SEJARAH PRA ISLAM


Berikut ini merupakan paparan kilas balik tentang sejarah masyarakat Arab sebelum Islam datang dan pada masa Islam pada masa Rasulullah SAW atau periode awal Islam menjadi sebagai anutan keyakinan masyarakat Arab.



SEJARAH PRA ISLAM DAN ISLAM KLASIK
Oleh: Sulaiman, S.Pd.I


A. SEJARAH PRA ISLAM
1. Keadaan Geografis Bangsa Arab Sebelum Islam
Semenanjung Arab adalah semenanjung yang terletak di sebelah barat daya Asia. Wilayahnya memiliki luas 1.745.900 kilometer persegi.[1] Semenanjung ini dinamakan jazirah karena tiga sisinya berbatasan dengan air, yakni di sebelah timur berbatasan dengan teluk Oman dan teluk Persi, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia dan teluk Aden, di sebelah barat berbatasan dengan laut merah. Hanya di sebelah utara, jazirah ini berbatasan dengan daratan atau padang pasir Irak dan Syiria.[2]
Secara geografis, daratan jazirah Arab didominasi padang pasir yang luas, serta memiliki iklim yang panas dan kering. Hampir lima per enam daerahnya terdiri dari padang pasir dan gunung batu.[3] Luas padang pasir ini diklasifikasikan Ahmad Amin sebagai berikut:
1.    Sahara Langit, yakni yang memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat. Sahara ini disebut juga sahara Nufud. Di daerah ini, jarang sekali ditemukan lembah dan mata air. Angin disertai debu telah menjadi ciri khas suasana di tempat ini. Hal itulah yang menyebabkan daerah ini sulit dilalui.
2.    Sahara Selatan, yakni yang membentang dan menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan daerah sepi (al-Rub’ al-Khali).
3.    Sahara Harrat, yakni suatu daerah yang terdiri dari tanah liat berbatu hitam. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di seluruh sahara ini.[4]
Secara garis besar,  jazirah Arab dibedakan menjadi dua, yakni daerah pedalaman dan pesisir. Daerah pedalaman jarang sekali mendapatkan hujan, namun sesekali hujan turun dengan lebatnya. Kesempatan demikian biasa dimanfaatkan penduduk nomadik dengan mencari genangan air dan padang rumput demi keberlangsungan hidup mereka. Sedangkan daerah pesisir, hujan turun dengan teratur, sehingga para penduduk daerah tersebut relatif padat dan sudah bertempat tinggal tetap. Oleh karena itu, di daerah pesisir ini, jauh sebelum Islam lahir, sudah berkembang kota-kota dan kerajaan-kerajaan penting, seperti kerajaan Himyar, Saba’, Hirah dan Ghassan.[5]
Sebelum Islam lahir, bangsa Arab yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang yang cukup strategis membuat Islam yang diturunkan di makkah menjadi cepat disebarluaskan ke berbagai wilayah disamping juga didorong oleh faktor cepatnya laju perluasan wilayah yang dilakukan umat Islam,[6] dan bahkan bangsa Arab telah dapat mendirikan kerajaan diantaranya Saba’, Ma’in dan Qutban serta Himyar yang semuanya berasa di wilayah Yaman.[7]
Di sisi lain, kenyataan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan diturunkan dalam konteks geografis Arab, mengimplikasikan sebuah asumsi bahwa suatu pemahaman yang komprehensif terhadap al-Qur’an hanya mungkin dilakukan dengan sekaligus melacak pemaknaan dan pemahaman pribadi, masyarakat dan lingkungan mereka yang menjadi audiens pertama al-Qur’an, yaitu Muhammad dan masyarakat Arab saat itu dengan segala kultur dan tradisinya. Dan untuk memiliki pengertian yang sebenar-benarnya tentang asal mula Islam, maka satu hal yang perlu diketahui adalah bagaimana keadaan Arab sebelum adanya Islam, Muhammad, dan sejarah Islam terdahulu.
Menjelang kelahiran islam, Jazirah arab di apit oleh dua kerajaan besar yaitu Romawi timur di sebelah barat sampai ke laut Adriatik dan Persia di sebelah timur sampai ke sungai Dijlah. Kedua kerajaan besar itu disebut hegemoni di wilayah sekitar timur tengah. Sebenarnya jazirah arab bebas dari pengaruh kedua kerajaan tersebut, kecuali daerah-daerah subur seperti: Yaman dan daerah-daerah sekitar teluk Persia. Wilayah jazirah arab di teluk Persia termaksud daerah kekuasaan kerajaan Persia. Dengan demikian daerah hijau bebas dari pengaruh-pengaruh politik dan budaya dari luar. Islam yang dasar-dasarnya diletakkan oleh nabi di Mekkah dan di Madinah adalah: agama yang murni, tidak dipengaruhi baik oleh perkembangan agama-agama yang ada di sekitarnya maupun kekuasaan politik yang meliputinya.[8]
2. Pembagian Bangsa Arab
Bangsa Arab adalah bangsa tertua yang hidup setelah banjir ( Nabi Nuh AS). Mereka berasal dari keturunan Yaqzhan atau Qathan. Bangsa Arab adalah bangsa yang memiliki kelebihan fisik dan keberanian yang handal. Para ahli sejarah membagi bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu : Arab Ba’idah (yang punah) ArabAribah ( leluhur asli bangsa Arab) dan Arab Musta’ribah (Campuran).
1. Arab Ba’idah
Arab Ba’idah adalah nenek moyang bangsa Arab yang jejak sejarahnya secara rinci telah hilang tertekan zaman, karena sudah jauh masanya, sementara tidak ada alat-alat ilmu pengetahuan yang bisa digunakan untuk menyelidiki bekas-bekas peninggalan mereka. Mereka antara lain adalah kaum ‘Ad, Tsamud, Thusam, dan Jurhum pertama.
2. Arab ‘aribah
Arab ‘aribah, mereka adalah keturunan Saba’. Nama aslinya ‘Abdu Syams bin Yasjub bin Ya’rib bin Qathan. Dinamai Saba’ karena dia gemar berperang dan menawan musuh. Menawan bahasa Arabnya Saba’. Anaknya banyak, antara lain : Himyar,  kahlan, ‘ Umar, Asy’ar, dan Amilah. Seluruh kaum Tubba’ di Yaman berikut raja-rajanya adalah keturunan Saba’. Mereka semua berasal dari keturunan Hamyar bin Saba’, kecuali ‘Imran dan Mauzriqia. Keduanya adalah anak-anak Amir bin Hartsah binUmru’ Al-Qais bin Tsa’lab bin Mazin bin Al-Uzd dan Al-Uzd adalah anak Kahlan bin Saba’. Mereka di sebut ‘Aribah, karena tinggal di pedalaman, bekas tempat tinggal Arab Ba’idah, dan mewarisi tradisi-tradisnya.
3. Arab Mustaribah
Arab Mustaribah yaitu menjadi arab atau peranakan di sebut demikian karena waktu jurhum dari suku bangsa Qathan mendiami Mekkah, mereka tinggal bersama nabi Ismail dan ibunya Siti Hajar. Nabi Ismail yang bukan keturunan Arab, mengawini wanita suku Jurhum. Arab Mustaribah sering juga disebut Bani Ismail bin Ibrahim ismail (Adnaniyyun).[9]
3. Sistem Politik atau Pemerintahan Bangsa Arab sebelum Islam
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazi>rah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.[10]
Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis. Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya.[11] Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab Ethiopia.
Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Shaikh  dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih memiliki hubungan famili. Fungsi pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari pada memberi komando. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.[12]
Pada masyarakat Arab pra Islam sudah banyak ditemukan tata cara pengaturan dalam aktivitas kehidupan sosial yang dapat dibagi pada beberapa sistem-sistem yang ada di masyarakat, salah satunya adalah system politiknya. Pada garis besarnya penduduk jazirah dapat di bagi berdasarkan territorial kepada dua bagian yaitu:
Penduduk kota (al-hadharah) yang tinggal di kota perniagaan jazirah Arabia, seperti Mekkah, Madinah. Kota Mekkah merupakan kota penghubung perniagaan Utara dan selatan, para pedagang dengan khalifah-khalifah yang berani membeli barang dagangan dari India dan cina di yaman dan menjualnya ke Syiria di Utara.
Penduduk pedalaman yang mengembara dari satu tempat ketempat lain. Cara mereka hidup adalah nomaden, berpindah dari suatu daerah ke daerah lain, mereka tidak mempunyai perkampungan yang tetap dan mata pencaharian yang tepat bagi mereka adalah memelihara ternak, domba dan unta.[13]

