Nabi
Muhammad SAW di utus untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Tidak disebutkan
akhlak disini hanya dikhususkan untuk umat Islam akan tetapi bermakna global
dan sifatnya umum. Pembahasan akhlak
lebih jauh lagi akan menuju tasawuf dalam Islam. Berikut adalah ulasan dan
pemaparan tentang akhlak dan tasawuf dalam terusan artikel (Pengantar Studi
Islam) yang telah lalu. File dapat di unduh dibagian akhir tulisan.
AKHLAQ DAN TASAWUF
Oleh
: Sulaiman, S.Pd.I
A.
AKHLAQ
1.
Pengertian Akhlaq
Secara
etimologi, kata “akhlaq” berasal dari bahasa Arab bentuk jama’ “akhlaqa”.
Bentuk tunggal (mufrada>t)-nya ialah “khulqu” yang memiliki
beberapa arti berikut: sajiyyah (perangai); muru>’ah (budi); t}ab’u
(tabi’at); dan ada>b (adab).[1]
Namun
akar kata akhlaq dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas
tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlaq
tetapi ikhlaq. Berkenaan dengan ini maka timbul pendapat yang
mengatakan bahwa secara linguistik, kata akhlaq merupakan isim jamid
atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata,
melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Kata akhlaq adalah
jama’ dari kata khilqun atau khuluqun yang artinya sama dengan
arti akhlaq.[2]
Dari segi
terminologi, terdapat beberapa pengertian akhlaq:
1. Menurut
Ibnu Miskawaih: “Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya
untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.[3]
2. Menurut
Al-Ghazali: “Akhlaq ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya
lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran
dan pertimbangan”.[4]
3. Menurut
Ahmad Amin, dia menyimpulkan dari berbagai pendapat ahli, menyatakan bahwa: segala perbuatan yang timbul
dari orang yang melakukan sesuatu dengan ikhtiar dan sengaja, dan pada waktu
melakukannya ia mengetahui apa yang ia perbuat.[5]
Berarti
bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut
akhlaq. Dengan perkataan lain, akhlaq adalah menangnya keinginan dari beberapa
keinginan manusia secara berturut-turut.
Menurut
Abuddin Nata,[6] ada lima ciri yang
terdapat dalam perbuatan akhlaq, yaitu:
Pertama, perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang telah tertanam kuat
dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Dalam kaitan
ini Ahmad Amin mengumpamakan, bahwa
seseorang yang dermawan ialah orang yang menguasai keinginan untuk memberi, dan
keinginan itu selalu ada padanya meskipun terdapat keadaan yang menghalanginya,
kecuali keadaan yang menghalanginya itu luar biasa dan terpaksa. Sebaliknya orang
kikir ialah orang yang dikuasai oleh rasa cinta harta, dan mengutamakannya
lebih dari membelanjakannya.
Dengan
keterangan ini nyata bahwa orang yang baik ialah orang yang menguasai keinginan
baik secara berturut-turut. Sebaliknya orang jahat atau durhaka ialah orang
yang selalu dikuasai oleh keinginanya untuk berbuat jahat atau durhaka.
Kedua,
perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang
dilakukan dengan mudah dantanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat
melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar,
hilang ingatan, atau tidur. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu
perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan
reflek seperti berkedip, tertawa, bersin, dan sebagainya bukanlah perbuatan
akhlaq melainkan perbuatan alami, seperti halnya binatang juga melakukannya.
Perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal
pikirannya. Namun karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana
disebutkan pada sifat yang pertama, maka pada saat akan menjalankannya sudah
tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran. Hal yang demikian tak
ubahnya dengan orang yang mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka
begitu mendengar panggilan shalat ia tidak merasa berat mengerjakannya, dan
tanpa pikir panjang ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjakannya.
Ketiga, bahwa perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang timbul dari
dalam diri si pelakunya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan
akhlaq adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan
keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan karena
paksaan, tekanan atau intimidasi dari luar dirinya, maka perbuatan tersebut
bukan termasuk ke dalam akhlaq dari si pelakunya.
Keempat,
bahwa perbuatan akhlaq ialah perbuatan
yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
Kelima, perbuatan akhlaq ( khususnya akhlaq yang baik )
adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan
karena ingin dipuji orang lain. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas
dasar karena Allah tidak dapat dikatan perbuatan akhlaq.
