AKIDAH DAN SYARI'AH



AKIDAH DAN SYARI’AH
Oleh: Sulaiman, S.Pd.I

  
A. AKIDAH
1. Pengertian Akidah
Secara bahasa (etimology) Akidah diambil dari kata dasar al-Aqd yaitu al-Rabith (ikatan), al-Ibram (pengesahan), al-Ahkam (penguatan), al-Tawuts (menjadi kokoh, kuat), al-Syadd bi quwwah (pengikatan dengan kuat), dan al-Itsbat (penetapan).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah Aqaa-id.[1]
Secara terminologis (isthilahan), terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:
1.   Menurut Hasan al-Banna:
العقائد هي الأمور التى يجب أن يصدق بها قلبك وتطمئن اليها نفسك وتكون يقينا عندك لا يمازجه ريب ولايخالطه شك
Aqidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”.[2]
2.   Munurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
العقيدة هي مجموعة من قضايا الحق البدهية المسلمة بالعقل, والسمع والفطرة, يعقد عليها الإنسان قلبه, ويثنى عليها صدره جازما بصحتها, قاطعا بوجودها وثبوتها لايرى خلافها أنه يصح أو يكون أبدا
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran) itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan kebenarannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.[3]
Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya. Rasul–rasulnya kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimanai seluruh apa­ apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara­-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi Ijman’ (konsensus) dari Salafus} S}alih, serta seturuh berita-berita qat}’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah datetapkan menurut Al-Qur’an dan As­Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.
2. Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan harus semakin kokoh pula fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa fondasi.[4]
Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistematika Aqidah Ibadah Akhlak dan Mu’amalat, atau Aqidah Syari’ah dan Akhlak, atau Iman Islam dan Ihsan, maka ketiga/keempat aspek tersebut tidak bisa dipisahkan sama sekali. Satu sama lain saling terkait. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu’amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah swt kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Misalnya orang nonmuslim memberi beras kepada seorang yang miskin, amal ibadah orang itu nilainya NOL di hadapan Allah, Allah tidak menerima ibadahnya karena orang itu tidak punya landasan aqidah.
Seseorang bisa saja merekayasa untuk terhindar dari kewajiban formal, misalnya zakat, tapi dia tidak akan bisa menghindar dari aqidah. Misalnya, aqidah mewajibkan orang percaya bahwa Tuhan itu cuma satu yaitu Allah, orang yang menuhankan Allah dan sesuatu yang lain (uang misalnya) maka akan kelihatan nanti, tidak bisa ditutup-tutupi, tidak bisa direkayasa. Entah dari bicaranya yang seolah-olah uang telah membantu hidupnya, tanpa uang dia tidak akan nisa hidup, atau dari perilakunya yang satu minggu sekali datang ke pohon besar dan berdoa disitu.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah SAW selama 13 tahun periode Mekah memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh. Sehingga bangunan Islam dengan mudah berdiri di periode Madinah. Dalam dunia nyatapun ternyata modal untuk membangun sebuah bangunan itu lebih besar tertanam di fondasi.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh atau aqidah maka syari’at atau jasad kita tidak ada guna apa-apa.
3. Ruang Lingkup Aqidah Islam
Menurut Hasan al-Banna sistematika ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilahi seperti wujud Allah dan sifat-sifat Allah, ad’al Alah dan lain-lain
2. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala seuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang Kitab-Kitab Alah, mu’jizat, dan lain sebagainya.
3. Ruhaniyat. Yaitu pembahsasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, Jin, Iblis, Syaitan, Roh dan lain sebagainya.
4. Sam’iyyat. Yaitu pembahahasan tentang segaa sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’I (dalil naqli berupa Al-Quran dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lainnya.[5]

4. Rukun Iman
Iman itu memiliki rasa, manis dan hakekat. Adapun rasanya iman, maka Nabi saw. menjelaskan dengan sabda-Nya: “Yang merasakan nikmatnya iman adalah orang yang ridha kepada Allah SWT sebagai Rabb (Tuhan), Islam sebagai agama, dan Muhammad saw. sebagai rasul.” HR. Muslim[6]
Adapun manisnya iman, maka Nabi saw. menjelaskan dengan sabdanya: “Ada tiga perkara, jika terdapat dalam diri seseorang, niscaya dia merasakan nikmatnya iman: bahwa Allah SWT. dan Rasul-Nya saw. lebih dicintainya dari apapun selain keduanya, dia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah SWT., dan dia benci:
1.        Kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci dilemparkan dalam api neraka.” Muttafaqun ‘alaih.
2.        Adapun hakekat iman, maka bisa didapatkan oleh orang yang memiliki hakekat agama. Berdiri tegak memperjuangkan agama, dalam ibadah dan dakwah, berhijrah dan menolong, berjihad dan berinfak.
