Berikut ini merupakan paparan kilas balik tentang sejarah masyarakat
Arab sebelum Islam datang dan pada masa Islam pada masa Rasulullah SAW atau
periode awal Islam menjadi sebagai anutan keyakinan masyarakat Arab.
SEJARAH PRA ISLAM DAN ISLAM KLASIK
Oleh: Sulaiman, S.Pd.I
A. SEJARAH
PRA ISLAM
1. Keadaan Geografis Bangsa Arab Sebelum Islam
Semenanjung
Arab adalah semenanjung yang terletak di sebelah barat daya Asia. Wilayahnya
memiliki luas 1.745.900 kilometer persegi.[1] Semenanjung ini dinamakan jazirah karena
tiga sisinya berbatasan dengan air, yakni di sebelah timur berbatasan dengan
teluk Oman dan teluk Persi, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia
dan teluk Aden, di sebelah barat berbatasan dengan laut merah. Hanya di sebelah
utara, jazirah ini berbatasan dengan daratan atau padang pasir Irak dan
Syiria.[2]
Secara geografis, daratan jazirah Arab
didominasi padang pasir yang luas, serta memiliki iklim yang panas dan kering.
Hampir lima per enam daerahnya terdiri dari padang pasir dan gunung batu.[3]
Luas padang pasir ini diklasifikasikan Ahmad Amin sebagai berikut:
1. Sahara Langit, yakni yang memanjang 140 mil dari utara ke
selatan dan 180 mil dari timur ke barat. Sahara ini disebut juga sahara Nufud.
Di daerah ini, jarang sekali ditemukan lembah dan mata air. Angin disertai debu
telah menjadi ciri khas suasana di tempat ini. Hal itulah yang menyebabkan
daerah ini sulit dilalui.
2. Sahara Selatan, yakni yang membentang dan menyambung Sahara
Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran
keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan daerah
sepi (al-Rub’ al-Khali).
3. Sahara Harrat, yakni suatu daerah yang terdiri dari tanah
liat berbatu hitam. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di seluruh sahara ini.[4]
Secara
garis besar, jazirah Arab
dibedakan menjadi dua, yakni daerah pedalaman dan pesisir. Daerah pedalaman
jarang sekali mendapatkan hujan, namun sesekali hujan turun dengan lebatnya.
Kesempatan demikian biasa dimanfaatkan penduduk nomadik dengan mencari genangan
air dan padang rumput demi keberlangsungan hidup mereka. Sedangkan daerah
pesisir, hujan turun dengan teratur, sehingga para penduduk daerah tersebut
relatif padat dan sudah bertempat tinggal tetap. Oleh karena itu, di daerah
pesisir ini, jauh sebelum Islam lahir, sudah berkembang kota-kota dan
kerajaan-kerajaan penting, seperti kerajaan Himyar, Saba’, Hirah
dan Ghassan.[5]
Sebelum
Islam lahir, bangsa Arab yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai
bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang yang cukup
strategis membuat Islam yang diturunkan di makkah menjadi cepat disebarluaskan
ke berbagai wilayah disamping juga didorong oleh faktor cepatnya laju perluasan
wilayah yang dilakukan umat Islam,[6] dan bahkan bangsa Arab telah dapat mendirikan kerajaan
diantaranya Saba’, Ma’in dan Qutban serta Himyar yang semuanya
berasa di wilayah Yaman.[7]
Di sisi
lain, kenyataan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan
diturunkan dalam konteks geografis Arab, mengimplikasikan sebuah asumsi bahwa
suatu pemahaman yang komprehensif terhadap al-Qur’an hanya mungkin dilakukan
dengan sekaligus melacak pemaknaan dan pemahaman pribadi, masyarakat dan
lingkungan mereka yang menjadi audiens pertama al-Qur’an, yaitu Muhammad dan
masyarakat Arab saat itu dengan segala kultur dan tradisinya. Dan untuk
memiliki pengertian yang sebenar-benarnya tentang asal mula Islam, maka satu
hal yang perlu diketahui adalah bagaimana keadaan Arab sebelum adanya Islam,
Muhammad, dan sejarah Islam terdahulu.
Menjelang
kelahiran islam, Jazirah arab di apit oleh dua kerajaan besar yaitu Romawi
timur di sebelah barat sampai ke laut Adriatik dan Persia di
sebelah timur sampai ke sungai Dijlah. Kedua kerajaan besar itu disebut
hegemoni di wilayah sekitar timur tengah. Sebenarnya jazirah arab bebas dari
pengaruh kedua kerajaan tersebut, kecuali daerah-daerah subur seperti: Yaman
dan daerah-daerah sekitar teluk Persia. Wilayah jazirah arab di teluk Persia
termaksud daerah kekuasaan kerajaan Persia. Dengan demikian daerah hijau bebas
dari pengaruh-pengaruh politik dan budaya dari luar. Islam yang dasar-dasarnya
diletakkan oleh nabi di Mekkah dan di Madinah adalah: agama yang murni, tidak
dipengaruhi baik oleh perkembangan agama-agama yang ada di sekitarnya maupun
kekuasaan politik yang meliputinya.[8]
2.
Pembagian Bangsa Arab
Bangsa Arab adalah bangsa tertua yang hidup
setelah banjir ( Nabi Nuh AS). Mereka berasal dari keturunan Yaqzhan atau
Qathan. Bangsa Arab adalah bangsa yang memiliki kelebihan fisik dan keberanian
yang handal. Para
ahli sejarah membagi bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu : Arab Ba’idah
(yang punah) Arab ‘Aribah ( leluhur asli bangsa Arab) dan Arab
Musta’ribah (Campuran).
1. Arab
Ba’idah
Arab Ba’idah adalah nenek moyang bangsa Arab
yang jejak sejarahnya secara rinci telah hilang tertekan zaman, karena
sudah jauh masanya, sementara tidak ada alat-alat ilmu pengetahuan yang bisa
digunakan untuk menyelidiki bekas-bekas peninggalan mereka. Mereka antara lain
adalah kaum ‘Ad, Tsamud, Thusam, dan Jurhum pertama.
2. Arab
‘aribah
Arab ‘aribah, mereka adalah keturunan Saba’.
Nama aslinya ‘Abdu Syams bin Yasjub bin Ya’rib bin Qathan. Dinamai Saba’ karena
dia gemar berperang dan menawan musuh. Menawan bahasa Arabnya Saba’. Anaknya
banyak, antara lain : Himyar, kahlan, ‘ Umar, Asy’ar, dan Amilah. Seluruh
kaum Tubba’ di Yaman berikut raja-rajanya adalah keturunan Saba’. Mereka
semua berasal dari keturunan Hamyar bin Saba’, kecuali ‘Imran dan Mauzriqia.