Kelima
perbuatan tersebut kemudian disebut sebagai perbuatan akhlaqi (etis) yang
acapkali dipertentangkan dengan perbuatan alami. Perbuatan alami adalah
perbuatan yang terjadi di luar kehendak si pelakunya, seperti bernafas,
berkedip, bersin, dan lain sebagainya. Terhadap perbuatan alami, pelakunya
tidak bisa dikenakan hukum “baik atau buruk”. Sebaliknya, terhadap perbuatan
etis, yaitu perbuatan yang timbul karena kehendak si pelakunya, bisa dikenakan
hukum “baik atau buruk”. Dalam kaitan ini Murtadha Muthahhari, menyatakan: “Perbuatan
etis itu layak untuk dipuji dan disanjung. Dengan kata lain, manusia mengakui
akan nilai agung suatu perbuatan etis.[7]
Nilai yang dimaksud di sini bukan dalam arti material, seperti yang biasa
diistilahkan dengan “upah” atau gaji. Namun nilai yang dimaksudkan di sini
berada pada kedudukan yang lebih tinggi dalam diri manusia. Nilai-nilai
tersebut tidak dapat disejajarkan dengan uang atau barang.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan akhlaq dalam
kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa. Sebab jatuh
bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaqnya. Apabila
akhlaqnya baik maka sejahteralah lahir batinnya sedangkan apabila akhlaqnya
rusak maka rusaklah lahir dan batinnya.[8]
2.
Ruang Lingkup Akhlaq
Adapun
ruang lingkup kajian ilmu akhlaq, Muhammad Al-Ghazali,[9]
mengatakan bahwa daerah akhlaq meliputi seluruh aspek kehidupan perorangan
maupun kemasyarakatan. Secara lebih rinci, menurut Hamzah Ya’qub, yang menjadi lapangan pembahasan etika
Islam atau akhlaq adalah:[10]
1.
Menyelidiki sejarah etika dan pelbagai
teori (aliran) lama dan baru tentang tingkah laku manusia.
2.
Membahas tentang cara-cara menghukum atau
menilai baik dan buruknya sesuatu pekerjaan.
3.
Menyelidiki faktor-faktor penting yang
mencetak, mempengaruhi dan mendorong lahirnya tingkah laku manusia yang
meliputi faktor manusia itu sendiri, fitrahnya (nalurinya), adat
kebiasaannya, lingkungannya, kehendak dan cita-citanya, suara hatinya, motif
yang mendorongnya berbuat dan masalah pendidikan akhlaq.
4.
Menerangkan mana akhlaq yang baik (akhlaqul
mah}mu>dah) dan mana pula akhlaq yang buruk (akhlaqul maz}mu>mah)
menurut ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW.
5.
Mengajarkan cara-cara yang perlu ditempuh
juga meningkatkan budi pekerti ke jenjang kemuliaan, misalnya dengan cara
melatih diri untuk mencapai perbaikan bagi kesempurnaan pribadi.
6.
Menegaskan arti dan tujuan hidup yang
sebenarnya sehingga dapatlah manusia terangsang secara aktif mengerjakan
kebaikan dan menjauhi segala kelakuan yang buruk dan tercela.
Dari
beberapa ruang lingkup kajian akhlaq tersebut, secara garis besar dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Bagaimana seharusnya manusia terhadap
penciptanya (Kha>liknya).
2.
Bagaimana seharusnya manusia terhadap
sesama manusia (diri sendiri, keluarga, dan masyarakat).
3.
Bagaimana seharusnya manusia terhadap
lingkungan sekitarnya dan makhluk-makhluk lainnya.[11]
Pokok-pokok
yang dibahas adalam ilmu akhlaq pada intinya adalah perbuatan manusia.
Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk
berdasarkan tolok ukur agama Islam. Bedanya dengan etika, bahwa etika menilai
perbuatan manusia apakah baik atau buruk berdasarkan pertimbangan akal sehat
(rasional). Jadi ruang lingkup pembahasan akhlaq dengan etika pada dasarnya
sama, hanya bedanya pada tolok ukur yang digunakan untuk menilai baik atau
buruk perbuatan manusia tersebut. Kalau akhlaq menggunakan tolok ukur agama,
sedang etika menggunakan tolok ukur akal sehat (rasional).