1. Firman Allah SWT.:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {2} الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ {3} أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ {4}
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka.  Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rejeki (nikmat) yang mulia. (QS. Al-Anfaal :2-4)[7]
2. Firman Allah SWT.:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (QS. Al-Anfal: 74)[8]
3. Firman Allah SWT.:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujuraan :15) [9]
Seorang hamba tidak bisa mencapai hakekat iman sehingga dia mengetahui bahwa apapun yang menimpanya tidak akan luput darinya dan apapun yang luput darinya pasti tidak akan menimpanya.
5. Prinsip Akidah Islam
Aqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para Malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-NyaAsas atau prinsip aqidah seseorang muslim itu terdapat pada rukun Iman. Rukun Iman itulah yang menjadikan seseorang itu berpegang kepada aqidah Islam atau tidak.
Allah berfirman dalam kitab sucinya, yang artinya :
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, Malaikat-Malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…” ( QS. Al-Baqarah : 177).
Dalam soal takdir, Allah berfirman, yang artinya :
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran, dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. Al-Qomar : 49-50).
Nabi Muhammad SAW. juga bersabda dalam hadithnya sebagai jawaban Nabi terhadap Malaikat jibril ketika bertanya tentang iman :
اليمان أن تؤمن بالله وملئكته وكتبه ورسله واليوم الخر وتببؤمن بالقدر خيره وشره
“Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kemudian, dan beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” (HR.Muslim).
Adapun Rukun Iman yang harus diketahui sebagai seorang muslim adalah:
1.        Beriman kepada Allah
2.        Beriman  kepada malaikat
3.        Beriman kepada kitab-kitab
4.        Beriman kepada Rasul
5.        Beriman kepada hari qiamat
6.        Beriman kepada qada dan qadar
Rukun  Iman yang telah kita pelajari sejak dari kecil lagi inilah yang menjadi pegangan hidup kita dalam menjadikan asas dan panduan dalam kehidupan seharian kita agar tidak terbabas dan terpesong ke jalan yang tidak mendapat rid}a Ilahi. Akan tetapi adakah kita benar-benar mempraktikkanya dalam amalam kita seharian dan adakah kita mengerti apa yang di sabdakan oleh  Rasulullah S.A.W ketika baginda ditanya oleh Malaikat Jibril mengenai Iman yang mafhumnya : Iman itu adalah kamu beriman kepada Allah, malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari akhirat dan ketentuan yang baik mahupun yang buruk (riwayat Muslim).
 B. SYARI’AH
1. Pengertian Syari’ah
Istilah Syari’ah dalam konteks kajian hukum Islam lebih menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan hasil dari proses “tasyri’. Oleh karena itu, ada baiknya istilah tasyri’ ini dibahas sebelum pemaparan tentang makna syari’ah. Kata tasy’ri merupakan bentuk mashdar dari syarra’a yang berarti menciptakan dan menetapkan syari’ah.[10] Sedang dalam istilah para ulama fiqih bermakna “Menetapkan norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun dengan umat manusia lainnya.”[11]
Secara etimologi kata Syari’ah berakar kata syara’a (ش ر ع) yang berarti “sesuatu yang dibuka secara lebar kepadanya”. Kata syari’ah juga berarti jalan menuju sumber mata air, jalan lurus (at-tariqah almustaqimah), dan jalan terang untuk diikuti. Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an (seperti dalam Q.S. Al-Maidah: 48 dan Q.S. asy – Syura: 13 ) yang mengandung arti “ jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan.”[12]
Dalam hal ini agama yang ditetapkan oleh Allah disebut syariah, dalam artian lughawi dikarenakan selalu dialami umat islam dalam kehidupannya. Kata as-syarî’ah itu sendiri mempunyai konotasi masyra’ah al-mâ’ (sumber air minum).[13] Dari sinilah terbentuk kata syari’ah yang berarti “sumber air minum”. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan yang lurus yang harus diikuti.
