Sebuah pandangan kliru tentang makna jihad membuat sesorang mengambil tindakan yang gegabah. Jihad dimaknai berperang melawan thagut oleh sebagian kelompok yang mengarah pada radikalisme yang membuatnya bisa masuk surga menurut keyakinan mereka. Ini merupakan sebuah distorsi makna tentang pemahaman Jihad yang telah dilakukan oleh sebagian kelompok yang sangat fatal dampaknya. Semoga ulasan berikut bisa menjadi pencerahan dan menjadikan mereka kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. File bisa di unduh di akhir tulisan.
JIHAD
DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh:
Sulaiman, S.Pd.I
Pengertian
Jihad
Turunnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
merupakan suatu hal yang membawa perubahan besar di jazirah Arab. Risalah
tersebut bukan saja mengubah tatanan masyarakat Arab pada waktu itu akan tetapi
juga sekaligus mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan, serta tradisi
yang diskriminatif dan misoginis yang telah berlaku sekian lama dan dipraktikkan
oleh masyarakat Arab Jahiliyah pada waktu itu.
Disini perlu kita kaji kembali akan banyaknya
kalimat-kalimat maupun kata-kata dalam teks rujukan umat Islam berupa al-Qur’ân dan h}adits yang mutasyabih dan musytarak. Karena
hal ini telah banyak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda oleh berbagai
pihak dewasa ini dengan dalil dan alasannya masing-masing untuk tujuan
tertentu, apakah untuk menguatkan dalil politiknya atau untuk menguatkan akidah
itu sendiri.
Tidak
dapat kita pungkiri bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini
serta pola pikir masyarakat luas turut secara aktif pula mengubah cara pandang
kehidupan beragama mereka, sehingga muncul beberapa konsep pemahamanan
keagamaan yang berbeda-beda didasarkan pada referensi setiap agama itu sendiri
yaitu kitab suci.
Kata jihad,
sebuah kata yang tidak asing di telinga umat Islam dan merupakan salah satu
ajaran Islam yang sangat utama selalu menjadi sorotan dari berbagai pihak atau
golongan. Jihad merupakan isu tentang Islam yang sering diperbincangkan, baik
di Timur maupun Barat dan seringkali mengalami distorsi makna dan dipahami tidak sebagaimana mestinya.
Kondisi ini dipicu oleh beberapa sebab, salah satunya interpretasi yang salah
terhadap makna jihad itu sendiri, baik yang dipahami oleh beberapa Kaum Muslim
atau non-Muslim. Bagi non-Muslim,
mereka menilai jihad dalam Islam merupakan situasi yang tidak terkendali,
irasional, dan konotasinya perang total dan pertumpahan darah. Hal ini terutama
yang dilakukan media-media pemberitaan barat tentang stigma buruk yang dibangun
mengenai dunia Islam secara global. Sebut saja Bernard
Shaw yang mengatakan bahwa “Islam disebarkan melalui ketajaman pedang”,
Firestone dalam bukunya yang berjudul “Jihad, The Origin of Holly War in
Islam” (Jihad, Awal mula perang suci dalam Islam).[1] Hans Wehr dalam kamusnya A
Dictionary of Modern Written Arabic, mengartikan jihad sebagai “Fight,
battle, holy war (againts the infidles as a religious duty)”, yang artinya
perjuangan, pertempuran, perang suci melawan musuh-musuh sebagai kewajiban
agama.[2]
Pandangan
Barat yang seperti inilah yang akan memberikan corak beragam pada diskursus
tentang jihad itu sendiri. Hal ini dibenarkan dan dikuatkan dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini, seperti tragedi WTC 11
September 2001 di Amerika Serikat, bom Bali, Meledaknya bom di Hotel JW Marriot
Jakarta, bom bunuh diri di Tamrin, Jakarta, aksi teror di Barcelona, Spanyol,
dan yang masih hangat dalam ingatan belakangan pengeboman tiga gereja di
Surabaya Jawa Timur, yang telah memakan korban dan banyak lagi. Dalam kasus di
Barcelona, Perdana Menteri Spanyol menyebut aksi teror tersebut sebagai jihadist
terorism (aksi terorisme jihad). Sebuah pernyataan yang menurut pendapat
penulis adalah dua istilah yang berbeda dan tidak dapat disandingkan satu sama
lain sehingga menjadi terma tersendiri.
Dengan
demikian dapat diambil sebuah garis merah bahwa menurut pandangan barat
dan media-media pemberitaannya, kata jihad mengalami distorsi makna sebagai
agama terbelakang, bertentangan dengan nilai-nilai peradaban Barat dan
merupakan ancaman bagi mereka. Kata jihad juga banyak dihubungkan dengan kata al-h}arb,
al-qitâl, dan al-ghazwah, yang pada urutannya bukan saja
terus menodai citra agama (Islam) sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta,
melainkan juga terus menghantui umat sebagai kekuatan laten destruktif dan
traumatik, justru dari dalam psikologis umat sendiri. Sedangkan implikasi
negatif itu tak lain hanyalah sebuah beban psikologis-historis umat malah
menambah persoalan. Padahal, tidak setiap kata jihad itu berarti perang.[3] Jihad
merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa awal hingga pada era saat
ini. Dan perbincangan tentang konsep jihad sedikit banyak telah mengalami
ameliorasi dan peyorasi,[4] yang
tentunya menyesuaikan dengan zaman di mana kata tersebut digunakan.