3. Kedudukan Akhlaq Dalam Syari’at Islam
Agama
Islam memiliki ajaran yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, mencakup
aspek jasmani dan ruhani, lahir dan batin. Secara garis besar, dasar-dasar
ajaran Islam itu meliputi: aqidah, syari’ah dan akhlaq. Dasar-dasar itu terpadu
menjadi satu dan merupakan bagian yang tak terpisahkan satu dengan yang
lainnya. Demikian juga dalam praktek, baik yang bersifat ubudiyah maupun yang
bersifat amaliyah, dasar-dasar itu berjalan secara simultan. Sebagai contoh,
seseorang yang sedang mengerjakan shalat, maka di dalamnya terwujud dasar-dasar
ajaran Islam yang bernilai aqidah, syari’ah dan akhlaq (akhlaq kepada Allah
SWT). Juga bagi seseorang yang mengerjakan amalan shaleh seperti menolong fakir
miskin atau mengajarkan ilmu, maka amalan tersebut secara implisit terbangun di
atas dasar syari’ah dan akhlaq. Konstruksi ketiga kesatuan ajaran ini tergambar
dalam sebuah dialog Malaikat Jibril dengan Nabi berikut ini:
“…Hai
Muhammad, ceritakan kepadaku tentang Islam!”, Nabi menyebutkan: “Islam ialah
bahwa engkau akui tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, engkau
kerjakan shalat, engkau bayar zakat, engkau berpuasa di bulan Ramadhan, dan
engkau lakukan ibadah haji ke baitullkah jika kuasa”. … “Ceritakan kepadaku
tentang Iman !”, Nabi menyebutkan: “Iman ialah bahwa engkau yakin dan percaya
kepada Allah, Malaikat-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhirat, dan takdir baik dan
buruk. …”Ceritakan kepadaku tentang Ihsan !”, Nabi menyebutkan: “Ihsan ialah
engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak
melihat-Nya, Dia melihatmu”. (H.R. Muslim).
Hadis
tersebut mengisyaratkan tiga unsur ajaran pokok Islam, yaitu: Iman, Islam dan
Ihsan. Timbul pertanyaan, di manakah letak kedudukan akhlaq dalam syari’at
Islam? Orang seringkali mengidentikkan Ihsan dengan akhlaq, karena dalam Ihsan
itu terdapat unsur berbuat dengan sebaik-baiknya, seperti tergambar dalam
dialog Nabi dengan Malaikat Jibril dalam kutipan hadis di atas. Dan juga dalam
Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menerangkan bahwa Allah mencintai
orang-orang yang Ihsan (Muhsinin), antara lain:
“…
Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. 3: 134). “…Dan
bersabarlah, sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan orang-orang yang berbuat
kebaikan.” (Q.S. 11: 115).
“…
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(Q.S. 29: 69).
“…
Maka sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat kebaikan.” (Q.S. 12: 90). Dan lain-lain.
Namun
janganlah dipahami bahwa akhlaq yang mulia itu hanya Ihsan, melainkan mencakup
juga masalah beriman dan ber-Islam yang baik. Demikianlah inti dari risalah
Rasulullah SAW. Untuk memperjelas hal ini, perlu disebutkan di sini bahwa
akhlaq menurut pengertian Islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadah.
Bahwa iman dan ibadah manusia tidak sempurna kecuali kalau timbul dari satu
akhlaq yang mulia dan muamalah yang baik terhadap Allah dan makhluk-Nya. Dan
bahwa akhlaq yang mulia, yang umat Islam harus berpegang teguh padanya, harus
dipelihara bukan kepada makhluk saja, tetapi juga wajib dan lebih-lebih lagi
kepada Allah dari segi aqidah dan ibadah. Di antara perhiasan yang paling mulia
bagi manusia di sisi iman, taat dan takut kepada Allah, adalah akhlaq yang
mulia.[12]
Dengan
demikian, akhlaq dan Ihsan ialah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang
lebih besar yang disebut akhlaqul kari>mah. Dengan perkataan lain,
akhlaq adalah pranata perilaku yang
mencerminkan struktur dan pola perilaku manusia dalam segala aspek kehidupan.