Orang Arab tidak menyebut sumber tersebut dengan sebutan syarî’ah kecuali jika sumber tersebut airnya berlimpah dan tidak pernah kering.[14] Dalam bahasa Arab, syara’a berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan), dan bayyana al-masâlik (menunjukkan jalan). Syara’a lahum-yasyra’u-syar’an berarti sanna (menetapkan).[15] Syariat dapat juga berarti madzhab (mazhab) dan tharîqah mustaqîmah (jalan lurus).[16]
Dalam pengertian terminologis, syari’at merujuk pada perintah-perintah, larangan-larangan, tuntunan dan petunjuk yang dialamatkan Allah SWT kepada manusian agar memperoleh bimbingan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Tujuan dasar dari syari’at adalah supaya manusia mampu untuk mengalahkan dorongan hawa, yaitu nafsu dan keinginan yang tak terkendali, sehingga tetap berada dalam jalan kebaikan dan kebenaran.[17]
Kata syari’at sendiri secara eksplisit terdapat pada QS Al-Jasiyah (45) ayat 18 ketika Allah berfirman kepada Nabi: “Kemudian Kami beri kepadamu syari’at (Jalan untuk diikuti) dalam agama, maka ikutilah jalan itu dan jangan ikuti hawa nafsu orang yang tidak berilmu”. Jadi syari’at adalah jalan agama (at-tariq fi al-din), ia bukan sesuatu yang terpisah tetapi merupakan bagian dari agama.[18] Artinya agama (ad-di>n) adalah sesuatu yang lebih luas dan syari’at adalah salah satu bagiannya. Namun syari’at adalah bagian yang penting dan menjadi sumber ajaran, sehingga tujuan dan nilainya identik dengan agama Islam itu  sendiri.
Syari’at Islam biasanya secara ketat diidentikkan sebagai wahyu ilahi, suatu pengetahuan yang hanya diperoleh dari al-Qur`an dan al-Sunnah, untuk membedakannya dengan fiqh yang merupakan hasil interpretasi para ulama terhadap teks-teks syari’at melalui penalaran manusia. Karena itulah mayoritas ulama berpendapat bahwa syari’at bersifat qat’iy (absolut dan mutlak benar) sehingga ia harus diikuti apa adanya, tidak boleh ditambah atau dikurangi, berlaku untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman dalam segala kondisi dan situasi, dan tidak boleh diijtihadi.[19] Namun demikian yang paling penting diperhatikan adalah bahwa syari’at Islam bukanlah sebuah kumpulan peraturan yang kaku, statis dan rinci; bukan pula sebuah petunjuk teknis atau manual yang menjadi pegangan setiap muslim dalam menjalankan kehidupan di dunia ini, sehingga seolah-olah ia tidak perlu lagi berpikir apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Dengan demikian, syariat Islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Muhammad saw., untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya. Artinya, cakupan syariat Islam meliputi akidah dan syariat. Dengan kata lain, syariat Islam bukan hanya mengatur seluruh aktivitas fisik manusia (af’âl al-jawârih), tetapi juga mengatur seluruh aktivitas hati manusia (af’âl al-qalb) yang biasa disebut dengan akidah Islam. Karena itu, syariat Islam tidak dapat direpresentasikan oleh sebagian ketentuan Islam dalam masalah hudûd (seperti hukum rajam, hukum potong tangan, dan sebagainya); apalagi oleh keberadaan sejumlah lembaga ekonomi yang menjamur saat ini semisal bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, dan sebagainya.
2. Hubungan ‘Aqidah Dengan Syari’at
Istilah ‘aqidah, jika disebut secara umum (sendirian), berarti menyangkut pokok-pokok dan hukum-hukum syari’at dan keharusan dalam mengamalkannya. Sebagaimana istilah syari’at jika disebut secara umum (sendirian), maka itu menyangkut perkara-perkara keimanan dan pokok-pokok serta hukum-hukum syari’at yang pasti, yaitu ‘aqidah. Sebagaimana di atas telah dijelaskan dari firman Allah Ta’ala:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu”. (asy-Syura/42:13)
Dengan demikian, maka ‘aqidah dan syari’at merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan. Keyakinan inilah yang disebut dengan ‘aqidah, dan amalan ini yang disebut syari’at. Sehingga iman itu mencakup ‘aqidah dan syari’at, karena memang iman itu, jika disebutkan secara mutlak (sendirian) maka ia mencakup keyakinan dan amalan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ ٤٩:١٥
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar”. ([al Hujurat/49:15).

