IJTIHAD; SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Ijtihad sebagai upaya penggalian hukum Islam untuk penggalian hukum Islam yang tidak terdapat ketentuannya pada kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul (Hadits Nabi). Jalan ini digunakan oleh para ulama untuk menggali hukum Islam yang tidak terdapat pada keduanya. Semoga Ulasan mengenai Ijtihad berikut menjadi pencerahan dan referensi bagi kalangan akademisi dan yang membutuhkannya.


IJTIHAD

Oleh: Sulaiman, S.Pd.I



Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berarti bekerja-keras, bersungguh-sungguh, atau mencurahkan segala kemampuan sampai pada batas yang maksimal. Secara teknis, ijtihad meliputi tiga dimensi pengertian. Pengertian menurut kata kerja, menurut kata benda, dan menurut kata sifat. Pertama, pengertian menurut kata kerja, ijtihad adalah “mencurahan kemampuan maksimal oleh seorang ahli hukum (faqih) untuk meng-istinbath-kan ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang rinci dari dalil-dalilnya,”[1] yakni menyangkut perbuatan manusia dengan manusia lain dan alam (muamalat). Kedua, pengertian menurut kata benda, ijtihad adalah hasil kerja intelektual seorang ahli hukum dalam menyimpulkan ketentuan-ketentuan hukum. Pengertian menurut kata sifat, ijtihad adalah kata yang menunjukkan sifat seorang mujtahid, yaitu “kecakapan yang dengannya seorang ahli hukum mampu menyimpulkan suatu ketentuan hukum syara’ dari dalil-dalilnya.[2]
Dilihat dari asal katanya, ijtihad berasal dari kata “al jahdu  dan “al juhdu” yang berarti “daya upaya” dan “usaha keras”, adapun definisi Ijtihad menurut istilah mempunyai dua pengertian: arti luas dan arti sempit, ijtihad dalam arti luas tidak hanya mencakup pada bidang fiqh saja, akan tetapi juga masuk ke aspek-aspek kajian islam yang lain, seperti tasawuf dan aqidah.[3]
Sementara itu Abu Zahra Ia mengatakan:[4]
بذل الفقيه  وسعُه في استنباط الاحكام العملية من ادلتها التفصلية.
Artinya:
“Mengerahkan segala kemampuan bagi seorang ahli fikih dalam melakukan istinbat hukum yang bersifat amali dari dalil-dalil yang terperinci”.

