AKIDAH DAN SYARI’AH
Oleh: Sulaiman, S.Pd.I
e-mail: salmankim82@gmail.com
A.
AKIDAH
1. Pengertian Akidah
Secara bahasa (etimology) Akidah diambil dari kata
dasar al-Aqd yaitu al-Rabith (ikatan), al-Ibram
(pengesahan), al-Ahkam (penguatan), al-Tawuts (menjadi kokoh,
kuat), al-Syadd bi quwwah (pengikatan dengan kuat), dan al-Itsbat
(penetapan).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil
keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan
dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan
diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah Aqaa-id.[1]
Secara terminologis (isthilahan), terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:
1. Menurut Hasan
al-Banna:
العقائد هي الأمور التى يجب أن يصدق بها قلبك وتطمئن
اليها نفسك وتكون يقينا عندك لا يمازجه ريب ولايخالطه شك
“Aqidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh
hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur
sedikitpun dengan keragu-raguan”.[2]
2. Munurut Abu
Bakar Jabir al-Jazairy:
العقيدة هي مجموعة من قضايا الحق البدهية المسلمة بالعقل,
والسمع والفطرة, يعقد عليها الإنسان قلبه, ويثنى عليها صدره جازما بصحتها, قاطعا
بوجودها وثبوتها لايرى خلافها أنه يصح أو يكون أبدا
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma)
oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran) itu dipatrikan
oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan kebenarannya secara
pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.[3]
Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Aqidah Islamiyyah adalah
keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan
kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya.
Rasul–rasulnya kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan
mengimanai seluruh apa apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama
(Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi
Ijman’ (konsensus) dari Salafus} S}alih, serta seturuh berita-berita qat}’i
(pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah datetapkan
menurut Al-Qur’an dan AsSunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.
2. Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi
untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan harus
semakin kokoh pula fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu
akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa fondasi.[4]
Kalau ajaran
Islam kita bagi dalam sistematika Aqidah Ibadah Akhlak dan Mu’amalat, atau Aqidah
Syari’ah dan Akhlak, atau Iman Islam dan Ihsan, maka ketiga/keempat aspek
tersebut tidak bisa dipisahkan sama sekali. Satu sama lain saling terkait.
Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan
tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu’amalat dengan baik. Ibadah
seseorang tidak akan diterima oleh Allah swt kalau tidak dilandasi dengan
aqidah. Misalnya orang nonmuslim memberi beras kepada seorang yang miskin, amal
ibadah orang itu nilainya NOL di hadapan Allah, Allah tidak menerima ibadahnya
karena orang itu tidak punya landasan aqidah.
Seseorang bisa saja merekayasa untuk terhindar dari kewajiban formal,
misalnya zakat, tapi dia tidak akan bisa menghindar dari aqidah. Misalnya,
aqidah mewajibkan orang percaya bahwa Tuhan itu cuma satu yaitu Allah, orang
yang menuhankan Allah dan sesuatu yang lain (uang misalnya) maka akan kelihatan
nanti, tidak bisa ditutup-tutupi, tidak bisa direkayasa. Entah dari bicaranya
yang seolah-olah uang telah membantu hidupnya, tanpa uang dia tidak akan nisa
hidup, atau dari perilakunya yang satu minggu sekali datang ke pohon besar dan
berdoa disitu.
Itulah sebabnya
kenapa Rasulullah SAW selama 13 tahun periode Mekah memusatkan dakwahnya untuk
membangun aqidah yang benar dan kokoh. Sehingga bangunan Islam dengan mudah
berdiri di periode Madinah. Dalam dunia nyatapun ternyata modal untuk membangun
sebuah bangunan itu lebih besar tertanam di fondasi.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh atau
aqidah maka syari’at atau jasad kita tidak ada guna apa-apa.
3. Ruang
Lingkup Aqidah Islam
Menurut Hasan al-Banna sistematika ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Ilahi seperti wujud Allah dan sifat-sifat Allah, ad’al Alah
dan lain-lain
2. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala seuatu yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang Kitab-Kitab
Alah, mu’jizat, dan lain sebagainya.
3. Ruhaniyat. Yaitu pembahsasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, Jin, Iblis, Syaitan, Roh
dan lain sebagainya.