Juga fimanNya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ )٨:٢ ( الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ )٨:٣( أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ )٨:٤(
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabb-nya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia”. (al-Anfal/8:2-4).
Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan, bahwa iman itu terdiri dari keyakinan dan amalan. Imam Muhammad bin Nashr al Marwazi berkata di dalam kitab ash-Shalat: “Perumpamaan iman pada amalan, adalah seperti qalbu (hati, jantung) pada badan; keduanya tidak bisa dipisahkan. Tidak ada seseorang yang memiliki badan yang hidup, namun tidak ada qalbunya. Juga tidak ada orang yang memiliki qalbu, namun tanpa badan. Keduanya merupakan dua perkara yang berbeda, namun hukumnya satu, sedangkan maknanya berbeda. Perumpamaan keduanya juga seperti biji yang memiliki luar dan dalam, sedangkan biji itu satu. Tidak dikatakan dua, karena sifat keduanya yang berbeda. Maka demikian juga amalan-amalan Islam dari (ajaran) Islam adalah iman sebelah luar, yaitu termasuk amalan-amalan anggota badan. Sedangkan iman adalah Islam sebelah dalam, yaitu termasuk amalan-amalan hati”.[20]
3. Sumber Syari’ah Islam
Ada dua sumber Syariah (dipahami sebagai Hukum Ilahi); al- Qur’an dan as-Sunnah. Menurut Muslim, al-Qur’an adalah firman Allah yang tidak dapat diubah, sebagian besar aturan-aturan nilainilai moral dalam al-Qur’an yang mengharuskan umat Islam untuk mengikuti adalah masih Ijma>li>, hanya 80 ayat al-Qur’an mengandung konsep Hukum.[21] As-Sunnah adalah kehidupan dan contoh dari Nabi Muhammad (saw), pentingnya as-Sunnah merupakan sumber Syariah, seperti ditegaskan oleh beberapa ayat dari al-Qur’an misalnya (al-Quran 33:21).
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
As-Sunnah terutama terkandung dalam hadits atau periwayatan berisi sabda Nabi Muhammad (saw), tindakan diamdiamnya sebagai sikap persetujuannya. Sementara hanya ada satu al-Quran, ada kompilasi banyak hadis dengan menyusun sistem kompilasi yang paling otentik atau “s}ah}i>h” selama periode 850-915 Masehi. Enam diakui oleh Sunni sebagai koleksi yang disusun oleh Muhammad al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj, Abu Dawud, Tirmidzi, Al-Nasa’i, Ibnu Majah (sesuai urutan periodisasi).
Koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim dianggap paling otentik, masing-masing mengandung sekitar 7.000 hingga 12.000 hadis, meskipun sebagian besar berupa deretan pengulangan. Hadis telah dievaluasi pada keasliannya, dan biasanya dengan menentukan ke adalahan (kapabilitas dan kredibilitas) perawi yang disilsilahkan mereka.[22] Sedang bagi Syiah, as-Sunnah juga termasuk bersumber dari dua belas Imam.[23]
Proses menafsirkan dua sumber utama Syariah disebut fiqh (secara harfiah berarti kecerdasan) atau hukum Islam. Sementara dua sumber di atas dianggap sebagai yang lengkap, dan standar Fiqh dapat berubah dalam konteks yang berbeda. Fiqh mencakup semua aspek hukum, termasuk agama, hukum perdata, politik, konstitusi dan prosedur hukum.[24] Syariah berdasar kepada dua sumber, sedang Fiqih tergantung pada 4 sumber : a. Interpretasi al-Qur’an b. Interpretasi as-Sunnah c. Ijma>, konsensus di antara ulama (penalaran kolektif) d. Qiya>s (ijtiha>d) analogi determinan (penalaran individual)
Di antara sumber-sumber yang unik untuk fiqh, yaitu ijma>‘ dan qiya>s (Ijtiha>d), dalam yurisprudensi Syiah sumber keempat dapat diperluas untuk mencakup logika formal (mant}iq).[25] Secara historis Fiqh juga datang termasuk untuk perbandingan hukum,[26] adat istiadat setempat (Urf),[27] dan hukum yang dimotivasi oleh kepentingan umum, selama mereka dibenarkan oleh empat sumber di atas.[28] Karena keterlibatan interpretasi manusia, Fiqh dianggap kurang sempurna, dengan demikian bukan merupakan bagian dari Syariah, meskipun ulama mengkategorikan sebagai hukum Islam.[29]  Ada lima mazhab pemikiran Fiqh, semua didirikan dalam empat abad pertama Islam, empat di antaranya adalah disebut mazhab Sunni yaitu; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; dan satu Syiah terdiri dari Ja’fariah dan diikuti oleh kebanyakan Muslim Syiah.[30] Banyak ulama Islam saat ini menganjurkan pendekatan baru untuk Fiqih, dengan tidak harus mengikuti lima mazhab tradisional.[31] Gerakan Salafi menarik pengikut dari berbagai mazhab Fiqh, dan didasarkan pada al-Quran, as-Sunnah dan perilaku atau ucapan dari tiga generasi pertama umat Islam.[32]
4. Ruang Lingkup Syari’ah
Dengan definisi syariat Islam baik secara etimologis maupun terminologis syar’î di atas, tampak jelas bahwa ruang lingkup syariat Islam adalah seluruh ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan akidah maupun peraturan atau sistem kehidupan yang menjadi turunannya.
