ISLAM DAN GENDER


ISLAM DAN GENDER
Oleh : Sulaiaman, S.Pd.I

1. Pengertian Gender
Pembicarakan masalah gender, sasarannya tidak saja pembedaan laki-laki dan perempuan, melainkan masalah kemanusiaan atau memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Pembedaan itu juga mengacu pada dua konsep jenis kelamin (seks) dan gender itu sendiri. Konsep yang harus dipahami untuk membahas perempuan dari segi  seks dan gender, yaitu: (1) seks merupakan  pembagian jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, secara permanen tidak bisa dipertukarkan; (2) gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.[1] Berbeda dengan pendapat Susilastuti, keberadaan gender, baik aliran dan tempat munculnya merupakan adanya prasangka gender yang cenderung menomorduakan kaum perempuan. Perempuan dinomorduakan karena adanya anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan. Perbedaan itu tidak hanya terbatas pada kriteria biologis, melainkan juga sampai pada kriteria sosiokultural.[2] Selanjutnya, menurut Haris, gender berkaitan dengan budaya. Oleh karena itu, gender pada gilirannya merupakan suatu fenomena yang melintas budaya. Gender merupakan produk budaya yang dibangun atas dasar ide fungsional yang terdapat dalam kategori masyarakat, yaitu perempuan dan laki-laki.[3]
Perkembangan pemikiran tentang gender didasarkan pada realitas bahwa analisis sosiokultural sebelumnya masih tetap menyingkirkan semangat pluralisme dengan menyisihkan analisis berwacana gender. Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan feminin. Biasanya, maskulin ditempatkan oleh jenis kelamin, sedangkan feminin oleh jenis kelamin perempuan.
Sejalan dengan itu, hubungan maskulin dan feminin (pembagian kerja) bukan merupakan korelasi yang absolut. Gender tidak bersifat universal. Ia bervariasi dari waktu ke waktu serta dari masyarakat ke masyarakat. Sekalipun demikian ada dua elemen gender yang bersifat universal, (1) gender tidak identik dengan jenis kelamin, (2) gender merupakan dasar pembagian kerja di semua masyarakat.[4] Konsep ini melahirkan stereotipe (pelabelan) perempuan dan laki-laki. Perempuan bersifat lembut, keibuan, halus, perasa, sedangkan laki-laki bersifat kuat, perkasa, gagah, dan cekatan. Berbagai studi lintas budaya menunjukkan bahwa dikotomi ini membuat perempuan selalu dinomorduakan atau tersubordinasi.
Jika dilihat secara umum otoritas perempuan sedikit lebih rendah jika dibandingkan laki-laki, karena perannya hanya di sektor domestik (rumah tangga), sedangakan peran laki-laki di sektor publik (dunia kerja). Oleh karena, perannya di luar rumah bisa menghasilkan materi, maka kecenderungan dalam rumah tangga atau kepala rumah tangga semua urusan diserahkan kepada laki-laki. Menurut Millet (1970),  pemerintahan ayah (laki-laki) berarti segala tata aturan keluarga sangat mementingkan garis keturunan bapak, yang  disebut dengan istilah patriarkhi. Sistem patriarkhi terus berlangsung sepanjang manusia hidup. Meskipun ada demokrasi pada kenyataannya perempuan masih terus dikuasai oleh suatu sistem peranan kejenisan yang stereotipe, hanya saja kadarnya setiap orang berbeda.  
Dalam Dialectic of Sex Firestone[5] menyatakan bahwa gender membedakan struktur setiap aspek kehidupan dengan kerangka yang tidak terbantahkan. Pembedaan struktur tersebut adalah bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender merupakan sistem yang kompleks yang mempertegas dominasi laki-laki.[6] Selanjutnya, Gayle Rubin, mempertegas bahwa gender merupakan produk relasi sosial berkaitan dengan seksualitas karena sistem hubungan persaudaraan berdasarkan pada perkawinan. Setiap sistem gender menunjukkan suatu ideologi atau sistem kognitif yang mendasarkan pada penindasan untuk menampilkan kategori gender sebagai hal yang sudah mapan.
Menurut Mackinnon, gender sebagai pembagian perempuan dan laki-laki yang disebabkan oleh keperluan heteroseksualitas (dasar dari penindasan) sosial perempuan.[7] Definisi itu sudah mengukuhkan dan mengesahkan perempuan pada posisi subordinasi, yaitu posisi yang meletakkan perempuan pada tingkatan relasi seksual. Ukuran itu bukanlah perbedaan biologis, melainkan perbedaan yang dikonstruksi oleh sistem sosial dan kultural, seperti pandangan yang menyatakan bahwa “perempuan itu memiliki alat reproduksi seperti rahim, saluran untuk melahirkan (vagina), sel telur atau avum, saluran air seni, dan alat untuk menyusui adalah suatu kodrat.” Akan tetapi, perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, jantan, rasional, dan perkasa merupakan sifat-sifat yang bukan kodrat, melainkan dapat dipertukarkan. Hal ini ada juga pada laki-laki yang memiliki sifat lembut, emosional, dan keibuan. Sebaliknya, perempuan juga ada yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan sifat-sifat itu terjadi dari kurun waktu yang panjang dan dari satu tempat ke tempat lainnya. Bahkan, perubahan itu terjadi dari satu kelas masyarakat ke kelas masyarakat lainnya. Gender bukanlah kodrat, melainkan peran yang ditampilkan oleh budaya, yang menempatkan perempuan dan laki-laki menjadi feminin atau maskulin.
Mosse memberi batasan gender sebagai seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di panggung di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa seseorang adalah feminin atau maskulin.[8] Selanjutnya, Budianta menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar gender dalam sastra dan idologi gender, ada tiga prinsip dasar gender, yaitu: (1) antideterminisme biologis, yang menyingkirkan aggapan bahwa perbedaan biologis (seks) dapat menentukan perbedaan sikap, sifat, dan perilaku, (2) perspektif yang menolak cara berpikir esensialisme yang tampak pada penggunaan istilah kodrat dan takdir yang sering dipakai dalam wacana normatif untuk memberikan pembenaran yang dianggap sakral atas pembedaan-pembedaan yang sebenarnya dikonstruksi secara sosiokultural, (3) ide-ide maskulin dan feminin tidak muncul begitu saja, tetapi produk budaya yang memiliki sejarah yang panjang.[9]
  