Fazlur Rahman mendefinisikan ijtihad sebagai “the effort to understand the meaning of a relevant text or precedent in the past, containing a rule and the alter that rule by extending or restricting or otherwise modifying it in such a manner that a new situations can be subsumed under it by a new solution”. (Ijtihad adalah upaya memahami makna suatu teks atau preseden di masa lampau yang mengandung suatu aturan dan mengubah aturan tersebut dengan cara memperluas, membatasi atau memodifikasinya dengan cara-cara yang lain sedemikian rupa sehingga suatu situasi baru dapat dicakup ke dalamnya dengan suatu solusi baru).[5]
Pada tataran ini ijtihad bisa difahami sebagai : sebuah terminology hukum islam yang secara umum dapat dikembangkan sebagai penafsiran atau upaya penggalian ketentuan-ketentuan hukum dari sumber-sumber Islam yang autoritatif.
Sedangkan Hasbi Ash-Siddiqy menjelaskan maksud ijtihad : tidak lain daripada memahami undang-undang ilahi dengan faham yang mendalam dan menjadikannya undang-undang itu untuk memenuhi hajat.[6]
Asy-Syafii menyebutkan bahwa dalam arti sempit qias itu juga ijtihad.[7]  Secara umum dapat di pahami bahwa maksud berijtihad adalah : orang yang secara mendalam memahami isi kitabullah dan sunnah Rasulnya dan ia hidup menghayati kedua-duanya, dan mendapatkan kejelasan mengenai prinsip-prinsip yang mengatur kehidupan, dan dapat memperoleh gambaran tentang proses penetapan hukum syariat untuk menjamin kebaikan dan keselamatan hidup umat amnesia, serta untuk menghadapi persoalan-persoalan baru yang selalu muncul dan memerlukan solusi hukum Islam yang benar dan tepat.
Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbath. Istinbath barasal dari kata nabath (air yang mula-mula memancar  dari sumber yang digali). Oleh karena itu menurut bahasa arti istinbath sebagai muradif dari ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari persembunyian”.[8] Dan Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ijtihad adalah : pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap hukum syari’at.[9]
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa ijtihad/mujtahid mempunyai dua pengertian, yakni (1) umum (tidak terbatas) dan (2) khusus dan terbatas. Dalam pengertian umum, ijtihad mengacu kepada penalaran (upaya pemikiran) untuk menentukan pilihan ketika seseorang tidak mamiliki pegangan yang meyakinkan sehubungan dengan pelaksanaan ibadah ataupun muamalah tertentu, sehingga ia harus mempunyai sangkaan kuat yang dapat dijadikannya pegangan dalam kegiatan tersebut. Ijtihad dalam perspektif ini merupakan keharusan individual (fardu ain) yang menyangkut kepentingan diri-sendiri.
Dasar ijtihad adalah hadis Nabi, yakni ketika Nabi hendak mengutus Muadz Ibnu Jabal ke Yaman sebagai hakim, Rasulullah bertanya pada Muadz: “Apa dasar yang kamu jadikan sebagai pegangan untuk menentukan hukum agama apabila timbul masalah, Muadz menjawab, “Kitab Allah” (al-Qur’an). Nabi bertanya lagi, “Jika di dalamnya tidak ditemukan?” “Sunnah Rasulullah”, jawab Muadz. Rasulullah terus mengejar, “jika di dalamnya juga tidak kamu temukan?” Lalu jawab Muadz “Saya berijtihad dengan menggunakan pertimbangan pikiran saya”.[10]