Akidah Islam adalah keimanan kepada Allah dan para malaikat-Nya; pada kitab-kitab-Nya; kepada para rasul-Nya; serta pada Hari Akhir dan takdir, yang baik dan buruknya berasal dari Allah SWT semata.[33] Akidah Islam juga meliputi keimanan pada adanya surga, neraka, dan setan serta seluruh perkara yang berkaitan dengan semua itu. Demikian juga dengan hal-hal gaib dan apa saja yang tidak bisa dijangkau oleh indera yang berkaitan dengannya.[34] Akidah Islam merupakan pemikiran yang sangat mendasar (fikr asâsi). Ia mampu memecahkan secara sahih problem mendasar manusia di seputar: dari mana manusia berasal; untuk apa manusia ada; dan mau ke mana manusia setelah mati.[35] Artinya, akidah Islam merupakan pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) yang menjadi sumber dari seluruh pemikiran cabang. Ia adalah pemikiran mendasar yang membahas persoalan di seputar: (1) alam semesta, manusia, dan kehidupan; (2) eksistensi Pencipta dan Hari Akhir; (3) Hubungan alam, manusia, dan kehidupan dengan Pencipta dan Hari Akhir. Dalam konteks manusia, hubungan yang dimaksud adalah hubungan dirinya sebagai hamba dengan Allah yang harus tunduk pada syariat-Nya. Sebab, syariat Allah merupakan standar akuntalibitas bagi seluruh aktivitas manusia di hadapan-Nya.[36]
Sementara itu, peraturan atau sistem kehidupan Islam merupakan kumpulan ketentuan yang mengatur seluruh urusan manusia; baik yang berkaitan dengan ubudiah, akhlak, makanan, pakaian, muamalat, maupun persanksian.13 Tentu saja, untuk bisa disebut sistem Islam, ia harus digali dari dalil-dalil tafshîli (rinci); baik yang bersumber dari al-Quran, Hadis Nabi, Ijma Sahabat, maupun Qiyas.
Al-Quran, misalnya, dengan tegas menyatakan:
﴿وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ﴾
Artinya: “Kami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).

Hadis Nabi juga telah menjelaskan hal yang sama:
»قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ «
Aku telah meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan sesat selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. (HR at-Turmudzî, Abû Dâwud, Ahmad).
Dari dua nash di atas, tampak jelas bahwa syariat Islam yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. telah mengatur segala urusan tanpa kecuali; mulai dari hubungan manusia dengan Penciptanya - dalam konteks akidah dan ibadah semisal shalat, puasa, zakat, haji dan jihad; hubungan manusia dengan dirinya sendiri seperti dalam urusan pakaian, makanan dan akhlak; hingga hubungan manusia dengan sesamanya seperti dalam urusan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri, dll. Secara konseptual, semuanya telah diatur oleh Islam dengan sejelas-jelasnya.
5. Prinsip Syari’ah
a. Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj)
Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa mem-perhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini secara tegas disebutkan dalam a-Quran,
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا ….
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… (QS. Al-Baqarah: 286)[37]
Al-Yatibi mengatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syari’at hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh kemampuan manusia -melihat prinsip ini- tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).[38]
Dalam menetapkan hukum, Allah swt. Senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madlarat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis fari pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan, “Allah membuat undang-undang syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa ekses negatif (madlarat) dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfa’at).
