Ijtihad sebagai upaya penggalian hukum Islam untuk penggalian hukum Islam
yang tidak terdapat ketentuannya pada kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul
(Hadits Nabi). Jalan ini digunakan oleh para ulama untuk menggali hukum Islam
yang tidak terdapat pada keduanya. Semoga Ulasan mengenai Ijtihad berikut
menjadi pencerahan dan referensi bagi kalangan akademisi dan yang
membutuhkannya.
IJTIHAD
Oleh: Sulaiman, S.Pd.I
Pengertian
Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berarti bekerja-keras,
bersungguh-sungguh, atau mencurahkan segala kemampuan sampai pada batas yang
maksimal. Secara teknis, ijtihad meliputi tiga dimensi pengertian. Pengertian
menurut kata kerja, menurut kata benda, dan menurut kata sifat. Pertama, pengertian
menurut kata kerja, ijtihad adalah “mencurahan kemampuan maksimal oleh
seorang ahli hukum (faqih) untuk meng-istinbath-kan ketentuan-ketentuan
hukum syara’ yang rinci dari dalil-dalilnya,”[1] yakni
menyangkut perbuatan manusia dengan manusia lain dan alam (muamalat). Kedua,
pengertian menurut kata benda, ijtihad adalah hasil kerja intelektual
seorang ahli hukum dalam menyimpulkan ketentuan-ketentuan hukum. Pengertian
menurut kata sifat, ijtihad adalah kata yang menunjukkan sifat seorang
mujtahid, yaitu “kecakapan yang dengannya seorang ahli hukum mampu menyimpulkan
suatu ketentuan hukum syara’ dari dalil-dalilnya.[2]
Dilihat dari asal katanya, ijtihad berasal dari kata “al jahdu” dan “al juhdu” yang berarti “daya
upaya” dan “usaha keras”, adapun definisi Ijtihad menurut istilah
mempunyai dua pengertian: arti luas dan arti sempit, ijtihad dalam arti
luas tidak hanya mencakup pada bidang fiqh saja, akan tetapi juga masuk ke
aspek-aspek kajian islam yang lain, seperti tasawuf dan aqidah.[3]
Sementara itu Abu Zahra Ia mengatakan:[4]
بذل الفقيه وسعُه في
استنباط
الاحكام
العملية
من ادلتها التفصلية.
Artinya:
“Mengerahkan segala kemampuan
bagi seorang ahli fikih dalam melakukan istinbat hukum yang bersifat amali dari
dalil-dalil yang terperinci”.
Fazlur Rahman mendefinisikan ijtihad sebagai “the effort to
understand the meaning of a relevant text or precedent in the past, containing
a rule and the alter that rule by extending or restricting or otherwise
modifying it in such a manner that a new situations can be subsumed under it by
a new solution”. (Ijtihad adalah upaya memahami makna suatu teks atau
preseden di masa lampau yang mengandung suatu aturan dan mengubah aturan
tersebut dengan cara memperluas, membatasi atau memodifikasinya dengan
cara-cara yang lain sedemikian rupa sehingga suatu situasi baru dapat dicakup
ke dalamnya dengan suatu solusi baru).[5]
Pada tataran ini ijtihad bisa difahami sebagai : sebuah terminology
hukum islam yang secara umum dapat dikembangkan sebagai penafsiran atau upaya
penggalian ketentuan-ketentuan hukum dari sumber-sumber Islam yang autoritatif.
Sedangkan Hasbi Ash-Siddiqy menjelaskan maksud ijtihad :
tidak lain daripada memahami undang-undang ilahi dengan faham yang mendalam dan
menjadikannya undang-undang itu untuk memenuhi hajat.[6]
Asy-Syafi‟i
menyebutkan bahwa dalam arti sempit qias itu juga ijtihad.[7] Secara umum dapat di pahami bahwa maksud
berijtihad adalah : orang yang secara mendalam memahami isi kitabullah dan
sunnah Rasulnya dan ia hidup menghayati kedua-duanya, dan mendapatkan kejelasan
mengenai prinsip-prinsip yang mengatur kehidupan, dan dapat memperoleh gambaran
tentang proses penetapan hukum syari‟at untuk menjamin kebaikan dan keselamatan hidup
umat amnesia, serta untuk menghadapi persoalan-persoalan baru yang selalu muncul
dan memerlukan solusi hukum Islam yang benar dan tepat.
Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna ijtihad
dengan istinbath. Istinbath barasal dari kata nabath (air yang mula-mula memancar
dari sumber yang digali). Oleh karena itu menurut bahasa arti istinbath sebagai muradif dari ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari
persembunyian”.[8]
Dan Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ijtihad adalah : pencurahan segenap
kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian
tingkat dhanni terhadap hukum
syari’at.[9]
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa
ijtihad/mujtahid mempunyai dua pengertian, yakni (1) umum (tidak terbatas) dan
(2) khusus dan terbatas. Dalam pengertian umum, ijtihad mengacu kepada
penalaran (upaya pemikiran) untuk menentukan pilihan ketika seseorang tidak
mamiliki pegangan yang meyakinkan sehubungan dengan pelaksanaan ibadah ataupun
muamalah tertentu, sehingga ia harus mempunyai sangkaan kuat yang dapat
dijadikannya pegangan dalam kegiatan tersebut. Ijtihad dalam perspektif ini
merupakan keharusan individual (fardu ain) yang menyangkut kepentingan
diri-sendiri.
Dasar
ijtihad adalah hadis Nabi, yakni ketika Nabi hendak mengutus Muadz Ibnu Jabal
ke Yaman sebagai hakim, Rasulullah bertanya pada Muadz: “Apa dasar yang kamu jadikan
sebagai pegangan untuk menentukan hukum agama apabila timbul masalah, Muadz
menjawab, “Kitab Allah” (al-Qur’an). Nabi
bertanya lagi, “Jika di dalamnya tidak ditemukan?” “Sunnah Rasulullah”, jawab
Muadz. Rasulullah terus mengejar, “jika di dalamnya juga tidak kamu temukan?”
Lalu jawab Muadz “Saya berijtihad dengan menggunakan pertimbangan pikiran
saya”.[10]
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai
pelaku, objek dan target capaian ijtihad adalah :
1. Pelaku
ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2. Yang
ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum yang berhubungan
dengan tingkah laku orang mukallaf.
3. Hukum
syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.
Status dhanni
pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tapi mengandung kemungkinan salah.
Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut.
Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.