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian ijtihad adalah :
1.         Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2.         Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
3.         Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.
Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut,  ia benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.
Sandaran kerja ijtihad salalu pada dalil dhanni baik dhanniyu al-subut atau al-dalalah, seperti pada :
a.         Hadits ahad : dikategorikan dalil dhanniyu al-subut, mujtahid sebelum menyimpulkan hukum lebih dulu menyelidiki kondisi sanad dan segi patut tidaknya hadits tersebut dijadikan dasar hukum.
b.         Ayat al-Qur’an adalah dalalah lafadz (penunjukan maksud kata-katanya) perlu pengujian mutu tafsir atau mutu takwil-nya, demikian juga segala pertentangan dengan ayat lain (ta’arudh an-nushus) serta penunjukan ‘am-khasnya dan lain-lain.
Abdul Wahab Khallaf menerangkan bahwa ijtihad juga meliputi pengerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada hasilnya, disebut dengan (al-ijtihad bi al-ra’yi). Ijtihad bi al-ra’yi merupakan satu macam ijtihad dalam arti umum yang meliputi pengertian :
1.         Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nashnya yang dhanni dalalahnya. Hukum yang diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash al-Qur’an dan Hadits.
2.   Ijtihad untuk mendapatkan hukum syar’i amali (furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah syar iyah kulliyah.
3.         Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan “Ijtihad al-Ra’yi”.[11]

Ruang Lingkup Ijtihad
Ruang lingkup ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang terdapat dalam ikmu usul fiqh adalah al mujtahid fih. Menurut Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali, lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki hukum qoth’i.[12]
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dlarurah dan bidahah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal), tidak termasuk lapangan ijtihad. Secara tegas, Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i al-tsubut wa dalalah tidak termasuk lapangan ijtihad. Persoalan-persoalan yang tergolong ma ‘ulima min al-din bi al dlarurah, diantaranya kewajiban sholat lima waktu, puasa pada bulan rhamadan, zakat, haji, keharaman zina, pencurian dan minuman khamar.
Secara lebih jelas, Wahbah Al-Zuhaili[13] menjelaskan lapangan ijtihad itu ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni al-tsubut wa al-dalalah atau salah satunya (zhanni al-tsubut atau zhanni al-dalalah).[14]
Selama ada dalil yang pasti maka dalil itu tidak bisa dijadikan obyek ijtihad, atas dasar ayat-ayat hukum tadi telah benar menunjukkan arti yang jelas dan tidak mengandung ta’wil yang harus diterapkan untuk ayat-ayat itu. Contoh masalah yang sudah ada hukumnya dalam nash:
الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد ماة جلدة
Artinya:
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing seratus kali dera. (QS.An-Nuur: 22[15]).