Secara bahasa,
jihad berasal dari kata kerja ja>hada-yuja>hidu,
masdarnya jiha>dan wa muja>hadatan. Dalam Lisan
al-‘Arab, Ibnu Mandzur
menjelaskan bahwa jihad berasal dari kata al-juhd artinya al-tâqah (kekuatan), al-wus’u (usaha) dan al-masyaqqah
(kesulitan).[5]
Muhammad bin Abi Bakar bin ‘Abdi al-Qadir al-Razi dalam Mukhtar al-Shahâh yang menyebutkan jihad berasal dari kata
al-juhd artinya al-ta>qah (kekuatan), atau al-jahd artinya al-masyaqqah (kesulitan),[6]
karena melakukan perlawanan yang
optimal terhadap musuh.
Selanjutnya, kata al-juhdu bermetamorfosa menjadi jihad. Jihad dalam kamus Mukhtar al-Shahah adalah “badzlu
al-wus’i” (mengerahkan
kemampuan). Sementara dalam kamus Tâju al-‘Arus terdapat dua pengertian tentang jihad: (1) al-qitâlu ma’a al-‘aduwwi, kal mujâhadah (memerangi musuh seperti bermujahadah)
dan (2) muhârabatu
al-a’dâ’, wa huwa al-muba>laghah wa istifrâghu mâ fî al-wus’i wa al-tâqati
min qawlin aw fi’lin. Wa almurâd bi al-niyyah ikhlash al-‘amal lillâhi ta’ala (memerangi musuh dengan penuh
kesungguhan dan kekuatan, baik berupa perkataan atau perbuatan, dengan niat
ikhlas karena Allah SWT). Adapun dalam Lisânu al-‘Arab tertulis, jihad adalah qa>tala wa ja>hada fi> sabi>lillah (berperang dan berjuang di jalan Allah).[7]
Jihad Menurut Ulama’ Kontemporer
Menurut para
ulama Madzhab. Secara
literal, Madzhab Hanafi mengatakan jihad adalah ungkapan tentang pengerahan
seluruh kemampuan. sedangkan menurut pengertian syar’i, jihad bermakna
pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik
dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.[8]
Sedangkan Menurut mazhab Maaliki, jihad adalah perangnya seorang Muslim melawan
orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi
kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia
memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang.[9]
Madzhab as-Syaafi‟i mendefinisikan
jihad dengan “berperang
di jalan Allah”. Atau dalam
bahasa Al-Siraazi “sesungguhnya jihad itu
adalah perang.[10]
Sedangkan madzhab Hanbali, jihad tidak memiliki makna lain selain yang
berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu
kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin
terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam.[11]
Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata:
Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad.[12]
Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain
bagi mereka. Dengan kata lain jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan,
maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin
pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.[13]
Lalu bagaimana dengan pendapat ulama
kontemporer? Syayid Quthb mengatakan perang dalam Islam bukanlah defensive melainkan
ofensif. Sasaran penyerangan bukan memaksa lawan untuk meninggalkan
perinsipnya melainkan membasmi pemerintahan yang menyuburkannya.[14]
Berbeda dengan Muhammad Rasyid Ridha yang menafsirkan jihad tidak semata-mata
melakukan peperangan, melainkan jihad bermakna harfiah upaya jerih payah seseorang bisa di transfer
menjadi perjuangan dakwah, pendidikan, pengentasan kemiskinan dan perbaikan
pemerintahan.[15]
Berbagai pendapat para ulama di atas
sebenarnya memiliki konsep tentang jihad itu sendiri yaitu berusaha untuk
menegakkan agama Islam dengan berbagai cara mulai dari berdakwah, sampai
berperang. Dan jihad tidak harus di interpretasikan dengan kekerasan namun
jihad juga bisa dengan cara damai. Metode jihad telah di contohkan oleh nabi
Muhammad SAW dalam setiap peperangan setelah beliau berhijrah dari Makkah ke Madinah,
nabi selalu mengirim utusan untuk mengajak pemimpin di daerah tersebut untuk
masuk Islam dan bila ajakan itu tak di hiraukan dan lebih memilih untuk
berperang melawan nabi maka jihad dalam bentuk sentuhan fisik pun tak
terhindarkan.
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur'an dengan jihad yang besar.” (QS. al-Furqan (25):52).
“Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Nahl: (16): 110).
Jihad merupakan salah satu kewajiban
bagi setiap Muslim untuk melakukannya, hal ini dikarenakan jihad merupakan
salah satu bagian pokok dari syariah Islam. Dalam kedua ayat tersebut diatas
lebih tertuju kepada jihad yang memiliki makna konotasi perang melawan
orang-orang kafir. Sementara itu Nabi Muhammad Saw. menjadikan jihad sebagai
amal manusia yang paling utama setelah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketika Nabi ditanya amalan apa yang paling utama, beliau menjawab, “beriman
kepada Allah dan Rasulullah, lalu jihad fi sabilillah, dan haji mabrur.” (HR. Ahmad dan al-Bukhari). Dalam hadits yang lain
dijelaskan, ketika Nabi ditanya jihad apa yang paling utama, beliau menjawab “haji
mabrur” (HR. al-Bukhari), dalam kesempatan lain beliau menjawab, mengajak
ke dalam keadilan (kebenaran) di hadapan penguasa yang zhalim.
“Jihad yang paling utama adalah menegakkan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim.” (HR. Ahmad). Dan dalam riwayat al-Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah, “menegakkan keadilan”.
Jawaban-jawaban Nabi sebagaimana tersebut
mengisyaratkan bahwa jihad merupakan akhlak terpuji yang menempati tempat yang
utama dalam ajaran Islam sebagaimana iman kepada Allah dan Rasulullah (aqidah)
dan haji mabrur (syariah). Karena pentingnya jihad ini, Islam tidak hanya
membatasi jihad fi sabilillah hanya dalam bentuk perang atau perlawanan
terhadap orang-orang kafir (musyrik), tetapi juga jihad dalam bentuk-bentuk
yang lain. Bentuk-bentuk jihad ini dapat dilihat dari sasaran atau objeknya dan
juga dapat dilihat dari segi cara atau metodenya.
