Yusuf Qardhawi : Manhaj Salafi Rasyid Ridha


Yusuf Qardhawi : Manhaj Salafi Rasyid Ridha

Referensi pihak ketiga


PEMIKIRAN SALAFI
Yang dimaksud dengan "Pemikiran Salafi" di sini ialah kerangka berpikir (manhaj fikri) yang tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani hidayah Al-Qur'an dan tuntunan Nabi SAW.

Kriteria Manhaj Salafi yang Benar
Dalam memahami kriteria manjaj salafi yang benar yang secara global adalah berpijak pada prinsip berikut :
  1. Berpegang pada nash-nash yang ma'shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
  2. Mengembalikan masalah-masalah "mutasyabihat" (yang kurang jelas) kepada masalah muhkamat (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath'i.
  3. Memahami kasus-kasus furu' (kecil) dan juz'i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.
  4. Menyerukan "Ijtihad" dan pembaruan. Memerangi "Taqlid" dan kebekuan.
  5. Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
  6. Dalam masalah fiqh, berorientasi pada "kemudahan" bukan "mempersulit".
  7. Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
  8. Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
  9. Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.
  10. Menekankan sikap "ittiba'" (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat "ikhtira'" (kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.

Inilah inti "manhaj salafi" yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah generasi Islam terbaik harus dibina, apakah dari segi teori maupun prakteknya. Sehingga mereka akan mendapat pujian langsung dari Allah di dalam Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah berhasil mentransfer Al-Qur'an kepada generasi sesudah mereka. Dengan menghafal Sunnah (hadits); Mempelopori berbagai kemenangan (futuh); Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan); Mendirikan "negara ilmu dan Iman"; Membangun peradaban robbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Dan hingga hari ini masih tercatat dalam sejarah.

Salafiah Antara yang Pro dan Kontra
Istilah "Salafiah" telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap "salafiah". Orang-orang yang pro-salafiah - baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah - telah membatasinya dalam skup formalitas dan kontroversial saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam hal keilmuan seperti Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau Ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan intolerir terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil (furu’iyah) dan tidak prinsipil (pokok) ini. Sehingga akan memberi dampak bagi sementara orang bahwa manhaj Salaf adalah metode "debat" dan "polemik", bukan manhaj konstruktif (membangun) dan praktis. Dan juga memberi kesan bahwa yang dimaksud dengan "Salafiah" ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prnsipil. Mempermasalahkan khilafiah (perbedaan) dengan mengabaikan masalah-masalah yang jamak disepakati (jumhur). Mementingkan formalitas dan kulit belaka daripada masalah inti dan fitrah.

Sedangkan pihak yang kontra-salafiah menuduh faham ini “usang”, senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kekinian dan masa yang akan datang. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri (egois), tidak mau mendengar suara orang lain. Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat dan pertengahan.

Sebenarnya tuduhan-tuduhan inilah yang justru merusak citra salafiah itu sendiri secara hakiki dan penyeru-penyerunya yang awal. Tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan "salafiah" dan membelanya mati-matian pada masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan"pembaruan Islam" pada masa mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.

Mereka telah menumpas faham "taqlid", "fanatisme madzhab" fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kegarangan mereka dalam membasmi "ashobiyah madzhabiyah" ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf'ul - malaam 'anil - A'immatil A'lam" karya Ibnu Taimiyah.

Demikian gencar serangan mereka terhadap "tasawuf" karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab “Al-Hulul Wal-Ittihad” (penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan "tasawuf" untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari Majmu` Fatawa karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah “Madarijus Salikin syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in”, kedalam tiga jilid.

Mengikut Manhaj Salaf, tidaklah berarti sekedar ucapan-ucapan mereka dalam masalah-masalah kecil tertentu. Ada suatu hal yang mungkin terjadi, anda mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz'i (far’i, cabang, kecil), namun pada hakikatnya anda meninggalkan manhaj mereka yang universal, integral dan seimbang. Sebagaimana juga mungkin, anda memegang teguh manhaj mereka yang kulli (universal), fitrah dan tujuan-tujuannya, walaupun anda menyalahi sebagian pendapat dan ijtihad mereka.

Menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya secara utuh tidak berarti kita harus mengambil semua pendapat mereka. Jika kita melakukan demikian berarti kita telah terperangkap dalam "taqlid buta" yang baru. Dan berarti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj nalar dan mengikuti dalil. Melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya. Apa artinya anda protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu Hanifah atau Imam Malik, jika anda sendiri taqlid hanya kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim saja.

Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata:
Aku melewati hari-hari dalam hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia.
Di dalam sel penjara dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan:
Apa yang hendak dilakukan musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid”.
Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka.

Namun, orang seringkali melupakan, sisi "dakwah" dan "jihad" dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah makna "Salafiah" yang sesungguhnya.

Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan "salafiah", dan paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi “salafiah”, ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah “Al-Manar” yang selama kurun waktu tiga puluh tahun lebih membawa "bendera" salafiah ini, menulis Tafsir “Al-Manar” dan dimuat dalam majalah yang sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.

Rasyid Ridha adalah seorang "pembaharu" (mujaddid) Islam pada masanya. Bagi siapa membaca “tafsir”nya, sperti : “Al-Wahyu Al-Muhammadi”, “Yusrul-Islam", “Nida' Lil-Jins Al-Lathief”, “Al-Khilafah", "Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid” dan sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan “Manar” (menara) yang memberi petunjuk dalam perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran “salafiah”nya.

Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah emas" yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaidah :
"Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat."
Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai pengikut Salaf.

(disalin dari buku “Aulawiyaat Al Harokah Al Islamiyah fil Marhalah Al Qodimah” karya Dr.Yusuf Al Qordhowi, edisi terjemahan Penerbit Usamah Press)

Post a Comment

0 Comments