Risalah Ke-59
Ridha Terhadap Musibah dan Syukur Terhadap
Nikmat
Referensi pihak ketiga
Dalam risalahnya yang kelimapuluh sembilan ini, beliau
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata:
Apabila engkau ditimpa
musibah, maka berusahalah untuk tetap sabar. Berusaha untuk sabar adalah suatu
hal terendah. Sedangkan yang lebih tinggi, jika engkau berhasil melaksanakan
kesabaran itu. Hendaknya engkau beristighfar agar engkau bisa bersikap ridha
atas takdirNya, agar engkau bisa selaras dengan kehendakNya, agar engkau bisa
luruh di dalam kehendakNya. Yang demikian itu termasuk keadaan para badal dan
ruhaniawan. Mereka ini adalah orang-orang yang tahu tentang Allah Maha Kuasa
lagi Maha Agung. Jika ternyata engkau mendapat rahmat maka jangan lupa untuk
bersyukur, baik melalui lisan maupun hati ataupun bentuk anasir tubuhmu (pen:
ibadah kepada Allah).
Rasa syukur yang dilakukan lisan atau lidah bisa dalam
bentuk pengakuan bahwa rahmat itu berasal dari Allah dan penghindaran dari
menisbahkannya dari orang lain, kepada diri sendiri, kepada ikhtiar, dan lain
sebagainya. Kalau sudah menganggap bahwa rahmat itu semata-mata dari Allah,
tidak ada yang lainnya, maka engkau menyadari bahwa dirimu dan usahamu tiada
artinya. Engkau sendiri dan mereka hanya sebagai jalan atau sarana yang dilalui
rahmat. Pemberi dan pencipta sejati rahmat hanyalah Allah. Oleh sebab itu Allah
lebih layak disyukuri daripada berterima kasih kepada sesama makhluk
ciptaanNya.
Ibarat seseorang yang mendapat suatu hadiah. Hadiah itu
dikirim oleh majikan, sedangkan yang membawa atau yang mengantarkan itu seorang
pelayan. Maka tentulah si penerima hadiah merasa berterima kasih kepada
majikannya tersebut daripada kepada pelayannya yang hanya sebagai pengantar
(sarana), sehingga hadiah itu sampai kepada orang yang dimaksudkan. Sikap
terima kasih kepada sang majikan ini layak karena yang memberi hadiah adalah
majikan pelayan tersebut. Namun jika yang diberi itu berterima kasih kepada
pelayan dan sama sekali tidak ingat majikan yang memberi, maka hal ini tidaklah
layak. Sama halnya orang yang mendapatkan kenikmatan. Hendaknya bersyukur
kepada Allah, jangan bersyukur kepada penyebab datangnya kenikmatan. Jika
engkau bersyukur kepada penyebab (pengantar) kenikmatan maka engkau
sesungguhnya tak layak. Allah berfirman yang artinya:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan duniawi, sedangkan mereka lalai tentang akhirat.” (QS. Ar Rum : 7)
Orang yang jahil dan rusak pikirannya selalu memandang
lahiriah dan penyebab datangnya nikmat saja. Tanpa menyadari bahwa yang memberi
nikmat itu Allah.
Adapun bersyukurnya hati bisa berupa suatu keyakinan
kokoh tentang rahmat, kesenangan kepunyaan yang engkau miliki hanya berasal
dari Allah, bukan berasal dari yang lainnya. Dan rasa syukur yang kau ucapkan
adalah suatu pernyataan atau cerminan kata hatimu, sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Dan segala
nikmat yang ada padamu, berasal dari Allah.” (QS. An Nahl: 53)
Artinya: “Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah menundukkan (memudahkan)untukmu segala yang dilangit dan bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-nikmatNya lahir dan batin.” (QS. Lukman : 20)
Artinya : “Jika kamu hitung nikmat Allah, maka tiadalah kamu sanggup menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu amat aniaya dan banyak yang ingkarnya (kufur nikmat).” (QS. Ibrahim : 34)
Dengan firman dan pernyataan tersebut, maka tak ada yang memberi
nikmat kepadamu selain Allah. Hanya Allah yang Maha Pemurah kepadamu, kepada
para hambanya.
