Futuhul Ghaib Risalah Keenam : Fana


Risalah Ke-6 
Fana


Referensi pihak ketiga


Pada risalahnya yang keenam, beliau berkata:
“Apabila melaksanakan perintah Allah maka tanggalkan pandangan manusia yang tertuju padamu, dan tanggalkan kepentingan pribadimu; semua hendaknya engkau tujukan kepada Allah saja.”
Untuk menghindari pandangan manusia – yang memuji – atas amalanmu dalam melaksanakan perintah Allah, tak lain adalah bahwa engkau menghindar dari mereka. Mengasingkan diri sepenuhnya dan membebaskan jiwamu dari segala harapan mereka. Dan lenyapkanlah segala nafsumu. Tanda lenyapnya nafsu adalah:
Meninggalkan kesibukan untuk mengejar duniawi
Berhubungan dengan mereka hanya untuk mendapatkan manfaat
Cenderung menghindarkan diri dari kemudharatan
Tak menuruti kemauan dan dorongan pribadi
Tidak menggantungkan pada diri sendiri dalam masalah pribadi
Tidak membantu dan melindungi diri sendiri, tetapi memasrahkan diri sepenuhnya kepada Allah, karena Dialah Yang Maha Kuasa.
Kemauan itu bisa lenyap dari jiwamu. Kemauan yang dimaksudkan ialah yang didorong oleh hawa nafsu. Adapun tanda lenyapnya kemauan atas kehendak Allah adalah sebagai berikut:
Tidak pernah menentukan diri, tak merasa butuh, tidak mempunyai tujuan kecuali hanya satu tujuan dan satu kebutuhan yakni kepada Allah belaka.
Kehendak Allah akan berwujud pada dirimu sehingga jika kehendakNya bereaksi, maka tubuhmu menjadi pasif, namun hatimu tenang, pikiranmu jernih, nurani dan rohanimu menjadi berseri. Dengan demikian kebutuhanmu tentang bendawi kau pasrahkan, bergantung kepada Allah saja.
Gerakanmu digerakkan oleh kekuasaanNya, lidah keabadian selalu menyeru namamu. Tuhan semesta alam mengajarimu, dan memberi hiasan padamu berupa nurNya yang menempatkan kedudukanmu sejajar dengan ulama hikmah yang telah mendahuluimu.
Jika engkau sudah demikian maka niscaya engkau berhasil menaklukkan diri sendiri. Sehingga dalam ragamu tak ada kedirianmu laksana bejana yang hancur, bersih dari air dan endapan. Dengan demikian ini engkau akan terpisahkan dari segala gerak manusiawi, karena rohanimu menolak segala sesuatu. Rohmu hanya menerima kehendak Allah saja. Pada peringkat dan kedudukan ini engkau akan mendapatkan suatu keajaiban. Hal yang demikian ini seolah-olah semata-mata hanya karena usahamu dalam melatih diri rohmu; padahal sebenarnya adalah kehendak Allah belaka.
Pada kedudukan ini engkau mampu menjadi orang yang bisa menundukkan hati sendiri dan sifat hewani telah musanah. Dengan demikian engkau akan mendapat ilham atas kehendak Ilahi dan dambaan-dambaan baru dalam kenyataan sehari-hari.
Allah yang maha tinggi tidak akan bersamamu jika kedirianmu (nafsu duniawi dan hewani) belum sirna. Bila kedirianmu telah sirna, lalu kau menganggap sesuatu didunia ini tidak ada artinya kecuali Allah, maka Dia akan memberikan kebugaran dan kesegaran rohani. Allah akan memberikan kekuatan rohani dan dengan rohani tersebut engkau berkehendak.
Jika didalam dirimu masih juga terdapat noda meskipun sekecil biji dzarrah, maka Allah akan menolakmu, agar engkau terus dan terus berusaha agar bisa diterima Allah. Dan Allah pun terus menciptakan kemauan baru dalam dirimu agar engkau tidak merasa puas dengan amal dan ibadah yang kau lakukan, hal ini sampai pada akhir hayatmu.
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman: “HambaKu yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepadaKu, yaitu dengan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang diutamakan, sehingga Aku menyintainya, maka Aku menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja, dan menjadi kakinya, dengannya ia berjalan. – Tidak diragukan lagi, bahwa hal demikianlah yang dimaksud dengan fana.
Oleh sebab itu Dia menyelamatkanmu dari kejahatan para makhlukNya, kemudian mendorongmu dalam kebaikanNya. Dengan begitu, engkau akan menjadi pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagiaan, kenikmatan, semangat, damai dan sentosa.
Para kekasih Allah terdahulu pun menunaikan ibadah untuk bisa mendekatkan dirinya sedekat mungkin kepada Allah adalah tujuan utamanya. Mereka senantiasa menggantikan kemauan atau kehendak mereka dengan kemauan atau kehendak Allah. Pendek kata, mereka itu mem-fana-kan diri mereka dan me-wujud-kan Allah. Karena itu mereka dijuluki ‘Abdal’ (perkataan yang diambil dari kata ‘Badal’ yang berarti ‘pertukaran’). Menurut mereka, menyekutukan kehendak mereka dengan kehendak Allah adalah suatu perbuatan dosa.
Bila mereka terbawa oleh tipuan peraaan-perasaannya sendiri sehingga takut, maka Allah menolong mereka dengan kasih sayangNya. Allah akan mengingatkan mereka, dan mereka akan kembali sadar dan berlindung kepada Tuhannya. Ia berlindung dari kemauan pribadinya karena menyadari ia tidak akan mampu membersihkan sampai sebersih mungkin dari nafsu dan kemauan, kecuali malaikat. Para malaikat memang suci dari nafsu dan kehendak, para nabi terbebas dari kedirian, sedangkan jin dan manusia tak terlepaskan dari nafsu yang nanti akan dibebani pertanggungjawaban moral. Tetapi, meskipun manusia itu tak bisa terbebas dari nafsu, namun para kekasih Allah mampu melemahkan nafsunya sehingga dengan bantuan Allah, mereka mendapatkan rahmat dan menguatkan akalnya.

Related Posts:

0 Response to "Futuhul Ghaib Risalah Keenam : Fana"

Post a Comment