4. Sam’iyyat. Yaitu pembahahasan tentang segaa sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat
sam’I (dalil naqli berupa Al-Quran dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat,
azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lainnya.[5]
4. Rukun Iman
Iman itu memiliki rasa, manis dan hakekat. Adapun rasanya iman, maka Nabi saw. menjelaskan
dengan sabda-Nya: “Yang merasakan nikmatnya iman adalah orang yang ridha kepada
Allah SWT sebagai Rabb (Tuhan), Islam sebagai agama, dan Muhammad saw.
sebagai rasul.” HR. Muslim[6]
Adapun
manisnya iman, maka Nabi saw. menjelaskan dengan sabdanya: “Ada tiga perkara,
jika terdapat dalam diri seseorang, niscaya dia merasakan nikmatnya iman: bahwa
Allah SWT. dan Rasul-Nya saw. lebih dicintainya dari apapun selain keduanya,
dia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah SWT., dan dia benci:
1.
Kembali
kepada kekafiran sebagaimana dia benci dilemparkan dalam api neraka.”
Muttafaqun ‘alaih.
2.
Adapun
hakekat iman, maka bisa didapatkan oleh orang yang memiliki hakekat agama.
Berdiri tegak memperjuangkan agama, dalam ibadah dan dakwah, berhijrah dan
menolong, berjihad dan berinfak.
1. Firman Allah SWT.:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ {2} الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنفِقُونَ {3} أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ
رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ {4}
“Sesungguhnya
orang-orang
yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati
mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman
mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang
yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami
berikan kepada mereka. Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa
derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rejeki (nikmat) yang
mulia. (QS. Al-Anfaal :2-4)[7]
2. Firman Allah SWT.:
وَالَّذِينَ
ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا
وَنَصَرُوا أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Dan
orang-orang yang beriman
dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi
pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang
benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.
(QS. Al-Anfal: 74)[8]
3. Firman Allah SWT.:
اِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS.
Al-Hujuraan :15) [9]
Seorang
hamba tidak bisa mencapai hakekat iman sehingga dia mengetahui bahwa apapun
yang menimpanya tidak akan luput darinya dan apapun yang luput darinya pasti
tidak akan menimpanya.
5.
Prinsip Akidah
Islam
Aqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada
para Malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul-Nya,
iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk.
Dasar-dasar ini telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-NyaAsas atau
prinsip aqidah seseorang muslim itu terdapat pada rukun Iman. Rukun Iman itulah
yang menjadikan seseorang itu berpegang kepada aqidah Islam atau tidak.
Allah berfirman dalam
kitab sucinya, yang artinya :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi
sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
Malaikat-Malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…” ( QS. Al-Baqarah : 177).
Dalam
soal takdir, Allah berfirman, yang artinya :
“Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran, dan perintah Kami hanyalah satu
perkataan seperti kejapan mata.” (QS. Al-Qomar : 49-50).
Nabi
Muhammad SAW. juga bersabda dalam hadithnya sebagai jawaban Nabi terhadap
Malaikat jibril ketika bertanya tentang iman :
اليمان أن تؤمن بالله وملئكته وكتبه ورسله
واليوم الخر وتببؤمن بالقدر خيره
وشره
“Iman adalah engkau
beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari
kemudian, dan beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.”
(HR.Muslim).
Adapun Rukun Iman yang harus diketahui sebagai
seorang muslim adalah:
1.
Beriman kepada Allah
2.
Beriman
kepada malaikat
3.
Beriman kepada kitab-kitab
4.
Beriman kepada Rasul
5.
Beriman kepada hari qiamat
6.
Beriman kepada qada dan qadar
Rukun
Iman yang telah kita pelajari sejak dari kecil lagi inilah yang menjadi
pegangan hidup kita dalam menjadikan asas dan panduan dalam kehidupan seharian
kita agar tidak terbabas dan terpesong ke jalan yang tidak mendapat rid}a
Ilahi. Akan tetapi adakah kita benar-benar mempraktikkanya dalam amalam kita
seharian dan adakah kita mengerti apa yang di sabdakan oleh Rasulullah S.A.W ketika baginda ditanya oleh
Malaikat Jibril mengenai Iman yang mafhumnya : Iman itu adalah kamu beriman
kepada Allah, malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari akhirat dan
ketentuan yang baik mahupun yang buruk (riwayat Muslim).