Dan perlu pula engkau ketahui bahwa bersyukurnya anasir
tubuh atau anggota tubuh yaitu terletak pada penggunaan seluruh anggota tubuh
itu sendiri. Yaitu jasmani engkau suruh untuk mematuhi segala
perintah-perintahNya. Yakni dalam bentuk menjahui segala ciptaanNya. Ciptaan
selain makhluk lain juga termasuk dirimu sendiri sebagai manusia, keinginanmu,
maksudmu, kehendakmu, dan segala yang mendorong nafsumu. Semua itu harus kau
jauhi. Patuhilah, taatilah Allah dengan sepatuh-patuhnya. Bila engkau bertindak
lain, maka berarti engkau melakukan penyimpangan dari jalan lurus. Engkau
menjadi aniaya, berbuat tanpa perintah Allah. Tidak mengikuti atau meniru
perilaku orang-orang beriman dan yang telah mendapat hidayah. Allah berfirman:
Artinya: “Barangsiapa tak menentukan dengan yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim.” (QS. Al Maidah : 45)
Jika engkau aniaya terhadap dirimu dan bertindak tidak
menurut syariat Allah (hukum Allah) maka jalan yang engkau tempuh menuju pada
jurusan neraka. Bukankah engkau tahu bahwa neraka yang apinya menyala-nyala itu
bahan bakarnya manusia dan batu. Di dunia saja satu jam engkau terkena demam
rasanya sudah tak tahan. Apalagi kelak di neraka yang panasnya berkepanjangan
membakar diri. Menjauhlah... menjauhlah! Segeralah... segeralah! Segera
berlindug kepada Allah.
Dalam setiap kondisimu hendaknya engkau bisa menjaga
keadaan-keadaan seperti di atas. Sebab selama hidupmu engkau tak bisa lepas
dari keadan ditimpa musibah atau keadaan dalam berlimpahan kebahagiaan.
Bersabarlah dikala menerima musibah dan bersyukurlah dikala engkau mendapatkan
limpahan kebahagiaan. Jangan sekali-kali engkau menunjukkan keluhan dan
kegundahan kesana kemari terhadap manusia, kepada siapapun. Cegahlah hatimu dan
benakmu agar jangan sampai terlintas kata yang sifatnya menyalahkan Tuhan.
Jangan pula engkau meragukan kebijaksanaan dan pilihanNya yang terbaik bagimu.
Yakni bagi kehidupanmu di dunia maupun di akhirat. Jangan sekali-kali engkau
lari dan bersandar kepada manusia hanya karena ingin mendapatkan jalan keluar.
Jika engkau demikian, berarti engkau telah menyektukan Tuhanmu. Tak satu pun di
dunia ini berhak atas kepunyaanNya, dan tak satu pun di dunia ini yang mampu
memberi keburukan (kemudharatan) kecuali Allah. Tak satu pun yang berhak
memberi manfaat atau menjauhkan kesulitan hamba kecuali Allah. Tak ada yang bis
menyebabkan dan menyembuhkan penyakit atau wabah kecuali Allah. Tak ada yang
bisa memberikan kebaikan kecuali Allah. Oleh sebab itu, jangan sekali-kali terjerat dengan ciptaanNya, baik
secara lahir maupun terpesona secara batiniah. Hendaknya engkau sabar dan
ikhlas kepada Allah selalu. Luruhkan dirimu dalam kehendakNya.
Seandainya rahmat tersebut darimu, maka bagimu wajib
minta tolong kepada Allah, dengan segala kerendahan hati, kerendahan diri, dan
mengakui dosa-dosamu yang selanjutnya memohon ampunan. Jangan lupa engkau harus
mengeluh atas kejahatan dirimu dan sikapmu yang menjahui kebenaran. Kemudian
mengakui rahmat-rahmatNya dan menyatakan keselarasan. Lakukanlah terus-menerus
sampai musibah yang menimpa dirimu itu sirna. Hal yang demikian ini sebagaimana
kejadian yang dialami Nabi Ayub ‘Alaihis Salam. Dalam menjalani musibah yang
berkelanjutan beliau tetap tak bosan-bosannya bersabar, berdoa, taat dan sama
sekali tidak mengeluh atas musibah itu. Ini dilakukan sampai musibah pada
dirinya lenyap. Rasulullah SAW bersabda :
“Kesabaran adalah keseluruhan iman.”
Apabila pelajaran dari yang telah kuterangkan kepadamu,
jika Allah Yang Maha Mulia menghendaki, maka kau akan terbimbing.
0 Comments