Gambar 6.1:
Salah satu bangunan di Petra, kota yang dibangun di jazirah Arab sebelum kemunculan Islam

Dalam masyarakat arab terdapat organisasi clan (kabilah) sebagai intinya dan anggota dari satu clan merupakan geneologi (pertalian ndarah). Pemerintah dikalangan bangsa arab sebelum islam, menurut para ahli sejarah dimulai oleh golongan arab bai’idah. Pada periode pertama dikenal ada kerajaan Aad di daerah ahkaf al romel yang terletak antara oman dan Yaman, kaum aad juga pernah mendirikan kerajaan antara Makkah dan Yastrib. Kemudian juga dikenal kerajaan dari kaum Tsamud mendiami daerah hijir dan wadi al-Kurro, antara Hijaz dan Syiria. Kemudian di kenal juga kerajaan dari kaum amaliqah di arab timur, oman Hijaz mereka juga ke Mesir dan Syiria. Pada periode Kedua yaitu pada masa arab aribah atau bani qhathan yang terkenal dengan kerajaan Madiniyah, kerajaan sabaiyah dan kerajaan himyariah.
4. Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat
Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah. Mereka termasuk ras atau rumpun bangsa kaukasoid, sebagaimana ras-ras yang mendiami daerah Mediteranian, Nordic, Alpine dan Indic.[14]
Bangsa Arab hidup berpindah-pindah (nomad). Demikian ini karena kondisi tanah tempat mereka hidup terdiri dari gurun pasir kering dan minim turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa (padang rumput) yang muncul secara sporadis di sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan badui Arab untuk kebutuhan makan binatang ternak seperti kuda, onta dan domba.
Berbeda halnya dengan penduduk Arab perkotaan terutama penduduk pesisir, pertanian, peternakan dan perdangangan, dapat berkembang dengan baik di daerah tersebut. Hal inilah tentunya yang membuat kehidupan masyarakat pesisir lebih makmur daripada masyarakat pedalaman (badui). Dari realitas ini, maka timbullah reaksi antara penduduk kota atau pesisir dengan penduduk pedalaman atau badui.
Aksi dan reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun dimotivasi oleh desakan kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Orang-orang nomad bersikeras mendapatkan sumber-sumber tertentu pada orang-orang kota terhadap apa yang tidak mereka miliki dari lingkungan mereka tinggal. Hal itu dilakukan baik melalui kekerasan (penyerbuan kilat) atau jalan damai (barter). Orang-orang badui nomaden dikenal sebagai perampok darat dan makelar. Gurun pasir, yang merupakan daerah operasi mereka sebagai perampok, memiliki kesamaan karakteristik dengan laut.[15]
Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (trible) dan dipimpin oleh Shaikh.[16] Keeratan hubungan kesukuan, kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Maka tidak heran, jika peperangan antar suku menjadi ciri khas masyarakat ini. Rendahnya harga wanita seakan-akan menjadi akibat dari keadaan masyarakat yang suka berperang tersebut.
Akibat tradisi peperangan ini, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra Islam langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Shalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.[17] Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para pe-rawi syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Arab dapat diketahui, yang antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk badui adalah penyair.[18]
Lain halnya dengan penduduk kota yang memiliki kemajuan peradaban, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Mereka telah mampu berkarya seperti membuat alat-alat dari besi, bahkan sampai mendirikan kerajaan-kerajaan. Sampai pada lahirnya Nabi Muh}ammad, daerah-daerah tersebut masih merupakan kota-kota perniagaan, sebagaimana diketahui bahwa daerah tersebut merupakan jalur perdagangan antara Eropa dan Asia. Sebagaimana masyarakat badui, penduduk daerah ini juga mahir bersyair. Biasanya, syair-syair dibacakan di pasar-pasar, semacam pagelaran pembacaan syair, seperti yang terjadi di pasar ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa dan kiasan.[19]
5. Kondisi Perekonomian
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor, pengadaan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan.[20]
Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra Islam sebagaimana dikemukakan Burhan al-Din Dallu adalah sebagai berikut:
1.         Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.
2.         Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
3.         Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
4.         Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah Arab.
5.         Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya terlibat peperangan terus menerus.
6.         Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M.
7.         Dibangunnya pasar lokal dan pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.
8.         Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan laut merah.
9.         Terisolasinya perdagangan orang Ethiopia di laut merah karena diblokade tentara Yaman pada tahun 575 M.[21]
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional, walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh sukses besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.[22]
6. Keberagamaan Masyarakat Arab sebelum Islam
Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: shanam, wathan, nushub, dan hubal. Shanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nushub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri.[23] Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.[24]
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka menolak, maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh dengan pedang atau dilukai sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit” (Ash hab al-Ukhdud).[25]
Sedangkan Agama Kristen di jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang tampak hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen. Menurut Muhammad ‘Abid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Nashara” bukan “al-Masihiyah” dan “al-Masihi” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Nashara” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Hawariyun”. Sekte Arius menyebar di bagian selatan jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru jazirah Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraish yang berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, dan Habashah.[26] Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes.[27]
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Hanifiyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Hanifiyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Thaif, dan Mekah.[28]