Contoh diatas sudah jelas, bahwa baik laki-laki maupun perempuan yang berzina, masing-masing didera seratus kali, hukum ini sudah jelas sehingga tidak perlu diijtihadi.
Sedangkan contoh masalah yang membutuhkan ijtiihad adalah:
اقيمو الصلوة واتوالزكوة
Artinya :
Dan lakukanlah sholat, tunaikanlah zakat… (QS.Al-Baqarah:43).[16]

Dalam contoh ini memang sudah jelas bahwa umat manusia diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan zakat, namun bagaimana cara melakukannya belum diterangkan dalam ayat tersebut, jadi masih perlu diijtahadi, contohnya berapa ukuran zakat padi, zakat perdagangan, zakat profesi, dan seterusnya.
Sedangkan KH. Ibrahim Husen memberikan ruang lingkup atau medan ijtihad pada 4 macam:
a. Masalah – masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash Al-Quran dan hadist secara jelas.
b. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum di ijmai oleh ulama.
c. Nash-nash dhany dan dalil-dalil hukum yang di perselisihkan.
d. Hukum Islam yang kausalitas hukumnya dapat di ketahui mujtahid.

Dasar Ijtihad
Ijtihad sebagai salah satu sumber hukum dari sumber-sumber hukum syari’ah merupakan sebuah pernyataan yang didasarkan pada dalil-dalil yang menunjukan kevalidannya, baik dalil yang bersifat isyarat ataupun jelas eksplisit. Diantara dalil-dalil yang menunjukan hal tersebut, didasarkan pada dalil naqli al-Qur’an, diantaranya Allah berfirman, “Apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri).”[17] Kemudian firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.”[18] Ayat ini menjustifikasi eksistensi ijtihad dengan cara qiyas.[19] Kemudian firman-Nya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”[20] dan“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal.”[21] Juga “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memperhatikan tanda-tanda.”[22] Istilah berpikir dan berakal adalah sebuah aktifitas yang menggunakan logika dengan penekanan yang ditunjukan ayat ini, yakni berpikir tanpa mendahului al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kemudian firman Ta’ala, “Maka ambillah pelajaran oleh kalian wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.[23] Menurut al-Amidi, ayat ini pun menjadi landasan hukum adanya ijtihad, dimana ayat ini menyatakan perintah untuk mengambil pelajaran atas hal yang bersifat umum bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan.[24] Selanjutnya firman Allah,“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”[25] Dimana ayat ini menjelaskan bahwa adanya musyawarah berarti menunjukan penghukuman atas dasar ijtihad, bukan atas dasar penghukuman wahyu.[26] Hal ini dilakukan jika tidak didapatkan kejelasan ayat tersurat yang qath’i dalam suatu permasalahan. Kemudian ayat yang menyatakan, “Maka Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat).” Dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.”[27] Menurut riwayat Ibn ‘Abbas, ada sekelompok kambing telah merusak tanaman pada waktu malam. Pemilik tanaman mengadukan hal ini kepada nabi Dawud as. Ia memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada pemilik tanaman sebagai ganti tanaman yang rusak. Tetapi nabi Sulaiman memutuskan agar kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada pemilik tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan pemilik kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, pemilik kambing itu boleh mengambil kembali kambingnya . Keputusan nabi Sulaiman inilah keputusan yang lebih tepat.[28] Kebijakan nabi Sulaiman ini merupakan ijtihad beliau dalam memutuskan sebuah hukum. Imam al-Syāfi’ī (150-204 H) dalam al-Risālah mengatakan bahwa landasan dari ijtihad ini adalah Qs. Al-Baqarah: 150, yang berbunyi, “Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar,maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram. Dan dimana saja engkau berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu.”[29] Beliau menjelaskan bahwa ilmu yang menyatakan bahwa orang yang menghadapkan arahnya ke Masjidil haram dari orang yang meninggalkan rumahnya, menunjukan kebenaran adanya ijtihad untuk menghadapkan arah shalat ke Baitullah dengan petunjuk-petunjuknya, karena orang yang mukallaf waktu itu pada dasarnya tidak tahu apakah ia benar menghadap ke Masjidil Haram ataukah salah?.[30]
Diantaranya pula yang berdasarkan hadits Rasulullah SAW. yang diriwayatkan dari Amr ibn al-’Āsh :
حدثني يحيى بن يحيى التميمي. أخبرنا عبد العزيز بن محمد عن يزيد ابن عبد الله بن أسامة بن الهاد عن محمد بن إبراهيم عن بسر بن سعيد عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص, عن عمرو بن العاص: أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران و : إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر.[31]
“...Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan jika ia salah, ia mendapatkan satu pahala.”