B. SYARI’AH
1. Pengertian Syari’ah
Istilah Syari’ah dalam konteks kajian hukum Islam lebih
menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan hasil dari
proses “tasyri’. Oleh
karena itu, ada baiknya istilah tasyri’ ini dibahas sebelum
pemaparan tentang makna syari’ah. Kata tasy’ri merupakan bentuk mashdar
dari syarra’a yang berarti
menciptakan dan menetapkan syari’ah.[10]
Sedang dalam istilah para ulama fiqih bermakna “Menetapkan norma-norma hukum
untuk menata kehidupan manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun
dengan umat manusia lainnya.”[11]
Secara etimologi kata Syari’ah berakar kata syara’a (ش ر ع) yang
berarti “sesuatu yang dibuka secara lebar kepadanya”. Kata syari’ah juga berarti jalan menuju sumber mata
air, jalan lurus (at-tariqah almustaqimah), dan jalan terang untuk diikuti. Kata syariah muncul
dalam beberapa ayat Al-Qur’an (seperti dalam Q.S. Al-Maidah: 48 dan Q.S. asy –
Syura: 13 ) yang mengandung arti “ jalan yang jelas yang membawa kepada
kemenangan.”[12]
Dalam hal ini agama yang ditetapkan
oleh Allah disebut syariah, dalam artian lughawi dikarenakan selalu dialami umat islam dalam kehidupannya. Kata as-syarî’ah
itu sendiri mempunyai
konotasi masyra’ah al-mâ’ (sumber air minum).[13] Dari sinilah
terbentuk kata syari’ah yang berarti “sumber air minum”. Kata ini
kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan yang lurus yang harus
diikuti.
Orang Arab tidak menyebut sumber
tersebut dengan sebutan syarî’ah kecuali jika sumber tersebut airnya
berlimpah dan tidak pernah kering.[14] Dalam bahasa Arab, syara’a
berarti nahaja (menempuh), awdhaha
(menjelaskan), dan bayyana al-masâlik (menunjukkan jalan). Syara’a
lahum-yasyra’u-syar’an berarti sanna (menetapkan).[15] Syariat dapat juga berarti madzhab
(mazhab) dan tharîqah mustaqîmah (jalan lurus).[16]
Dalam pengertian terminologis, syari’at merujuk pada
perintah-perintah, larangan-larangan, tuntunan dan petunjuk yang dialamatkan
Allah SWT kepada manusian agar memperoleh bimbingan di dunia dan kebahagiaan di
akhirat. Tujuan dasar dari syari’at adalah supaya manusia mampu untuk
mengalahkan dorongan hawa, yaitu nafsu dan keinginan yang tak terkendali,
sehingga tetap berada dalam jalan kebaikan dan kebenaran.[17]
Kata syari’at sendiri secara eksplisit terdapat pada QS Al-Jasiyah
(45) ayat 18 ketika Allah berfirman kepada Nabi: “Kemudian Kami beri kepadamu
syari’at (Jalan untuk diikuti) dalam agama, maka ikutilah jalan itu dan jangan
ikuti hawa nafsu orang yang tidak berilmu”. Jadi syari’at adalah jalan agama
(at-tariq fi al-din), ia bukan sesuatu yang terpisah tetapi merupakan bagian
dari agama.[18]
Artinya agama (ad-di>n) adalah
sesuatu yang lebih luas dan syari’at adalah salah satu bagiannya. Namun
syari’at adalah bagian yang penting dan menjadi sumber ajaran, sehingga tujuan
dan nilainya identik dengan agama Islam itu
sendiri.
Syari’at Islam biasanya secara ketat diidentikkan sebagai wahyu
ilahi, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari al-Qur`an dan al-Sunnah,
untuk membedakannya dengan fiqh yang merupakan hasil interpretasi para ulama
terhadap teks-teks syari’at melalui penalaran manusia. Karena itulah mayoritas
ulama berpendapat bahwa syari’at bersifat qat’iy (absolut dan mutlak benar)
sehingga ia harus diikuti apa adanya, tidak boleh ditambah atau dikurangi,
berlaku untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman dalam segala kondisi dan
situasi, dan tidak boleh diijtihadi.[19] Namun
demikian yang paling penting diperhatikan adalah bahwa syari’at Islam bukanlah
sebuah kumpulan peraturan yang kaku, statis dan rinci; bukan pula sebuah
petunjuk teknis atau manual yang menjadi pegangan setiap muslim dalam
menjalankan kehidupan di dunia ini, sehingga seolah-olah ia tidak perlu lagi berpikir
apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Dengan demikian, syariat Islam
merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya
yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Muhammad saw., untuk mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya. Artinya,
cakupan syariat Islam meliputi akidah dan syariat. Dengan kata lain, syariat
Islam bukan hanya mengatur seluruh aktivitas fisik manusia (af’âl al-jawârih),
tetapi juga mengatur seluruh aktivitas hati manusia (af’âl al-qalb) yang
biasa disebut dengan akidah Islam. Karena itu, syariat Islam tidak dapat
direpresentasikan oleh sebagian ketentuan Islam dalam masalah hudûd
(seperti hukum rajam, hukum potong tangan, dan sebagainya); apalagi oleh keberadaan
sejumlah lembaga ekonomi yang menjamur saat ini semisal bank syariah, asuransi
syariah, reksadana syariah, dan sebagainya.