Jihad dengan memerangi dan mengendalikan hawa
nafsu juga termasuk salah satu jihad itu sendiri. Sebagaimana perkataan beliau
“Seorang mujahid adalah orang yang mengendalikan
hawa nafsunya untuk mentaati Allah.” Juga hadits yang lain mengatakan ketika
seorang pemuda meminta izin beliau untuk berjihad dan beliau menanyakan, “Apakah
kedua orang tuamu masih hidup?, ia menjawab,’ Ya’, beliau bersabda penuhilah
baktimu terhadap mereka.” H.R.Bukhari.
Melihat makna jihad yang general ini, maka jihad
tidak dapat dipahami sebatas perjuangan fisik melawan musuh yang tampak seperti
melawan orang-orang kafir, melawan orang-orang munafik atau melawan orang-orang
yang telah berbuat kedzaliman, akan tetapi lebih jauh dari makna itu seperti
melakukan perlawanan terhadap musuh-musuh yang tidak tampak, misalnya melawan
hawa nafsu yang selalu mengajak kepada hal-hal yang merusak martabat
kemanusiaan dan melawan kebodohan yang dapat menghambat perkembangan
intelektual.
Jihad Menurut Islam
Dalam pandangan Islam, jihad merupakan salah satu dari
ajaran Islam yang ada dalam kitab suci (al-Qur’an) dan salah satu bentuk usaha untuk merealisasikan kehendak
Allah swt. yang diekspresikan melalui agamanya. Dalam pengembangan
dan pelestarian agama Islam, jihad menempati posisi strategis dan signifikan
dalam ajaran Islam. Di lihat secara historis, para pejuang Islam, dalam
memperluas wilayah pengaruhnya, sering melakukan tindakan penyerangan secara
fisik terhadap agama lain untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, umat
Islam harus berusaha dengan mengerahkan segala kemampuan untuk mewujudkan
perintah tersebut. Artinya, untuk menjadi Muslim yang baik, seseorang harus
selalu berjuang demi kepentingan agama Islam (jihad) dan keyakinannya.
Di samping itu, terdapat banyak nash Al-Qur’an maupun hadis yang
menganjurkan untuk melakukan jihad. Maka menjadi penting untuk melihat lebih jauh secara pasti memalui kacamata
sejarah apakah al-Quran memberikan perspektif pemahaman fundamental untuk
melakukan tindak kekerasan (baca: represif) berdasarkan agama sebagaimana yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal dan juga yang dikesankan oleh
Barat dan Eropa?
Secara historis, Sejarah penyebaran Islam tidak pernah terlepas
dari dua kota suci bagi umat Islam, yaitu Makkah al-Mukarramah dan Madinah
al-Munawwarah. Dua kota penting tersebut menjadi saksi perjalanan hidup nabi
Muhammad semasa hidupnya dalam mengajarkan dan menyebarkan Islam kepada
umatnya. Wahyu turun kepada nabi Muhammad SAW. selama rentang waktu sekitar 23
tahun di dua tempat bersejarah itu,[16]
yang selanjutnya kita kenal dengan suhuf Al-Qur’an. Oleh karena itu, kedua kota
tersebut telah disepakati para ulama ilmu al-Qur’an dan tafsir menjadi
pengkategorian turunnya ayat al-Qur’an, apakah ayat-ayat tersebut turun di kota
Makkah (Makkiyyah) atau turun di kota Madinah (Madaniyah). Pengkategorian al-Qur’an
menjadi Makkiyyah dan Madaniyah bertujuan untuk memudahkan umat Islam dalam
memahami al-Qur’an di dan dalam situasi tertentu yang terjadi pada masa itu.
Dan metode ini dirasa sangatlah tepat karena dengan itu dapat diketahui fase
yang berbeda antara Makkiyyah dan Madaniyah serta menunjukkan bahwa ayat
al-Qur’an berinteraksi dengan realitas yang dinamis-historis.[17]
Di dalam al-Qur’an itu sendiri, kata jihad di disebutkan
sebanyak 41 kali dan terbagi dalam 19 surat. Penggunaan kata jihad dalam
al-Qur’an mempunyai bentuk yang variatif, adakalanya berupa Fi’il Madhi,
Mudlari’, Amar atau Masdar dan juga berbentuk Mufrad, Tastniyah dan
Jama’. Dari 41 kata dan tersebar di 19 surat itu, kita bisa mengetahui
makna dari kata jihad itu secara nuzuli (sejarah turunnya ayat).
Secara nuzuli, tema jihad pada ayat-ayat yang
turun di Makkah menggunakan gaya bahasa yang kuat, efektif, variatif dan juga
dialogis ketika al-Qur’an Makkiyyah menyingkap prinsip-prinsip dasar ajaran
Islam.[18]
Pada periode Makkah ini, ayat yang memiliki kata dasar “ja>hada” dan
“jahada”, tidak satupun ayat jihad yang menyinggung masalah peperangan,
akan tetapi yang disinggung pada periode ini lebih ditekankan dengan jalan
berdakwah, yaitu berdialog dengan kaum Quraisy Makkah dengan dialog yang baik
sehingga ajaran Islam dapat diterima dengan baik dan benar.