Keduanya adalah anak-anak Amir bin Hartsah binUmru’ Al-Qais bin Tsa’lab bin
Mazin bin Al-Uzd dan Al-Uzd adalah anak Kahlan bin Saba’. Mereka di sebut
‘Aribah, karena tinggal di pedalaman, bekas tempat tinggal Arab Ba’idah, dan
mewarisi tradisi-tradisnya.
3. Arab
Mustaribah
Arab Mustaribah yaitu menjadi arab atau
peranakan di sebut demikian karena waktu jurhum dari suku bangsa Qathan
mendiami Mekkah, mereka tinggal bersama nabi Ismail dan ibunya Siti Hajar. Nabi
Ismail yang bukan keturunan Arab, mengawini wanita suku Jurhum. Arab Musta‟ribah
sering juga disebut Bani Ismail bin Ibrahim ismail (Adnaniyyun).[9]
3.
Sistem Politik atau Pemerintahan Bangsa Arab sebelum Islam
Sebagaimana
telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang
dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan
kenyataan luasnya daerah di tengah Jazi>rah Arab, bengisnya alam,
sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor
penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan
politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke
kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan
politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.[10]
Sementara
menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra
Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis. Sehingga pemimpin
tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya.[11] Namun dalam bidang perdagangan, peran
pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian
perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa
Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab Ethiopia.
Model
organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah).
Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih
antara sesama anggota. Shaikh dipilih dari suku yang lebih tua,
biasanya dari anggota yang masih memiliki hubungan famili. Fungsi pemerintahan Shaikh
ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari pada memberi
komando. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan
tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya melekat
pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.[12]
Pada
masyarakat Arab pra Islam sudah banyak ditemukan tata cara pengaturan dalam
aktivitas kehidupan sosial yang dapat dibagi pada beberapa sistem-sistem yang
ada di masyarakat, salah satunya adalah system politiknya. Pada garis besarnya
penduduk jazirah dapat di bagi berdasarkan territorial kepada dua bagian yaitu:
Penduduk
kota (al-hadharah) yang tinggal di kota perniagaan jazirah Arabia,
seperti Mekkah, Madinah. Kota Mekkah merupakan kota penghubung perniagaan Utara
dan selatan, para pedagang dengan khalifah-khalifah yang berani membeli barang
dagangan dari India dan cina di yaman dan menjualnya ke Syiria di Utara.
Penduduk pedalaman yang mengembara dari satu
tempat ketempat lain. Cara mereka hidup adalah nomaden, berpindah dari suatu
daerah ke daerah lain, mereka tidak mempunyai perkampungan yang tetap dan mata
pencaharian yang tepat bagi mereka adalah memelihara ternak, domba dan unta.[13]
Gambar 6.1:
Salah satu bangunan di Petra, kota yang
dibangun di jazirah Arab sebelum kemunculan Islam
Dalam
masyarakat arab terdapat organisasi clan (kabilah) sebagai intinya dan
anggota dari satu clan merupakan geneologi (pertalian ndarah). Pemerintah
dikalangan bangsa arab sebelum islam, menurut para ahli sejarah dimulai oleh
golongan arab bai’idah. Pada periode pertama dikenal ada kerajaan Aad di daerah
ahkaf al romel yang terletak antara oman dan Yaman, kaum aad juga pernah
mendirikan kerajaan antara Makkah dan Yastrib. Kemudian juga dikenal kerajaan dari
kaum Tsamud mendiami daerah hijir dan wadi al-Kurro, antara Hijaz dan Syiria.
Kemudian di kenal juga kerajaan dari kaum amaliqah di arab timur, oman Hijaz
mereka juga ke Mesir dan Syiria. Pada periode Kedua yaitu pada masa arab aribah
atau bani qhathan yang terkenal dengan kerajaan Madiniyah, kerajaan sabaiyah
dan kerajaan himyariah.
4.
Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat
Bangsa
Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah. Mereka termasuk ras atau rumpun
bangsa kaukasoid, sebagaimana ras-ras yang mendiami daerah Mediteranian,
Nordic, Alpine dan Indic.[14]
Bangsa
Arab hidup berpindah-pindah (nomad). Demikian ini karena kondisi tanah
tempat mereka hidup terdiri dari gurun pasir kering dan minim turun hujan.
Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa
(padang rumput) yang muncul secara sporadis di sekitar oasis atau genangan air
setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan badui Arab untuk kebutuhan makan
binatang ternak seperti kuda, onta dan domba.
Berbeda
halnya dengan penduduk Arab perkotaan terutama penduduk pesisir, pertanian,
peternakan dan perdangangan, dapat berkembang dengan baik di daerah tersebut.
Hal inilah tentunya yang membuat kehidupan masyarakat pesisir lebih makmur
daripada masyarakat pedalaman (badui). Dari realitas ini, maka timbullah
reaksi antara penduduk kota atau pesisir dengan penduduk pedalaman atau badui.
Aksi dan
reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun dimotivasi oleh desakan
kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Orang-orang nomad bersikeras mendapatkan
sumber-sumber tertentu pada orang-orang kota terhadap apa yang tidak mereka
miliki dari lingkungan mereka tinggal. Hal itu dilakukan baik melalui kekerasan
(penyerbuan kilat) atau jalan damai (barter). Orang-orang badui nomaden
dikenal sebagai perampok darat dan makelar. Gurun pasir, yang merupakan daerah
operasi mereka sebagai perampok, memiliki kesamaan karakteristik dengan laut.[15]
Masyarakat,
baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan. Organisasi dan
identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang
luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa
kelompok kabilah membentuk suku (trible) dan dipimpin oleh Shaikh.[16] Keeratan hubungan kesukuan, kesetiaan
atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku.
Maka tidak heran, jika peperangan antar suku menjadi ciri khas masyarakat ini.
Rendahnya harga wanita seakan-akan menjadi akibat dari keadaan masyarakat yang
suka berperang tersebut.
Akibat
tradisi peperangan ini, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu,
bahan-bahan sejarah Arab pra Islam langka didapatkan di dunia Arab dan dalam
bahasa Arab. Ahmad Shalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui
dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.[17] Pengetahuan itu diperoleh melalui
syair-syair yang beredar di kalangan para pe-rawi syair. Dengan
begitulah sejarah dan sifat masyarakat Arab dapat diketahui, yang antara lain
bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan
juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan
kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat badui
pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih
murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat
disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan
perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk badui
adalah penyair.[18]
Lain
halnya dengan penduduk kota yang memiliki kemajuan peradaban, sejarah mereka
dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan seiring dengan
perubahan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Mereka telah mampu berkarya
seperti membuat alat-alat dari besi, bahkan sampai mendirikan
kerajaan-kerajaan. Sampai pada lahirnya Nabi Muh}ammad, daerah-daerah tersebut
masih merupakan kota-kota perniagaan, sebagaimana diketahui bahwa daerah
tersebut merupakan jalur perdagangan antara Eropa dan Asia. Sebagaimana
masyarakat badui, penduduk daerah ini juga mahir bersyair. Biasanya,
syair-syair dibacakan di pasar-pasar, semacam pagelaran pembacaan syair,
seperti yang terjadi di pasar ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata
bahasa dan kiasan.[19]
5.