Sandaran kerja ijtihad salalu pada dalil dhanni baik dhanniyu al-subut atau al-dalalah, seperti pada :
a. Hadits ahad : dikategorikan dalil dhanniyu al-subut, mujtahid sebelum
menyimpulkan hukum lebih dulu menyelidiki kondisi sanad dan segi patut tidaknya
hadits tersebut dijadikan dasar hukum.
b. Ayat al-Qur’an adalah dalalah lafadz (penunjukan maksud
kata-katanya) perlu pengujian mutu tafsir atau mutu takwil-nya, demikian juga segala pertentangan dengan ayat lain (ta’arudh an-nushus) serta penunjukan ‘am-khasnya dan lain-lain.
Abdul Wahab Khallaf menerangkan bahwa ijtihad juga
meliputi pengerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang
tidak ada hasilnya, disebut dengan (al-ijtihad
bi al-ra’yi). Ijtihad bi al-ra’yi merupakan satu macam ijtihad dalam arti
umum yang meliputi pengertian :
1. Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang
dikehendaki nashnya yang dhanni dalalahnya. Hukum yang diperoleh berupa
penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash al-Qur’an dan Hadits.
2. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syar’i amali
(furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah syar iyah kulliyah.
3. Ijtihad
untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki
hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan “Ijtihad al-Ra’yi”.[11]
Ruang Lingkup Ijtihad
Ruang lingkup ijtihad adalah masalah yang
diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang
terdapat dalam ikmu usul fiqh adalah al mujtahid fih. Menurut Abu
Hamid Muhammad Al-Ghozali, lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’
yang tidak memiliki hukum qoth’i.[12]
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dlarurah
dan bidahah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal), tidak termasuk
lapangan ijtihad. Secara tegas, Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan bahwa sesuatu
yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i al-tsubut wa dalalah tidak
termasuk lapangan ijtihad. Persoalan-persoalan yang tergolong ma ‘ulima min
al-din bi al dlarurah, diantaranya kewajiban sholat lima waktu, puasa pada
bulan rhamadan, zakat, haji, keharaman zina, pencurian dan minuman khamar.
Secara lebih jelas, Wahbah Al-Zuhaili[13]
menjelaskan lapangan ijtihad itu ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak
dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW dalam Al-Qur’an dan
al-Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua sesuatu yang ditetapkan
berdasarkan dalil zhanni al-tsubut wa al-dalalah atau salah satunya (zhanni
al-tsubut atau zhanni al-dalalah).[14]
Selama ada dalil yang pasti maka dalil itu tidak bisa
dijadikan obyek ijtihad, atas dasar ayat-ayat hukum tadi telah benar
menunjukkan arti yang jelas dan tidak mengandung ta’wil yang harus diterapkan
untuk ayat-ayat itu. Contoh masalah yang sudah ada hukumnya dalam nash:
الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد ماة
جلدة
Artinya:
perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing seratus kali
dera. (QS.An-Nuur: 22[15]).
Contoh diatas sudah jelas, bahwa baik laki-laki maupun
perempuan yang berzina, masing-masing didera seratus kali, hukum ini sudah
jelas sehingga tidak perlu diijtihadi.
Sedangkan contoh masalah yang membutuhkan ijtiihad
adalah:
اقيمو الصلوة واتوالزكوة
Artinya :
Dan lakukanlah sholat, tunaikanlah zakat…
(QS.Al-Baqarah:43).[16]
Dalam contoh ini memang sudah jelas bahwa umat manusia
diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan zakat, namun bagaimana cara
melakukannya belum diterangkan dalam ayat tersebut, jadi masih perlu
diijtahadi, contohnya berapa ukuran zakat padi, zakat perdagangan, zakat
profesi, dan seterusnya.
Sedangkan KH. Ibrahim Husen memberikan ruang lingkup atau medan ijtihad
pada 4 macam:
a. Masalah – masalah baru
yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash Al-Qur‟an dan hadist secara jelas.
b. Masalah-masalah baru yang
hukumnya belum di ijma‟i oleh ulama.
c. Nash-nash
dhany dan dalil-dalil hukum yang di perselisihkan.
d. Hukum Islam
yang kausalitas hukumnya dapat di ketahui mujtahid.
Dasar Ijtihad
Ijtihad sebagai salah satu sumber hukum dari sumber-sumber hukum
syari’ah merupakan sebuah pernyataan yang didasarkan pada dalil-dalil yang
menunjukan kevalidannya, baik dalil yang bersifat isyarat ataupun jelas
eksplisit. Diantara dalil-dalil yang menunjukan hal tersebut, didasarkan pada
dalil naqli al-Qur’an, diantaranya Allah berfirman, “Apabila mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya (secara resmi) dari mereka
(Rasul dan ulil amri).”[17]
Kemudian firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu.”[18] Ayat
ini menjustifikasi eksistensi ijtihad dengan cara qiyas.[19]
Kemudian firman-Nya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”[20]
dan“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang berakal.”[21] Juga
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang memperhatikan tanda-tanda.”[22] Istilah
berpikir dan berakal adalah sebuah aktifitas yang menggunakan logika dengan
penekanan yang ditunjukan ayat ini, yakni berpikir tanpa mendahului al-Qur’an
dan al-Sunnah.
Kemudian firman Ta’ala, “Maka ambillah pelajaran oleh kalian wahai
orang-orang yang mempunyai pandangan.[23] Menurut
al-Amidi, ayat ini pun menjadi landasan hukum adanya ijtihad, dimana ayat ini
menyatakan perintah untuk mengambil pelajaran atas hal yang bersifat umum bagi
orang-orang yang memiliki pengetahuan.[24]
Selanjutnya firman Allah,“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”[25] Dimana
ayat ini menjelaskan bahwa adanya musyawarah berarti menunjukan penghukuman
atas dasar ijtihad, bukan atas dasar penghukuman wahyu.[26] Hal ini
dilakukan jika tidak didapatkan kejelasan ayat tersurat yang qath’i dalam suatu
permasalahan. Kemudian ayat yang menyatakan, “Maka Kami memberikan pengertian
kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat).” Dan kepada masing-masing
Kami berikan hikmah dan ilmu.”[27] Menurut
riwayat Ibn ‘Abbas, ada sekelompok kambing telah merusak tanaman pada waktu
malam. Pemilik tanaman mengadukan hal ini kepada nabi Dawud as. Ia memutuskan
bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada pemilik tanaman sebagai ganti
tanaman yang rusak. Tetapi nabi Sulaiman memutuskan agar kambing-kambing itu
diserahkan sementara kepada pemilik tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan
pemilik kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanaman yang baru.
Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, pemilik kambing itu
boleh mengambil kembali kambingnya . Keputusan nabi Sulaiman inilah keputusan
yang lebih tepat.[28]
Kebijakan nabi Sulaiman ini merupakan ijtihad beliau dalam memutuskan sebuah
hukum. Imam al-Syāfi’ī (150-204 H) dalam al-Risālah mengatakan bahwa landasan
dari ijtihad ini adalah Qs. Al-Baqarah: 150, yang berbunyi, “Dan dari manapun
engkau (Muhammad) keluar,maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram. Dan
dimana saja engkau berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu.”[29] Beliau
menjelaskan bahwa ilmu yang menyatakan bahwa orang yang menghadapkan arahnya ke
Masjidil haram dari orang yang meninggalkan rumahnya, menunjukan kebenaran
adanya ijtihad untuk menghadapkan arah shalat ke Baitullah dengan
petunjuk-petunjuknya, karena orang yang mukallaf waktu itu pada dasarnya tidak
tahu apakah ia benar menghadap ke Masjidil Haram ataukah salah?.[30]
Diantaranya pula yang berdasarkan hadits Rasulullah SAW. yang
diriwayatkan dari Amr ibn al-’Āsh :
حدثني يحيى بن يحيى التميمي. أخبرنا
عبد العزيز بن محمد عن يزيد ابن عبد الله بن أسامة بن الهاد عن محمد بن إبراهيم عن
بسر بن سعيد عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص, عن عمرو بن العاص: أنه سمع رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال: إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران و : إذا حكم الحاكم
فاجتهد ثم أخطأ فله أجر.[31]
“...Jika seorang hakim
menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan jika ia
salah, ia mendapatkan satu pahala.”
Kemudian hadits yang menjelaskan mengenai pengutusan Muadz ibn
Jabal ke Yaman untuk menjadi hakim oleh Rasulullah SAW.,
حدثنا حفص بن عمر بن شعبة عن أبي عون
عن الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن
جبل: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال: كيف
تقضي إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضي بكتاب الله. قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال:
فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال: فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله
عليه وسلم ولا في كتاب الله؟ قال: أجتهد برأيي ولا آلو. فضرب رسول الله صلى الله
عليه وسلم صدره. فقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضى رسول الله.[32]
“...Bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus
Mu’ādz ke
Yaman bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan
kepadamu suatu perkara? Mu’ādz
menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “
Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak
menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan
menggunakan ijtihād dengan
nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang
diridhai Rasūlullāh.”
Landasan berijtihad juga dapat ditemukan dalam riwayat yang
menceritakan dua sahabat yang telah berijtihad ketika keduanya mengadakan
perjalanan, dimana ketika itu waktu shalat sudah datang, namun keduanya tidak
menemukam air. Kemudian keduanya shalat (dengan bertayamum), tidak lama
kemudian setelah keduanya selesai melakukan shalat, keduanya menemukan air. Maka
salah seorang mengulangi shalatnya. Sedang yang satu lagi tidak mengulanginya.
Ketika hal itu diadukan kepada Rasulullah, beliau membenarkan keduanya, seraya
beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya: “Engkau sesuai
dengan sunnah, dan shalatmu mendapat pahala.” Sedangkan kepada yang mengulangi
shalatnya, ia berkata: “Bagimu dua pahala.”[33]
Kemudian ada taqrīr (sikap
diam tanda setuju) Rasulullah SAW. kepada ‘Amr ibn ‘Ash ketika ia shalat dalam
salah satu sariyyah[34] beserta
sahabatnya. Dikatakan bahwa ‘Amr junub, tetapi ia tidak mandi, bahkan cuma
tayammum saja karena malam itu sangat dingin. Maka hal itu diadukan kepada
Rasulullah SAW., dan ‘Amr berargumen bahwa ia tidak mandi, tapi hanya tayammum
karena ia teringat firman Allah Ta’ala,“Janganlah kalian membunuh diri kalian
sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang atas kalian.”[35]
Cara berijtihad ini diikuti pula oleh para sahabat dan generasi
selanjutnya setelah wafatnya Rasulullah SAW., sebagai ciri khas yang selaras
dalam menyimpulkan suatu hukum syar’i yang ditetapkan di dalam Islam. Mereka
senantiasa menggunakan ijtihad, jika tidak ditemukan suatu kejelasan hukum
suatu masalah di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini sudah menjadi ijma’
para sahabat yang diikuti oleh segenap ‘Ulama Islam dalam berbagai madzhab.[36]
Umat Islam dengan berbagai madzhabnya telah sepakat (ijma’) atas
adanya syari’at ijtihad dan mengaplikasikannya. Dan hasilnya terjadinya
perkembangan dalam bidang fikih. Begitupun akal mewajibkan adanya ijtihad,
karena kebanyakan dalil-dalil hukum syara’ dalam bentuk aplikatif praktis
(amal) bersifat zhannī yang
memungkinkan dipahami dengan beberapa pemahaman. Oleh karena itu diperlukan
ijtihad untuk menentukan pendapat yang terkuat. Begitu juga permasalahan yang
tidak ada kejelasan nash tersurat, memerlukan ijtihad untuk menjelaskan hukum
syari’at dalam masalah tersebut. Oleh karena ijtihad itu disyari’atkan, maka
kedudukan ijtihad ini pula sangat penting untuk diperhatikan. Syeikh Yusuf
al-Qaradhawi menghukumi ijtihad dengan fardhu kifayah.[37] Ia
beralasan bahwa ijtihad itu untuk kepentingan agama dan dunia, sebagaimana ilmu
hisab, kedokteran, dan lainnya, yang hukumnya fardhu kifayah. Beliau juga
mengutip al-Syaukani dan al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihalyang
menyatakan bahwa hukum ijtihad adalah fardhu kifayah.[38]
Pembagian
Ijtihad
Perbedaan pendapat mengenai makna ijtihad yang diserupakan dengan qiyas,
ra’yu (logika) yang termasuk di dalamnya istihsān atau mashālih mursalah, menjadi pembahasan yang
terus bergulir. Al-Syafi’i misalnya yang menyatakan bahwa ijtihad sama dengan
qiyas,[39]
dibantah oleh Al-Ghazali dengan argumentasi bahwa ijtihad lebih umum ketimbang
Qiyas, karena ijtihad kadang memperhatikan penelitian usahanya dalam
masalah-masalah umum, kedalaman lafazh-lafazh, dan jalan-jalan mencari dalil
lain selain Qiyas.[40] Bahkan
dikatakan bahwa ijtihad mencakup ra’yu (logika), qiyas, dan akal.