Sedang ihsan adalah pranata nilai yang menentukan atribut kualitatif dari
pribadi atau akhlaq. Jadi akhlaq yang berkualitas ihsan adalah akhlaqul
kari>mah, sedang pelakunya disebut muhsin, (jamak: muhsini>n),
seperti terdapat dalam beberapa kutipan ayat di atas.[13]
Dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan akhlaq dalam syari’at
Islam adalah merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari konstruksi bangunan
syari’at Islam sebagaimana yang disebutkan dalam kutipan hadis di atas, yakni:
iman, Islam dan ihsan, atau dengan istilah yang biasa digunakan oleh para ulama
lain dalam membagi garis besar ajaran Islam: akidah, syari’ah dan akhlaq.
4. Akhlaq Sebagai Ilmu Pengetahuan
Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu akhlaq didefinisikan sebagai:
a.
Suatu ilmu yang menjelaskan pengertian
baik dan buruk atau jahat, menerangkan apa yang perlu ada di dalam pergaulan
umat manusia, menjelaskan tujuan yang harus dicapai dalam semua tingkah
lakunya, dan cara melaksanakan apa yang harus ada itu.[14]
b.
Ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara
mengikutinya sehingga terisi dengannya dan tentang keburukan dan cara
menghindarinya sehingga jiwa terhindar/bersih darinya.[15]
c.
Ilmu yang obyek pembahasannya adalah
tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat
disifatkan dengan baik atau buruk. (Al- Mu’jam Al-Wasith).
Akhlaq
sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, memiliki kriteria keilmiahan yang
mapan sehingga telah diakui sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Hal
tersebut karena ilmu akhlaq telah memenuhi syarat-syarat epistemologis
(teori-teori ilmiah), ontologis (hakekat apa yang dikaji), dan aksiologis
(nilai kegunaan suatu ilmu). Adapaun secara lebih detil syarat-syarat
keilmiahan akhlaq sebagai suatu disiplin ilmu dapat dijelaskan sebagai berikut: [16]
1. Syarat Epistemologis, yaitu landasan
filosofis dan metodologis suatu ilmu. Seperti diketahui, ilmu merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat
disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus
memenuhi syaratsyarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang disebut metode ilmiah.
Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai
langkah-langkah yang sistematis. Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam
mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan
pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metode
ini secara filsafati termasuk ke dalam apa yang disebut epistemologi.
2. Syarat Ontologis, yaitu hakekat apa yang
dikaji. Bahwa ilmu akhlaq memiliki obyek pembahasan yang jelas sebagai
tergambar dalam definisi “ilmu akhlaq” dan ruang lingkupnya. Obyek yang dibahas
pada intinya adalah perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya
ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk. Jadi obyek kajian ilmu akhlaq
adalah segala tindakan sadar manusia yang dikehendaki si pelakunya, yang
mencakup tindakan manusia terhadap penciptanya; terhadap sesama manusia, dan
terhadap lingkungan atau makhluk lainnya. Dari serangkaian tindakan tersebut,
ilmu akhlaq melihatnya dari sisi “baik dan buruk”-nya berdasarkan ukuran agama
(Islam).