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar.” (Q.S. al-Furqan: 52)
Ibnu Kathir pada ayat periode Makkah ini
menafsirkan bahwa dlamir “bihi” tersebut kembali kepada “al-Qur'an”
bukan jihad maupun perang, karena nabi Muhammad diutus di muka bumi ini untuk
berdakwah dan menyampaikan al-Qur'an kepada umat manusia.[19]
Juga, umat Islam pada periode ini masih belum ada yang harus dipertahankan
dengan perang, sehingga pemahaman tentang jihad menggunakan pedang pada ayat
ini dinilai kurang tepat. Tidak adanya perintah perang pada periode Makkah
bukan berarti menjadi pertanda bahwa orang muslim masih dalam keadaan lemah,
akan tetapi pada saat itu memang orang muslim masih belum memiliki sesuatu yang
harus dibela dengan perang, sehingga tidak diperlukan syariat perang.
Berbeda halnya dengan ayat yang turun di Madinah.
Periode ini adalah dimana setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah, ayat
al-Qur’an yang mengandung kata dasar جَاھَدَ dan جَھَدَ masih menunjukkan arti kesungguhan, yaitu
kesungguhan dalam mempertahankan diri agar tetap berada di jalan Allah.[20]
Sebagaimana diketahui dari literatur sejarah, umat Islam Madinah walaupun telah
dikatakan jaya pada masa Rasulullah, bukan berarti mereka tanpa rintangan dan
gangguan dalam hal beragama.
Pada periode ini Islam sudah terbentuk dalam
suatu tatanan yang terorganisir dan rapi, sehingga perlu adanya strategi untuk
membela diri demi terwujudnya masyarakat Islam yang aman dan tenteram. Perintah
perang itu pun tidak diturunkan secara langsung pada awal periode Madinah, akan
tetapi ayat itu turun setelah ada gangguan dari lawan sehingga umat Islam dapat
mempertahankan diri dari serangan tersebut.
Di Madinah umat Islam bersandingan dengan kaum
yahudi dan orang-orang munafik yang cukup mewarnai kehidupan bermasyarakat pada
saat itu, keberadaan orang yahudi dan munafik menjadi cobaan bagi hati mereka
untuk tetap mempertahankan keimanan mereka agar tetap kuat dan tidak goyah.
Secara nuzuly al-Qur’an surat al-Ankabut
ayat 6, 8 dan 69 terdapat di dalamnya kata جَٰھَدُواْ ,جَٰھَدَا ,جَٰھَدَ dan یُجَٰھِدُ merupakan ayat Madaniyyah yang pertama kali
turun. Ayat ini (al-Ankabut: 6) merupakan sebagai motivasi bagi orang Islam
pada saat itu, yaitu dengan berjihad mereka akan mendapatkan pahala atas apa
yang mereka jihadkan. Jihad yang dimaksud di ayat tersebut adalah berjihad
melawan nafsu mereka dengan bersabar dalam melakukan ketaatan dan mencegah diri
dari kemaksiatan.[21]
Sedangkan al-Ankabut ayat 69 memiliki maksud yang hampir sama dengan al-Ankabut
ayat 6. Jihad yang ada pada ayat ini mempunyai makna kesungguhan dalam
melaksanakan ketaatan dan menolong agama Allah dan memerangi orang yang
memusuhi Allah dengan mendustakan kitab dan rasulnya.
Kata جَٰھَدَا dalam surat al-Ankabut ayat
8 mempunya arti memaksa. Ayat ini berkaitan dengan wajibnya berbuat baik dan
taat kepada orang tua, kecuali jika orang tua memaksa melakukan kemusyrikan
kepada Allah maka sebagai anak harus tidak menaati perintah itu, karena pada
dasarnya tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan.[22]
Kata jihad dalam al-Qur’an yang menjadi penjelas
ayat peperangan (qital) terdapat pada surat al-Baqarah ayat 218. Surat
al-Baqarah ayat 216 – 217 merupakan ayat yang berisi tentang perintah untuk
berperang melawan orang kafir, yang mana perang yang dilakukan oleh orang
muslim ini bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan juga Islam, menolak kedzaliman,
dan menjunjung tinggi kebenaran. Perintah tersebut tidak hanya perintah yang
bersifat mutlak, akan tetapi juga dibarengi dengan aturan-aturan yang harus
dipenuhi oleh umat Islam dan tidak boleh dilanggar ketika berada di medan
perang, kecuali jika hanya dalam keadaan darurat saja.[23]
Kemudian dilanjutkan dengan ayat jihad yang ada pada surat al-Baqarah ayat 218
yang menjadi ayat penghibur bagi para pejuang Islam, bahwa orang yang berjihad
di jalan Allah akan mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah.[24]
Oleh karenanya, ayat al-Qur’an pada periode Madaniyah ini memiliki ciri salah
satunya adalah ajakan untuk melakukan jihad fi sabilillah dengan
mengangkat senjata.[25]
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa
penggunaan kata jihad dalam kontek sejarah tidak hanya memiliki arti perang.
Sebagian orang yang hanya mengartikan jihad sebagai perang saja, ini merupakan
pemahaman yang kurang tepat. Pemaknaan jihad menjadi perang harus sesuai dengan
kontek yang terjadi pada masa itu, tidak digeneralkan bahwa jihad secara
keseluruhan memiliki arti perang, terlebih perang secara fisik. Setidaknya jika
seorang mengartikan jihad adalah perang, maka harus diklasifikasikan siapakah
orang yang tepat untuk dijadikan objek jihad, dan dengan cara apa jihad itu
dilakukan, sehingga tidak ada orang yang berjihad akan tetapi tidak tepat cara
dan sasaran. Sedangkan agama Islam selalu mengajarkan perdamaian antar sesama
manusia, agar manusia dapat hidup berdampingan dengan baik.