Sebagaimana ra’yu diartikan oleh mereka yang berpendapat demikian diklaim
sebagaimana para sahabat memahaminya, yaitu sebagai amal yang yang dipandang
oleh mujtahid sebagai suatu kemaslahatan dan lebih dekat kepada semangat
syari’at Islam tanpa penelitian kepada apakah hal itu ada dasar tertentu untuk
kejadian tersebut atau tidak.[41] Hal ini
senada dengan apa yang dikatakan al-Syairazī dalam al-Luma’ fī Ushūl al-Fiqh, seperti dikutip Wahbah
Zuhaili, bahwa yang benar adalah bahwa ijtihad itu lebih umum dari qiyas,
karena ijtihad merupakan pengerahan kemampuan seorang mujtahid dalam mencari
hukum, yang di dalamnya mencakup pengetahuan tentang mutlaq atas muqayyad,
penertiban yang ‘Ām atas yang Khāsh, dan seluruh bahasan-bahasan yang menuntut
pencarian hukum. Dan dari bahasan-bahasan itu, hanya sebagian yang termasuk
qiyas.[42]
Pembagian ijtihad, sebagaimana yang dijelaskan al-Syāthibi,[43] terbagi
kepada tiga bagian dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman. Yang
pertama, Ijtihadbayānī, yaitu ijtihad untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash-nash syāri’ (Al-Qur’an dan
al-sunnah). Ijtihad ini untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun
sifatnya zhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya.
Lapangan ijtihad bayani ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan
menguatkan salah satu diantara beberapa pemahaman yang berbeda.
Kedua, ijtihad Qiyāsī, yang artinya ijtihad yang
dilakukan untuk menggali dan menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu
kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash – baik qath’i
ataupun zhanni - juga tidak ada ijma’ yang telah menetapkan
hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian dengan
merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu
ada kesamaan dalam ‘illat hukumnya, atau biasa disebut Qiyas.
Ketiga, ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang
dilakukan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syar’i dengan cara
menetapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat
dalam nash –baik qath’imaupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya
dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma’. Dasar pegangan dalam
ijtihad macam ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat ataupun menghindarkan
madharat.
Mengenai pembagian ijtihad diatas, Taqiy al-Dīn al-Hakīm dalam al-Ushūl al-’Āmmah li al-Fiqh al-Muqārin, mengomentari bahwa ijtihad bayani
tidak mencakup syarat-syarat pembagian yang mantiqi, karena tidak
memenuhi kapasitas pembagian. Dimana ijtihad ini tidak mencakup ijtihad
istihsani dan lainnya dari dalil-dalil istinbat yang menjadi pegangan para
fuqaha. Kemudian mengenai ijtihad qiyāsī, ia berkomentar bahwa qiyas
bukan satu bagian ijtihad bayani dari keseluruhan bagian-bagian qiyas. Tetapi
pada sebagiannya qiyas menjadi bagian dari ijtihad, seperti qiyas yang
didasarkan pada nash yang tersurat dengan menggunakan ‘illat atau yang
mengambil keumuman hukum dari keumuman atau kemutlakan illatnya untuk semua
yang berkaitan dengannya. Sedangkan ijtihad istishlāhī merupakan nama lain dari
ijtihad bayani, karena sama-sama menyimpulkan hukum dari dalil-dalil yang umum,
seperti Lā Dharara
wa lā dhirāra (jangan membahayakan diri dan orang lain).
Oleh karena itu, menurut al-Hakīm,
ijtihad itu terbagi kepada dua bagian saja. Pertama, ijtihad ‘Aqlī, yaitu ijtihad yang
argumentasinya atas dasar akal dan logika yang tidak bisa diterima menjadi
hukum syara’, seperti kebebasan akal dan kaidah-kaidah yang menolak bahaya yang
diperselisihkan atau jeleknya sanksi hukum tanpa adanya penjelasan dan lainnya.
Kedua, ijtihad Syar’ī, yaitu
argumentasi yang didasarkan atas argumentasi-argumentasi syar’i. Yang termasuk
ijtihad ini adalah ijma’, qiyas, istohsan, istishlah, ‘urf, istishhab,
dan lainnya.[44]
Sedangkan melihat bentuk ijtihad dari sisi mungkin atau tidak
mungkin terhenti kegiatannya, al-Syatibi membaginya menjadi dua macam. Pertama,
ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam bentuk ini
adalah yang disebut dengan tahqīq al-manāth atau ijtihad dalam
menjelaskan hukum. Kedua, ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya.
Pada bentuk kedua ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) tanqīh al-manāthyang artinya upaya mujtahid
untuk memilih berbagai ‘illatyang ditemukan untuk ditetapkan sebagai ide hukum
suatu ayat, dan (2) takhrīj al-manāth yang artinya upaya
mujtahid untuk menggali berbagai ‘illat dari suatu hukum.[45]
Kemudian ijtihad dilihat dari sisi hasil yang dicapai terbagi
kepada dua bentuk. Pertama, ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum
dapat dipandang sebagai penemuan hukum, yakni ijtihad yang dihasilkan oleh
pakar yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang
ditetapkan. Kedua,ijtihad ghair mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak
dapat dipandang sebagai cara dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini
adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan
untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan.[46]
Syarat-syarat
Ijtihad
Al-Ghazali menjelaskan syarat mujtahid hanya pada dua syarat saja. Pertama,
menguasai pengetahuan-pengetahuan ilmu syara’ (agama), yang memungkinkan
seorang mujtahid bertindak proporsional dalam meneliti suatu persoalan, yaitu
ia bisa mendahulukan apa yang mesti didahulukan, dan mengakhirkan apa yang
mesti diakhirkan. Kedua, seorang mujtahid mestilah seorang yang adil dan
menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan yang tercela. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa
syarat yang kedua (adil) adalah merupakan syarat diterimanya fatwa, bukan
syarat sahnya ijtihad. Oleh karena itu, jika seseorang mendalam ilmunya, tetapi
ia tidak menggambarkan keadilan dirinya, maka ia berijtihad untuk dirinya saja,
tidak untuk yang lainnya dalam wujud fatwa.[47]
Begitupun dengan al-Syathibi yang mensyaratkan dua persyaratan dalam
berijtihad, tetapi beda isi dengan al-Ghazali. Pertama, memahami secara
sempurna maqāshid
al-syarī’ah.
Kedua, mempunyai kapasitas dalam mengistinbat hukum sebagai gambaran dari
pemahamannya.[48]
Tetapi uraian secara terperinci dalam menentukan syarat-syarat
ijtihad, para ‘Ulama membaginya ke dalam tiga klasifikasi, yaitu al-syurūth al-’Āmmah (syarat-syarat umum),
al-syurūth al-khāshshah atau al-syurūth al-tahlīliyyah (syarat-syarat khusus
atau terperinci), danal-syurūth
al-takmīliyyah
(syarat-syarat penyempurna). Penjelasan dari ketiganya adalah sebagai berikut.