3. Syarat Aksiologis, yaitu nilai kegunaan
suatu ilmu. Untuk melihat nilai kegunaan suatu ilmu sekurang-kurangnya bisa
dilihat dari dua hal: Pertama dari tujuan yang ingin dicapai dalam ilmu akhlaq;
dan kedua, dari manfaat mempelajari ilmu akhlaq. Pertama, dilihat dari
tujuan akhlaq dan ilmu akhlaq, menurut Muhyidin bin ‘Araby tujuan akhlaq adalah
untuk mencapai derajat manusia sempurna. Sedang menurut Imam Al-Ghazali, tujuan
akhlaq adalah untuk mencapai kemuliaan dan kebahagiaan.[17]
Kedua, dilihat dari manfaat mempelajari ilmu akhlaq. Karena ilmu akhlaq
menentukan kriteria perbuatan yang baik dan yang buruk, serta perbuatan apa
saja yang termasuk perbuatan yang baik dan yang buruk itu, maka seseorang yang
mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan yang
baik dan buruk itu, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahuai perbuatan yang
baik dan perbuatan yang buruk. Dengan mengetahui yang baik ia akan terdorong
untuk melakukannya dan mendapatkan manfaat dan keuntungan darinya, sedangkan
dengan mengetahu yang buruk ia akan terdorong untuk meninggalkannya dan ia akan
terhindar dari bahaya yang menyesatkan.[18]
Dengan demikian jelaslah nilai kegunaan akhlaq itu, selain
untuk mengendalikan tindakan lahir juga mengendalikan tindakan batin. Karena
tindakan lahir tidak akan terjadi kalau tidak ada instruksi dari tindakan batin
atau hati. Maka tindakan batin dan gerak-gerik hati juga termasuk lapangan yang
diatur oleh akhlaq. Sampai di sini, nilai kegunaan akhlaq dan ilmu akhlaq dapat
disimpulkan sekurang-kurangnya ada dua macam: yaitu nilai kegunaan praktis, dan
nilai kegunaan teoritis. Nilai kegunaan praktis ilmu akhlaq, bahwa akhlaq
sebagai suatu bagian dalam sistem ajaran Islam, memberikan dasar-dasar
berperilaku terpuji sesuai dengan norma-norma agama. Dalam kaitan ini dapat
kita dijumpai misalnya, karya atau kajian tentang “etika terapan”, seperti
etika profesi, etika sosial, etika politik, etika keguruan, dan sebagainya.
Yang kesemuanya itu memberikan landasan-landasan praktis bagaimana berakhlaq
atau beretika yang baik di tangah-tengah pergumulan masyarakat; apakah sebagai
pengacara, guru, dokter, politisi, dan sebagainya. Sedang nilai kegunaan
teoritis ialah bahwa ilmu akhlaq selalu dikaji dan dikembangkan terus menerus
untuk membesarkan ilmu tersebut, tentunya untuk menyediakan landasan
referensial dan teoritis etika terapan. Kajian akhlaq dalam perspektif teoritis
banyak menimbulkan teori-teori akhlaq Islami, misalnya etika religius, etika teologis,
etika normatif, dan sebagainya.
B. TAS}AWUF
1.
Pengertian Tas}awuf
Secara keilmuan, “tas}awuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam syari’at
Islam, demikian menurut Ibnu Khaldun”.[19] Kata tas}awuf diambil dari kata s}afa yang berarti bersih. Dilihat dari
asal-usul kata tas}awuf itu sendiri memiliki banyak pengertian diantaranya :[20] S}afa (Suci), disebut s}afa (suci) karena kesucian batin
seorang s}ufi dan kebersihan tindakannya; S}aff
(barisan), yakni berarti para
s}ufi memiliki iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan seorang s}ufi
senantiasa memilih barisan terdepan dalam shalat berjamaah; S}aufanah, yakni sejenis buah-buahan
kecil berbulu yang banyak tumbuh di padang pasir jazirah Arabia; S}uffah (Serambi tampak duduk),
yakni yang berarti serambi Masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh
sahabat-sahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin dimasa Rasulullah SAW;
S}afwah (Yang terpilih atau
terbaik), seorang s}ufi adalah orang yang terpilih diantara hamba-hamba
Allah SWT; Theosophi (Yunani : Theo
= Than, Shopos = Hikmah), yaitu yang berarti hikmah atau kearifan
ketuhanan; S}uf (Bulu domba), kain
yang dibuat dari bulu atau wool, dan kaum s}ufi memilih memakai wool yang kasar
sebagai simbol kesederhanaan, untuk menghindari sikap sombong disamping untuk
menerangkan jiwa serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi.
Tampak bisa
dipahami bahwa s}ufi dapat dihubungkan dengan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah
dan bathiniyah. Teori yang menghubungkan orang yang menjalani kehidupan
tas}awuf dengan orang yang berada di serambi masjid dan bulu domba merupakan
tinjauan aspek lahiriyah dari s}ufi. Ia dianggap sebagai orang yang telah
meninggalkan dunia dan hasrat jasmani, dan menggunakan benda-benda di dunia
hanya untuk sekedar menghindarkan diri dari kepanasan, kedinginan dan
kelaparan. Sedangkan teori yang melihat s}ufi sebagai orang yang mendapat
keistimewaan di hadapan Tuhan nampak lebih memberatkan pada aspek bathiniyah.