Kondisi Perekonomian
Perdagangan
merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Kemajuan
perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian
yang telah maju ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor, pengadaan
transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan
Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah
kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam,
budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah
intan.[20]
Faktor-faktor
yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra Islam sebagaimana dikemukakan Burhan
al-Din Dallu adalah sebagai berikut:
1. Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek
pertanian.
2. Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan
profesi yang paling bergengsi.
3. Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan
perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu
pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
4. Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah
Arab.
5. Mundurnya perekonomian dua imperium besar,
Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya terlibat peperangan terus menerus.
6. Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis
ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia
pada tahun 257 M.
7. Dibangunnya pasar lokal dan pasa musiman di
Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal,
Yamamah dan pasar Wahat.
8. Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium
di utara Hijaz dan laut merah.
9. Terisolasinya perdagangan orang Ethiopia di
laut merah karena diblokade tentara Yaman pada tahun 575 M.[21]
Dengan
posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf
internasional, walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada
mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam
perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh sukses besar, sehingga
mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.[22]
6.
Keberagamaan Masyarakat Arab sebelum Islam
Penduduk
Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen
merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan adalah agama mayoritas
mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah.
Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: shanam, wathan,
nushub, dan hubal. Shanam berbentuk manusia dibuat dari logam
atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nushub adalah batu
karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia yang dibuat
dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam
Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah
ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri.[23] Ini membuktikan bahwa paganisme sudah
berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak
terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya
kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.[24]
Agama
Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak
banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah
Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak
menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk
Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka menolak, maka akan
dibunuh. Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah sebuah parit dan
dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh
dengan pedang atau dilukai sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut.
Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan
motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang
yang membuat parit” (Ash hab al-Ukhdud).[25]
Sedangkan
Agama Kristen di jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam
tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang tampak hanyalah
pertikaian di antara sekte-sekte Kristen. Menurut Muhammad ‘Abid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Nashara” bukan “al-Masihiyah”
dan “al-Masihi” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi
(Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Nashara” adalah sekte sesat,
tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Hawariyun”. Sekte Arius menyebar
di bagian selatan jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak
dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru jazirah
Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui
misionaris atau pedagang Quraish yang berhubungan terus-menerus dengan Syam,
Yaman, dan Habashah.[26] Tetapi salah satu sekte yang sejalan
dengan tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes.[27]
Salah
satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas
adalah Hanifiyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang
murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga
tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah.
Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Hanifiyah,
sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke
pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib,
Thaif, dan Mekah.[28]
B. SEJARAH
ISLAM KLASIK
1. Masa Khulafa>urrashidin
Masa ini merupakan masa ekspansi,
integrasi dan ke-emasan Islam. Dalam hal ekspansi, sebelum Nabi Muhammad wafat di tahun 632 M., seluruh Semenanjung Arabia telah tunduk ke bawah
kekuasaan Islam. Ekspansi ke daerah-daerah di luar Arabia dimulai di zaman
Khalifah pertama, Abu Bakar Al-Siddik.
a. Abu Bakar al-Shidiq (w. 634M/11 H)
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar
disebut Khalifah Rasulillah (pengganti Rasul) yang dalam perkembangan
selanjutnya disebut khalifah saja. Abu Bakar menjadi khalifah di tahun
632 M dan usia kepemimpinannya hanya dua tahun, karena pada tahun 634 M Abu
Bakar meninggal dunia. Masanya yang singkat itu banyak dipergunakan untuk
menyelesaikan persoalan dalam negeri, terutama tantangan atau sikap membangkan
dari suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk pada pemerintahan Madinah.[29]
Kebijakan pertama yang ia lakukan adalah memerangi orang-orang yang murtad
dan golongan orang yang menolak membayar zakat. Ia juga melanjutkan kebijakan
Rasul SAW dengan mengirim pasukan pemimpin Usamah bin Zayd ke Syria, yang
sebelumnya sampai tertunda karena sakit keras yang menderanya, menjelang
kewafatannya. Ia juga berhasil mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf
yang berserakan pada pelepah kurma, batu tipis, tulang dan lembaran kain
atau kulit binatang.[30]
b. Umar bin Khat}t}ab (w. 644 M/23 H)
Pada masa pemerintahannya ia melakukan ekspansi
ke negeri Persia, Iraq, Palestina, Syria hingga Mesir. Hal ini ia lakukan demi
membebaskan wilayah jajahan-jajahan tersebut dari jajahan Romawi. Ia meninggal
di usia 63 tahun akibat dibunuh oleh Abu Lu’luah al-Majusi yang berasal dari
Persia.[31]
Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan
pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif
dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan
kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum.[32] Selain
itu, Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan
menciptakan tahun hijrah.[33]
c. Usman bin Affan (w. 656 M/35 H)
Pemerintahan
Usman ibn Affan berlangsung selama 12 tahun dan terjadi perluasan wilayah kekuasaan dan
da’wah sampai ke Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari
Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil disebut. Ekspansi Islam pertama
berhenti sampai di sini.[34]
Pada masa pemerintahannya ia berhasil menyusun
al-Quran dalam satu bentuk bacaan yang sebelumnya memilki banyak versi. Ia juga
berhasil memperluas wilayah islam ke Turki, Siprus, Afrika Utara, Asia Tengah,
Khurasan dan Balkh di Afganistan. Pasukan tangguh dan kuat pertahanannya.[35]
Usman meninggal dunia dalam usia 82 tahun ketika membaca al-Qur’an, akibat
ketidakpuasan rakyatnya atas kebijakan politiknya yang cenderung nepotisme.
d. Ali bin Abi Thalib (w. 661
M/40 H)
Pada waktu pemerintahan Ali bin Abi Thalib,
terjadi berbagai kerusuhan dan kekacauan setelah terbunuhnya Usman. Rakyat
menuntutnya untuk segera menghukum pembunuh Usman. Itu sulit diwujudkan,karena
kondisi negara yang tidak stabil. Ia hanya menetapkan yaitu memerangi kelompok
pembangkang tersebut yang berujung pada terjadinya perang Jamal pimpinan Aisyah
yang didukung Zubair dan Talhah dan perang Siffin pimpinan Mu’awiyah.[36]
Dalam perang Siffin, Ali menerima arbitrasi yang menyebabkan pasukannya
terbelah menkadi dua. Satu menolak, sedang yang lain menerimanya. Kelompok yang
menolak inilah disebut Khawarij yang bertanggung jawab atas terbunuhnya
sang Khalifah.