2. Hubungan ‘Aqidah Dengan Syari’at
Istilah
‘aqidah, jika disebut secara umum (sendirian), berarti menyangkut pokok-pokok dan hukum-hukum syari’at dan keharusan dalam mengamalkannya. Sebagaimana
istilah syari’at jika disebut secara umum (sendirian), maka itu menyangkut
perkara-perkara keimanan dan pokok-pokok serta hukum-hukum syari’at yang pasti,
yaitu ‘aqidah. Sebagaimana di atas telah dijelaskan dari firman Allah Ta’ala:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu”. (asy-Syura/42:13)
Dengan
demikian, maka ‘aqidah dan syari’at merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan. Keyakinan inilah yang disebut dengan ‘aqidah, dan amalan ini
yang disebut syari’at. Sehingga iman itu mencakup ‘aqidah dan syari’at, karena
memang iman itu, jika disebutkan secara mutlak (sendirian) maka ia mencakup
keyakinan dan amalan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ ٤٩:١٥
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang
percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu
dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah.
mereka Itulah orang-orang yang benar”. ([al Hujurat/49:15).
Juga fimanNya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ
وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ )٨:٢ ( الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنفِقُونَ )٨:٣( أُولَٰئِكَ
هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ
كَرِيمٌ )٨:٤(
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama
Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah
iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Yaitu)
orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki
yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
Rabb-nya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia”. (al-Anfal/8:2-4).
Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan, bahwa iman itu terdiri dari keyakinan dan
amalan. Imam Muhammad bin Nashr al Marwazi berkata di dalam kitab ash-Shalat: “Perumpamaan iman pada amalan, adalah seperti qalbu (hati, jantung) pada badan;
keduanya tidak bisa dipisahkan. Tidak ada seseorang yang memiliki badan yang
hidup, namun tidak ada qalbunya. Juga tidak ada orang yang memiliki qalbu,
namun tanpa badan. Keduanya merupakan dua perkara yang berbeda, namun hukumnya
satu, sedangkan maknanya berbeda. Perumpamaan keduanya juga seperti biji yang
memiliki luar dan dalam, sedangkan biji itu satu. Tidak dikatakan dua, karena
sifat keduanya yang berbeda. Maka demikian juga amalan-amalan Islam dari
(ajaran) Islam adalah iman sebelah luar, yaitu termasuk amalan-amalan anggota
badan. Sedangkan iman adalah Islam sebelah dalam, yaitu termasuk amalan-amalan
hati”.[20]
3.
Sumber Syari’ah Islam
Ada dua
sumber Syariah (dipahami sebagai Hukum Ilahi); al- Qur’an dan as-Sunnah.
Menurut Muslim, al-Qur’an adalah firman Allah yang tidak dapat diubah, sebagian
besar aturan-aturan nilainilai moral dalam al-Qur’an yang mengharuskan umat
Islam untuk mengikuti adalah masih Ijma>li>,
hanya 80 ayat al-Qur’an mengandung konsep Hukum.[21]
As-Sunnah adalah kehidupan dan contoh dari Nabi Muhammad (saw), pentingnya
as-Sunnah merupakan sumber Syariah, seperti ditegaskan oleh beberapa ayat dari
al-Qur’an misalnya (al-Quran 33:21).
Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
As-Sunnah terutama
terkandung dalam hadits atau periwayatan berisi sabda Nabi Muhammad (saw),
tindakan diamdiamnya sebagai sikap persetujuannya. Sementara hanya ada satu
al-Quran, ada kompilasi banyak hadis dengan menyusun sistem kompilasi yang
paling otentik atau “s}ah}i>h”
selama periode 850-915 Masehi. Enam diakui oleh Sunni sebagai koleksi yang
disusun oleh Muhammad al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj, Abu Dawud, Tirmidzi,
Al-Nasa’i, Ibnu Majah (sesuai urutan periodisasi).