Disini terdapat dua hal pokok tentang tas}awuf yang disepakati oleh kalangan
ulama tas}awuf yang pertama adalah kesucian jiwa untuk menghadap Allah SWT
sebagai Zat yang Maha Suci, dan yang kedua adalah upaya mendekatkan diri secara
persona/individual kepada penciptanya. Kedua pokok tas}awuf itu mengacu pada
pesan dalam Al-Qur’an
“Sesungguhnya beruntung orang
yang menyucikan diri (dengan beriman) dan mengingat nama tuhannya, lalu dia
shalat.” (QS. Al-A’la / 87: 14-15).[21]
2. Lahirnya ajaran Tas}awuf
Istilah
tas}awuf yang sama sekali tidak dikenal di zaman para
sahabat radhiyalla>hu ‘anhum
bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang
utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul
sesudah zaman tiga generasi ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun
lafazh “Shu>fiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga
generasi yang utama.
Lafazh
ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah
dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang
membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani
dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya
beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al
Bashri”.[22]
Kemudian
Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota
Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud
dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya.[23]
Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tas}awuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali
dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang
menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan
mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada
mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta
dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka
bersenang-senang dan bermain pada diri mereka.
3. Pembagian Tas}awuf
Dilihat
dari pembagiannya tas}awuf itu sendiri dibagi menjadi dua; tas}awuf akhlaqi
dan tas}awuf falsafi.
1.
Tas}awuf Akhlaqi
Jika ditinjau
dari sudut bahasa merupakan bentuk frase atau dalam kaidah bahasa Arab dikenal dengan sebutan jumlah idhafah.
Frase jumlah idhafah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu
kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus, yaitu kata
‘tas}awuf’ dan ‘akhlaq’.
Secara
etimologis, tas}awuf akhlaqi bermakna membersihkan tingkah laku atau
saling membersihkan
tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia menjadi
sasarannya. Tas}awuf akhlaqi ini bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar
untuk menjaga akhlaq manusia, atau dalam bahasa sosialnya, yaitu moralitas
masyarakat. Oleh karena itu, tas}awuf akhlaqi merupakan kajian ilmu yang sangat
memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah
pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia.
“Tas}awuf
akhlaqi adalah tas}awuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq
atau budi pekerti atau
perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tas}awuf
seperti ini berupaya
untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah”. Tas}awuf
seperti ini dikembangkan oleh ulama’ lama s}ufi.[24]
Dalam pandangan
para s}ufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik
diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada
tahap-tahap awal memasuki kehidupan tas}awuf, seseorang diharuskan melakukan
amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa
nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan bila mungkin mematikan
hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tas}awuf akhlaqi mempunyai tahap
sistem pembinaan akhlaq disusun sebagai berikut:
1.
Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di
lakukan oleh seorang s}ufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari
perilaku dan akhlaq tercela. Salah satu dari akhlaq tercela yang paling banyak
menyebabkan akhlaq jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada
urusan duniawi.
2.
Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan
jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlaq terpuji. Tahapan
tahalli dilakukan kaum s}ufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlaq-akhlaq
tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar)
maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban
yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat
dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan
3.
Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah
dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlaq selanjutnya adalah
fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang
telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan
butir-butir mutiara akhlaq dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan
yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih
lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan
yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Tas}awuf
Akhlaqi merupakan tas}awuf yang berorientasi pada perbaikan akhlaq’ mencari
hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada Allah,
dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tas}awuf Akhlaqi, biasa
disebut juga dengan istilah tas}awuf sunni. Tas}awuf Akhlaqi ini dikembangkan
oleh ulama sala>f as-s}alih.[25]
Dalam diri
manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi
untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi
untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan.
Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut:
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ
“Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya”.[26]
2.