Kemudian hadits yang menjelaskan mengenai pengutusan Muadz ibn Jabal ke Yaman untuk menjadi hakim oleh Rasulullah SAW.,
حدثنا حفص بن عمر بن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضي بكتاب الله. قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال: فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله؟ قال: أجتهد برأيي ولا آلو. فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره. فقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضى رسول الله.[32]

“...Bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Mu’ādz menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai Rasūlullāh.”

Landasan berijtihad juga dapat ditemukan dalam riwayat yang menceritakan dua sahabat yang telah berijtihad ketika keduanya mengadakan perjalanan, dimana ketika itu waktu shalat sudah datang, namun keduanya tidak menemukam air. Kemudian keduanya shalat (dengan bertayamum), tidak lama kemudian setelah keduanya selesai melakukan shalat, keduanya menemukan air. Maka salah seorang mengulangi shalatnya. Sedang yang satu lagi tidak mengulanginya. Ketika hal itu diadukan kepada Rasulullah, beliau membenarkan keduanya, seraya beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya: “Engkau sesuai dengan sunnah, dan shalatmu mendapat pahala.” Sedangkan kepada yang mengulangi shalatnya, ia berkata: “Bagimu dua pahala.”[33]
Kemudian ada taqrīr (sikap diam tanda setuju) Rasulullah SAW. kepada ‘Amr ibn ‘Ash ketika ia shalat dalam salah satu sariyyah[34] beserta sahabatnya. Dikatakan bahwa ‘Amr junub, tetapi ia tidak mandi, bahkan cuma tayammum saja karena malam itu sangat dingin. Maka hal itu diadukan kepada Rasulullah SAW., dan ‘Amr berargumen bahwa ia tidak mandi, tapi hanya tayammum karena ia teringat firman Allah Ta’ala,“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang atas kalian.”[35]
Cara berijtihad ini diikuti pula oleh para sahabat dan generasi selanjutnya setelah wafatnya Rasulullah SAW., sebagai ciri khas yang selaras dalam menyimpulkan suatu hukum syar’i yang ditetapkan di dalam Islam. Mereka senantiasa menggunakan ijtihad, jika tidak ditemukan suatu kejelasan hukum suatu masalah di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini sudah menjadi ijma’ para sahabat yang diikuti oleh segenap ‘Ulama Islam dalam berbagai madzhab.[36]
Umat Islam dengan berbagai madzhabnya telah sepakat (ijma’) atas adanya syari’at ijtihad dan mengaplikasikannya. Dan hasilnya terjadinya perkembangan dalam bidang fikih. Begitupun akal mewajibkan adanya ijtihad, karena kebanyakan dalil-dalil hukum syara’ dalam bentuk aplikatif praktis (amal) bersifat zhannī yang memungkinkan dipahami dengan beberapa pemahaman. Oleh karena itu diperlukan ijtihad untuk menentukan pendapat yang terkuat. Begitu juga permasalahan yang tidak ada kejelasan nash tersurat, memerlukan ijtihad untuk menjelaskan hukum syari’at dalam masalah tersebut. Oleh karena ijtihad itu disyari’atkan, maka kedudukan ijtihad ini pula sangat penting untuk diperhatikan. Syeikh Yusuf al-Qaradhawi menghukumi ijtihad dengan fardhu kifayah.[37] Ia beralasan bahwa ijtihad itu untuk kepentingan agama dan dunia, sebagaimana ilmu hisab, kedokteran, dan lainnya, yang hukumnya fardhu kifayah. Beliau juga mengutip al-Syaukani dan al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihalyang menyatakan bahwa hukum ijtihad adalah fardhu kifayah.[38]