Dari masa khulafa al-Rasidin ini, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai perkembangan pemikiran dan
pedaban Islam, yaitu :
1. Setelah Rasul wafat muncul
sistem pemerintahan Islam yang disebut dengan Khalifah.
2. Sistem pemilihan khalifah,
yaitu : Abu Bakar dipilih melalui musyawarah, Umar ibn Khattab, melalui wasiat
dari Abu Bakar, Usman ibn Affan, melalui musyawarah enam orang sahabat untuk
memilih, dan Ali ibn Abi Thalib, dibaiat langsung oleh masyarakat Islam.
3. Kemajuan dari aspek
perluasana kekuasaan dan da’wah serta aspek peradaban Islam, yaitu pada masa
Abu Bakar, perluasan wilayah kekuasaan dan da’wah samapi ke Syria. Pada masa
Umar ibn Khattab, perluasan wilayah kekuasaan dan da’wah Islam meliputi Jazirah
Arabia, Palestina, Syria, dan sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Selain
perluasan wilayah, Umar ibn Khattab, juga melakukan perbaikan pada system
administrasi pemerintahan menjadi delapan wilayah propinsi, diatur dan
ditertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah, pengadilan didirikan untuk
memisahkan lembaga yudikatif dengan eksekuitf, membangun system keamanan dengan
dibentuk jawabatan keamanan (kepolisian), dibentuk jawatan pekerjaan umum,
mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menentukan tahun hijrah.
Pada masa Usman ibn Affan, membangun bendungan untuk menjaga arus banjir, pengaturan
pembagian air ke kota-kota, membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan,
measjid-mesjid, termasuk memperluas mesjid Nabi di Madinah. Pada masa Ali ibn
Abi Thalib, secara politik dan pemikiran mucul tiga golongan, yaitu: golongan Muawiyah,
golongan syi’ah (pengkut) Ali, dan golongan khawarij.
4. Ekspansi dan da’wah Islam
ke negara-negara yang sangat jauh dari pusat kekuasaan Islam dalam waktu tidak
lebih dari setengah abad, merupakan kemenagan yang menakjubkan dari suatu
bangsa yang sebelum belum mempunyai pengalaman politik yang memadai.
Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi dan da’wah Islam itu demikian cepat,
antara lain adalah[37]:
2. Dinasti Ummayah dan Abasiyyah
a.
Dinasti Amawi (Bani Ummayah I)
Dinasti Amawi adalah dinasti pertama dalam
islam yang didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w.661 M/41 H). Ia
mengangkat puteranya Yazid sebagai putera mahkota dan menjadikan Damaskus di
Syria sebagai ibukota islam dan pusat pemerintahannya.
Dinasti ini mencapai puncak kejayaan pada masa al-Walid (w.715 M/96
H). Ia melanjutkan ekspansi islam jilid II hingga mencapai Asia kecil, Asia
tengah, Afrika Utara dan Eropa. Sedang Umar bin’ Abd al-Azis (w.720 M/101 H)
adalah khalifah yang terkenal dengan ketaqwaan dan kejujurannya. Sampai-sampai
ia dijuluki sebagai khalifah ketiga setelah Abu Bakar dan Umar. Kebijakannya
yang paling kontoversial adalah :
1. Mengembalikan harta
kekayaan yang dimiliki keluarganya dan bahkan istrinya ke Baytul Mal
al-Muslimin,
2. Menghapus
upeti yang dipungut dari Ahl ad-Dhimmah yang sudah masuk islam,
3. Menurunkan
nilai pajak yang harus dibayar kaum muslimin, terutama kaum mawali (kaum muslim
non-Arab dari Persia).
4. Membela
yang kecil dan penghapusan diskriminasi social yang menyebabkan banyak orang
yang memeluk islam.[38]
Gambar 6.2:
Wilayah terluas Dinasti Umayyah
Masa
kekuasaan Dinasti Amawi berlangsung selama 91 tahun. Kemudian dinasti tersebut
mengalami keruntuhan. Penyebab utama keruntuhan dinasti itu adalah :
1. Faktor
intern. Faktor itu berupa adanya persaingan dan perebutan kekuasaan diantara
para keluarga khalifah
2. Faktor
ekstern. Yaitu adanya perselisihan dan perebutan pengaruh yang cenderung
mengarah pada fanatisme golongan antara orang Arab Mudariyah di utara dan
Yamaniyah di selatan; ketidaksenangan rakyat atas perilaku khalifah dan
keluarganya yang mengabaikan nasib rakyat.
Meskipun demikian, Dinasti ini memberikan
kontribusi yang besar dalam memperluas wilayah islam. Dari Maroko inilah
ekspansi ke Eropa dimulai ketika T}ariq bin ziyad mendarat di daerah pegunungan
Gibraltar di Spanyol.[39]
Dinasti Umayyah juga banyak berjasa dalam
pembangunan berbagai bidang, Muawiyah bin Abi Sufyan mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat tentu yang menyediakan kuda lengkap dengan peralatannya di
sepanjang jalan. Menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang.
Spesialisasi jabatan Qad}i atau hakim yang berkembang menjadi profesi
tersendiri. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Byzantium dan Persia
dengan mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M yang memakai kata-kata dan
tulisan Arab.[40]
Gambar 6.3:
Kubah Shakhrah (“Masjid Kubah Batu”) di Yerusalem, salah satu
masjid besar pertama yang dibangun pemerintahan Umayyah pada tahun 687 M dan selesai pada tahun 691M.
Adapun perkembangan lainnya yang dicapai
dinasti Umayyah ini adalah: 1) Diwan; yang berarti “catatan” atau “daftar”.
Yang mengalami perkembangan terbatas pada empat diwan penting, yaitu Diwan
Pajak, Diwan Persuratan, Diwan Penerimaan dan Diwan Stempel di
samping ada juga diwan lain yang posisinya berada di bawah keempat di atas
seperti diwan yang mengatur keperluan polisi dan tentara.[41]
2) Barid; yaitu suatu badan atau lembaga yang pada masa sekarang dikenal
dengan nama Kantor Pos, yang bertugas mengantarkan surat-surat maupun
dokumentasi penting lainnya ke suatu wilayah, terutama dalam pemerintahan Islam[42],
3) Kepolisian; Pada masa Bani umayah kepolisian mengalami perkembangan.