Islam
adalah agama yang damai, mengajarkan pluralisme, dan fleksibel. Islam memiliki konsep bahwa agama Islam yang dibawa nabi Muhammad Saw.
merupakan agama yang memiliki sistem akidah, syariah, dan akhlak yang mengatur
hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai hubungan (hablun minallah & hablum minananas) agar manusia memperoleh kedamaian baik di dunia
dan di akhirat. Oleh karena itu,
Islam hanya datang menawarkan sebuah jalan lurus dalam menapaki kehidupan, baik
kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat. itu artinya tidak mungkin
didalamnya ada syariat yang mewajibkan umatnya menuruti perintah agama.
Orientasi jihad adalah untuk mempertahankan dan menyebarkan agama Islam,
bukan bertujuan menghancurkan umat dengan jalan terorisme.
Jihad
dalam Islam
memiliki landasan yang kuat yakni al-Qur’an dan hadis yang kemudian
pembumiannya telah dicontohkan oleh nabi dan sahabatnya. Oleh karenanya, jihad
dalam Islam bila dilihat dari sudut pandang hukum Islam dan sejarah, maka teori
dan aplikasinya akan sangat jauh berbeda dengan terorisme. Perbedaannya
bagaikan langit dan bumi. Gerakan terorisme tidak membedakan mana yang hak dan
mana yang batil. Pelakunya selalu merasa haus dengan kekerasan dan darah
sehingga bila korban berjatuhan barulah kemudian mereka merasa puas, dan tentu
perilaku seperti itu dikecam keras oleh Islam.
Terorisme
Terorisme yang dalam bahasa Arab
diistilahkan dengan kata al-Irha>b yang tidak diajarkan dalam
al-qur’an. Meskipun dalam Surat al-Anfal: 60 tertulis kata “turhibu>na”,
namun ini tidak bisa dijadikan dalil bahwa terorisme merupakan ajaran Islam.
Kata “turhibu>na” di sini lebih kepada menakuti musuh di medan
perang.
Pada dasarnya wacana terorisme mulai
mencuat kepermukaan setelah terjadi tragedi 11 September 2001. Dimana setelah
kejadian tersebut tidak berselang lama, secara mengejutkan dunia, presiden USA
mengatakan bahwa pihak-pihak yang tidak tergabung dengan Amerika untuk
memerangi teroris, maka akan menjadi musuh Amerika.[26]
Kata Terorisme secara
definitif tidak ditemukan dari kalangan ulama terdahulu, sebab istilah itu
mulai dikenal bermula dari ideologi Eropa pada masa Revolusi Prancis tahun
1789-1794 M. Istilah ini sering dihubung-hubungkan dengan aksi kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak diakui oleh pemerintah yang secara
terpisah berupaya mendapatkan kekuasaan atau pengaruh. Kelompok ini lebih
sering melakukan aksi terorismenya dengan dilandasi kepentingan-kepentingan
agama. Kata teror berasal dari bahasa Latin Terrere, artinya
“menimbulkan rasa gemetar dan cemas”. Terorisme berarti menakut-nakuti (to
terrify). Kata ini secara umum digunakan dalam pengertian politik sebagai
suatu serangan terhadap tatanan sipil.[27]
Secara bahasa: “Terorisme”
adalah “Melakukan sesuatu yang menyebabkan orang menjadi panik, takut, gelisah,
tidak aman, dan menimbulkan gangguan dalam bidang kehidupan dan interaksi
manusia. Sedangkan secara syar’i, “Terorisme” adalah segala sesuatu yang
menyebabkan goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau
pelampauan batas dengan berbagai bentuknya.
Secara istilah, “Terorisme”
adalah perbuatan - perbuatan yang membahayakan jiwa manusia yang tidak berdosa
atau menghancurkan kebebasan asasi atau melanggar kehormatan manusia. Menurut
literatur Sosiologi Barat, Terorisme adalah salah satu bentuk aksi yang
bermotif politik yang menggabungkan unsur-unsur psikologi (seperti mengancam
atau terancam) dan fisik (aksi kekerasan) yang dilakukan oleh individu-individu
atau kelompok kecil dengan tujuan pengajuan tuntutan teroris terpenuhi.
Maraknya aksi terorisme
dengan menggunakan kekerasan, seperti halnya dengan cara bunuh diri (suicide
bombing), menjadikan jihad sebagai alasan pembenaran yang didasari dengan
landasan teologis. Namun, pemahaman jihad yang digunakan oleh para pelaku
terorisme tersebut tidak menjamin sesuai dengan makna sesungguhnya yang
terkandung dalam ajaran agama Islam sebagai ajaran yang membawa kedamaian di
bumi ini.
“Agama berisi kumpulan rambu yang memagari seseorang dari dosa. Namun tidak sedikit orang yang berbuat dosa atas nama agama. Orang rela menyakiti dan menumpahkan darah saudaranya mengatas- namakan agama.”
Fakta
yang terjadi di Indonesia, adanya penyimpangan dalam memahami jihad yang
berawal dari disalahartikan dan kemudian disalahgunakan oleh sekelompok orang
yang memiliki pemahaman keras tentang ajaran Islam sehingga melegalkan
kekerasan dalam melakukan aksinya. Penyimpangan arti jihad tersebut juga
membuat kaum orientalis memandang Islam sebagai agama yang militan dengan
pemeluknya dipandang sebagai serdadu-serdadu fanatik yang menyebarkan agama
serta hukum-hukumnya dengan menggunakan kekuatan senjata. Ibnu Qayyim
menguraikan bila jihad dilihat dari sudut pelaksanaannya dibagi menjadi tiga
bentuk, yaitu jihad mutlaq (perang melawan musuh di medan pertempuran),
jihad hujjah (dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain
dengan mengemukakan argumentasi yang kuat) dan jihad ‘amm.
