sikap dan gerak geriknya serta jiwanya dalam jalur kebenaran, maka aka mengantarkannya ke maqam tertinggi wilayat dan menjadikannya pembukti kebenaran dan merupakan orang pilihan. Ia memiliki pernyataan yang kokoh, yang selalu haus akan hakikat. Kalau sudah begini, maka segala tindakannya berdasarkan kehendak Allah. Ia makan dengan perintah Allah, dan mendengar suara ilham dari Allah didalam dirinya yang berbisik:
Campakkanlah dirimu dan campakkanlah kesenangan dan ciptaan, bila engkau menghendaki sang pencipta. Lepaskanlah sandal dunia dan akhiratmu. Nafilah dari segala kemaujudan, masalah-masalah yang akan maujud dan segala dambaan. Lepaskanlah dari segala sesuatu. Berbagilah dengan Allah, buang kesyirikan dan ikhlaslah dalam kehendak. Medekatlah kepdaNya dengan hormat, dan janganlah memandang kehidupan akhirat, kehidupan duniawi, orang-orang dan kesenangan.”
Bila seseorang sudah meraih maqam ini, maka ia menerima perhiasan berupa kemuliaan dari Allah. Ia bermandikan kemuliaan dan berbagai aneka karunia. Dikatakan kepadanya: “Busanailah dirimu dengan rahmat dan karunia, jangan berbuat keburukan menolak dan menampik keinginan-keinginan, karena penolakan terhadap karunia Raja sama dengan melecehkan kekuasaanNya.” Jika seseorng yang mendapatkan maqam ini, maka ia diselimuti karunia dan anugerah Allah tanpa ia terlebih dulu berupaya atau meminta.
Maka baginya terjadi empat keadaan dalam meraih kenikmatan dan karunia. Pertama ialah dorongan alami, ini tak halal. Kedua ialah hukum, yang hal ini diperbolehkan. Ketiga ialah perintah dan dorongan batin, yang demikian ini adalah pada tingktan wali; yang mencampakkan segala keinginan. Yang keempat ialah karunia Allah yang merupakan suatu keadaan lenyapnya tujuan dan tercapainya badaliyah dan keadaan menjadi obyek-Nya. Keadaan yang terakhir inilah yang dikatakan sebagai keadaan shalih. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya wali-Ku adalah Allah yang telah menurunkan kitab dan Dia adalah wali para orang shalih.”
Apabila seseorang sudah berada pada maqam keshalihan, maka menjadilah ia sebagai seorang hamba yang tertahan dari menggunakan sesuatu. Tertahan dari memanfaatkan diri dan dari menolak sesuatu yang mudharat baginya. Dihadapan Allah, ia sama sekali tidak memiliki daya kekuatan atau upaya, ia pasrahkan semuanya bagaikan bayi dalam ayunan ibunya. Ia besar dan kuat tanpa usahanya, namun Allah lah yang menjadikannya demikian. Ia tidak bermaksud dan bertujuan, tak berbuat atau diam, kecuali Allah yang menggerakkan atau mendiamkan. Maka keadaan ruhani terakhir yang dicapainya ini ialah suatu tingkat para badal dan wali.

Post a Comment

0 Comments