2. Konsep Kesetaraan Gender
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas hubungan kaum kaum perempuan dan laki-laki adalah membedakan antara konsep  sex (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pebedaan antara kedua konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan - persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Pemahaman atas konsep gender sangatlah diperlukan mengingat dari konsep ini telah lahir suatu analis gender.[10]
Istilah  gender digunakan berbeda dengan  sex. Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan  dari segi sosial-budaya. Sementara sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu,  gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya,  psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya.[11]
Perbedaan tersebut melahirkan pemisahan fungsi dan  tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas mengurusi urusan luar rumah dan perempuan bertugas mengurusi urusan dalam rumah yang dikenal sebagai masyarakat pemburu (hunter) dan peramu (gatherer) dalam masyarakat tradisional dan sektor publik dan sektor domestik dalam masyarakat modern.[12]
Perbedaan gender (gender differences) pada proses berikutnya melahirkan peran gender (gender role) dan dianggap tidak menimbulkan masalah, maka tak pernah digugat. Akan tetapi yang menjadi masalah dan perlu digugat adalah struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender.[13]
Pengungkapan masalah kaum perempuan dengan menggunakan analisis gender sering menghadapi perlawanan (resistance), baik dari kalangan kaum laki-laki ataupun kaum perempuan sendiri. Hal ini bisa jadi disebabkan:  pertama, mempertanyakan status kaum perempuan pada dasarnya  adalah mempersoalkan sistem dan struktur yang telah mapan, kedua, mendiskusikan soal gender berarti membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi, yakni menyangkut dan melibatkan individu kita masing.[14]
Oleh karena itu pemahaman atas konsep gender sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah kesetaraan hubungan, kedudukan, peran dan tanggung jawab antara kaum perempuan dan laki-laki.