Namun bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang sulit dalam pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban, sehingga kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat, misalnya sulit mencari nafkah, tidak termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj diatas. Karena kesulitan yang sifatnya seperti itu tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya keberuntungan saja.
Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat seringakli dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam bearamal.
b. Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa ddasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan.[39]
Umat manusia tidak diperintahkan untuk mencari-cari sesuatu yang justru akan memperberat diri sendiri. Allah swt. Berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (١٠١(
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya akan menyusahkan kalian....(QS. al-Maidah: 101)[40]
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini adalah ketika Nabi sedang berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di mana untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa menyusahkan si penanya sendiri. Karena, jawaban yang akan ia terima merupakan baban dari si penanya sendiri. Padahal prinsip agama adalah pengurangan terhadap beban. (taqlil al-taklif).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-Quran menafsirkan sesuai kebutuhan masyarakat pada saat tiu. Sedangkan yang tidak dibutuhkan didiamkan saja, dengan maksud nantinya ayat-ayat tersebut dapat ditafsiri sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat pada masa yang akan datang. Prinsip ini telah disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya. Dan dia telah menetapkan ketentuan-ketentuan, maka janganlah kalian melampauinya. Dia juga telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah kalian merusaknya, serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat buat kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian membicaraknnya.”
c. Penetapan Hukum secara Periodik
Al-quran merupakan kitab suci yang dalam prosesi tasri’ sangat memperhatikan berbagai aspek, baik natural, spiritual, kultural, maupun sosial umat.[41] Dalam menetapkan hukum, al-Quran selalu memper-timbangkan, apakah mental spiritual manusia telah siap untuk menerima ketentuan yang akan dibebankan kepadanya?. Hal ini terkait erat dengan prinsip kedua, yakni tidak memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan kami kemukakan tiga periode tasryi’ al-Quran;
Pertama, mendiamkan, yakni ketika al-Quran hendak melarang sesuatu, maka sebelumnya tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan contoh yang sebaliknya. Sebagai contoh, untuk menetapkan keharaman minuman khamr. Sebagai langkah pertama, yang dilakukan syari’ (Nabi Muhammaf saw) adalah mendiamkan kebiasaan buruk, akan tetapi Nabi sendiri menghindarinya.
Kedua, menyinggung manfat ataupun madlaratnya secara global. Dalam contoh khamr di atas, sebagai langkah kedua, turun ayat yang menerangkan tentang manfaat dan madlarat minum khamr. Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek sampingnya lbih besar daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang kemudian segera disusul dengan menyinggung efek khamr bagi pelaksanaan ibadah (al-Nisa: 43)
Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah yang paling akhir (QS.al-Maidah: 90)
Demikian juga dalam menetapkan hukum yang bersifat perintah. Kewajiban shalat misalnya. Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di Mekah), di saat umat Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban shalat hanya dua raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kahawatir terjadi penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari suku Qurasy. Sebagaimana disebutkan dalam surat Qaf: 39
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ (٣٩(
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah (shalatlah) sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)” [42]


Lalu surat al-Mu’min: 55
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ (٥٥(
“Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah (shalatlah) seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi” [43]
Ketika penderitaan umat telah menyurut dengan dicabutnya pemboikotan atas Bani Hasyim, dumulailah tahap kedua pelaksanaan shalat. Hal itu dimulai setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj dimana Nabi membawa perintah dari Allah swt. Untuk melaksanakan shalat lima waktu. Dalam hal ini Nabi bersabda, “Pada Malam Isra’ Allah swt, mewajibkan kepada umatku lima puluh shalat. Tak henti-hentinya aku meminta keringanan, hingga kemudian kewajiban itu menjadi lima (kali) dalam sehari semalam.
Perintah dalam ayat tersebut kemudian dijabarkan secara jelas oleh Nabi sebagai kewajiban shalat lima waktu, sebagaimana perintah Nabi ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, “Kabarkan kepada mereka (penduduk Yaman), bahwasannya Allah swt telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Akkhirnya ketika umat Islam telah mulai merasakan ketenangan di negeri baru mereka, Madinah, turunlah kewajiban-kewajiban yang sifatnya lebih terperinci, yaitu dimulai dengan syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum (QS. Al-Maidah: 6), serta rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis pelaksanaan shalat sendiri merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi saw. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.
d. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, gama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam.[44]
Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik dengan pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia. Karenanya, segala sesuatu yang ada di mayapada ini merupakan fasilitas yang berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. ‘Abd al-Wahab Khalaf berkata, “Dalam membentuk hukum, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat (ratio logis) yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan bebrapa buktu bahwa tujuan legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’I menetapkan hukum-hukum itu sejalan dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada kemaslahatan yang sebanding dengan hukum tersebut.
e. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatpi juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka dengan sukarela meminta keputusan hukum sesuai hukum Islam.