B. SEJARAH ISLAM KLASIK
1. Masa Khulafa>urrashidin
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan ke-emasan Islam. Dalam hal ekspansi, sebelum Nabi Muhammad wafat di tahun 632 M., seluruh Semenanjung Arabia telah tunduk ke bawah kekuasaan Islam. Ekspansi ke daerah-daerah di luar Arabia dimulai di zaman Khalifah pertama, Abu Bakar Al-Siddik.
a. Abu Bakar al-Shidiq (w. 634M/11 H)
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah (pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Abu Bakar menjadi khalifah di tahun 632 M dan usia kepemimpinannya hanya dua tahun, karena pada tahun 634 M Abu Bakar meninggal dunia. Masanya yang singkat itu banyak dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri, terutama tantangan atau sikap membangkan dari suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk pada pemerintahan Madinah.[29]
Kebijakan pertama yang ia lakukan adalah memerangi orang-orang yang murtad dan golongan orang yang menolak membayar zakat. Ia juga melanjutkan kebijakan Rasul SAW dengan mengirim pasukan pemimpin Usamah bin Zayd ke Syria, yang sebelumnya sampai tertunda karena sakit keras yang menderanya, menjelang kewafatannya. Ia juga berhasil mengumpulkan Al-Qur’an  dalam satu mushaf yang berserakan pada pelepah kurma, batu tipis, tulang dan lembaran kain  atau kulit binatang.[30]
b. Umar bin Khat}t}ab (w. 644 M/23 H)
Pada masa pemerintahannya ia melakukan ekspansi ke negeri Persia, Iraq, Palestina, Syria hingga Mesir. Hal ini ia lakukan demi membebaskan wilayah jajahan-jajahan tersebut dari jajahan Romawi. Ia meninggal di usia 63 tahun akibat dibunuh oleh Abu Lu’luah al-Majusi yang berasal dari Persia.[31]
Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum.[32] Selain itu, Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijrah.[33]
c. Usman bin Affan (w. 656 M/35 H)
Pemerintahan Usman ibn Affan berlangsung selama 12 tahun dan terjadi perluasan wilayah kekuasaan dan da’wah sampai ke Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil disebut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.[34]
Pada masa pemerintahannya ia berhasil menyusun al-Quran dalam satu bentuk bacaan yang sebelumnya memilki banyak versi. Ia juga berhasil memperluas wilayah islam ke Turki, Siprus, Afrika Utara, Asia Tengah, Khurasan dan Balkh di Afganistan. Pasukan tangguh dan kuat pertahanannya.[35] Usman meninggal dunia dalam usia 82 tahun ketika membaca al-Qur’an, akibat ketidakpuasan rakyatnya atas kebijakan politiknya yang cenderung nepotisme.
d.    Ali bin Abi Thalib (w. 661 M/40 H)
Pada waktu pemerintahan Ali bin Abi Thalib, terjadi berbagai kerusuhan dan kekacauan setelah terbunuhnya Usman. Rakyat menuntutnya untuk segera menghukum pembunuh Usman. Itu sulit diwujudkan,karena kondisi negara yang tidak stabil. Ia hanya menetapkan yaitu memerangi kelompok pembangkang tersebut yang berujung pada terjadinya perang Jamal pimpinan Aisyah yang didukung Zubair dan Talhah dan perang Siffin pimpinan Mu’awiyah.[36] Dalam perang Siffin, Ali menerima arbitrasi yang menyebabkan pasukannya terbelah menkadi dua. Satu menolak, sedang yang lain menerimanya. Kelompok yang menolak inilah disebut Khawarij yang bertanggung jawab atas terbunuhnya sang Khalifah.
Dari masa khulafa al-Rasidin ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai perkembangan pemikiran dan pedaban Islam, yaitu :
1. Setelah Rasul wafat muncul sistem pemerintahan Islam yang disebut dengan Khalifah.
2. Sistem pemilihan khalifah, yaitu : Abu Bakar dipilih melalui musyawarah, Umar ibn Khattab, melalui wasiat dari Abu Bakar, Usman ibn Affan, melalui musyawarah enam orang sahabat untuk memilih, dan Ali ibn Abi Thalib, dibaiat langsung oleh masyarakat Islam.
3. Kemajuan dari aspek perluasana kekuasaan dan da’wah serta aspek peradaban Islam, yaitu pada masa Abu Bakar, perluasan wilayah kekuasaan dan da’wah samapi ke Syria. Pada masa Umar ibn Khattab, perluasan wilayah kekuasaan dan da’wah Islam meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, dan sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Selain perluasan wilayah, Umar ibn Khattab, juga melakukan perbaikan pada system administrasi pemerintahan menjadi delapan wilayah propinsi, diatur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah, pengadilan didirikan untuk memisahkan lembaga yudikatif dengan eksekuitf, membangun system keamanan dengan dibentuk jawabatan keamanan (kepolisian), dibentuk jawatan pekerjaan umum, mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menentukan tahun hijrah. Pada masa Usman ibn Affan, membangun bendungan untuk menjaga arus banjir, pengaturan pembagian air ke kota-kota, membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, measjid-mesjid, termasuk memperluas mesjid Nabi di Madinah. Pada masa Ali ibn Abi Thalib, secara politik dan pemikiran mucul tiga golongan, yaitu: golongan Muawiyah, golongan syi’ah (pengkut) Ali, dan golongan khawarij.
4. Ekspansi dan da’wah Islam ke negara-negara yang sangat jauh dari pusat kekuasaan Islam dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenagan yang menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelum belum mempunyai pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi dan da’wah Islam itu demikian cepat, antara lain adalah[37]:

2. Dinasti Ummayah dan Abasiyyah
a. Dinasti Amawi (Bani Ummayah I)
Dinasti Amawi adalah dinasti pertama dalam islam yang didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w.661 M/41 H). Ia mengangkat puteranya Yazid sebagai putera mahkota dan menjadikan Damaskus di Syria sebagai ibukota islam dan pusat pemerintahannya.
Dinasti ini mencapai puncak kejayaan pada masa al-Walid (w.715 M/96 H). Ia melanjutkan ekspansi islam jilid II hingga mencapai Asia kecil, Asia tengah, Afrika Utara dan Eropa. Sedang Umar bin’ Abd al-Azis (w.720 M/101 H) adalah khalifah yang terkenal dengan ketaqwaan dan kejujurannya. Sampai-sampai ia dijuluki sebagai khalifah ketiga setelah Abu Bakar dan Umar. Kebijakannya yang paling kontoversial adalah :
1.  Mengembalikan harta kekayaan yang dimiliki keluarganya dan bahkan istrinya ke Baytul Mal al-Muslimin,
2.         Menghapus upeti yang dipungut dari Ahl ad-Dhimmah yang sudah masuk islam,
3.         Menurunkan nilai pajak yang harus dibayar kaum muslimin, terutama kaum mawali (kaum muslim non-Arab dari Persia).
4.         Membela yang kecil dan penghapusan diskriminasi social yang menyebabkan banyak orang yang memeluk islam.[38]
 











Gambar 6.2:
Wilayah terluas Dinasti Umayyah
Masa kekuasaan Dinasti Amawi berlangsung selama 91 tahun. Kemudian dinasti tersebut mengalami keruntuhan. Penyebab utama keruntuhan dinasti itu adalah :
1.         Faktor intern. Faktor itu berupa adanya persaingan dan perebutan kekuasaan diantara para keluarga khalifah
2.         Faktor ekstern. Yaitu adanya perselisihan dan perebutan pengaruh yang cenderung mengarah pada fanatisme golongan antara orang Arab Mudariyah di utara dan Yamaniyah di selatan; ketidaksenangan rakyat atas perilaku khalifah dan keluarganya yang mengabaikan nasib rakyat.
Meskipun demikian, Dinasti ini memberikan kontribusi yang besar dalam memperluas wilayah islam. Dari Maroko inilah ekspansi ke Eropa dimulai ketika T}ariq bin ziyad mendarat di daerah pegunungan Gibraltar di Spanyol.[39]
Dinasti Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, Muawiyah bin Abi Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tentu yang menyediakan kuda lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Spesialisasi jabatan Qad}i atau hakim yang berkembang menjadi profesi tersendiri. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Byzantium dan Persia dengan mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M yang memakai kata-kata dan tulisan Arab.[40]
Gambar 6.3:
Kubah Shakhrah (“Masjid Kubah Batu”) di Yerusalem, salah satu masjid besar pertama yang dibangun pemerintahan Umayyah  pada tahun 687 M dan selesai pada tahun 691M.

Adapun perkembangan lainnya yang dicapai dinasti Umayyah ini adalah: 1) Diwan; yang berarti “catatan” atau “daftar”. Yang mengalami perkembangan terbatas pada empat diwan penting, yaitu Diwan Pajak, Diwan Persuratan, Diwan Penerimaan dan Diwan Stempel di samping ada juga diwan lain yang posisinya berada di bawah keempat di atas seperti diwan yang mengatur keperluan polisi dan tentara.[41] 2) Barid; yaitu suatu badan atau lembaga yang pada masa sekarang dikenal dengan nama Kantor Pos, yang bertugas mengantarkan surat-surat maupun dokumentasi penting lainnya ke suatu wilayah, terutama dalam pemerintahan Islam[42], 3) Kepolisian; Pada masa Bani umayah kepolisian mengalami perkembangan. Berbeda dari masa-masa sebelumnya, pada masa ini terutama pada pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (102-125H.) ketika dimasukkan seorang kepala yang berwewenang meneliti tindakan-tindakan militer dan dianggap sebagai penengah antara wewenang kepala polisi dan komandan militer[43], 4) Angkatan Perang; Salah satu perkembangan dalam bidang angkatan perang ini adalah dibuatnya pabrik kapal laut pada tahun 54 H. setelah serangan yang dilancarkan oleh tentara Romawi yang menyebabkan banyak kaum muslimin yang gugur[44], 5) Peradilan; Pada masa bani Umayah, sebagaimana sebelumnya, para hakim yang diangkat adalah orang-orang pilihan yang sangat takut kepada Allah SWT. dan adil dalam menetapkan suatu keputusan, [45] juga membagio hakim menjadi tiga (Al Qadla’, yaitu peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama, Al Hisbah, yang mengurus masalah-masalah pidana dan Al Mazhalim, yaitu lembaga tertinggi yang mengadili para pejabat tinggi dan hakim-hakim).[46]
2.    Dinasti Abbasiyah (Bani Abbasiyah)
Pendiri Dinasti Abbasiyah adalah Abu al-Abbas al-S}affah (w. 754 M/ 136 H). Pengganti al-S}affah adalah Abu Ja’far al-Mansur (w. 776 M/158 H). Ia bisa dikatakan sebagai pembina dan peletak dasar dinasti yang sebenarnya. Karena pada massanya ia menumpas pemberontak yang terjadi di semua kekuasaan islam. Puncak kejayaannya yaitu pada masa Khalifah Harun al-Rashid (w. 809 M/193 H). Karena pada masa pemerintahannya ia meningkatkan kesejahteraan rakyat dan keperluan sosial. Contohnya yaitu dibangunnya rumah sakit.
Khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw, sehingga dinamakan khilafah Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdulah al- Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas dan kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M).
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Pada periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintah dinasti Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.[47]
Popularitas daulat Bani Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Pada masa ini, kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat sekitar 800 orang dokter. Selain itu, permandian-permandian umum juga dibangun. Maka dapat dikatakan bahwa tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Khalifah al-Ma’mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta pada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penterjemahan buku-buku Yunani, dan al- Ma’mun menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. al-Ma’mun, banyak mendirikan sekolah dan salah satu karya besarnya yang terpenting adalam pembangunan Bait al-Hikmah yang digunakan sebagai pusat penerjemahan dan juga berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Maka pada al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[48]
Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu dengan dibangunnya lembaga pendidikan, gerakan terjemahan, perkembangan bidang tafsir,[49] munculnya empat Imam-imam mazhab hukum, munculnya aliran-aliran teologi.[50]
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Farazi sebagai astronomi Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, dikenal di Eropa dengan namaal-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.[51] Dalam bidang kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina.
Dalam bidang filsafat, tokoh-tokoh yang terkenal anadalah al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan enterpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina, juga banyak mengarang buku tentang filsafat dan yang terkenal di antaranya adalah al-Syifa’. Suatu ensiklopedia tentang fisika, metafisika, dan matematika yang terdiri dari 18 jilid. Di Eropa, Ibn Sina dengan tafsiran yang dikarangnya tentang filsafat Aristoteles lebih terkenal daripada Al-Farabi. Ibn Rusyd, di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, yang banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di Barat terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Dalam lapangan penyusunan hadis-hadis Nabi menjadi buku, terkenal nama Muslim dan Bukhari. Dalam bidang fikih atau hukum Islam terkenal nama-nama, seperti Malik ibn Anas, al-Syafi’I, Abu Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal. Dalam bidang tafsir, terkenal nama al-Tabari (839-923 M).[52]
Masa kemunduran pemerintahan Bani Abbasiyah ditengarai dengan: 1) Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya; 2) Dinasti-dinasti yang me-merdekan diri dari Baghdad, akibat dari kebijakan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik; 3) Adanya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka kuat dan benar-benar independen[53]; 4) Munculnya fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan atau anti Arab)[54]; 5) Selain Sulitnya komunikasi dan tingkat kepercayaan antara kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah keuangan juga mengalami kesulitan[55]; 6) Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan; 7) dan Perang Salib.