3. Perbedaan Gender Melahirkan Ketidakadilan
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan publik, pembentukan sterotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[15]
Dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat yang menganut perbedaan gender, ada nilai tatakrama dan norma hukum yang membedakan peran laki-laki dan perempuan. Setiap orang seolah-olah dituntut mempunyai perasaan gender (gender feeling) dalam pergaulan, sehingga jika seseorang menyalahi nilai, norma dan perasaan tersebut maka yang bersangkutan akan menghadapi risiko di dalam masyarakat.
Predikat laki-laki dan perempuan dianggap sebagai simbol status. Laki-laki diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karekteristik kejantanan (masculinity), sedangkan perempuan diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karekteristik kewanitaan (femininity). Perempuan dipersepsikan sebagai wanita cantik, langsing, dan lembut, sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai manusia perkasa, tegar dan agresif. 
Dominasi laki-laki dalam masyarakat bukan hanya karena mereka jantan, lebih dari itu karena mereka mempunyai banyak akses kepada kekuasaan untuk memperoleh status. Mereka misalnya mengontrol lembaga-lembaga legislatif, dominan di lembaga-lembaga hukum dan peradilan, pemilik sumber-sumber produksi, menguasai organisasi keagamaan, organisasi profesi dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi.
Sementara perempuan ditempatkan pada posisi inferior. Peran mereka terbatas sehingga akses untuk memperoleh kekuasaan  juga terbatas, akibatnya perempuan mendapatkan status lebih rendah dari laki-laki. Sebagai ibu atau sebagai istri mereka memperoleh kesempatan yang terbatas untuk berkarya di luar rumah. Penghasilan mereka sangat tergantung pada kerelaan laki-laki, meskipun bersama dengan anggota keluarganya merasakan perlindungan yang diperoleh dari suaminya, hak-hak yang diperolehnya jauh lebih terbatas daripada hak-hak yang dimiliki suaminya.[16]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya peran gender tidak datang dan berdiri dengan sendirinya, melainkan terkait dengan identitas dan berbagai karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan. Sebab terjadinya ketimpangan status antara laki-laki dan perempuan lebih dari sekedar perbedaan fisik biologis tetapi segenap nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat turut memberikan andil.

4. Bias Kesetaraan Hubungan Perempuan dan Laki-laki
Menurut Budhy Munawar Rachman, terjadinya penindasan terhadap kaum perempuan salah satunya disebabkan tema  patriarkhi (kekuasaan kaum laki-laki), yang hal ini menjadi agenda yang paling besar digugat oleh kaum feminisme Islam. Karena  patriarhki dari sudut feminisme dianggap sebagai asal usul dari seluruh kecenderungan  misoginis (kebencian terhadap kaum perempuan) yang mendasari penulisan-penulisan teks keagamaan yang bias kepentingan laki-laki.[17]
Kekerasan terhadap perempuan selalu terjadi di antaranya disebabkan beberapa faktor yaitu:
a. Ideologi patriarkhi dan budaya patriarkhi. Di mana laki-laki superior (penguasa perempuan) dan perempuan inferior,
b. Faktor struktur hukum yang meliputi substansi hukum (berisi semua peraturan perundang-undangan) baik tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku bagi lembaga tinggi negara maupun warga negara, struktur hukum (penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan prosedur penegakannya), budaya hukum, 
c. Faktor interpretasi agama dan budaya.[18]