Koleksi oleh
al-Bukhari dan Muslim dianggap paling otentik, masing-masing mengandung sekitar
7.000 hingga 12.000 hadis, meskipun sebagian besar berupa deretan pengulangan.
Hadis telah dievaluasi pada keasliannya, dan biasanya dengan menentukan ke ‘adalahan (kapabilitas dan kredibilitas) perawi yang
disilsilahkan mereka.[22]
Sedang bagi Syiah, as-Sunnah juga termasuk bersumber dari dua belas Imam.[23]
Proses menafsirkan
dua sumber utama Syariah disebut fiqh (secara harfiah berarti kecerdasan) atau
hukum Islam. Sementara dua sumber di atas dianggap sebagai yang lengkap, dan
standar Fiqh dapat berubah dalam konteks yang berbeda. Fiqh mencakup semua
aspek hukum, termasuk agama, hukum perdata, politik, konstitusi dan prosedur
hukum.[24]
Syariah berdasar kepada dua sumber, sedang Fiqih tergantung pada 4 sumber : a.
Interpretasi al-Qur’an b. Interpretasi as-Sunnah c. Ijma>, konsensus di antara ulama (penalaran kolektif) d. Qiya>s (ijtiha>d) analogi determinan (penalaran individual)
Di antara
sumber-sumber yang unik untuk fiqh, yaitu ijma>‘ dan qiya>s
(Ijtiha>d),
dalam yurisprudensi Syiah sumber keempat dapat diperluas untuk mencakup logika
formal (mant}iq).[25] Secara historis Fiqh juga
datang termasuk untuk perbandingan hukum,[26]
adat istiadat setempat (Urf),[27]
dan hukum yang dimotivasi oleh kepentingan umum, selama mereka dibenarkan oleh
empat sumber di atas.[28]
Karena keterlibatan interpretasi manusia, Fiqh dianggap kurang sempurna, dengan
demikian bukan merupakan bagian dari Syariah, meskipun ulama mengkategorikan
sebagai hukum Islam.[29] Ada lima mazhab pemikiran Fiqh, semua
didirikan dalam empat abad pertama Islam, empat di antaranya adalah disebut
mazhab Sunni yaitu; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; dan satu Syiah
terdiri dari Ja’fariah dan diikuti oleh kebanyakan Muslim Syiah.[30]
Banyak ulama Islam saat ini menganjurkan pendekatan baru untuk Fiqih, dengan tidak
harus mengikuti lima mazhab tradisional.[31]
Gerakan Salafi menarik pengikut dari berbagai mazhab Fiqh, dan didasarkan pada
al-Quran, as-Sunnah dan perilaku atau ucapan dari tiga generasi pertama umat
Islam.[32]
4. Ruang
Lingkup Syari’ah
Dengan
definisi syariat Islam baik secara etimologis maupun terminologis syar’î
di atas, tampak jelas bahwa ruang lingkup syariat Islam adalah seluruh ajaran
Islam, baik yang berkaitan dengan akidah maupun peraturan atau sistem kehidupan
yang menjadi turunannya.
Akidah
Islam adalah keimanan kepada Allah dan para malaikat-Nya; pada kitab-kitab-Nya;
kepada para rasul-Nya; serta pada Hari Akhir dan takdir, yang baik dan buruknya
berasal dari Allah SWT semata.[33] Akidah Islam juga
meliputi keimanan pada adanya surga, neraka, dan setan serta seluruh perkara
yang berkaitan dengan semua itu. Demikian juga dengan hal-hal gaib dan apa saja
yang tidak bisa dijangkau oleh indera yang berkaitan dengannya.[34] Akidah Islam merupakan pemikiran yang
sangat mendasar (fikr asâsi). Ia mampu memecahkan secara sahih problem
mendasar manusia di seputar: dari mana manusia berasal; untuk apa manusia ada;
dan mau ke mana manusia setelah mati.[35] Artinya, akidah
Islam merupakan pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) yang
menjadi sumber dari seluruh pemikiran cabang. Ia adalah pemikiran mendasar yang
membahas persoalan di seputar: (1) alam semesta, manusia, dan kehidupan; (2)
eksistensi Pencipta dan Hari Akhir; (3) Hubungan alam, manusia, dan kehidupan
dengan Pencipta dan Hari Akhir. Dalam konteks manusia, hubungan yang dimaksud
adalah hubungan dirinya sebagai hamba dengan Allah yang harus tunduk pada
syariat-Nya. Sebab, syariat Allah merupakan standar akuntalibitas bagi seluruh
aktivitas manusia di hadapan-Nya.[36]
Sementara
itu, peraturan atau sistem kehidupan Islam merupakan kumpulan ketentuan yang
mengatur seluruh urusan manusia; baik yang berkaitan dengan ubudiah, akhlak,
makanan, pakaian, muamalat, maupun persanksian.13 Tentu saja, untuk bisa disebut sistem Islam, ia harus
digali dari dalil-dalil tafshîli (rinci); baik yang bersumber
dari al-Quran, Hadis Nabi, Ijma Sahabat, maupun Qiyas.