Pembagian Ijtihad
Perbedaan pendapat mengenai makna ijtihad yang diserupakan dengan qiyas, ra’yu (logika) yang termasuk di dalamnya istihsān atau mashālih mursalah, menjadi pembahasan yang terus bergulir. Al-Syafi’i misalnya yang menyatakan bahwa ijtihad sama dengan qiyas,[39] dibantah oleh Al-Ghazali dengan argumentasi bahwa ijtihad lebih umum ketimbang Qiyas, karena ijtihad kadang memperhatikan penelitian usahanya dalam masalah-masalah umum, kedalaman lafazh-lafazh, dan jalan-jalan mencari dalil lain selain Qiyas.[40] Bahkan dikatakan bahwa ijtihad mencakup ra’yu (logika), qiyas, dan akal. Sebagaimana ra’yu diartikan oleh mereka yang berpendapat demikian diklaim sebagaimana para sahabat memahaminya, yaitu sebagai amal yang yang dipandang oleh mujtahid sebagai suatu kemaslahatan dan lebih dekat kepada semangat syari’at Islam tanpa penelitian kepada apakah hal itu ada dasar tertentu untuk kejadian tersebut atau tidak.[41] Hal ini senada dengan apa yang dikatakan al-Syairazī dalam al-Luma’ fī Ushūl al-Fiqh, seperti dikutip Wahbah Zuhaili, bahwa yang benar adalah bahwa ijtihad itu lebih umum dari qiyas, karena ijtihad merupakan pengerahan kemampuan seorang mujtahid dalam mencari hukum, yang di dalamnya mencakup pengetahuan tentang mutlaq atas muqayyad, penertiban yang Ām atas yang Khāsh, dan seluruh bahasan-bahasan yang menuntut pencarian hukum. Dan dari bahasan-bahasan itu, hanya sebagian yang termasuk qiyas.[42]
Pembagian ijtihad, sebagaimana yang dijelaskan al-Syāthibi,[43] terbagi kepada tiga bagian dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman. Yang pertama, Ijtihadbayānī, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash-nash syāri’ (Al-Qur’an dan al-sunnah). Ijtihad ini untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya zhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihad bayani ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu diantara beberapa pemahaman yang berbeda.
Kedua, ijtihad Qiyāsī, yang artinya ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash – baik qath’i ataupun zhanni - juga tidak ada ijma’ yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan dalam ‘illat hukumnya, atau biasa disebut Qiyas.
Ketiga, ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syar’i dengan cara menetapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash –baik qath’imaupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma’. Dasar pegangan dalam ijtihad macam ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat ataupun menghindarkan madharat.
Mengenai pembagian ijtihad diatas, Taqiy al-Dīn al-Hakīm dalam al-Ushūl al-’Āmmah li al-Fiqh al-Muqārin, mengomentari bahwa ijtihad bayani tidak mencakup syarat-syarat pembagian yang mantiqi, karena tidak memenuhi kapasitas pembagian. Dimana ijtihad ini tidak mencakup ijtihad istihsani dan lainnya dari dalil-dalil istinbat yang menjadi pegangan para fuqaha. Kemudian mengenai ijtihad qiyāsī, ia berkomentar bahwa qiyas bukan satu bagian ijtihad bayani dari keseluruhan bagian-bagian qiyas. Tetapi pada sebagiannya qiyas menjadi bagian dari ijtihad, seperti qiyas yang didasarkan pada nash yang tersurat dengan menggunakan ‘illat atau yang mengambil keumuman hukum dari keumuman atau kemutlakan illatnya untuk semua yang berkaitan dengannya. Sedangkan ijtihad istishlāhī merupakan nama lain dari ijtihad bayani, karena sama-sama menyimpulkan hukum dari dalil-dalil yang umum, seperti Lā Dharara wa lā dhirāra (jangan membahayakan diri dan orang lain). Oleh karena itu, menurut al-Hakīm, ijtihad itu terbagi kepada dua bagian saja. Pertama, ijtihad ‘Aqlī, yaitu ijtihad yang argumentasinya atas dasar akal dan logika yang tidak bisa diterima menjadi hukum syara’, seperti kebebasan akal dan kaidah-kaidah yang menolak bahaya yang diperselisihkan atau jeleknya sanksi hukum tanpa adanya penjelasan dan lainnya. Kedua, ijtihad Syar’ī, yaitu argumentasi yang didasarkan atas argumentasi-argumentasi syar’i. Yang termasuk ijtihad ini adalah ijma’, qiyas, istohsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dan lainnya.[44]
Sedangkan melihat bentuk ijtihad dari sisi mungkin atau tidak mungkin terhenti kegiatannya, al-Syatibi membaginya menjadi dua macam. Pertama, ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam bentuk ini adalah yang disebut dengan tahqīq al-manāth atau ijtihad dalam menjelaskan hukum. Kedua, ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya. Pada bentuk kedua ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) tanqīh al-manāthyang artinya upaya mujtahid untuk memilih berbagai ‘illatyang ditemukan untuk ditetapkan sebagai ide hukum suatu ayat, dan (2) takhrīj al-manāth yang artinya upaya mujtahid untuk menggali berbagai ‘illat dari suatu hukum.[45]
Kemudian ijtihad dilihat dari sisi hasil yang dicapai terbagi kepada dua bentuk. Pertama, ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai penemuan hukum, yakni ijtihad yang dihasilkan oleh pakar yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan. Kedua,ijtihad ghair mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak dapat dipandang sebagai cara dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan.[46]