1. Al-Syurūth al-’Āmmah (syarat-syarat umum)
Yang termasuk persyaratan yang pertama, yaitu (1) seorang mujtahid
mesti seorang muslim bertauhid, yakni mengetahui dan meyakini keberadaan Allah,
sifat-sifat-Nya, kesempurnaan-Nya. Kemudian jua membenarkan Rasul SAW., dan apa
yang dibawa berupa syari’at, sehingga seorang mujtahid menjadikan hal itu menjadi
rujukan utamanya.[49]
Kemudian (2) sorang mujtahid adalah seorang yang baligh, karena jika masih
kecil tidak memenuhi syarat ilmu dalam mengetahui fiqih dari berbagai aspeknya.
Yang (3) seorang mujtahid adalah orang yang berakal, karena tanpa akal tidak
akan mendapat ilmu, pemahaman, dan lainnya. Sedang yang ke (4) adalah mujtahid
mesti seorang yang faqīh
al-nafs, yaitu orang yang mempunyai kemampuan dalam menyimpulkan hukum-hukum
fiqih dari dalil-dalilnya.[50]
2. Al-syurūth al-khāshshah atau al-syurūth al-tahlīliyyah (syarat-syarat khusus atau
terperinci)
Syarat ini adalah syarat yang dilihat dari keahlian, sebagaimana
yang dijelaskan Yusuf al-Qarādhawī, bahwa syarat- tersebut
adalah sebagai berikut. (1) mengetahui dan menguasai arti ayat-ayat al-Qur’an, khususnya
tentang ayat-ayat hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah. (2) mengetahui
dan menguasai hadits-hadits nabi SAW., khususnya hadits-hadits yang berkaitan
dengan hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah. (3) mengetahui bahasa arab
dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai
problematikanya. (4)mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’
‘Ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’. (5) mengetahui
ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. (6) mengetahui maqāshid al-syarī’ah secara umum.. (7)
mengetahui kondisi masyarakat dan kehidupan atau lingkungan. (8) mempunyai jiwa
adil dan taqwa.[51]
3. Al-Syurūth al-Takmīliyyah (syarat-syarat penyempurna)
Diantara syarat penyempurna ini adalah sebagai berikut: (1)
mengetahui peniadaan yang mendasar, yaitu seorang mujtahid mengetahui bahwa
yang mendasar itu adalah meniadakan bahwa ia tidak berhukum kecuali apa yang
telah digariskan oleh syara’, tidak ada kewajiban kecuali apa yang diwajibkan
oleh syara’, tidak ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang oleh dalil. Imam
al-Ghazali mengibaratkannya kepada dalil akal,[52] karena
akal yang benar tidak akan menolak dalil, tapi justru menguatkannya. (2)
Memahami maqāshid
al-syarī’ah (tujuan-tujuan syari’at).
Dimana al-Syathibi dan al-Qaradhawi memasukannya sebagai salah satu syarat
utama. Al-Syātiby
dalam al-muwāfaqāt menyebutkan bahwa maslahah atau maqāshid al-syari’ah terbagi kepada al-mashālih al-dharuriyyah, al-hājiyyah, dan al-tahsiniyyah. Al-mashālih al-dharuriyyah. Menurutnya, sesuatu yang
harus ada dalam usaha menegakkan dan menjaga urusan agama serta dunia, yang
melingkupi penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Al-Māshalih al-Hājiyyah ialah segala yang diperlukan
manusia agar penghidupan ini menjadi mudah dan lapang, hilanglah kesempitan dan
kesukaran, tetapi tidak mengarah kepada kerusakan dan kebinasaan. Sedangkan
al-mashālih
al-tahsiniyyah adalah segala yang berhubungan dengan keindahan dalam kehidupan,
baik bagi individu maupun masyarakat. Jika hal ini tidak ada hanya dipandang
kurang baik saja.[53]
(3) Mengetahui kaidah-kaidah kulliyyah. Dalam hal ini Imam Ibn al-Subkī memasukannya sebagai salah
satu syarat dalam memahami maksud sya’ri’ (Allah swt). Dan yang dimaksud dengan
kaidah kulliyyah adalah kaidah-kaidah al-kulliyyah al-fiqhiyyah,
seperti “al-dhararu yuzālu” (bahaya itu akan hilang)
atau al-yaqīn lā yazūlu bi al-Syak (keyakinan tidak akan hilang
dengan keraguan). (4) mengetahui tempat-tempat perselisihan. Mengutip perkataan
Qatadah, ia berkata: “barang siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf
(perbedaan), maka hidungnya tidak mencium pemahaman.” Hisyam ibn ‘Ubaid
Allah al-Razi berkata: “barang siapa tidaka mengetahui perbedaan qira’ah,
maka ia bukan qāri’. Dan barang siapa yang tidak
mengetahui perbedaan para fuqaha, maka ia bukan faqih.”[54] (5)
Mengetahui ‘urf (adat kebiasaan) yang berjalan di suatu negeri. Dengan
pengetahuan ini, dapat mengambil kebijakan hukum secara proporsional.[55] Dalam
hal ini al-Qurāfī mengatakan bahwa pengetahuan
terhadap ‘urf adalah urusan yang wajib yang tidak ada perselisihan
‘ulama tentang hal itu. Sesungguhnya jika ada dua adat dalam dua negeri, maka
kedua adat itu tidak sama. Begitu pula hukum kedua negeri itu pun tidak sama.[56] (6)
Mengetahui mantiq (logika), sebagaimana yang dikemukakan al-Ghazali bahwa
seorang mujtahid mesti mengetahui pembagian dalil-dalil (akal, syari’at,
wadh’iyyah /ibarat-ibarat bahasa), kesulitan-kesulitannya, dan
syarat-syaratnya.[57]
(7) keadilan dan keshalihan mujtahid. (8) Mempunyai sejarah dan pengalaman yang
baik (tidak cacat). (9) mempunyai sifat wara’ (taqwa) dan ‘iffah (karisma) dari
setiap hal yang akan merusak kemuliaannya. (10) Mempunyai ketenangan dalam
berpikir, kebijaksaan dalam menjelaskan dan hati-hati dalam berfatwa. (11)
Perasaan rendah diri di hadapan Allah dengan selalu berdo’a kepada-Nya untuk
meminta petunjuk kebenaran. (12) Ketsiqahan dirinya dalam keahliannya dan
pengakuan masyarakat terhadapnya. Malik ibn Anas pernah berkata:“Tidak pantas
seorang ‘alim berfatwa sehingga dirinya dan masyarakat melihatnya sebagai orang
yang ahli dan pantas untuk berfatwa, dan begitu pula ia diakui oleh ‘ulama
dalam kepantasannya tersebut.“[58] Dalam
perkataannya yang lain, “aku tidak akan berfatwa sehingga ada 70 orang yang
bersaksi bahwa aku ahli dalam hal itu.” (13) Kesesuaian amal seorang mujtahid
dengan ucapannya dan ilmunya. Allah berfirman, “Dan diantara orang mukmin itu
ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”[59] “Wahai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan. (itu) sangatlah dibenci disisi Allah jika kamu mengatakan apa yang
tidak kamu kerjakan.”[60]
Urgensi Ijtihad
Dari latar belakang
historisnya Ijtihad bermula dari riwayat percakapan antara Nabi dengan Mu‟az bin Jabal ketika ia ditunjuk menjadi Gubernur/Hakim ke Yaman.