Berbeda dari masa-masa sebelumnya, pada masa ini terutama pada pemerintahan Hisyam
bin Abdul Malik (102-125H.) ketika dimasukkan seorang kepala yang berwewenang
meneliti tindakan-tindakan militer dan dianggap sebagai penengah antara
wewenang kepala polisi dan komandan militer[43],
4) Angkatan Perang; Salah satu perkembangan dalam bidang
angkatan perang ini adalah dibuatnya pabrik kapal laut pada tahun 54 H. setelah
serangan yang dilancarkan oleh tentara Romawi yang menyebabkan banyak kaum
muslimin yang gugur[44],
5) Peradilan; Pada masa bani Umayah, sebagaimana sebelumnya, para hakim
yang diangkat adalah orang-orang pilihan yang sangat takut kepada Allah SWT.
dan adil dalam menetapkan suatu keputusan, [45]
juga membagio hakim menjadi tiga (Al Qadla’, yaitu peradilan yang
menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama, Al Hisbah,
yang mengurus masalah-masalah pidana dan Al Mazhalim, yaitu lembaga
tertinggi yang mengadili para pejabat tinggi dan hakim-hakim).[46]
2.
Dinasti Abbasiyah (Bani Abbasiyah)
Pendiri Dinasti Abbasiyah adalah Abu al-Abbas
al-S}affah (w. 754 M/ 136 H). Pengganti al-S}affah adalah Abu Ja’far al-Mansur
(w. 776 M/158 H). Ia bisa dikatakan sebagai pembina dan peletak dasar dinasti
yang sebenarnya. Karena pada massanya ia menumpas pemberontak yang terjadi di
semua kekuasaan islam. Puncak kejayaannya yaitu pada masa Khalifah Harun
al-Rashid (w. 809 M/193 H). Karena pada masa pemerintahannya ia meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan keperluan sosial. Contohnya yaitu dibangunnya rumah
sakit.
Khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Pendiri dan
penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw, sehingga dinamakan khilafah
Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdulah al- Saffah ibn Muhammad ibn
Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas dan kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M).
Pada
periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara
politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Pada periode ini
juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintah dinasti
Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang.[47]
Popularitas
daulat Bani Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid
(786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Pada masa ini, kekayaan negara
banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit,
lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat
sekitar 800 orang dokter. Selain itu, permandian-permandian umum juga dibangun.
Maka dapat dikatakan bahwa tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada
zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya.
Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan
tak tertandingi. Khalifah al-Ma’mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai
khalifah yang sangat cinta pada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penterjemahan
buku-buku Yunani, dan al- Ma’mun menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan
Kristen dan penganut agama lain yang ahli. al-Ma’mun, banyak mendirikan sekolah
dan salah satu karya besarnya yang terpenting adalam pembangunan Bait
al-Hikmah yang digunakan sebagai pusat penerjemahan dan juga berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Maka pada al-Ma’mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[48]
Puncak
perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan
Bani Abbasiyah, yaitu dengan dibangunnya lembaga pendidikan, gerakan
terjemahan, perkembangan bidang tafsir,[49]
munculnya empat Imam-imam mazhab hukum, munculnya aliran-aliran teologi.[50]
Pengaruh
gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan
umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah.
Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Farazi sebagai astronomi Islam yang
pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, dikenal di Eropa dengan
namaal-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.[51] Dalam
bidang kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina.
Dalam
bidang filsafat, tokoh-tokoh yang terkenal anadalah al-Farabi, Ibn Sina, dan
Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa,
kenegaraan, etika, dan enterpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina,
juga banyak mengarang buku tentang filsafat dan yang terkenal di antaranya
adalah al-Syifa’. Suatu ensiklopedia tentang fisika, metafisika, dan
matematika yang terdiri dari 18 jilid. Di Eropa, Ibn Sina dengan tafsiran yang
dikarangnya tentang filsafat Aristoteles lebih terkenal daripada Al-Farabi. Ibn
Rusyd, di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, yang banyak berpengaruh di
Barat dalam bidang filsafat, sehingga di Barat terdapat aliran yang disebut
dengan Averroisme. Dalam lapangan penyusunan hadis-hadis Nabi menjadi buku,
terkenal nama Muslim dan Bukhari. Dalam bidang fikih atau hukum Islam terkenal
nama-nama, seperti Malik ibn Anas, al-Syafi’I, Abu Hanifah dan Ahmad ibn
Hanbal. Dalam bidang tafsir, terkenal nama al-Tabari (839-923 M).[52]
Masa
kemunduran pemerintahan Bani Abbasiyah ditengarai dengan: 1) Masa disintegrasi
ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa
keemasannya; 2) Dinasti-dinasti yang me-merdekan diri dari Baghdad, akibat dari
kebijakan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari
pada persoalan politik; 3) Adanya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan
militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka kuat dan benar-benar
independen[53];
4) Munculnya fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan
atau anti Arab)[54];
5) Selain Sulitnya komunikasi dan tingkat kepercayaan antara kalangan para
penguasa dan pelaksana pemerintah keuangan juga mengalami kesulitan[55]; 6) Perebutan
Kekuasaan di Pusat Pemerintahan; 7) dan Perang Salib.
Perpecahan wilayah Abbasiyyah
C. DINASTI-DINASTI LAIN
1. Dinasti Seljuk
Dinasti ini berasal dari asia tengah. Bangsa Saljuk
mulai berimigrasi ke Anatolia (asia kecil) sejak abad ke-11 M dan membentuk
basis kekuatan yang hebat dalam dunia islam. Migrasi bangsa Seljuk ke Anatolia
yang begitu cepat dari timur menuju barat telah mengubah wajah dan karakter
Anatolia yang sebelumnya memiliki karakter seperti bangsa eropa.[56]
Wilayah ini
dibagi menjadi lima bagian: pertama, Seljuk besar. Wilayahnya meliputi Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia dan
Ahwaz. Kedua, Seljuk Kirman. Wilayah kekuasaannya berada di bawah keluarga
Qawurt Bek bin Daud bin Mikail bin Seljuk. Ketiga, Seljuk Irak dan Kurdistan.
Pemimpin pertamanya adalah Mughirs Ad-Din Mahmud. Keempat, Seljuk Suriah.
diperintah oleh keluarga Tutush bin Alib Arsalan bin Daud bin Mikail bin
Seljuk, Kelima, Seljuk Ruum. Diperintah oleh keluarga Qutlumish bin Israil bin
Seljuk.[57]
Ada dua
institusi penting yang berkembang pesat pada masa pemerintahan dinasti Seljuk,
yakni madrasah dan rumah sakit. Pada masa itu, madrasah dan rumah sakit
dibangun di mana-mana, madrasah, perpustakaan dan rumah sakit bermunculan di
wilayah-wilayah yang dikuasai dinasti Seljuk, seperti kota Baghdad, Merv,
Isfahan, Nishapur, Mosul, Damaskus, Kairo, Aleppo, Amid (Diyarbakir), Konya,
Kayseri dan Malatya. Institusi tersebut berkembang menjadi pusat kebudayaan
Seljuk Islam.
