Yusuf Qardhawi : Manhaj Salafi Rasyid Ridha
Referensi pihak ketiga
PEMIKIRAN SALAFI
Yang dimaksud dengan "Pemikiran Salafi" di sini
ialah kerangka berpikir (manhaj fikri) yang tercermin dalam pemahaman generasi
terbaik dari ummat ini. Yakni para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan setia, dengan mempedomani hidayah Al-Qur'an dan tuntunan Nabi SAW.
Kriteria Manhaj Salafi yang Benar
Dalam memahami kriteria manjaj salafi yang benar yang
secara global adalah berpijak pada prinsip berikut :
- Berpegang pada nash-nash yang ma'shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
- Mengembalikan masalah-masalah "mutasyabihat" (yang kurang jelas) kepada masalah “muhkamat” (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath'i.
- Memahami kasus-kasus furu' (kecil) dan juz'i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.
- Menyerukan "Ijtihad" dan pembaruan. Memerangi "Taqlid" dan kebekuan.
- Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
- Dalam masalah fiqh, berorientasi pada "kemudahan" bukan "mempersulit".
- Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
- Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
- Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.
- Menekankan sikap "ittiba'" (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat "ikhtira'" (kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.
Inilah inti "manhaj salafi" yang merupakan khas
mereka. Dengan manhaj inilah generasi Islam terbaik harus dibina, apakah dari
segi teori maupun prakteknya. Sehingga mereka akan mendapat pujian langsung
dari Allah di dalam Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan
kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah berhasil mentransfer Al-Qur'an
kepada generasi sesudah mereka. Dengan menghafal Sunnah (hadits); Mempelopori
berbagai kemenangan (futuh); Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan); Mendirikan
"negara ilmu dan Iman"; Membangun peradaban robbani yang manusiawi,
bermoral dan mendunia. Dan hingga hari ini masih tercatat dalam sejarah.
Salafiah Antara yang Pro dan Kontra
Istilah "Salafiah" telah dirusak citranya oleh
kalangan yang pro dan kontra terhadap "salafiah". Orang-orang yang
pro-salafiah - baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya
demikian, atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah - telah
membatasinya dalam skup formalitas dan kontroversial saja, seperti
masalah-masalah tertentu dalam hal keilmuan seperti Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau
Ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan intolerir terhadap orang lain yang
berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil (furu’iyah) dan
tidak prinsipil (pokok) ini. Sehingga akan memberi dampak bagi sementara orang bahwa
manhaj Salaf adalah metode "debat" dan "polemik", bukan
manhaj konstruktif (membangun) dan praktis. Dan juga memberi kesan bahwa yang
dimaksud dengan "Salafiah" ialah mempersoalkan yang kecil-kecil
dengan mengorbankan hal-hal yang prnsipil. Mempermasalahkan khilafiah (perbedaan)
dengan mengabaikan masalah-masalah yang jamak disepakati (jumhur). Mementingkan
formalitas dan kulit belaka daripada masalah inti dan fitrah.
Sedangkan pihak yang kontra-salafiah menuduh faham ini “usang”,
senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah,
menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kekinian dan masa yang
akan datang. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri (egois), tidak mau
mendengar suara orang lain. Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan
kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat dan pertengahan.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan inilah yang justru merusak
citra salafiah itu sendiri secara hakiki dan penyeru-penyerunya yang awal. Tokoh
yang paling menonjol dalam mendakwahkan "salafiah" dan membelanya
mati-matian pada masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta
muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili
gerakan"pembaruan Islam" pada masa mereka. Karena pembaruan yang
mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.
Mereka telah menumpas faham "taqlid",
"fanatisme madzhab" fiqh dan ilmu kalam yang sempat
mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di
samping kegarangan mereka dalam membasmi "ashobiyah madzhabiyah"
ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka
untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf'ul - malaam
'anil - A'immatil A'lam" karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar serangan mereka terhadap "tasawuf"
karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di
dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab “Al-Hulul Wal-Ittihad”
(penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan
yang menyalahgunakan "tasawuf" untuk kepentingan pribadinya.
Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka
tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan
warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari “Majmu` Fatawa” karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam
beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah “Madarijus Salikin
syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in”, kedalam
tiga jilid.
Mengikut Manhaj Salaf, tidaklah berarti sekedar
ucapan-ucapan mereka dalam masalah-masalah kecil tertentu. Ada suatu hal yang
mungkin terjadi, anda mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang
juz'i (far’i, cabang, kecil), namun pada hakikatnya anda meninggalkan manhaj
mereka yang universal, integral dan seimbang. Sebagaimana juga mungkin, anda
memegang teguh manhaj mereka yang kulli (universal), fitrah dan
tujuan-tujuannya, walaupun anda menyalahi sebagian pendapat dan ijtihad mereka.
Menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya
secara utuh tidak berarti kita harus mengambil semua pendapat mereka. Jika kita
melakukan demikian berarti kita telah terperangkap dalam "taqlid buta"
yang baru. Dan berarti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan
perjuangkan sehingga mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj “nalar”
dan “mengikuti dalil”. Melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan
memandang orangnya. Apa artinya anda protes orang lain mengikut (taqlid) Imam
Abu Hanifah atau Imam Malik, jika anda sendiri taqlid hanya kepada Ibnu
Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim saja.
Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya
menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup mereka dan mengabaikan
segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan
sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata:
“Aku melewati hari-hari dalam hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia”.
Di dalam sel penjara dan penyiksaannya, beliau pernah
mengatakan:
“Apa yang hendak dilakukan musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid”.
Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat
berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini dapat dirasakan oleh
semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka.
Namun, orang seringkali melupakan, sisi
"dakwah" dan "jihad" dalam kehidupan dua Imam tersebut.
Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan
sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam
memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya
Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah
makna "Salafiah" yang sesungguhnya.
Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita
temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan "salafiah", dan
paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah
pembawa missi “salafiah”, ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red
majalah “Al-Manar” yang selama kurun waktu tiga puluh tahun lebih membawa
"bendera" salafiah ini, menulis Tafsir “Al-Manar” dan dimuat dalam
majalah yang sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Rasyid Ridha adalah seorang "pembaharu"
(mujaddid) Islam pada masanya. Bagi siapa membaca “tafsir”nya, sperti : “Al-Wahyu
Al-Muhammadi”, “Yusrul-Islam", “Nida' Lil-Jins Al-Lathief”,
“Al-Khilafah", "Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid” dan
sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa pemikiran tokoh yang
satu ini benar-benar merupakan “Manar” (menara) yang memberi petunjuk dalam
perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi
pemikiran “salafiah”nya.
Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah “emas"
yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaidah :
"Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat."
Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan
oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai “pengikut Salaf”.
(disalin dari buku “Aulawiyaat Al Harokah Al Islamiyah
fil Marhalah Al Qodimah” karya Dr.Yusuf Al Qordhowi, edisi terjemahan
Penerbit Usamah Press)
0 Comments