Organisasi
radikal dan teroris menunjukkan relasi yang cukup dekat, beberapa diantaranya
mengalami transformasi dari radikal menjadi teroris. Transformasi secara
institusional ini dapat digambarkan melalui contoh perubahan pada laskar
pimpinan Sigit Qordhawi, di mana organisasi yang dipimpinnya mengalami
perubahan dari yang sebelumnya memfokuskan diri pada gerakan-gerakan anti
maksiat, anti kristenisasi, pendukung penegakan syariat Islam menjadi kelompok
radikal setelah memperoleh pengetahuan
tentang qital fisabilillah alias perang dan jihad sebagai amal ibadah.
Proses radikalisasi
berjalan melalui beberapa tahapan. Proses tersebut diawali dengan merubah individu
dari seseorang dengan pemahaman non radikal menjadi individu dengan paham
radikal yang dapat dijadikan sebagai kader organisasi yang memiliki sifat
radikal bahkan dapat dijadikan kader suatu organisasi teroris. Proses tersebut
diawali dengan perekrutan, dalam tahapan ini terdapat proses pemilihan atau
seleksi terhadap individu untuk dijadikan kader dengan beberapa kriteria yang
ditetapkan. Kemudian dilanjutkan ke tahap pengidentifikasian diri, dalam tahap
ini target dibuat kehilangan identitas diri sehingga berada dalam kondisi tidak
stabil (dalam kasus ini mereka lebih senang menamakannya dengan proses hijrah).
Tahap indoktrinasi merupakan tahapan dimana target diberi pemahaman-pemahanan
secara intensif mengenai paham dan ideologi teroris sehingga target menjadi
percaya dan yakin sepenuhnya terhadap ajaran yang diterima. Tahap selanjutnya
merupakan tahap di mana target mempunyai kewajiban secara pribadi untuk
berjihad dengan tergabung menjadi kelompok radikal atau teroris. Proses
transformasi juga tidak hanya bersifat individu saja, namun juga ada yang
bersifat kelompok atau organisasi.
Jihad menurut Romahurmuzy
Dalam
konteks kekinian, Jihad tidak memiliki konotasi sempit dengan mengangkat
senjata atau menumpahkan darah, akan tetapi lebih itu. Jihad yang awalnya
memiliki makna destruktif harus dihapuskan dan dihilangkan pada era millenial
sekarang ini. Pada konteks sekarang, Jihad harus dimaknai membangun atau
konstruktif bukan bermakna merusak apalagi dengan menghilangkan nyawa. Bukankah
seorang ayah yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga adalah merupakan
jihad, dan bukankan seorang siswa yang bersungguh-sungguh dalam belajar untuk
meraih masa depannya pun juga bisa dikategorikan jihad, seorang penjual dengan
jujur juga pun dikategorikan sebagai jihad. Jadi dalam Islam siapa saja, kapan
saja, dimana saja wajib berjihad karena jihad itu mudah dikerjakan.
Dengan
melihat pengertian jihad itu sendiri yaitu berasal dari kata arab yang artinya
bersungguh-sungguh melakukan sesuatu dalam rangka mencari ridha Allah. Jadi
jihad harus disesuaikan dengan persoalan umat dan fenomena kehidupan sekarang
ini yang dihadapi. Dan adalah solusi yang paling utama untuk mengatasi
persoalan umat bila kita memaknai essensi jihad yang benar. Karena jihad yang
benar ini akan membawa pencerahan bagi umat manusia, dan sebaliknya jihad yang
buruk akan membawa malapetaka bagi umat manusia.
Membela Islam dan upaya mencapai kemuliaan
umat tidaklah harus dengan melakukan cara-cara jihad dalam pengertian radikal
dan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Banyak cara yang
dilakukan untuk membela Islam dengan cara yang baik dan membangun. Esensi jihad
harus diperluas dan sesuai dengan persoalan yang dihadapi umat sekarang ini. Sebut
saja dengan mengatasi ketimpangan sosial merupakan salah satu persoalan yang
pelik saat ini khususnya pada konteks Indonesia yang harus kita selesaikan
sebagai bentuk jihad yang baik dan membangun.
“Bangsa kita menghadapi 14 tantangan ke depan, salah satunya di bidang ekonomi, angka kemiskinan mencapai 28 juta dan pengangguran sebesar 5,5 persen,” kata Romy.
Romy mengingatkan
tujuan bangsa mendirikan pemerintahan untuk menyejahterakan masyarakat. Tidak
terkecuali Indonesia yang harus bersatu untuk mewujudkan kesejahteraan
tersebut. Banyak ketimpangan sosial yang harus dipecahkan di dalam negeri ini
seperti mengatasi masalah pendidikan ke arah yang lebih baik, mengentaskan
kemiskinan dengan cara menciptakan lapangan pekerjaan yang pada akhirnya
mendorong meningkatkan taraf hidup masyarakat, banyaknya pertengkaran di
masyarakat yang berujung timbulnya ketidakproduktifan kerja dan banyak hal
lainnya.
Mengupayakan
pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu bentuk dari jihad yang
konstruktif. Karena pendidikan yang baik akan membebaskan seseorang dari
cengkraman kemiskinan. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pendidikan harus
berorintasi kepada nilai-nilai kemanusiaan, terutama dalam meningkatkan
kualitas intlektual dan spiritual serta mengangkat harkat dan martabat manusia.