Beberapa
ilmuwan dan budayawan terkemuka yang lahir pada masa itu antara lain,
Al-Juvayni, Abu Ishak, Al-Shirazi, Umar Al-Hayyan, Al-Badi Al-Usturlabi, Abu
Al-Barakat Habatullah bin Malka Al-Baghdadi, Samaf Al-Magribi, Syarifuddin
Al-Tusa, Kamal Ad-Din bin Yunus, Shihabuddin Yahya bin Habis Al-Suhrawardi,
Fahr Ad-Din Ar-Razi, Ibnu Al-Razza Al-Jazari, Ibnu Al-Asir serta Saifuddin
Al-Amidi.
Sejak abad ke-4
M, ratusan madrasah ditemukan tersebar luas di Anatolia. Hampir setiap wilayah
Anatolia terdapat madrasah. Hal ini jelas menunjukkan bahwa dinasti Seljuk
sangat memperhatikan dunia pendidikan bagi rakyatnya. Gambaran berbeda terlihat
di pusat kekuasaan islam di wilayah yang dikuasai bangsa lain seperti di Mesir,
Suriah dan Palestina, madrasah hanya ditermukan di kota-kota besar saja, tidak
seperti di Anatolia, baik di desa dan di kota pemerintah membangun madrasah.
Madrasah-madrasah yang dibangun dinasti Seljuk tersebut masih banyak yang
berdiri dengan tegak hingga saat ini dan dapat ditemukan di berbagai kota
besar, kota kecil juga desa yang berada di Anatolia.
Penyebab
keruntuhan diniasti ini adalah[58]: 1)
Perselisihan di dalam keluarga saljuk antara saudara, paman, anak-anak dan
cucu. 2) Masuknya kaum wanita dalam pemerintahan. 3) Dimunculkannya fitnah oleh
para pejabat, menteri dan Atabek. 4) Lemahnya khalifah bani Abbasiah dalam
menghadapi kekuatan militer Saljuk. 5) Ketidakmampuan dalam menyatukan wilayah
syam, mesir dan irak di bawah panji kekuasaan bani Abbasiah. 6) Adanya friksi
dalam kekuasaan saljuk hingga menimbulkan bentrokan militer yang terus-menerus.
7) Konspirasi orang-orang bathiniah terhadap kesultanan saljuk dengan cara
membunuh dan menghabisi para sultan, pemimpin dan komandan perang. 8) Perang
Salib.
2. Dinasti Buwaihiyah
Bani Buwaihi mulai dikenal dalam sejarah adalah
pada awal abad ke-4 Hijriah. Bani Buwaihi -yang kemudian memegang kekuasaan di
dalam Daulah Abbasiyah- pada mulanya berasal dari tiga orang bersaudara, yaitu
Ali, Al Hasan dan Ahmad. Ketiganya
adalah putra dari seorang yang bernama Buwaihi.[59]
Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin yang
tinggal di suatu negeri bernama Dailam.[60] Ia
adalah seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan.[61] Ketiga orang anaknya pada mulanya juga
mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya. Walaupun mereka berasal
dari keluarga miskin, namun keluarga ini terkenal dengan keberaniannya. Watak
keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek mereka yang bergelar Abu
Suja’, yang berarti bapak pemberani. Di dalam diri ketiga putranya ini
tentu telah mengalir darah pemberani itu. Hal ini terbukti setelah ketiga
bersaudara ini jadi tentara.
Dinasti Buwaihi Berkuasa pada masa Daulah
Abbasiyah berkuasa di Baghdad selama hampir satu seperempat abad, yaitu dari
tahun 334-447 H/ 945-1055 M. Meskipun dalam masa tersebut kekhalifahan dipegang
oleh keluarga Bani Abbas, tetapi khalifah hanya sebagai lambang saja. Yang
menguasai dan mengatur pemerintahan adalah keluarga Bani Buwaihi.
Dinasti Buwaihi terbentuk semenjak Ahmad Ibn
Buwaihi memasuki kota Baghdad dan diserahi kekuasaan oleh Khalifah Al-Mustakfiy
sebagai pelindungnya dari bahaya orang Turki. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 12 Jumadil Awwâl 334 H. Kemudian lima hari setelah itu oleh khalifah
Al-Mustakfiy, Ahmad ibn Buwaihi dipercaya memegang jabatan atas nama khalifah.
Inilah titik awal terbentuknya Dinasti Buwaihi di dalam Daulah Abbasiyah.[62]
Ketika telah terjadinya penggulingan demi
penggulingan kekuasan sesama keluarga Bani Buwaihi, tepatnya pada masa Al-Malik
al-Rahîm, Bani Saljuk di bawah pimpinan Tugrul Bek menyerbu Kota Baghdad, yang
akhirnya ia berhasil menangkap Al-Malik al-Rahîm, serta Baghdad dapat dikuasai.
Semenjak itu berakhirlah masa Dinasti Buwaihi, dan berdirilah Dinasti Bani
Saljuk di Daulah Abbasiyah sebagai ganti dinasti Buwaihi.
3. Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah
dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai
tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu
bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan
keturunan pendiri kedua sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah
di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di
berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari
kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri
sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah,
Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian
barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah,
dan Hamdaniyah.[63]
Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan
berakhir pada 567 H/1171 M(2) yang pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan
keagamaan yang berkedudukan di Afrika Utara, dan kemudian berpindah ke Mesir(3).
Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan
sekaligus istri Ali bin Abi Thalib ra. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya
sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah
Zahra binti Rasulullah SAW.[64]
Dinasti ini mengalami kejayaan pada masa pemerintahan
Abu Tamin Ma’Abu Daud yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil
menaklukkan Mesir dan memindahkan pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini rakyat
merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera dengan kebijakan-kebijakan untuk
mensejahterakan rakyatnya. Indikatornya adalah banyaknya bangunan fisik seperti
Mesjid, Rumah sakit, Penginapan, jalan utama yang dilengkapi lampu dan pusat
perbelanjaan. Pada masa ini pula berkembang berbagai jenis perusahaan dan
kerajinan seperti tenunan, kermik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca,
ramuan, obat-obatan.[65]
Kesuksesan lainnya adalah dalam bidang pengembangan
ilmu pengetahuan. Besarnya minat masyarakat kepada ilmu pengetahuan mendapat
dukungan penguasa dengan membangun Dar al-Hikmah pada tahun 1005 M dan
perguruan tinggi al-Azhar (yang sebelumnya adalah bangunan masjid), yang mengajarkan
ilmu kedokteran, Fiqh, Tauhid, Al-Bayan, Bahasa Arab, Mantiq, dan sebagainya.[66]
Ada tiga hal yang dapat disoroti mengenai perkembangan
dan kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni : 1) Kemajuan
Administrasi Pemerintahan[67],
2) Penyebaran Faham Syiah[68]
dan 3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan[69].