Al-Quran,
misalnya, dengan tegas menyatakan:
﴿وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ﴾
Artinya: “Kami telah menurunkan al-Kitab
(al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu. (QS
an-Nahl [16]: 89).
Hadis
Nabi juga telah menjelaskan hal yang sama:
»قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا
تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ «
Aku telah
meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan sesat selamanya selama kalian
berpegang teguh pada keduanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. (HR at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad).
Dari
dua nash di atas, tampak jelas bahwa syariat Islam yang ditinggalkan oleh
Rasulullah saw. telah mengatur segala urusan tanpa kecuali; mulai dari hubungan
manusia dengan Penciptanya - dalam
konteks akidah dan ibadah semisal shalat, puasa, zakat, haji dan jihad; hubungan
manusia dengan dirinya sendiri seperti dalam urusan pakaian, makanan dan
akhlak; hingga hubungan manusia dengan sesamanya seperti dalam urusan
pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri, dll. Secara
konseptual, semuanya telah diatur oleh Islam dengan sejelas-jelasnya.
5.
Prinsip Syari’ah
a. Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj)
Dalam
menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa mem-perhitungkan kemampuan manusia dalam
melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh
wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum dengan
kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini secara tegas disebutkan dalam a-Quran,
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا
إِلا وُسْعَهَا ….
Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… (QS. Al-Baqarah: 286)[37]
Al-Yatibi
mengatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syari’at hukum mutlak dalam
menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh
kemampuan manusia -melihat prinsip ini- tidak sah ditetapkan kepada manusia.
Hal ini telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama, baik dari kalangan
Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).[38]
Dalam
menetapkan hukum, Allah swt. Senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan
memperhitungkan manfaat dan madlarat yang mungkin ditimbulkan sebagai
konsekwensi logis fari pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi
menyebutkan, “Allah membuat undang-undang syari’at untuk mengharamkan sesuatu
atas manusia yang membawa ekses negatif (madlarat) dan menghalalkan sesuatu
yang mendatangkan dampak positif (manfa’at).
Namun
bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang sulit dalam
pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban,
sehingga kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat, misalnya sulit mencari
nafkah, tidak termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj diatas. Karena kesulitan
yang sifatnya seperti itu tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya
keberuntungan saja.
Disinilah
pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari kacamata
syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat
seringakli dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari
kemudahan dalam bearamal.
b. Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)
Prinsip
kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari
pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan
hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu
mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan
menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu
pelaksanaan hukum tanpa ddasari parasaan terbebani yang berujung pada
kesulitan.[39]
Umat
manusia tidak diperintahkan untuk mencari-cari sesuatu yang justru akan
memperberat diri sendiri. Allah swt. Berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا
عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ
لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ
لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (١٠١(
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepada kalian, niscaya akan menyusahkan kalian....(QS. al-Maidah:
101)[40]
Sebagian
riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini adalah ketika Nabi sedang
berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba seorang diantara mereka bertanya,
“Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah
nama ayahku?” atau “Di mana untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai
teguran atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa
menyusahkan si penanya sendiri. Karena, jawaban yang akan ia terima merupakan
baban dari si penanya sendiri. Padahal prinsip agama adalah pengurangan
terhadap beban. (taqlil al-taklif).
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-Quran menafsirkan
sesuai kebutuhan masyarakat pada saat tiu. Sedangkan yang tidak dibutuhkan
didiamkan saja, dengan maksud nantinya ayat-ayat tersebut dapat ditafsiri
sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat pada masa yang
akan datang. Prinsip ini telah disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya Allah
telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya.