Tas}awuf Falsafi
Tas}awuf
falsafi adalah tas}awuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tas}awuf akhlaqi, tas}awuf falsafi
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminology falsafi
tersebut berasal dari bermacam-macamajaran filsafat yang telah mempengaruhi
para tokohnya. Menurut at-Taftazani, tas}awuf falsafi muncul dengan jelas dalam
khazanah islam sejak Islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun atikohnya baru
dikenal seabad kemudian. Ciri umum tas}awuf falsafi menurut At-Taftazani adalah
ajarannya yang samara-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat
difahami oleh siapa aja yang memahami ajaran tas}awuf jenis ini. Tas}awuf
falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (z}auq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan
sebagai tas}awuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering
diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Para s}ufi yang
juga filosof pendiri aliran tas}awuf ini mengenal dengan baik filsafat Yunani
serta berbagai alirannya seperti Socrates, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran
Neo_Platonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka pun cukup
akrab dengan filsafat yang sering kali disebut hermenetisme yang karya-karyanya
sering diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan filsafat-filsafat Timur kuno,
baik dari Persia maupun dari India serta filsafat-filsafat Islam seperti yang
diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Mereka pun dipengaruhi aliran
Batiniyah sekte Ismailiyah aliran Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan Ash-Shafa.
Menurut
keterangan lain Tas}awuf Falsafi adalah tas}awuf yang didasarkan kepada
gabungan teori-teori tas}awuf dan filsafat atau yang bermakana mistik
metafisis, karakter umum dari tas}awuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan
oleh Al-Taftazani[27]
bahwa tas}awuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tas}awuf dalam
arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa
filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang
sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa.
4. Sumber Tas}awuf
I. Bersumber dari Islam
Secara
umum ajaran Islam mengatur kehidupan
yang bersifat lahiriah atau jasadiah. dan kehidupan yang bersifat batiniah.
Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah itulah kemudian lahir tas}awuf.
Unsur kehidupan tas}awuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber
ajaran Islam. al-Qur’an dan al Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para
sahabatnya Al-Quran antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan
Tuhan dapat saling mencintai (mah}abbah):[28]
perintah agar manusia senantiasa bertaubat. membersihkan diri memohon ampunan
kepada Allah.[29] petunjuk bahwa manusia
akan senantiasa bertemu dengan Tuhan di manapun mereka berada.[30]
Tuhan dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendakinya.[31]
Selanjutnya al-Qur’an rnengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak
diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda,[32]
dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendekatan diri kepada Allah SWT.[33]
2. Bersumber dari Luar Islam
Dalam
berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian
yang menjelaskan bahwa tas}awuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama
masehi. unsur Yunani, unsur Hindu Budha dan unsur Persia. Hal ini secara
akadernik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para
orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam
tas}awuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada
sebelum Islam. bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk
Islam. Akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab
terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi
kehidupan tas}awuf, karena para penyusun ilmu tas}awuf atau orang yang kelak
menjadi s}ufi itu bukan berasal dari mereka itu. Dengan demikian adanya unsur
luar Islam yang mempengaruhi tas}awuf Islam itu merupakan rnasalah akademik
bukan masalah akidah lslamiah. Karenanva boleh diterima dengan sikap yang
sangat kritis dan obyektif. Kita mengakui bahwa Islam sebagai agama universal
yang dapat bersentuhan dengan berbagai lingkungan social. Dengan sangat
selektif Islam bisa beresonansi dengan berbagai unsur ajaran s}ufistik yang
terdapat dalam berbagai ajaran tersebut. Dalam huhungan ini maka Islam termasuk
ajaran tas}awufnya dapat bersentuhan atau memiliki kemiripan dengan ajaran
tas}awuf yang berasal dari luar Islam itu.
3. Bersumber Dari Masehi
Orang
Arab sangat menyukai cata kependetaan. khususnva dalam hal latihan jiwa dan
ibadah Alas dasar ini tidak mengherankan jika von Krornyer terdapat tas}awuf
adalah buah dan unsur Nasrani yang terdapat pada zaman jahiliyah. Hal ini
di perkuat pula oleh Ciold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam
adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker mengatakan
bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para s}ufi sebagai lambang
kesederhanaan hidup adalah merupakanpakaian yang hiasa dipakai oleh para
pendeta Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tas}awuf itu
berasal dan agama Nasrani, dan bahkan ada yangberpendapat bahwa aliran tas}awuf
berasal dari agama Nasrani.