Dalam konteks keindonesiaan, jihad ilmu dan pendidikan, mengambil peran yang
strategis dalam memerangi kebodohan, menanamkan nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran, meningkatkan sarana dan prasarana yang baik untuk peningkatan
kualitas pendidikan, meningkatkan kesejahteraan guru, memberikan jaminan
kesehatan, keselamatan, dan rasa aman. Rasulullah bersabda, “barang siapa
keluar untuk menuntut ilmu, maka dia berada fî sabi>lilla>h.” Jadi,
jihad dengan al-Qur’a>n tidak hanya dimanifestasikan dalam komitmen dan
kesungguhan dalam menuntut ilmu, akan tetapi juga mengembangkan tradisi
penelitian dan ilmu pengetahuan, sehingga temuan-temuan ilmiah dan teknologi dapat
diwujudkan dan sekaligus berkontribusi dalam menciptakan kesejahteraan dan
kemakmuran bagi umat manusia khususnya di Indonesia.
Keselamatan
dan kejayaan suatu umat atau bangsa dimulai dengan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta akhlak yang mulia. Lebih-lebih Wahyu pertama diturunkan
oleh Allah adalah tentang cara perolehan keilmuan dengan perintahnya untuk
membaca. Makna perintah Iqra’ (bacalah) dalam wahyu yang diterima oleh
nabi Muhammad sendiri bermakna umum yang artinya perintah itu tidak ditujukan
kepada nabi Muhammad saja, melainkan kepada seluruh umat. Makna membaca disini
tidak hanya untuk satu keilmuan saja akan tetapi perintah untuk mengkaji
beberapa ragam keilmuan lain. Tidak hanya untuk ilmu agama tetapi juga untuk
mengkaji keilmuan umum lainnya. Jadi, pembangunan umat melalui membaca yang
dikonotasikan dengan dunia pendidikan adalah tiang utama terhadap kejayaan umat
dan bangsa ini terutama ketika kita berbicara mengenai kesejahteraan umat.
Menciptakan
lapangan pekerjaan juga termasuk dalam jihad yang baik dalam mengentas
kemiskinan. Dengan menciptakan lapangan pekerjaan secara tidak langsung akan
menaikkan taraf kehidupan ekonomi seseorang yang dulunya miskin sekarang
menjadi tercukupi dan akan mensejahterakan sesorang tersebut. Faktor utama
penyebab kemiskinan setidaknya ada dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor
ekstern. Pertama, faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam
seperti sikap berdiam diri, enggan bergerak dan berusaha untuk mencukupi
kebutuhannya. Keengganan berusaha ini adalah penganiayaan terhadap diri
sendiri. Untuk mengatasi manusia seperti ini sangat sulit, karena untuk
mengentaskan dari kemiskinan itu timbul apabila pribadi tersebut dapat mengubah
paradigmanya untuk menjadi pribadi yang maju dan berkembang demi kelayakan
hidupnya. Dan hal ini sangat sia-sia jika pemerintah sudah berjihad untuk
menciptakan lapangan pekerjaan namun ia enggan untuk bekerja. Maka dari itu,
setiap pribadi harus berjuang dan berjihad untuk melawan hawa nafsunya sendiri
untuk melawan keengganan untuk berusaha dan berkarya.
Kedua,
fakor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar. Faktor ini
timbul karena ada penindasan atau penganiayaan dari orang lain baik secara
langsung maupun tidak langsung. Penganiayaan secara langsung manusia ditindas
seperti perbudakan. Dan penganiayaan secara langsung seperti halnya tindak
korupsi para pejabat yang sering merugikan masyarakat bawah.
“Menekan korupsi, perjudian, dan peredaran narkoba, dengan memperluas cakupan pendidikan Islam adalah jihad terbesar yang sangat Islami bagi umat Islam di Indonesia. Jadi, jihad bukan hanya gegap-gempita untuk urusan penistaan agama saja,” tegas pria kelahiran Yogyakarta ini.
Kemiskinan
di Indonesia merupakan momok dan musuh bersama bangsa Indonesia. Oleh karena
itu jihad ekonomi harus terus digalakkan dengan semangat berjuang sekuat tenaga
menghapus kemiskinan. Jihad dalam bidang ekonomi yang dimaksud adalah seperti
halnya menghimbau pemerintah dan para pengusaha untuk memeratakan kesempatan
berusaha dan hasil-hasil pembangunan. Jihad ini diawali dengan cara mengubah
paradigma berfikir dan meningkatkan etos kerja masyarakat tentang pentingnya bekerja,
menciptakan lapangan pekerjaan,
memberantas korupsi, menghapus kesenjangan dalam masyarakat luas dan lain-lain.
Dengan usaha yang sungguh-sungguh suatu saat nanti pasti kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi serta ketertinggalan bangsa Indonesia akan terhapus juga.
“Pendidikan keislaman di Indonesia lebih dominan membangun kesalehan ritual, sementara kesalehan sosial, terkait dengan ajaran Islam yang anti-penumpukan kekayaan, pengentasan kemiskinan dan tidak membiarkan berlangsungnya ketimpangan, jarang dibicarakan,”
Dominasi
saleh ritual inilah menjadikan negeri yang meletakkan ketuhanan pada sila
pertamanya tidak risih ketika hanya 26 ribu (0,01 persen) dari 220 jutaan
rekening di Indonesia namun nilainya mencapai 46 persen nilai tabungan
nasional. Padahal Quran jelas mengatakan, “jangan engkau biarkan harta itu
berputar-putar di antara orang-orang kaya di antaramu,” lanjutnya.
Justru
radikalisme akan dapat tumbuh subur manakala konsentrasi pengajaran
agama hanya dalam rangka membangun kesalehan ritual belaka. Sebab, aspek-aspek
ketimpangan sosial sebagaimana terpotret dalam indeks keislaman tadi,
mengukuhkan pandangan kaum radikalis bahwa satu-satunya jalan untuk menjawab
hal tersebut adalah mengubah negara dengan penduduk mayoritas Islam menjadi
negara khilafah.