Gambar 6.4:
Perpecahan wilayah Abbasiyyah


C. DINASTI-DINASTI LAIN
1. Dinasti Seljuk
Dinasti ini berasal dari asia tengah. Bangsa Saljuk mulai berimigrasi ke Anatolia (asia kecil) sejak abad ke-11 M dan membentuk basis kekuatan yang hebat dalam dunia islam. Migrasi bangsa Seljuk ke Anatolia yang begitu cepat dari timur menuju barat telah mengubah wajah dan karakter Anatolia yang sebelumnya memiliki karakter seperti bangsa eropa.[56]
Wilayah ini dibagi menjadi lima bagian: pertama, Seljuk besar. Wilayahnya meliputi Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia dan Ahwaz. Kedua, Seljuk Kirman. Wilayah kekuasaannya berada di bawah keluarga Qawurt Bek bin Daud bin Mikail bin Seljuk. Ketiga, Seljuk Irak dan Kurdistan. Pemimpin pertamanya adalah Mughirs Ad-Din Mahmud. Keempat, Seljuk Suriah. diperintah oleh keluarga Tutush bin Alib Arsalan bin Daud bin Mikail bin Seljuk, Kelima, Seljuk Ruum. Diperintah oleh keluarga Qutlumish bin Israil bin Seljuk.[57]
Ada dua institusi penting yang berkembang pesat pada masa pemerintahan dinasti Seljuk, yakni madrasah dan rumah sakit. Pada masa itu, madrasah dan rumah sakit dibangun di mana-mana, madrasah, perpustakaan dan rumah sakit bermunculan di wilayah-wilayah yang dikuasai dinasti Seljuk, seperti kota Baghdad, Merv, Isfahan, Nishapur, Mosul, Damaskus, Kairo, Aleppo, Amid (Diyarbakir), Konya, Kayseri dan Malatya. Institusi tersebut berkembang menjadi pusat kebudayaan Seljuk Islam.
Beberapa ilmuwan dan budayawan terkemuka yang lahir pada masa itu antara lain, Al-Juvayni, Abu Ishak, Al-Shirazi, Umar Al-Hayyan, Al-Badi Al-Usturlabi, Abu Al-Barakat Habatullah bin Malka Al-Baghdadi, Samaf Al-Magribi, Syarifuddin Al-Tusa, Kamal Ad-Din bin Yunus, Shihabuddin Yahya bin Habis Al-Suhrawardi, Fahr Ad-Din Ar-Razi, Ibnu Al-Razza Al-Jazari, Ibnu Al-Asir serta Saifuddin Al-Amidi.
Sejak abad ke-4 M, ratusan madrasah ditemukan tersebar luas di Anatolia. Hampir setiap wilayah Anatolia terdapat madrasah. Hal ini jelas menunjukkan bahwa dinasti Seljuk sangat memperhatikan dunia pendidikan bagi rakyatnya. Gambaran berbeda terlihat di pusat kekuasaan islam di wilayah yang dikuasai bangsa lain seperti di Mesir, Suriah dan Palestina, madrasah hanya ditermukan di kota-kota besar saja, tidak seperti di Anatolia, baik di desa dan di kota pemerintah membangun madrasah. Madrasah-madrasah yang dibangun dinasti Seljuk tersebut masih banyak yang berdiri dengan tegak hingga saat ini dan dapat ditemukan di berbagai kota besar, kota kecil juga desa yang berada di Anatolia.
Penyebab keruntuhan diniasti ini adalah[58]: 1) Perselisihan di dalam keluarga saljuk antara saudara, paman, anak-anak dan cucu. 2) Masuknya kaum wanita dalam pemerintahan. 3) Dimunculkannya fitnah oleh para pejabat, menteri dan Atabek. 4) Lemahnya khalifah bani Abbasiah dalam menghadapi kekuatan militer Saljuk. 5) Ketidakmampuan dalam menyatukan wilayah syam, mesir dan irak di bawah panji kekuasaan bani Abbasiah. 6) Adanya friksi dalam kekuasaan saljuk hingga menimbulkan bentrokan militer yang terus-menerus. 7) Konspirasi orang-orang bathiniah terhadap kesultanan saljuk dengan cara membunuh dan menghabisi para sultan, pemimpin dan komandan perang. 8) Perang Salib.
2. Dinasti Buwaihiyah
Bani Buwaihi mulai dikenal dalam sejarah adalah pada awal abad ke-4 Hijriah. Bani Buwaihi -yang kemudian memegang kekuasaan di dalam Daulah Abbasiyah- pada mulanya berasal dari tiga orang bersaudara, yaitu Ali, Al Hasan  dan Ahmad. Ketiganya adalah putra dari seorang yang bernama Buwaihi.[59]
Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam.[60] Ia adalah seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan.[61]  Ketiga orang anaknya pada mulanya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya. Walaupun mereka berasal dari keluarga miskin, namun keluarga ini terkenal dengan keberaniannya. Watak keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek mereka yang bergelar Abu Suja’, yang berarti bapak pemberani. Di dalam diri ketiga putranya ini tentu telah mengalir darah pemberani itu. Hal ini terbukti setelah ketiga bersaudara ini jadi tentara.
Dinasti Buwaihi Berkuasa pada masa Daulah Abbasiyah berkuasa di Baghdad selama hampir satu seperempat abad, yaitu dari tahun 334-447 H/ 945-1055 M. Meskipun dalam masa tersebut kekhalifahan dipegang oleh keluarga Bani Abbas, tetapi khalifah hanya sebagai lambang saja. Yang menguasai dan mengatur pemerintahan adalah keluarga Bani  Buwaihi.
Dinasti Buwaihi terbentuk semenjak Ahmad Ibn Buwaihi memasuki kota Baghdad dan diserahi kekuasaan oleh Khalifah Al-Mustakfiy sebagai pelindungnya dari bahaya orang Turki. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 Jumadil Awwâl 334 H. Kemudian lima hari setelah itu oleh khalifah Al-Mustakfiy, Ahmad ibn Buwaihi dipercaya memegang jabatan atas nama khalifah. Inilah titik awal terbentuknya Dinasti Buwaihi di dalam Daulah Abbasiyah.[62]
Ketika telah terjadinya penggulingan demi penggulingan kekuasan sesama keluarga Bani Buwaihi, tepatnya pada masa Al-Malik al-Rahîm, Bani Saljuk di bawah pimpinan Tugrul Bek menyerbu Kota Baghdad, yang akhirnya ia berhasil menangkap Al-Malik al-Rahîm, serta Baghdad dapat dikuasai. Semenjak itu berakhirlah masa Dinasti Buwaihi, dan berdirilah Dinasti Bani Saljuk di Daulah Abbasiyah sebagai ganti dinasti Buwaihi.
3. Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.[63]
Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567 H/1171 M(2) yang pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan keagamaan yang berkedudukan di Afrika Utara, dan kemudian berpindah ke Mesir(3). Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi Thalib ra. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti Rasulullah SAW.[64]