Dan dia telah menetapkan ketentuan-ketentuan, maka janganlah kalian
melampauinya. Dia juga telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah kalian merusaknya,
serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat buat kalian, bukan karena
lupa, maka janganlah kalian membicaraknnya.”
c. Penetapan Hukum secara Periodik
Al-quran
merupakan kitab suci yang dalam prosesi tasri’ sangat memperhatikan
berbagai aspek, baik natural, spiritual, kultural, maupun sosial umat.[41] Dalam menetapkan hukum,
al-Quran selalu memper-timbangkan, apakah mental spiritual manusia telah siap
untuk menerima ketentuan yang akan dibebankan kepadanya?. Hal ini terkait erat
dengan prinsip kedua,
yakni tidak memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak
diturunkan secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara
bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang
tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan
realita yang terjadi pada waktu itu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan
kami kemukakan tiga periode tasryi’ al-Quran;
Pertama, mendiamkan, yakni
ketika al-Quran hendak melarang sesuatu, maka sebelumnya tidak menetapkan hukum
apa-apa tapi memberikan contoh yang sebaliknya. Sebagai contoh, untuk
menetapkan keharaman minuman khamr. Sebagai langkah pertama, yang dilakukan
syari’ (Nabi Muhammaf saw) adalah mendiamkan kebiasaan buruk, akan tetapi Nabi
sendiri menghindarinya.
Kedua, menyinggung manfat
ataupun madlaratnya secara global. Dalam contoh khamr di atas, sebagai langkah
kedua, turun ayat yang menerangkan tentang manfaat dan madlarat minum khamr.
Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek sampingnya lbih besar
daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang kemudian segera disusul
dengan menyinggung efek khamr bagi pelaksanaan ibadah (al-Nisa: 43)
Ketiga, menetapkan hukum
tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum
haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah yang paling akhir
(QS.al-Maidah: 90)
Demikian
juga dalam menetapkan hukum yang bersifat perintah. Kewajiban shalat misalnya.
Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di Mekah), di saat umat Islam banyak
menuai siksaan dan penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban shalat hanya dua
raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi,
kahawatir terjadi penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari suku Qurasy.
Sebagaimana disebutkan dalam surat Qaf: 39
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ (٣٩(
“Maka bersabarlah kamu
terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah (shalatlah) sambil memuji
Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)”
[42]
Lalu surat al-Mu’min: 55
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ
(٥٥(
“Maka bersabarlah kamu,
karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu
dan bertasbihlah (shalatlah) seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”
[43]
Ketika penderitaan umat telah
menyurut dengan dicabutnya pemboikotan atas Bani Hasyim, dumulailah tahap kedua
pelaksanaan shalat. Hal itu dimulai setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj dimana
Nabi membawa perintah dari Allah swt. Untuk melaksanakan shalat lima waktu.
Dalam hal ini Nabi bersabda, “Pada Malam Isra’ Allah swt, mewajibkan kepada
umatku lima puluh shalat. Tak henti-hentinya aku meminta keringanan, hingga
kemudian kewajiban itu menjadi lima (kali) dalam sehari semalam.
Perintah dalam ayat tersebut
kemudian dijabarkan secara jelas oleh Nabi sebagai kewajiban shalat lima waktu,
sebagaimana perintah Nabi ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, “Kabarkan
kepada mereka (penduduk Yaman), bahwasannya Allah swt telah mewajibkan kepada
mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Akkhirnya ketika umat Islam
telah mulai merasakan ketenangan di negeri baru mereka, Madinah, turunlah
kewajiban-kewajiban yang sifatnya lebih terperinci, yaitu dimulai dengan
syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum (QS. Al-Maidah: 6), serta
rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis pelaksanaan shalat sendiri
merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi saw. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat.
d. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal
Manusia adalah obyek dan subyek
legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran
diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai
jiwa, akal, keturunan, gama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan
hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah
terdapat syariat Islam.[44]
Islam bukan hanya doktrin belaka
yang identik dengan pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk
menyejahterakan manusia. Karenanya, segala sesuatu yang ada di mayapada ini
merupakan fasilitas yang berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. ‘Abd
al-Wahab Khalaf berkata, “Dalam membentuk hukum, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya)
selalu membuat illat (ratio logis) yang berkaitan dengan kemaslahatan
manusia, juga menunjukkan bebrapa buktu bahwa tujuan legislasi hukum tersebut
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’I menetapkan
hukum-hukum itu sejalan dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh karena
itu, Allah mensyariatkan sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada
kemaslahatan yang sebanding dengan hukum tersebut.
e. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)
Persamaan hak di muka adalah
salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau
muamalah. Persamaan hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatpi
juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan
ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan
hukum sesuai hukum Islam.