Penyamarataan hak di atas berimplikasi pada keadilan yang seringakli didengungkan al-Quran dalam menetapkan hukum,
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
… Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil.... (QS. Al-Nisa: 58)[45]
Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan demi pemeliharaan martabat manusia (bashariyah insaniyah)





[1]     Yunahar Ilyas,  Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta, LPPI, 1992), 1.
[2]     Al-Banna, Majmu’atu ar-Rasail,(Muassasah ar-Risalah Beirut: tt), h.
[3]     Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir, Aqidah al-Mukmin, (Cairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1978), 21.
[4]     Yunahar Ilyas,  Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 1992), 9.
[5]     Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2000), 6.
[6]     HR. Muslim no. 34
[7]     Al-Qur’an Surat Al-Anfaal :2-4
[8]     Al-Qur’an Surat Al-Anfal: 74
[9]     Al-Qur’an Surat Al-Hujuraan :15
[10]    Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Bandung: Pustaka, 1983), 60.
[11]    Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 206.
[12]    Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta; Kencana Perdana Media Group 2011) , 1.
[13]    Ibn al-Manzhûr, Lisân al-’Arab, juz I, 175; al-Fayrûz al-Abâdi, al-Qâmûs al-Muhîth, juz I,  6672; Ar-Râzi, Mukhtâr as-Shahhâh, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1996), 294.
[14]    Ibn al-Manzhûr, ibid, hlm. 175; al-Fayrûz al-Abadi, ibid, hlm. 6672.
[15]    Ar-Râzi, op. cit., hlm. 294.
[16]    Al-Jurjâni, at-Ta’rîfât, Dâr al-Bayân li at-Turâts, t.t., hlm. 167; ‘Abd al-Karîm Zaydân, al-Madkhal li Dirâsah as-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Muassasah ar-Risâlah, Beirut, cet. XIV, 1996, hlm. 34.
[17]    Muhammad Hashim Kamali, Sumber, Sifat Dasar dan Tujuan-Tujuan Syari'at, terj. Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam No. 10 Juli-September 1993,  45-46. Bandingkan Mahmud Syaltut, Al-Islam wa Al-Aqidah (Ttp: Dar al-Qalam, 1996), 12.
[18]    Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab at-Ta'rifah  (Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah, 1988), 127.
[19]    Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ? (Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah IIQm 1987),  7.
[20]    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Kitabul-Iman, 283.
[21]    Corinna Standke, Sharia - The Islamic Law (GRIN Verlag, 2008), 3.
[22]    Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (USA: Oxford University Press, 2007), 4.
[23]    Ibid., 12-13.
[24]    Ibid., 5-7.
[25]    H. Patrick Glenn, Legal Traditions of the World (Oxford University Press, 2007), 199.
[26]    Ibid.
[27]    Ibid, 201
[28]    Ibid.
[29]    Ramadan, In the Footsteps... 5-7.
[30]    Wael B Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh.  (Cambridge, U.K.: Cambridge University Press, 1997), 27.
[31]    Ramadan In the Footsteps., 5-7.
[32]    John L.Esposito, The Future of Islam (Oxford University Press, 2010), 74-77.
[33]    An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, hlm. 73; An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, 1997, juz I, hlm. 29.
[34]    Muhammad Muhammad Ismâ’îl, al-Fikr al-Islâmi, Maktab al-Wa’y, Beirut, 1958, hlm. 9-10
[35]    An-Nabhâni, Nizhâm, hal. 73; An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz I, hlm. 191.
[36]    An-Nabhâni, as-Syakhshiyyah, juz I, hlm. 192.
[37]    Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 286
[39]    Ibid.
[40]    Al-Qur’an Surat al-Maidah: 101
[41]    Ibid.
[42]    Al-Qur’an Surat Qaf: 39
[43]    Al-Qur’an Surat al-Mu’min: 55
[44]    Ibid.
[45] Al-Qur’an Surat Al-Nisa: 58


DOWNLOAD FILE DISINI

Post a Comment

0 Comments