Diriwayatkan, Nabi bertanya kepada Mu‟az tentang sumber yang di gunakan
dalam memerintah provinsi dan memutuskan perkara di sana. Muaz menjawab :
pertama-tama ia akan mencari dari al-Qur‟an, jika Al-Qur‟an tidak memberi jawaban, maka akan dicari dari sunnah nabi. Jika
tidak ada sunnah yang dapat diterapkan, ia akan menggunakan pendapat/keputusan
pribadi “Ajtahidu ra‟yi wala alu” nabi dikabarkan
menyetujui urutan-urutan sumber syariah itu. Inilah awal dari bolehnya ijtihad
oleh nabi dalam memutuskan suatu keputusan penting jika tidak terdapat dalam
al-Qur‟an dan hadits. Sedangkan di masa sahabat munculnya ijtihad dengan
masalah, siapakah pengganti Nabi Muhammad sebagai khalifahatau kepala
negara setelah beliau wafat? Kaum Anshor berijtihad merekalah yang berhak
menjadi khalifah karena merekalah yang menolong Beliau ketika dikejar-kejar
kaum Kafir Quraisyh Mekkah, sedangkan sebaliknya kaum Quraisy menganggap
merekalah yang berhak dengan alasan sabda Nabi : para pemuka (al a‟immah) adalah dari golongan Quraisy begitu pula keluarga Ali
yang mengklaim dirinya untuk menjadi Khalifah. Menurut penulis Ijtihad tentang
siapa yang berhak menjadi khalifah tersebut sangatlah kental nuansa politisnya
ketimbang unsur akidahnya yang dilatarbelakangi oleh keinginan mereka menjadi
pengganti Nabi. Pintu Ijtihad memang harus dibuka lebar-lebar,
sebagaimana anjuran para pemimpin pembaharuan Islam abad 19 Masehi, dan secara
kolektif para ulama Islam memasukinya.
Perlu ditekankan bahwa Ijtihad merupakan kunci untuk
menyelesaikan problem-problem yang dihadapi oleh umat Islam sekarang dan
mendatang. Ijtihad, sebagai sumber ketiga ajaran umat Islam sesuai
dengan semua tempat dan zaman. Hal ini telah dibuktikan oleh para ulama dari
berbagai bidang ilmu keagamaan dan sains pada zaman keemasan Islam. Hal ini
tepat untuk membenahi ketinggalan umat Islam atau untuk menyesuaikan diri
dengan kemajuan abad modern harus membuka Ijtihad, lebih-lebih pintu ijtihad
ini telah dibuka oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga tak berhak lagi siapapun menutupnya. Juga, tidak ada
Nash baik al-Qur‟an dan
hadist yang mengharuskan kita terikat oleh satu madzab fiqh tertentu.
Dan harus diakui bahwa kemunduran Islam selama berabad-abad yang lalu salah
satunya disebabkan oleh adanya anggapan pintu ijtihad tertutup yang menurut
Iqbal berhentinya gerakan Islam selama 500 tahun terakhir ini menggambarkan hal
tersebut. Jadi, apakah prinsip gerakan dalam struktur Islam? Itulah yang
disebut Ijtihad. Oleh karena itu aktualisasi pemahaman Islam dan
sejenisnya bukan saja boleh, melainkan harus digelorakan, jika pada hakikatnya
ia dimaksudkan sebagai ijtihad. Barangkali kita sepakat tentang hal ini. Yang
dilatar belakangi apa yang disebut oleh iqbal sebagai “berhentinya gerakan
Islam selama 500 tahun terakhir ini.
Ibnu Sina mengatakan setiap proses dalam generasi di dalam
kosmos selalu mengikuti prinsip-prinsip ciptaan, yaitu segala kesatuan alam
yang satu pasti memunculkan sesuatu yang satu pula (ex uno non fit nisi unum)
dan setiap kreasi pasti bermuara dari jalur rasional (Thariq al-tanggul)
peningkatan derajat kita dari persfektif pengetahuan diukur oleh kerangka
logika yang kita miliki. Konsep adalah objek mental yang afirmasi atau negasi (concept
a mental objeetswith affirmation or negation).[61]
Landasan Ijtihad Sebagai Sumber
Hukum Islam
Al-Qur‟an dan sunnah keduanya adalah cahaya yang menerangi kegelapan dan
melenyapkan kebingungan. Ijtihad adalah kegiatan pemikiran yang
dicurahkan untuk menarik dan menyimpulkan hukum syariat dari kedua
sumber hukum (Q + H) guna menetapkan pengaturan hidup bermasyarakat. Pekerjaan ijtihad
tidak dapat dilakukan bagi setiap orang, karena memerlukan keahlian &
ilmu pengetahuan agama yang tinggi.
Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam Aqidatun wa syari‟atun, mengemukakan bahwa ajaran Islam terdiri atas dua aspek , yakni
akidah dan aspek syari‟ah[62].
Selanjutnya beliau menentukan sumbernya masing-masing, aspek aqidah bersumber
dari alQur‟an, al hadis atau as-sunnah dan al-Ra‟yu.[63]
Ra‟yu merupakan pandangan atau pendapat yang di peroleh atas
pengkajian dan pembahasan yang dilakukan terhadap Al Qur‟an dan Al Hadis dengan menggunakan kaidah-kaidah khusus.