4. Bersumber dari Yunani
Kebudayaan
Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia di mana perkembangannya dimulai
pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya path Daulah Ahbasiyah, metode berpikir
filsafat Yunani mi juga telah ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian orang
Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai
perkembangan tas}awuf ml baru dalam taraf arnaliah (akhlaq) dalam pengrruh
filsafat Yunani mi maka uraianuraian tentang tas}awuf itu pun telah berubah
menjadi tas}awuf filsafat. Hal mi dapat dilihat dan pikiran al-Farabi’,
al-Kindi, Ibn Sina terutama thiam uraian mereka tentang uilsafat jiwa. Demikian
juga pada uraian-uraian tas}awuf dan Abu Yazid, al-Hallaj, lbn Arabi,
Suhrawardi dan lain-lain sebagainya.
5. Bersumber dari Hindul Budha
Antara
tas}awuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan seperti
sikap fakir, darwisy. Al-Birawi mencatat bahwa ada persamaan antara cara ibadah
dan rnujahadah tas}awuf dengan Hindu. Kemudian pula paham reinkamasil
(perpindahan roh dan satu badan ke badan yang lain), cara kelepasan dari dunia
versi Hindu Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah. Salah
satu mqomat S}ufiah al-Fana tampaknya ada persamaan dengan ajaran tentang
Nirwana dalam agama Hindu. Goffiq Ziher mengatakan bahwa ada huhungan
persarnaan antara tokoh Sidharta Gautarna dengan Ibrahim bin Adham tokoh s}ufi.[34]
[1] Syauqi d}aif dkk., Al-Mu’jam Al-Wasith (المعجم الوسيط) | Cet.
5, 1432H (Maktabah Asy-Syuruq
Ad-Dawliyyah, 2011 M). Lihat juag Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam (Jakarta : Ictiar baru Van Hoeve. 1996), 73.
[3] Ibn Maskawih, Tahdzib al-Akhlaq
fi al-Tarbiyah, Cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985), 25.
[4] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum
al-Din, Juz III, Mesir : Bab al-Halaby, t. th., 52. Lihat juga, Syarif Ali
Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, t. th.), 101.
[5] Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq,
Cet. III, (Kairo: Dar al-Mishriyah, 1929), 5-6. Lihat juga Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlaq), (Jakarta: Bulan-Bintang, 1993), 5.
[7] Murtadha Muthtahhari, Falsafah akhlaq:
kritik atas moralitas Barat; Penerjemah, Faruq bin D}iya’, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1995), 12.
[8] Yatimin
Abdullah, Studi Akhlaq dalam Perspektif Al Qur’an, (Jakarta : Amzah,
2007), 1.
[9] Syekh
Muhammad Al-Ghazali, Khulukul muslim, (Kuwait: Darul Bayan, t.t.), 34.
[10] Hamzah Ya’qub. Etika
Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1983), 11.
[12] Omar Muhammad
Al-Toumy Asy-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam; Penerjemah, Hasan
Langgulung, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), 312.
[13] Departemen Agama RI, Dasar-Dasar Agama Islam,
(Jakarta: Ditbinpertais Departemen Agama RI., 1980), 148- 149.
[15] Al-Hamid, Abd., Dairah al-Ma’arif II.
(Kairo: Asy-Sya’b, t.t.), 436.
[16] Suriasumantri,
Jujun S., Filsafat ilmu : sebuah pengantar populer. (Jakarta : Sinar
Harapan, 1999), 199.
[19] Siregar, A.
Rivay, “Tas}awuf Dari S}ufisme Klasik ke Neo-S}ufisme” cet. Kedua,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 12.
[20] Muhammad Zaki Ibrahim, Tas}awuf Salafi: Menyucikan
tas}awuf dari noda-noda, Terj. Abdul Syakur dkk. (Jakarta: Hikmah, 2002), 7.
[22] Shaykh al-Islam Ibn Taymiyyah Majmu’ al-Fatawa, oleh Amir al-Jazzar & Anwar al-Baz (Mesir: Dar al Wafa &
Dar Ibn Hazm, 11/5)
[25] Ibid. 93.
[27] Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi
At-Taftazani, madkhal Ila At-Tashawwuf al-Islam, ter. Ahmad
Rofi ‘’Utsmani,Sifi dari Zaman ke zaman’’, pustaka Bandung,
1985), 140.
[34] Abuddin Nata. Akhlak Tas}awuf,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 181 – 191.
DOWNLOAD FILE DISINI
0 Comments