Masa Kemunduran dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah
terlihat di masa pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa
pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan
adalah Fatimiyah pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M. Adapun faktor
yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya daulah Fatimiyah dapat
diklarifikasikan kepada faktor internal yang dikarenakan lemahnya kekuasaan
pemerintah[70] dan faktor
eksternal yang disebabkan menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir
yang merupakan Gubernur Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani
Abbasiyah.
4. Ayubiyah
Ayyubiyah adalah
sebuah Dinasti Sunni yang berkuasa di Dyar Bakir hingga tahun 1429 M. Dinasti
ini didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi, wafat tahun 1193 M.[71] Ia
berasal dari suku Kurdi Hadzbani, putra Najawddin Ayyub, yang menjadi abdi dari
putra Zangi bernama Nuruddin. Keberhasilannya dalam perang Salib, membuat para
tentara mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah
meninggal setelah menguasai Mesir tahun 1169 M. Ia tetap mempertahankan
lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah tetapi mengubah
orientasi keagamaannya dari Syiah menjadi Sunni.[72]
Penaklukan atas Mesir oleh Salahuddin pada 1171
M, membuka jalan bagi pembentukan madzhab-madzhab hukum sunni di Mesir. Madzhab
Syafi’i tetap bertahan di bawah pemerintahan Fathimiyah, sebaliknya Salahuddin
memberlakukan madzhab-madzhab Hanafi.[73]
Keberhasilan Shalahuddin di Mesir mendorongnya
menjadi penguasa otonom. Dalam mengkosolidasikan kekuatannya, ia banyak
memanfaatkan keluarganya untuk ekspansi ke wilayah lain, seperti Turansyah. Saudaranya
dikirim untuk menguasai Yaman 1173 M. Taqiyuddin, keponakannya disetting untuk
melawan tentara Salib yang menduduki Dimyat. Sedang Syihabuddin, pamannya,
untuk menduduki Mesir Hulu (Nubia). Kematian Nuruddin 1174 M menjadikan posisi
Shalahuddin semakin kuat, yang akhirnya memudahkan penaklukan Siria, termasuk
Damaskus, Aleppo dan Mosul. Akhirnya pada 1175 M, ia diakui sebagai sultan atas
Mesir, Yaman dan Siria oleh Khalifah Abbasiyah.
Di masa pemerintahan Shalahuddin, ia membina
kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan
penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng
pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam. Pasukannya juga diperkuat oleh
pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan
kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan.
Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds
(Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di
Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah
kedudukan Shalahuddin, sampai akhirnya raja Inggris Richard membuat perjanjian
genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.
Setelah kematian Shalahuddin, Ayyubiyah
melanjutkan pemerintahan Mesir dan pemerintahan Syiria (sampai tahun 1260 M).
Keluarga Ayyubiyah membagi imperiumnya menjadi sejumlah kerajaan kecil Mesir,
Damaskus, Alleppo, dan kerajaan Mosul sesuai dengan gagasan Saljuk bahwa negara
merupakan warisan keluarga raja. Meskipun demikian, Ayyubiyah tidak mengalami
perpecahan, karena dengan loyalitas kekeluargaan Mesir diintegrasikan berbagai
imperium. Mereka menata pemerintahan dengan sistem birokrasi masa lampau yang
telah berkembang di negara-negara Mesir dan Syiria melalui distribusi iqta’
kepada pejabat-pejabat militer yang berpengaruh.
Sebagaimana Dinasti-Dinasti sebelumnya, Dinasti
Ayyubiyah pun mencapai kemajuan yang gemilang dan mempunyai beberapa
peninggalan bersejarah. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai bidang,
diantaranya adalah : 1) Bidang Arsitektur dan Pendidikan dengan ibangunnya
Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat pengajaran empat madzhab
hukum dalam sebuah lembaga Madrasah. 2) Bidang Filsafat dan Keilmuan dengan
penerjemahan buku karya-karya orang Arab tentang astronomi dan geometri,
penerjemahan bidang kedokteran. 3) Bidang Industri dengan dibuatnya kincir oleh
seorang Syiria yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik
karpet, pabrik kain dan pabrik gelas. 4) Bidang Perdagangan dengan perdagangan
agriculture dan industrinya. 5) Bidang Militer dengan memiliki alat-alat perang
seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, ia juga memiliki burung elang
sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Disamping itu, adanya perang
Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang industri, perdagangan,
dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.
Kemunduran Dinasti Ayyubiyah ditengarai dengan
di runtuhkannya keluarga Ayyubiyah oleh sebuah pemberontakan oleh salah satu
resimen budak (Mamluk)nya, yang membunuh penguasa terakhir Ayyubiyah, dan
mengangkat salah seorang pejabat Aybeng menjadi sultan baru. Keruntuhan ini
terjadi di dua tempat, di wilayah Barat Ayyubiyah berakhir oleh serangan
Mamluk, sedangkan di Syiria dihancurkan oleh pasukan Mongol.[74] Dengan
demikian berakhirlah riwayat Ayyubiyah oleh Dinasti Mamluk. Dinasti yang mampu
mempertahankan pusat kekuasaan dari serangan bangsa Mongol.
5. Bani Umayah II
Spanyol atau yang lebih dikenal dengan
Andalusia di masa lalu pernah di kuasai oleh umat Islam
pada zaman Khalifah Al-Walid (705-715 M) salah seorang khalifah Daulah Umayah
yang berpusat di Damaskus.[75] Dan masa ini berlangsung
selama hampir delapan abad ( 711 – 1492 M ).
Sebelum umat Islam menguasai Andalusia
wilayah yang terletak disekitar semenanjung Iberia dan membelah Benua Eropa
dengan Afrika ini dikenal dengan berbagai nama. Sebelum abad ke – 5 M, wilayah
ini disebut dengan Iberia (Les Iberes), yang diambil dari nama Bangsa
Iberia (penduduk tertua diwilaya tersebut). Ketika berada dibawah kekuasan
Romawi, wilayah ini dikenal dengan nama Asbania. Pada abad ke – 5 M,
Andalusia dikuasai olah Bangsa Vandal yang berasal dari wilayah ini sejak itu
wilayah ini disebut Vandalusia yang oleh umat Islam akhirnya disebut “Andalusia”. Setelah
itu datanglah bangsa Gothia ke Andalusia memerangi bangsa Vandal dan menguasai
Andalusia. Pada Awalnya bangsa Gothia ini kuat sekali tapi kemudian banyak
perpecahan dan menyebabkan kemunduran kerajaan itu.