Muhammad
Abu Zahrah dalam kaitannya ushul al-Fiqh menyatakan
bahwa ulama sepakat menetapkan dalil hukum itu adalah al Kitab (al-Qur‟an), al-Sunnah (al-Hadis), ijma‟ dan jumhur menetapkan al-Qiyas sebagai
dalil hukum yang keempat. Demikian juga beliau mengemukakkan dalil-dalil yang
diperselisihkan di kalangan jumhur ialah pendapat sahabat, al-istimbath,
al-maslahah, al-Dzara‟I, al-istihhab dan al-syar‟u man qublana.[64]
Mukhtar yahya mengemukakan bahwa jumlah fuqahah sepakat
menetapkan bahwa sumber hukum ada tiga (3) macam yaitu al Qur‟an, al-Sunnah dan Ijtihad. Ijtihad dibagi atas tiga Ijma‟ dan qiyas.[65]
Beliau menjadikan dasar, ayat al-Qur‟an dan surah al-Nisa ayat 59, dan al
hadis yang diriwayatkan oleh ahmad Abu Daud dan Turmudzy dari Mu‟adz bin jabal ketika dirinya diutus menjadi qadhi di negeri
Yaman9. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa sumber hukum atau dalil ada
empat yang disepakati oleh jumhur: alQur‟an, al-Sunnah (al-Hadis), Al-Jima‟, Al-Qiyas. Sedangkan yang tidak di sepakati adalah : Ijtihad sahabat,
Istihsan, Mashalah Mursalah, Saddud Dzarai, Urf, Istishab dan, Syar‟u man qablana.
Kesinambungan
Ijtihad
Kewajiban
ijtihad tidak berhenti pada masa ‘ulama terdahulu saja, tetapi sebaliknya
kesinambungan kewajiban ijtihad mesti terus terjadi di stiap masa ataupun
tempat. Hal ini mengingat berkembang dan kompleksitas problematika umat dari
masa ke masa yang terus berkelanjutan. Oleh karena itu, ijtihad merupakan solusi
dalam memberikan keseimbangan hidup dengan sinaran wahyu yang terurut. Ketika
persoalan yang muncul merupakan persoalan baru yang tidak eksplisit (qath’ī) dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah, maka ijtihad adalah jawabannya, yang sudah barang tentu mesti dilakukan
menurut konsep yang sebenarnya di dalam Islam. Mengenai urgensitas
kesinambungan ijtihad, sebagaimana dikutif Yusuf al-Qaradhawi, imam al-Syaukani
berkata: “Tidak tersembunyi atas kalian (jelas nampak-pent) bahwa kedudukan
ijtihad adalah fardhu yang niscaya keberadaannya sepanjang rentangan zaman,
tanpa harus kosong dari seorang mujtahid. Hal ini dibenarkan oleh Rasulullah
SAW. dalam sabdanya: “Akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang berada
dalam kebenaran dengan jelas sampai terjadinya hari kiamat.”[66]
Hanabilah
(pengikut Ahmad ibn Hanbal) mengatakan bahwa tidak boleh suatu masa kosong dari
seorang mujtahid. Dalam hal ini al-ustadz Abu Ishaq berkata: “Dan dibawah
pendapat ‘ulama, Allah tidak akan mengosongkan suatu zaman dari orang yang menegakkan
hujjah dan argumentasi mengenai urusan yang besar, seakan-akan Allah
mengilhamkan hal tersebut. Artinya: Jika Allah mengosongkan suatu zaman dari
penegak hujjah (mujtahid), maka akan terlepaslah beban kewajiban (taklif).
Begitupun dengan imam al-Zubairi yang menyatakan bahwa bumi ini tidak akan
kosong dari penegak hujjah (mujtahid) di setiap waktu, masa, dan zaman.
Tetapi tentunya, jumlah mujtahid itu sedikit dari yang banyak. Oleh karena itu,
jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada mujtahid saat ini (suatu zaman), hal
itu adalah salah, karena jika tidak ada fuqahā, maka kewajiban-kewajiban
seluruhnya tidak akan ada. Jika tidak ada kewajiban, maka makhluk akan
dihancurkan, sebagaimana sabda rasul, “tidak akan terjadi kiamat kecuali atas
seburuk-buruknya manusia.” Dan kita berlindung kepada Allah untuk diakhirkan
beserta orang-orang yang buruk.”[67]
Kondisi
real suatu zaman meniscayakan adanya mujtahid yang mengemban amanah menegakkan
hujjah Islam dimuka bumi, demi terjaganya kemaslahatan umat Islam di dunia dan
di akhirat. Menjawab semua permalahan baru dalam dunia yang selalu baru, tetapi
bukan mengada-ada hukum baru dari hukum yang sudah baku. Keniscayaan zaman yang
akan terus mendatangkan penghuni dunia pengisi zaman yang terus menemui
kenistaan dan jauh dari pancaran wahyu di bawahworldview Islam. Hal ini sesuai
dengan riwayat yang diterima dari Anas ibn Malik bahwa Rasul SAW. bersabda:
“Bersabarlah kalian, karena tidak akan datang suatu zaman, kecuali zaman
tersebut akan lebih jelek dan buruk dari zaman sebelumnya sehingga kalian
menemui Tuhan kalian.”[68]
Mengomentari hadits ini, Abdullah ibn Mas’ud menjelaskan bahwa yang dimaksud
zaman pada hadits diatas, bukanlah suatu tahun lebih baik dari tahun yang lain
tau seorang amir lebih baik dari amir yang lain, tetapi ketika para ‘ulama dan
fuqaha diantara kalian wafat, tetapi tidak ada pengganti mereka. Kemudian
datang suatu kaum yang berfatwa dengan akal mereka (tanpa mengindahkan
wahyu-pent). Maka mereka menurunkan kewibawaan Islam, bahkan menghancurkannya.[69]
[1] Tawana, Ijtihad wa Mada Hajatina, Ilaihi fi
Haza al-‘Asr (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1872), 98.
[2] Ibid., 120.
[3] Ahmad Aszhar Basyir dkk, ijtihad dalam sorotan, (Bandung:
mizan, 1996). 108.
[4] Secara bahasa,
ijtihad adalah : برل غاي الجهد
في انى ىَل اني ايس
ي الايىز او فعم
ي الافعال
Artinya: Mengerahkan
segala kemampuan untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan. Lihat,
Muhammad Abu Zahra, Us}ul al-Fiqh, (Dar al-Fikr Al-Arabi: 1957), 379.
[5] Ghufron A. Mas'adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1997), 148. Dan lihat Wahbah al-Zuhaili..tt “Al-Wasith
fi ushulil fiqhil Islami. tanpa penerbit, 592.
[6] Hasbi Ash-Shiddiqy. 1975. Falsafah Hukum Islam. (Jakarta :
Bulan Bintang), 210..
[7] Muhammad Idris Asy-Syafi‟I 1938.
Al-Risalah : (Mesir : Math baah Mustafal Babil Halabi), 477.