Dinasti ini mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Abu Tamin Ma’Abu Daud yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil menaklukkan Mesir dan memindahkan pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini rakyat merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera dengan kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan rakyatnya. Indikatornya adalah banyaknya bangunan fisik seperti Mesjid, Rumah sakit, Penginapan, jalan utama yang dilengkapi lampu dan pusat perbelanjaan. Pada masa ini pula berkembang berbagai jenis perusahaan dan kerajinan seperti tenunan, kermik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca, ramuan, obat-obatan.[65]
Kesuksesan lainnya adalah dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Besarnya minat masyarakat kepada ilmu pengetahuan mendapat dukungan penguasa dengan membangun Dar al-Hikmah pada tahun 1005 M dan perguruan tinggi al-Azhar (yang sebelumnya adalah bangunan masjid), yang mengajarkan ilmu kedokteran, Fiqh, Tauhid, Al-Bayan, Bahasa Arab, Mantiq, dan sebagainya.[66]
Ada tiga hal yang dapat disoroti mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni : 1) Kemajuan Administrasi Pemerintahan[67], 2) Penyebaran Faham Syiah[68] dan 3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan[69].
Masa Kemunduran dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah terlihat di masa pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M. Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya daulah Fatimiyah dapat diklarifikasikan kepada faktor internal yang dikarenakan lemahnya kekuasaan pemerintah[70] dan faktor eksternal yang disebabkan menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir yang merupakan Gubernur Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah.
4. Ayubiyah
Ayyubiyah adalah sebuah Dinasti Sunni yang berkuasa di Dyar Bakir hingga tahun 1429 M. Dinasti ini didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi, wafat tahun 1193 M.[71] Ia berasal dari suku Kurdi Hadzbani, putra Najawddin Ayyub, yang menjadi abdi dari putra Zangi bernama Nuruddin. Keberhasilannya dalam perang Salib, membuat para tentara mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir tahun 1169 M. Ia tetap mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syiah menjadi Sunni.[72]
Penaklukan atas Mesir oleh Salahuddin pada 1171 M, membuka jalan bagi pembentukan madzhab-madzhab hukum sunni di Mesir. Madzhab Syafi’i tetap bertahan di bawah pemerintahan Fathimiyah, sebaliknya Salahuddin memberlakukan madzhab-madzhab Hanafi.[73]
Keberhasilan Shalahuddin di Mesir mendorongnya menjadi penguasa otonom. Dalam mengkosolidasikan kekuatannya, ia banyak memanfaatkan keluarganya untuk ekspansi ke wilayah lain, seperti Turansyah. Saudaranya dikirim untuk menguasai Yaman 1173 M. Taqiyuddin, keponakannya disetting untuk melawan tentara Salib yang menduduki Dimyat. Sedang Syihabuddin, pamannya, untuk menduduki Mesir Hulu (Nubia). Kematian Nuruddin 1174 M menjadikan posisi Shalahuddin semakin kuat, yang akhirnya memudahkan penaklukan Siria, termasuk Damaskus, Aleppo dan Mosul. Akhirnya pada 1175 M, ia diakui sebagai sultan atas Mesir, Yaman dan Siria oleh Khalifah Abbasiyah.
Di masa pemerintahan Shalahuddin, ia membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam. Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah kedudukan Shalahuddin, sampai akhirnya raja Inggris Richard membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.
Setelah kematian Shalahuddin, Ayyubiyah melanjutkan pemerintahan Mesir dan pemerintahan Syiria (sampai tahun 1260 M). Keluarga Ayyubiyah membagi imperiumnya menjadi sejumlah kerajaan kecil Mesir, Damaskus, Alleppo, dan kerajaan Mosul sesuai dengan gagasan Saljuk bahwa negara merupakan warisan keluarga raja. Meskipun demikian, Ayyubiyah tidak mengalami perpecahan, karena dengan loyalitas kekeluargaan Mesir diintegrasikan berbagai imperium. Mereka menata pemerintahan dengan sistem birokrasi masa lampau yang telah berkembang di negara-negara Mesir dan Syiria melalui distribusi iqta’ kepada pejabat-pejabat militer yang berpengaruh.
Sebagaimana Dinasti-Dinasti sebelumnya, Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan yang gemilang dan mempunyai beberapa peninggalan bersejarah. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai bidang, diantaranya adalah : 1) Bidang Arsitektur dan Pendidikan dengan ibangunnya Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat pengajaran empat madzhab hukum dalam sebuah lembaga Madrasah. 2) Bidang Filsafat dan Keilmuan dengan penerjemahan buku karya-karya orang Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. 3) Bidang Industri dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain dan pabrik gelas. 4) Bidang Perdagangan dengan perdagangan agriculture dan industrinya. 5) Bidang Militer dengan memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, ia juga memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Disamping itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.
Kemunduran Dinasti Ayyubiyah ditengarai dengan di runtuhkannya keluarga Ayyubiyah oleh sebuah pemberontakan oleh salah satu resimen budak (Mamluk)nya, yang membunuh penguasa terakhir Ayyubiyah, dan mengangkat salah seorang pejabat Aybeng menjadi sultan baru. Keruntuhan ini terjadi di dua tempat, di wilayah Barat Ayyubiyah berakhir oleh serangan Mamluk, sedangkan di Syiria dihancurkan oleh pasukan Mongol.[74] Dengan demikian berakhirlah riwayat Ayyubiyah oleh Dinasti Mamluk. Dinasti yang mampu mempertahankan pusat kekuasaan dari serangan bangsa Mongol.