Konsep patriarki berbeda dengan patrilinial. Patrilinial diartikan sebagai budaya di mana masyarakatnya mengikuti garis laki-laki seperti anak bergaris keturunan ayah, contohnya Habsah Khalik; Khalik adalah nama ayah dari Habsah. Sementara patriarki memiliki makna lain yang secara harfiah berarti “kekuasaan bapak” (role of the father) atau “partiakh” yang ditujukan untuk pelabelan sebuah “keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki”. Secara terminologi kata patriarki digunakan untuk pemahaman kekuasaan laki-laki, hubungan kekuasaan dengan apa laki-laki menguasai perempuan, serta sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara.[19]
Lebih lanjut menurut Budhy secara etimologis konsep tersebut berkaitan dengan sistem sosial, dimana sang ayah menguasai semua anggota keluarganya, harta miliknya serta sumber-sumber ekonomi. Ia juga yang membuat semua keputusan penting keluarga. Sistem berdasarkan patriarkhi ini biasanya mengasingkan perempuan di rumah, dengan demikian laki-laki lebih bisa menguasai kaum perempuan. Sementara itu pengasingan perempuan di rumah menjadikan perempuan tidak tidak mandiri secara ekonomis, dan  selanjutnya tergantung secara psikologis.  Norma-norma moral, sosial dan hukum pun lebih banyak memberi hak kepada kaum laki-laki daripada kaum perempuan, justru karena alasan bahwa kaum laki-laki memang lebih bernilai secara publik daripada perempuan. Dalam perkembangannya patriarkhi ini sekarang telah menjadi istilah terhadap semua sistem kekeluargaan maupun sosial, politik dan keagamaan yang merendahkan, bahkan menindas kaum perempuan mulai dari lingkungan rumah tangga hingga masyarakat.[20]
Sementara itu menurut Ritzer dan Goodman, ada empat tema yang menandai teori ketimpangan gender.  Pertama, laki-laki dan perempuan diletakkan dalam masyarakat tak hanya secara berbeda, tetapi juga timpang. Secara spesifik, perempun memperoleh sumber daya material, status sosial, kekuasaan dan peluang untuk mengaktualisasikan diri lebih sedikit daripada yang diperoleh laki-laki yang membagi-bagi posisi sosial mereka berdasarkan kelas, ras, pekerjaan, suku, agama, pendidikan, kebangsaan atau berdasarkan faktor sosial penting lainnya.  Kedua, ketimpangan gender berasal dari organisasi masyarakat, bukan dari perbedaan biologis atau kepribadian penting antara laki-laki  dan perempuan.  Ketiga, meski manusia secara individual memiliki perbedaan ciri dan karakter satu sama lain, namun tidak ada pola perbedaan alamiah signifikan yang membedakan laki-laki dan perempuan. Pengakuan akan ketimpangan gender berarti secara langsung menyatakan bahwa perempuan secara situasional kurang berkuasa dibanding laki-laki untuk memenuhi kebutuhan mereka bersama laki-laki dalam rangka pengaktualisasian diri. Keempat, semua teori ketimpangan gender  menganggap laki- laki maupun perempuan akan menanggapi situasi dan struktur sosial yang semakin mengarah ke persamaan derajat (egalitarian) dengan mudah dan secara ilmiah. Dengan kata lain, mereka berkeyakinan akan adanya peluang untuk mengubah situasi.[21]