[8] Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam
Sorotan, (Bandung: Mizan, 1991), 25.
[9] Al-Jurjani Syarief Ali Muhammad, Al-Ta’rifat, (Jeddah: Al-Haramain, tt), 10
[10] Abu Daud, Sunnah Abu Daud, Juz IV (TTP: Jama’atul Huquq Mahfudhah,
Cet. I, 1973), 19.
[11] Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, (Surabaya, IAIN Ampel Press, 2004)
[12] Abu Hamid
Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfa min 'Iim al-uhul, (Beirut: Dar Sadir,
t.t.), 354.
[13] Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (1978), 497.
[14] Atang Abd.
Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003), 104.
[15] AL-QUR’ANAn-Nuur: 22
[16] AL-QUR’ANAl-Baqarah:43
[17] AL-QUR’AN Al-Nisā: 83
[18] AL-QUR’AN Al-Nisā: 105
[19] Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1039.
[20] AL-QUR’AN Al-Ra’d: 3
[21] Al-Qur’an Al-Ra’d: 4
[22] Al-Qur’an Al-Hijr: 75
[23] Al-Qur’an Al-Hijr: 2
[24] Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi,
al-Ihkām, hal. 201
[25] Al-Qur’an Ali ‘Imran: 159
[26] Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi,
al-Ihkām, hal. 201
[27] Al-Qur’an Al-Anbiyā: 79
[28] Abu
‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurthūbī, Al-Jāmi’ li Ahkām
al-Qur’ān, Tahqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abdan al-Muhsin al-Turkī, (Jilid
14, al-Thab’ah al-Ūlā, Muassasah al-Risālah, 2006), 234
[29] وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
[30] Muhammad
ibn Idris al-Syāfi’ī, Al-Risālah, Tahqīq Ahmad Muhammad Syākir, (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), 488. Selanjutnya diringkas Al-Risālah.
[31] Abu Husain Muslim ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisābūrī, Shahih
Muslim, jilid 2, 123. Lihat Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1039.
[32] Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, jilid 2, hal. 168
[33] Ibn
al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwāqi’īn ‘an Rabb al-Ālamīn, terjemah
Kamaluddin Sa’diyatul Haramain, Panduan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2000), 165
[34] Sariyyah
adalah perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah SAW. Sebaliknya perang yang diikutii
Rasulullah SAW. disebut dengan Ghazwah
[35] Al-Qur’an
Al-Nisā: 29
[36] Wahbah
Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1039-1040.
[37] Fardhu
kifayah artinya kewajiban apabila telah ada yang melakukannya, maka kedudukan
wajibnya gugur tau kewajiban yang hanya dibebankan kepada sebagian orang saja,
bukan muslim seluruhnya.
[38] Yusuf
al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt
Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āshir, (Kuwait: Dār al-Qalam, al-Thab’ah
al-Ūlā, 1996), 78-79. Selanjutnya diringkas al-Ijtihād fī al-Syarī’ah
al-Islāmiyyah.
[39] Muhammad
ibn Idris al-Syāfi’ī, Al-Risālah, 477. Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh
al-Islāmī, 1040
[40] Al-Imām
Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī,al-Mustashfā, 54, dalam Wahbah
Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1038.
[41] Abu
‘Abīrah Masyhū ibn Hasan Ali Salmān, I’lām al-Muwāqi’īn ‘An Rabb al-‘Ālamīn,
jilid 1, (Riyadh: Maktabah Ibn al-Jauzī, al-Thab’ah al-Ūlā, 1423), 66.
[42] Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1040
[43] Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt,
96. Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1040
[44] Wahbah
Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1041-1042.
[45] Abu
Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt, 47.
[46] Ibid,
93
[47] Abū
Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā, 5.
[48] Abu
Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt, 105-106.
[49] Saifuddin
Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām, 198.
[50] ‘Ala’
al-Dīn Abī al-Hasan ‘Alī ibn Sulaimān al-Mardāwī al-Hambalī, Al-Tahbīr Syarh,
3870
[51] Yusuf
al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, 15-49.
[52] Al-Imām
Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā, 351.
[53] Al-Syatiby,
Al-Muwafaqat, jilid 2, 2-5.
[54] Al-Syatiby,
Al-Muwafaqat, jilid 4, 161.
[55] Nādiyah
Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām, 104.
[56] Al-Qarāfī,
al-Ahkām fī Tamyīz al-Fatāwā ‘an al-Ahkām, 249, dalam Nādiyah Syarīf
al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām, 105.
[57] Nādiyah
Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām, 105.
[58] Al-Imam
al-Qarāfī, al-Furūq, al-Thab’ah al-Ūlā, 1344 H, jilid 2, 110.
[59] Al-Qur’an
Al-Ahzāb: 23
[60] Al-Qur’an
Al-Shaff: 2-3
[61] Ahmad Barizi; Sans inati. “Ibnu Sina” dalam suyyed Husein Nasr and
oliven leamon (ed). History of Islamic philosophy (London and New York :
Routledge, 1996, Part I ), 234.
[62] Muhammad Syaltut, al-Islam Aqidatun wa Syari‟atun. (Beirut: Dar al-Kalam, 1966, Cet. III), 11.
[63] Ibid. 477.
[64] Ibid. 478.
[65] Abu Zahrah, Ushul al-Fiqhi (Al-Araby; Dar
al-Fikr 1977/1978), 74. Lihat juga Muhtar Yahya, Fathur Rahman. Dasar-dasar
pembinaan hukum Fiqh Islami, Cet; I : (Bandung; PT. al-Ma‟arif, 1986),
100.
[66] Muhammad
ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukānī, Irsyād al-Fuhūl, dalam Yusuf al-Qarādhāwī, al-Ijtihād
fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, 85.
[67] Yusuf
al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, 86.
[68] HR.
Bukhari dengan lafazh روى البخاري
بسنده إلى الزبير بن عدى, قال: أتينا أنس بن مالك فشكونا إليه ما نلقي من الحجاج,
فقال: إصبروا فإنه لا يأتي عليكم زمان إلا الذي بعده شر منه حتى تلقوا ربكم, سمعته
من نبيكم صلى الله عليه وسلم. Lihat Yusuf al-Qaradhawi, al-Mubasysyarāt bi al-Intishār
al-Islām, (Kairo: MaktabahWahbah, 2004), 124-128. Selanjutnya diringkas al-Mubasysyarāt.
[69] Imam
Ibn Hajar al-‘Asqalani menytakan bahwa pendapat Abdullah ibn Mas’ud ini adalah
pendapat yang kuat dan pantas untuk diikuti. Lihat Yusuf al-Qaradhawi, al-Mubasysyarāt,
124-128.
0 Comments