Tidak
kalah pentingnya, Ibadah dan perbaikan moral juga merupakan sebuah Jihad.
Jihad ini sangat besar sekaligus
sangat berat. Moral dalam berukhuwah dan bernegara semakin pudar sehingga tak
jarang para politisi dan pemerintah hanya untuk kepentingan mereka pribadi
termasuk korupsi. Butuh usaha yang keras mengaplikasikannya demi perubahan
negara kita. Demikian juga dengan jihad-jihad yang lain di bidang hukum, seni,
dan kehidupan masyarakat yang lainnya harus diaplikasikan demi kemajuan umat.
“Kita harus mengimani bahwa perbedaan adalah sunatullah dan rahmat tuhan sehingga semangat itu perlu kita hidupkan,” ujar Romy.
Perbedaan pendapat
saat dahulu merupakan hal yang wajar, ujar Romy. Namun, saat ini ketika ada
orang berbeda pemahaman lalu akan dengan mudahnya mengkafirkan seorang, hal
inilah yang dapat membahayakan umat terlebih bangsa Indonesia sendiri. Secara
historis, Romy mengingatkan bahwa ulama-ulama yang masuk dalam Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan ikhlas menanggalkan syariat Islam
dalam Piagam Jakarta. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perpecahan antar
umat beragama, dan ulama-ulama waktu itu sadar betul apa yang dilakukannya demi
kepentingan bersama dan bangsa. Dahulu perbedaan disikapi dengan kelegowoan
namun sekarang diikuti dengan menyalahkan misalnya mengadakan tahlilan disebut
salah dan ziarah kubur dianggap bidah, katanya.
“perbedaan adalah rahmat. Akan tetapi janganlah membuat perbedaan itu sebagai jurang atau persoalan untuk membuat bangsa ini malah terpecah belah.”
[1] Firestone,
Reuven. 1999. Jihad; The Origin of Holy War in Islam. New York;
Oxford
[2] Chirzin,
Muhammad. 2001. Jihad Menurut Sayid Qutub Dalam Tafsi>r Zhila>l, (Solo: Era Intermendia,). h. 12.
[3] Abdul Aziz
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), 1395.
[4] Kata
ameliorasi ini mempunyai makna 1) cara berusaha untuk memperoleh kenaikan
produksi serta menurunkan biaya pokok, dan 2) peningkatan nilai makna dari
makna yang biasa atau buruk menjadi makna yang baik. Peyorasi adalah perubahan
makna yang mengakibatkan sebuah ungkapan, menggambarkan sesuatu yang lebih
tidak enak, misalnya kata perempuan sudah mengalami peyorasi, dahulu artinya
“yang menjadi tuan”. Baca Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. Ke-3, 2002), 38 dan 869.
[5] Muhammad Ibn Makram Ibn Manz\u>r.
1994. Lisa>n al ‘Arab , Beirut:
Da>r al-Fikr, vol III, h. 109.
[6] Muhammad bin Abi Bakar bin ‘Abdi al-Qadir ar-Razi, Mukhtar al-Shahâh, (Beirut: Maktabah
Lubnân, 1986), 48.
[7] Ibn Manz\u>r. 1994. Lisa>n al-Arab.
h. 109.
[8] Al-Kasaani, Op. Cit., juz
VII, 97.
[9] Muhammad, Ilyasy, Munah
al-Jaliil, Muhktashar Sayyidi Khaliil, juz III, 135.
[10] Al-Khathiib, Haasyiyah
al-Bujayrimi ‘alaa Syarh al-Khathiib, juz IV, 225.
[11] Ibn Qudaamah, al-Mughniy,
juz X, 375.
[12] Ibn Qudaamah, Ibid.
[13] Ibid.
[14] Muhammad Syafi’i. 2009. Konsep Jihad (Studi Komperatif
Pemikiran Muhammad Rasyid Ridha dan Sayid Qutbh)”, (Skripsi, UIN sunan kali
jaga Fakultas syariah, Yogyakarta), hlm. 70.
[15] Ibid.
[16] Wijaya,
Aksin. 2016. Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat
Darwazah. Bandung: Mizan. h. 105.
[17] Abu Zayd, Nasr Hamid. 2005. Mafhum al-Nash
Dirasah Fi Ulum al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta:
LkiS. h. 87.
[18] Darwazah, Muhammad Izzat. 2000. al-Tafsir Wa al-Hadith. Beirut:
Dar al-Gharb al-Islamy. h. 126.
[19] Ibn Kathir, Isma’il. 2000. Tafsir Ibn Kathir. Cairo:
al-Faruq al-Hadith. h. 3014.
[20] Darwazah, Muhammad Izzat. 2000. h. 127.
[21] Zuhaily, Wahbah. 2009. al-Tafsir al-Munir.
Damaskus: Dar al-Fikr. h. 561.
[22] Zuhaily,
Wahbah. 2001. al-Tafsir al-Wasith. Suriah: Dar al-Fikr. h. 1949.
[23] Zuhaily, Wahbah. 2009. h. 632.
[24] Zuhaily, Wahbah. 2001. h. 111.
[25] Darwazah, Muhammad Izzat. 2000. al-Tafsir Wa al-Hadith. Beirut:
Dar al-Gharb al-Islamy. h. 127.
[26] Dinas
Penerangan dan Kebudayaan Amerika Serikat, Presiden-presiden Amerika, (Jakarta:
t.p., t.t.), hlm. 89-90.
[27] Mark
Juergensmeyer. 2003. Terror In The Mind Of God; The Global Rise Of Religious
Violence, University of California Press, terj. Amien Rozany Pane, cet I.,
(Yogyakarta: Tarawang Press), h. 6-7.
DOWNLOAD FILE PDF DI SINI

0 Comments