Penyamarataan hak di atas
berimplikasi pada keadilan yang seringakli didengungkan al-Quran dalam
menetapkan hukum,
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ
أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ…
“… Dan apabila kamu
menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil....” (QS. Al-Nisa: 58)[45]
Prinsip persamaan hak dan
keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan hukum
Islam. Keduanya harus diwujudkan demi pemeliharaan martabat manusia (bashariyah
insaniyah)
[1] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam,
(Yogyakarta, LPPI, 1992), 1.
[2] Al-Banna, Majmu’atu ar-Rasail,(Muassasah ar-Risalah
Beirut: tt), h.
[3] Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir, Aqidah al-Mukmin,
(Cairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1978), 21.
[4] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam,
(Yogyakarta: LPPI, 1992), 9.
[5] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam,
(Yogyakarta: LPPI, 2000), 6.
[6] HR. Muslim no. 34
[7] Al-Qur’an
Surat Al-Anfaal :2-4
[8] Al-Qur’an
Surat Al-Anfal: 74
[9] Al-Qur’an
Surat Al-Hujuraan :15
[10] Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta
22 Juni 1945, (Bandung: Pustaka, 1983), 60.
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 206.
[12] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta;
Kencana Perdana Media Group 2011) , 1.
[13] Ibn
al-Manzhûr, Lisân al-’Arab, juz I, 175; al-Fayrûz al-Abâdi, al-Qâmûs
al-Muhîth, juz I, 6672; Ar-Râzi, Mukhtâr
as-Shahhâh, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1996), 294.
[14] Ibn
al-Manzhûr, ibid, hlm. 175; al-Fayrûz al-Abadi, ibid, hlm. 6672.
[15] Ar-Râzi,
op. cit., hlm. 294.
[16] Al-Jurjâni,
at-Ta’rîfât, Dâr al-Bayân li at-Turâts, t.t., hlm. 167; ‘Abd al-Karîm
Zaydân, al-Madkhal li Dirâsah as-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Muassasah
ar-Risâlah, Beirut, cet. XIV, 1996, hlm. 34.
[17] Muhammad Hashim Kamali, Sumber, Sifat
Dasar dan Tujuan-Tujuan Syari'at, terj. Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam
No. 10 Juli-September 1993, 45-46.
Bandingkan Mahmud Syaltut, Al-Islam wa Al-Aqidah (Ttp: Dar al-Qalam,
1996), 12.
[18] Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab
at-Ta'rifah (Beirut: Dar al-Kutub
al-'ilmiyah, 1988), 127.
[19] Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ? (Jakarta:
Lembaga Kajian Ilmiah IIQm 1987), 7.
[20] Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, Kitabul-Iman, 283.
[21] Corinna Standke, Sharia - The Islamic Law (GRIN Verlag, 2008), 3.
[22] Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life
of Muhammad (USA: Oxford University Press, 2007), 4.
[23] Ibid., 12-13.
[24] Ibid., 5-7.
[25] H. Patrick Glenn, Legal Traditions of the World (Oxford University Press, 2007), 199.
[26] Ibid.
[27] Ibid, 201
[28] Ibid.
[29] Ramadan, In the Footsteps... 5-7.
[30] Wael B Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction
to Sunni Usul al-Fiqh.
(Cambridge, U.K.: Cambridge University Press, 1997), 27.
[31] Ramadan In the Footsteps., 5-7.
[32] John L.Esposito, The Future of Islam (Oxford University Press, 2010), 74-77.
[33] An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, hlm.
73; An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut,
cet. V, 1997, juz I, hlm. 29.
[34] Muhammad Muhammad Ismâ’îl,
al-Fikr al-Islâmi, Maktab al-Wa’y, Beirut, 1958, hlm. 9-10
[35] An-Nabhâni, Nizhâm, hal. 73;
An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz I, hlm. 191.
[36] An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz
I, hlm. 192.
[37] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 286
[38] Ismail Nurdin ZA. Dalam http://milaisma.blogspot.com/2009/12/prinsip-prinsip-syariat-tasyri-dalam-al.html, 2009.
[39] Ibid.
[40] Al-Qur’an Surat al-Maidah: 101
[41] Ibid.
[42] Al-Qur’an Surat Qaf: 39
[43] Al-Qur’an Surat al-Mu’min: 55
[44] Ibid.
0 Comments