5. Konsep Kesetaraan Gender dalam Perspektif  Islam
1) Perempuan dalam Konsep Islam
a. Perempuan sebagai individu
Al-qur’an menyoroti perempuan sebagai individu. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara perempuan dalam kedudukannya sebagai individu dengan perempuan sebagai anggota masyarakat. Al-qur’an memperlakukan baik individu perempuan dan laki-laki adalah sama, karena hal ini berhubungan antara Allah dan individu perempuan dan laki-laki tersebut, sehingga terminology kelamin (sex) tidak diungkapkan dalam masalah ini.[22]
Pernyataan-pernyataaan al-Qur’an tentang posisi dan kedudukan perempuan dapat dilihat dalam beberapa ayat sebagaimana berikut:
1.         Perempuan adalah makhluk ciptaan Allah yang mempunyai kewajiban sama untuk beribadat kepadaNya sebagaimana termuat dalam (Adz-Dzariyat: 56).
2.         Perempuan adalah pasangan bagi kaum laki-laki termuat dalam (An-naba’:8). 
3. Perempuan bersama-sama dengan kaum laki-laki juga akan mempertanggung jawabkan secara individu setiap perbuatan dan pilihannya termuat dalam (Maryam: 93-95).
4.         Sama halnya dengan kaum laki-laki Mukmin, para perempuan mukminat yang beramal saleh dijanjikan Allah untuk dibahagiakan selama hidup di dunia dan abadi di surga. Sebagaimana  termuat dalam (An-Nahl: 97).[23]
5.         Sementara itu Rasulullah juga menegaskan bahwa kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki (HR Ad-Darimy dan Abu Uwanah).
Dalam ayat-ayatnya bahkan Al-qur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam, sehingga karenanya kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu prinsip al-Qur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri adalah diakui secara adil (equal) dengan hak suami. Dengan kata lain laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas perempuan, dan kaum perempuan juga memiliki hak dan kewajiban  atas laki-laki. Karena hal tersebutlah maka al-Qur’an dianggap memiliki pandangan yang revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan, yakni memberikan keadilan hak antara laki-laki dan perempuan.[24]

b.  Perempuan dan Hak Kepemilikan
Islam sesungguhnya lahir dengan suatu konsepsi hubungan manusia yang berlandaskan keadilan atas kedudukan laki-laki dan  perempuan. Selain dalam hal pengambilan keputusan, kaum perempuan dalam Islam juga memiliki hak-hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta kekayaannya sendiri, sehingga dan tidak suami ataupun bapaknya dapat mencampuri hartanya. Hal tersebut secara tegas disebutkan dalam (An-Nisa’: 32)
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang  telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[25]

Kepemilikan atas kekayaannya tersebut termasuk yang didapat melalui warisan ataupun yang diusahakannya sendiri. Oleh karena itu mahar atau maskawin dalam Islam harus dibayar untuknya sendiri, bukan untuk orang tua dan tidak bisa diambil kembali oleh suami.[26]
Sayyid Qutb menegaskan bahwa tentang kelipatan bagian kaum pria dibanding kaum perempuan dalam hal harta warisan, sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an, maka rujukannya adalah watak kaum  pria dalam kehidupan, ia menikahi wanita dan bertanggung jawab terhadap nafkah keluarganya selain ia juga bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarganya itu.
Itulah sebabnya ia berhak memperoleh bagian sebesar bagian untuk dua orang, sementara itu kaum wanita, bila ia bersuami, maka seluruh kebutuhannya ditanggung oleh suaminya, sedangkan bila ia masih gadis atau sudah janda, maka kebutuhannya terpenuhi dengan harta warisan yang ia peroleh, ataupun kalau tidak demikian, ia bisa ditanggung oleh kaum kerabat laki-lakinya. Jadi perebedaan yang ada di sini hanyalah perbedaan yang muncul karena karekteristik tanggung jawab mereka yang mempunyai konsekwensi logis dalam pembagian warisan.[27]
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa Islam memberikan jaminan yang penuh kepada kaum wanita dalam bidang keagamaan, pemilikan dan pekerjaan, dan realisasinya dalam jaminan mereka dalam masalah pernikahan yang hanya boleh diselenggarakan dengan izin dan kerelaan wanita-wanita yang akan dinikahkan itu tanpa melalui paksaan. “Janganlah menikahkan janda sebelum diajak musyawarah, dan janganlah menikahkan gadis perawan sebelum diminta izinnya, dan izinnya adalah sikap diamnya” (HR. Bukhari Muslim). 
Bahkan Islam memberi jaminan semua hak kepada kaum  wanita dengan semangat kemanusiaan yang murni, bukan disertai dengan tekanan ekonomis atau materialis. Islam justru memerangi pemikiran yang mengatakan bahwa kaum wanita hanyalah sekedar alat yang tidak perlu diberi hak-hak. Islam memerangi kebiasan penguburan hidup anak-anak perempuan, dan mengatasinya dengan semangat kemanusiaan yang murni, sehingga ia mengharamkan pembunuhan seperti itu.[28]