Sementara itu, Thariq ibn Ziyad lebih banyak dikenal
sebagai penakluk Spanyol. Kesuksesan Thariq yang gemilang menarik perhatian
Musa ibn Nusyair. Ia mendarat di Spanyol dengan 18.000 pasukan pada bulan Juli
712 M., dan segera menaklukan kota Seville dan sejumlah kota kecil lainnya.[76]
Penaklukan pasukan muslim terhadap Spanyol merupakan
lembaran baru yang gemilang bagi sejarah negeri ini. Penaklukan tersebut
menyelamatkan wilayah Spanyol dari Tirani. Ghotik, dengan membuka suatu era
baru di mana kebenaran dan keadilan ditegakkan. Prinsip persaudaraan universal
diterapkan kepada seluruh rakyat. Kebebasan beragama terjamin, baik bagi mereka
yang beragama yahudi maupun Kristen. Sekalipun atas mereka diwajibkan membayar jizya,
namun terasa sangat ringan dibandingkan beban berbagai pajak yang dipikul
mereka pada masa sebelum pemerintahan muslim. Segala bentuk perpajakan yang
memberatkan rakyat dihapuskan dan digantikan dengan sistem perpajakan yang
adil. Para budak dan hamba sahaya dibebaskan. Perdagangan dan perniagaan
mengalami kemajuan pesat. Pertanian dikembangkan dengan membangun sejumlah
sistem irigrasi. Pembangunan menjadikan sejumlah kota di Spanyol berdiri dengan
megah. Cordova merupakan simbol kehebatan pada abad pertengahan, suatu abad di
mana bangsa Eropa tengah dilanda kegelapan dan kebodohan. Spanyol merupakan
satu-satunya negeri Eropa yang pertama kali mengalami masa pencerahan lantaran
kemajuan pendidikan dan peradaban, pada saat itu kemajuan pendidikan dan
peradaban Spanyol selama masa pemerintahan muslim mengantarkan negeri-negeri
Eropa lainnya mencapai masa pencerahan di masa belakangan.
Demi ketertiban urusan administrasi, pemerintahan
muslim di Spanyol dibagi menjadi empat wilayah provinsi, masing-masing di bawah
penguasaaan gubernur. Masyarkat Spanyol diberikan kebebasan beragama dan antara
mereka dengan kaum emigrant Arab Muslim menjalin integritas masyarakat, bahkan
dalam urusan perkawinan sekalipun. Mereka diberikan kebebasan hidup, beragama
dan kebebasan berfikir. Selama masa ini masyarakat Spanyol mengalami kemajuan
pesat dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan, sehingga Spanyol mencapai puncak
kemajuan, pada saat itu, selama pemerintahan Muslim.[77]
Sejak pertama kali berkembang di Spanyol sampai dengan
berakhirnya kekuasaan Islam di sana, Islam telah memainkan peranan yang sangat
besar. Masa ini berlangsung selama hampir 8 abad (711-1492 M). Pada tahap awal
semenjak menjadi wilayah kekuasaan Islam, Spanyol diperintah oleh wali-wali
yang diangkat oleh pemerintahan Bani Umayah di Damaskus. Pada Periode ini,
kondisi sosial politik di Spanyol masih diwarnai perselisihan disebabkan karena
kompleksitas etnis dan golongan. Selain itu juga timbul gangguan dari sisa-sisa
musuh Islam di Spanyol yang bertempat tinggal di wilayah-wilayah pedalaman.
Periode ini berakhir dengan datangnya Abdur Rahmad Al-Dhalil ke Spanyol pada
tahun 138 H/755 M.[78]
[1] Philip
K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 16.
[2] Fadil
SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah (Malang: UIN
Malang Press, 2008), 43.
[5] Ahmad
Mujahidin, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara
Sekitarnya”, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor 2 (Maret, 2003), 4.
[8] A.
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Muchtar Yahya, (Jakarta:
Djaya Murni, jilid 1,1970), 22.
[10] ‘Abd
al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah
fī Tarīkh hadr
al-Islam (Beirut: Markaz Dirāsah
al-Wahdah al-‘Arabīyah, 2007), 41.
[11] R.A
Nicholson, A Literary History of The Arabs (Cambridge: Cambridge
University Press, 1997), 83.
[12] Bernard
Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya
dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri (Jakarta: Ilmu Jaya, 1994), 10.
[17] A.
Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), 29.
[20] Syafiq
A. Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 15.
[23] Muh}ammad
Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta;
Litera Antar Nusa, 2011), 19-20.
[24] M. M.
al-A‘zzamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai
Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani, 2005), 23.
[32] Syibli Nu’man, Umar Yang Agung, (Bandung:
Pustaka, 1981), 264-276 dan 324-418.
[33] Syibli Nu’man, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Jilid I, (Jakarta, Pustaka Alhusna, cet.v, 1987), 263.
[36] Abu ‘Amr
Khalifah Khayyat al-Laythi, Tarikh Khalifat Ibn Khayyat (Beirut: Dar
al-Kuttub al-Ilmiyyah, 1995), 115
[38] Hasan
Ibrahim Hasan, Tarijh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Thaqafi wa
al-Ijtia’ I, vol I (Cairo: Maktabat al-Nahdah al Misriyah, 1979), 337.
[40] Imam
As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), 258.
[42] Ibid., 328.
[43] Ibid, 330.
[44] Ibid, 369.
[45] Ibid, 377.
[46] Ibid, 382.
[48] W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian
Kritis dati Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), 68.
[50] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan
Filsafat Islam, (Jakarta: P3M, Cetakan Pertama, 1987), 54-113.
[52] Ibid, 73.
[53] W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam
Lintasan Sejarah, (Jakarta: P3M, 1988), 152.
[55] Ibid, 66-67.
[56] Ash-Sholabi, Ali Muhammad Muhammad, Ad-Daulah
Al-Utsmaniah, (Darut Tauzi’ Wan Nasyr Al-Islamiah, 2001), 28.
[59] Taufik Abd. Allah dkk (Ed), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam Khilafah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, [tth),
h.-
[60] Ibid.
[61] Hasan Ibrâhîm Hasan, Tarikh al-Islam, (Kairo:
Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1964), 45.
[62] Ibid.
[64] Muhammad Sahil Thaqusi, Tarikhul Fathimiyyin fi
Syimali Afriqiyah, mishra wa biladis Syam, (Beirut: Darun Nufas Beirut,
2001), 53.
[66] Muhammad Jamaluddin Surur, ad Daulah al fatimiyah
fil Mashr, (Kairo: Darul Fikr al Arabiy, 1979), 68-71.
[69] Muhammad Jalaluddin al Surur, ad-Daulah al
fatimiyah, 68-71. Lihat juga Harun Nasution, Islam ditinjau dari
berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), 8. Juga lihat Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 281-283.
DOWNLOAD FILE PDF DISINI
0 Comments