5. Bani Umayah II
Spanyol atau yang lebih dikenal dengan Andalusia di masa lalu pernah di kuasai oleh umat Islam pada zaman Khalifah Al-Walid (705-715 M) salah seorang khalifah Daulah Umayah yang berpusat di Damaskus.[75] Dan masa ini berlangsung selama hampir delapan abad ( 711 – 1492 M ).
Sebelum umat Islam menguasai Andalusia wilayah yang terletak disekitar semenanjung Iberia dan membelah Benua Eropa dengan Afrika ini dikenal dengan berbagai nama. Sebelum abad ke – 5 M, wilayah ini disebut dengan Iberia (Les Iberes), yang diambil dari nama Bangsa Iberia (penduduk tertua diwilaya tersebut). Ketika berada dibawah kekuasan Romawi, wilayah ini dikenal dengan nama Asbania. Pada abad ke – 5 M, Andalusia dikuasai olah Bangsa Vandal yang berasal dari wilayah ini sejak itu wilayah ini disebut Vandalusia yang oleh umat Islam akhirnya disebut “Andalusia”. Setelah itu datanglah bangsa Gothia ke Andalusia memerangi bangsa Vandal dan menguasai Andalusia. Pada Awalnya bangsa Gothia ini kuat sekali tapi kemudian banyak perpecahan dan menyebabkan kemunduran kerajaan itu.
Sementara itu, Thariq ibn Ziyad lebih banyak dikenal sebagai penakluk Spanyol. Kesuksesan Thariq yang gemilang menarik perhatian Musa ibn Nusyair. Ia mendarat di Spanyol dengan 18.000 pasukan pada bulan Juli 712 M., dan segera menaklukan kota Seville dan sejumlah kota kecil lainnya.[76]
Penaklukan pasukan muslim terhadap Spanyol merupakan lembaran baru yang gemilang bagi sejarah negeri ini. Penaklukan tersebut menyelamatkan wilayah Spanyol dari Tirani. Ghotik, dengan membuka suatu era baru di mana kebenaran dan keadilan ditegakkan. Prinsip persaudaraan universal diterapkan kepada seluruh rakyat. Kebebasan beragama terjamin, baik bagi mereka yang beragama yahudi maupun Kristen. Sekalipun atas mereka diwajibkan membayar jizya, namun terasa sangat ringan dibandingkan beban berbagai pajak yang dipikul mereka pada masa sebelum pemerintahan muslim. Segala bentuk perpajakan yang memberatkan rakyat dihapuskan dan digantikan dengan sistem perpajakan yang adil. Para budak dan hamba sahaya dibebaskan. Perdagangan dan perniagaan mengalami kemajuan pesat. Pertanian dikembangkan dengan membangun sejumlah sistem irigrasi. Pembangunan menjadikan sejumlah kota di Spanyol berdiri dengan megah. Cordova merupakan simbol kehebatan pada abad pertengahan, suatu abad di mana bangsa Eropa tengah dilanda kegelapan dan kebodohan. Spanyol merupakan satu-satunya negeri Eropa yang pertama kali mengalami masa pencerahan lantaran kemajuan pendidikan dan peradaban, pada saat itu kemajuan pendidikan dan peradaban Spanyol selama masa pemerintahan muslim mengantarkan negeri-negeri Eropa lainnya mencapai masa pencerahan di masa belakangan.
Demi ketertiban urusan administrasi, pemerintahan muslim di Spanyol dibagi menjadi empat wilayah provinsi, masing-masing di bawah penguasaaan gubernur. Masyarkat Spanyol diberikan kebebasan beragama dan antara mereka dengan kaum emigrant Arab Muslim menjalin integritas masyarakat, bahkan dalam urusan perkawinan sekalipun. Mereka diberikan kebebasan hidup, beragama dan kebebasan berfikir. Selama masa ini masyarakat Spanyol mengalami kemajuan pesat dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan, sehingga Spanyol mencapai puncak kemajuan, pada saat itu, selama pemerintahan Muslim.[77]
Sejak pertama kali berkembang di Spanyol sampai dengan berakhirnya kekuasaan Islam di sana, Islam telah memainkan peranan yang sangat besar. Masa ini berlangsung selama hampir 8 abad (711-1492 M). Pada tahap awal semenjak menjadi wilayah kekuasaan Islam, Spanyol diperintah oleh wali-wali yang diangkat oleh pemerintahan Bani Umayah di Damaskus. Pada Periode ini, kondisi sosial politik di Spanyol masih diwarnai perselisihan disebabkan karena kompleksitas etnis dan golongan. Selain itu juga timbul gangguan dari sisa-sisa musuh Islam di Spanyol yang bertempat tinggal di wilayah-wilayah pedalaman. Periode ini berakhir dengan datangnya Abdur Rahmad Al-Dhalil ke Spanyol pada tahun 138 H/755 M.[78]