c.  Perempuan dan Pendidikan
Islam memerintahkan baik laki-laki maupun perempuan agar berilmu pengetahuan dan tidak menjadi orang yang bodoh. Allah sangat mengecam orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana (az-Zumar: 9) Kewajiban menuntut ilmu juga ditegaskan nabi dalam hadis. Artinya: menuntut ilmu itu wajib atas setiap laki-laki dan perempuan. (HR. Muslim) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam justru menumbangkan suatu sistem sosial yang tidak adil terhadap kaum perempuan dan menggantikannya dengan sistem yang mengandung keadilan. Islam memandang perempuan adalah sama dengan laki-laki dari segi kemanusiannya. Islam memberi hak-hak kepada perempuan sebagaimana yang diberikan kepada kaum laki-laki dan membebankan kewajiban yang sama kepada keduanya.

2) Kesetaraan Hubungan antara Perempuan dan Laki-laki dalam Islam
Pada dasarnya semangat hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil (equal). Oleh karena itu subordinasi terhadap kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan yang diajarkan Islam.                                                             
Konsep  kesetaraan  gender antara laki-laki dan perempuan  dalam al- Qur’an, antara lain sebagai berikut: 
Pertama, laki laki dan perempuan adalah sama-sama sebagai  hamba. (Az-Zariyat: 56) 

Artinya:  Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku.[29] 

Dalam kapasitasnya sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa (muttaqin). 
Kedua,  Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah di samping untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi, sebagaimana tersurat dalam Alqur’an (Al-An’am: 165).

Artinya: “Dan dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kalian atas sebahagian yang lain beberapa derjat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksaanNya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

Juga dalam Alqur’an (al-Baqarah: 30) disebutkan:

Artinya:  Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi orang yang membuat kerusakan dan  menumpahkan darah, padahal kami selalu senantiasa bertasbih kepadaMu dan mensucikan Mu. Tuhan berfirman, sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.[30]

Ketiga, Laki-laki dan Perempuan menerima perjanjian primordial. Menjelang sorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanj-ian dengan Tuhannya. Disebutkan dalam Alqur’an (Al-A’raaf: 172): 

Artinya: Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan  anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) Bukankah Aku ini TuhanMu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.(Kami lakukan). Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).[31]

Dalam Islam tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Keempat, Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi. Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk meraih peluang prestasi. Disebutkan dalam Alquran (Al-Nisa: 124):

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.[32]




Juga (Al-Nahl: 97): 

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya  akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[33]

Juga (al-Mu’min: 40):

Artinya: Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka mereka kan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.[34]

Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh satu jenis kelamin saja. Menurut Nasaruddin Umar, Islam memang mengakui adanya perbedaan (distincion) antara laki-laki dan perempuan, tetapi bukan pembedaan (discrimination). Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik-biologis perempuan yang ditakdirkan berbeda dengan laki-laki, namun perbedaan tersebut tidak dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya.[35]
Ajaran Islam tidak secara skematis membedakan faktor - faktor perbedaan laki-laki dan perempuan, tetapi lebih memandang kedua insan tersebut secara utuh. Antara satu dengan lainnya secara biologis dan sosio kultural saling memerlukan dan dengan demikiann antara satu dengan yang lain masing-masing mempunyai peran. Boleh jadi dalam satu peran dapat dilakukan oleh keduanya, seperti perkerjaan kantoran, tetapi dalam peran-peran tertentu hanya dapat dijalankan oleh satu jenis, seperti; hamil, melahirkan, menyusui anak, yang peran ini hanya dapat diperankan oleh wanita. Di lain pihak ada peran-peran tertentu yang secara manusiawi lebih  tepat diperankan oleh kaum laki-laki seperti pekerjaan yang memerlukan tenaga dan otot lebih besar.[36]
Dengan demikian dalam perspektif normativitas Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Tinggi rendahnya  kualitas seseorang hanya terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt. Allah memberikan penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan atas semua amal yang dikerjakannya.




[1]     Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). 3-12
[2]     Dewi H. Susilastuti, “Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi.” Dalam Fauzie Ridjal, dkk (ed.). Dinamika Spiritualitas Hindu: Potret Illahi Setengah Hati. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1993). 29-30
[3]     Abdul Haris, “Mobilitas Angkatan Kerja Wanita Indonesia ke Luar Negeri” dalam Abdullah, Irwan. Sangkan Paran Gender. (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 2003). 186
[4]     Dewi H. Susilastuti, “Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi.” Dalam Fauzie Ridjal, dkk (ed.). Dinamika Spiritualitas Hindu: Potret Illahi Setengah Hati. 30
[5]     Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme (terjemahan Mundi Rahayu).  (Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru, 2002), 178.
[6]     Ibid, 179.
[7]     Cheris and Paula A. Treachler Kramarae, A. Feminist Dictionary. (London: Sydney Wellington, 1985). 179
[8]     Julia C. Mosse,  Gender dan Pembangunan  (terjemahan Hartian Silawati). (Yogyakarta:  Kerja sama Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dengan Penerbit Pustaka Pelajar, 2002). 3.
[9]     Melani Budianta, Sastra dan Ideologi Gender. (Dalam Horizon. Tahun XXXII. Nomer 4 Jakarta, 1998). 6-7
[10]    Ibid. 4
[11]    Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur'an. (Jakarta: Paramadina, 1999). 35
[12]    Ibid. 302
[13]    Nur Ahmad Fadhil Lubis, Yurisprudensi Emansipatif, (Bandung: Citapustaka Media, 2003). 47
[14]    Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. 5-6
[15]    Ibid.12. 
[16]    Nasaruddin Umar, ibid. 75
[17]    Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina). 394
[18]    Elfi Muawanah, Menuju Kesetaraan Gender, (Malang: Kutub Minar, 2006). 144.
[19]    Kamala Bashin, What is Patriarchy, Diterjemahkan “ Menggugat Patriarki ” oleh Nursyahbani Katjasungkana, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996). 29
[20]    Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis.., 394
[21]    George Ritzer and Douglas J. Goodman, “ Modern Sociological Theory ”, 6th Edition, diterjemahkan, Teori Sosiologi Modern, oleh Alimandan (Jakarta: Prenada Media, 2003), 420.
[22]    Amina Wadud-Muhsin, Qur’an and Woman, dalam “Liberal Islam a Sourcebook”, Charles Kurzman (ed), New York: Oxford University Press, 1998), 127-138.
[23]    Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKI, 2003), 64.
[24]    M.Hidayat Nur Wahid, Kajian atas Kajian Dr. Fatima Mernissi tentang Hadis Misogini, dalam Mansour Fakih (ed), Membincang  Feminisme Diskursus Gender Persfektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 3-35.
[25]    Al-Qur’an, 4 (An-Nisa’): 32
[26]    Mansour Fakih, Membincang  Feminisme.., 37-67.
[27]    Sayyid Qutb, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Bandung: Pustaka Pelajar, 1984). 71-74
[28]    Ibid.
[29] Al-Qur’an, 51 (Az-Zariyat): 56
[30] Al-Qur’an, 2 (Al-Baqarah): 30
[31] Al-Qur’an, 7 (Al-A’ra>f): 172
[32] Al-Qur’an, 4 (Al-Nisa>’): 124
[33] Al-Qur’an, 16 (Al-Nah}l): 97
[34] Al-Qur’an, 23 (Al-Mu’min): 40
[35]    Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999). 23.
[36]    Ibid.

Post a Comment

0 Comments