[1]     Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 16.
[2]     Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah (Malang: UIN Malang Press, 2008), 43.
[3]     Ibid., 43-44.
[4]     Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Maktabah Najdah al-Mishriyyah, 1975), 1-2.
[5]     Ahmad Mujahidin, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor 2 (Maret, 2003), 4.
[6]     Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam , (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004), 13.
[7]     Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos, 1997), 6.
[8]     A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Muchtar Yahya, (Jakarta: Djaya Murni, jilid 1,1970), 22.
[9]     Ali Mufrodi, Islam di kawasan, 5 -8.
[10]    ‘Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tarīkh hadr al-Islam (Beirut: Markaz Dirāsah al-Wahdah al-‘Arabīyah, 2007), 41.
[11]    R.A Nicholson, A Literary History of The Arabs (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 83.
[12]    Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri (Jakarta: Ilmu Jaya, 1994), 10.
[13]    Ibid, 11.
[14]    Ali Mufrrodi, Islam di Kawasan.., 5.
[15]    Philip K. Hitti, History of The Arabs, 28.
[16]    Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 11.
[17]    A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), 29.
[18]    Gustav Leboun, Hadharat al-‘Arab (Kairo: Mathba‘ah ‘Isa al-Baabiy al-Halabi, t.t), 72.
[19]    Badri Yatim, Sejarah Peradaban…, 12.
[20]    Syafiq A. Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 15.
[21]    Burhan al-Din Dallu, Jazirat al-‘Arab Qabl al-Islam (Beirut: t.p, 1989), 129-130.
[22]    Ibid., 13.
[23]    Muh}ammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,  terj. Ali Audah, (Jakarta; Litera Antar Nusa, 2011), 19-20.
[24]    M. M. al-A‘zzamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani, 2005), 23.
[25]    Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 10-11. Lihat: Al-Qur-an, 85 (al-Buruj), 4-6.
[26]    Ibid., 58.
[27]    Ibid., 41-42.
[28]    Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 15-16.
[29]    Badri Yatim, Sejarah Peradaban…, 36.
[30]    Muhammad al-Khudai Bik, Tarikh al-Tashri’ al Islami (Mesir :Matba’ah al-Sa’adah, 1954), 12.
[31]    Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, vol. 1 (Beirut : Dar al-Fikr)
[32]    Syibli Nu’man, Umar Yang Agung, (Bandung: Pustaka, 1981), 264-276 dan 324-418.
[33]    Syibli Nu’man, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, (Jakarta, Pustaka Alhusna, cet.v, 1987), 263.
[34]    Badri Yatim, Sejarah Peradaban…,  38.
[35]    Ibn al-Athir, al-Kamil fi al Tarikh, vol 3 (Beirut : Dar al Sadir, 1965), 111
[36]    Abu ‘Amr Khalifah Khayyat al-Laythi, Tarikh Khalifat Ibn Khayyat (Beirut: Dar al-Kuttub al-Ilmiyyah, 1995), 115
[37]    Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. (Jakarta: UI Press. 1985), 58-61
[38]    Hasan Ibrahim Hasan, Tarijh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Thaqafi wa al-Ijtia’ I, vol I (Cairo: Maktabat al-Nahdah al Misriyah, 1979), 337.
[39]    Harun Nasution, Islam ditinjau .., 62.
[40]    Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), 258.
[41]    Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam .., 311-312.
[42]    Ibid., 328.
[43]    Ibid, 330.
[44]    Ibid, 369.
[45]    Ibid, 377.
[46]    Ibid, 382.
[47]    Badri Yatim, Sejarah Peradaban…, 50.
[48]    W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dati Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), 68.
[49]    Badri Yatim, Sejarah Peradaban…, 56.
[50]    W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta: P3M, Cetakan Pertama, 1987), 54-113.
[51]    Harun Nasution, Islam ditinjau .., 71.
[52]    Ibid, 73.
[53]    W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: P3M, 1988), 152.
[54]    Badri Yatim, Sejarah Peradaban…, 64.
[55]    Ibid, 66-67.
[56]    Ash-Sholabi, Ali Muhammad Muhammad, Ad-Daulah Al-Utsmaniah, (Darut Tauzi’ Wan Nasyr Al-Islamiah, 2001), 28.
[57]    Syauqi Abu Kholil, Athlas At-Tarikh Al-Arobi Al-Islami, (Damsyq: Darul Fikr, 2005), 219-221.
[58]    Ibid, 41.
[59]    Taufik Abd. Allah dkk (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, [tth), h.-
[60]    Ibid.
[61]    Hasan Ibrâhîm Hasan, Tarikh al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1964), 45.
[62]    Ibid.
[63]    Philip K Hitty, History of the Arabs, (MacMillan: The Macmillan Press Ltd, 1974), 450-483.
[64]    Muhammad Sahil Thaqusi, Tarikhul Fathimiyyin fi Syimali Afriqiyah, mishra wa biladis Syam, (Beirut: Darun Nufas Beirut, 2001), 53.
[65]    Jousef Sou’ib, Sejarah Daulat Abbasiah, (Bulan Bintang: Jakarta, 1977), 234.
[66]    Muhammad Jamaluddin Surur, ad Daulah al fatimiyah fil Mashr, (Kairo: Darul Fikr al Arabiy, 1979), 68-71.
[67]    Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, 105.
[68]    Ibid, 105-106.
[69]    Muhammad Jalaluddin al Surur, ad-Daulah al fatimiyah, 68-71. Lihat juga Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), 8. Juga lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 281-283.
[70]    Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh daulah Fatimiyah, 179.
[71]    Cyriil Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 143.
[72]    Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam.., 283.
[73]    Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (UK: cambridge University Press, 1999), 545.
[74]    Cyriil Glasse, Ensiklopedi Islam, 552.
[75]    Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam.., 87.
[76]    K. Ali, Sejarah Islam; Tarikh Pramodern, (Jakarta; Srigunting, 2003), 295-296.
[77]    K. Ali, Sejarah Islam..,  297-298.
[78]    Ibid, 453.0



DOWNLOAD FILE PDF DISINI

Post a Comment

0 Comments