Syarat-syarat Ijtihad
Al-Ghazali menjelaskan syarat mujtahid hanya pada dua syarat saja. Pertama, menguasai pengetahuan-pengetahuan ilmu syara’ (agama), yang memungkinkan seorang mujtahid bertindak proporsional dalam meneliti suatu persoalan, yaitu ia bisa mendahulukan apa yang mesti didahulukan, dan mengakhirkan apa yang mesti diakhirkan. Kedua, seorang mujtahid mestilah seorang yang adil dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan yang tercela. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa syarat yang kedua (adil) adalah merupakan syarat diterimanya fatwa, bukan syarat sahnya ijtihad. Oleh karena itu, jika seseorang mendalam ilmunya, tetapi ia tidak menggambarkan keadilan dirinya, maka ia berijtihad untuk dirinya saja, tidak untuk yang lainnya dalam wujud fatwa.[47] Begitupun dengan al-Syathibi yang mensyaratkan dua persyaratan dalam berijtihad, tetapi beda isi dengan al-Ghazali. Pertama, memahami secara sempurna maqāshid al-syarī’ah. Kedua, mempunyai kapasitas dalam mengistinbat hukum sebagai gambaran dari pemahamannya.[48]
Tetapi uraian secara terperinci dalam menentukan syarat-syarat ijtihad, para ‘Ulama membaginya ke dalam tiga klasifikasi, yaitu al-syurūth al-’Āmmah (syarat-syarat umum), al-syurūth al-khāshshah atau al-syurūth al-tahlīliyyah (syarat-syarat khusus atau terperinci), danal-syurūth al-takmīliyyah (syarat-syarat penyempurna). Penjelasan dari ketiganya adalah sebagai berikut.
1. Al-Syurūth al-’Āmmah (syarat-syarat umum)
Yang termasuk persyaratan yang pertama, yaitu (1) seorang mujtahid mesti seorang muslim bertauhid, yakni mengetahui dan meyakini keberadaan Allah, sifat-sifat-Nya, kesempurnaan-Nya. Kemudian jua membenarkan Rasul SAW., dan apa yang dibawa berupa syari’at, sehingga seorang mujtahid menjadikan hal itu menjadi rujukan utamanya.[49] Kemudian (2) sorang mujtahid adalah seorang yang baligh, karena jika masih kecil tidak memenuhi syarat ilmu dalam mengetahui fiqih dari berbagai aspeknya. Yang (3) seorang mujtahid adalah orang yang berakal, karena tanpa akal tidak akan mendapat ilmu, pemahaman, dan lainnya. Sedang yang ke (4) adalah mujtahid mesti seorang yang faqīh al-nafs, yaitu orang yang mempunyai kemampuan dalam menyimpulkan hukum-hukum fiqih dari dalil-dalilnya.[50]
2. Al-syurūth al-khāshshah atau al-syurūth al-tahlīliyyah (syarat-syarat khusus atau terperinci)
Syarat ini adalah syarat yang dilihat dari keahlian, sebagaimana yang dijelaskan Yusuf al-Qarādhawī, bahwa syarat- tersebut adalah sebagai berikut. (1) mengetahui dan menguasai arti ayat-ayat al-Qur’an, khususnya tentang ayat-ayat hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah. (2) mengetahui dan menguasai hadits-hadits nabi SAW., khususnya hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah. (3) mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. (4)mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ‘Ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’. (5) mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. (6) mengetahui maqāshid al-syarī’ah secara umum.. (7) mengetahui kondisi masyarakat dan kehidupan atau lingkungan. (8) mempunyai jiwa adil dan taqwa.[51]
3. Al-Syurūth al-Takmīliyyah (syarat-syarat penyempurna)
Diantara syarat penyempurna ini adalah sebagai berikut: (1) mengetahui peniadaan yang mendasar, yaitu seorang mujtahid mengetahui bahwa yang mendasar itu adalah meniadakan bahwa ia tidak berhukum kecuali apa yang telah digariskan oleh syara’, tidak ada kewajiban kecuali apa yang diwajibkan oleh syara’, tidak ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang oleh dalil. Imam al-Ghazali mengibaratkannya kepada dalil akal,[52] karena akal yang benar tidak akan menolak dalil, tapi justru menguatkannya. (2) Memahami maqāshid al-syarī’ah (tujuan-tujuan syari’at). Dimana al-Syathibi dan al-Qaradhawi memasukannya sebagai salah satu syarat utama. Al-Syātiby dalam al-muwāfaqāt menyebutkan bahwa maslahah atau maqāshid al-syari’ah terbagi kepada al-mashālih al-dharuriyyah, al-hājiyyah, dan al-tahsiniyyah. Al-mashālih al-dharuriyyah. Menurutnya, sesuatu yang harus ada dalam usaha menegakkan dan menjaga urusan agama serta dunia, yang melingkupi penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Al-Māshalih al-Hājiyyah ialah segala yang diperlukan manusia agar penghidupan ini menjadi mudah dan lapang, hilanglah kesempitan dan kesukaran, tetapi tidak mengarah kepada kerusakan dan kebinasaan. Sedangkan al-mashālih al-tahsiniyyah adalah segala yang berhubungan dengan keindahan dalam kehidupan, baik bagi individu maupun masyarakat. Jika hal ini tidak ada hanya dipandang kurang baik saja.[53] (3) Mengetahui kaidah-kaidah kulliyyah. Dalam hal ini Imam Ibn al-Subkī memasukannya sebagai salah satu syarat dalam memahami maksud sya’ri’ (Allah swt). Dan yang dimaksud dengan kaidah kulliyyah adalah kaidah-kaidah al-kulliyyah al-fiqhiyyah, seperti “al-dhararu yuzālu” (bahaya itu akan hilang) atau al-yaqīn lā yazūlu bi al-Syak (keyakinan tidak akan hilang dengan keraguan). (4) mengetahui tempat-tempat perselisihan. Mengutip perkataan Qatadah, ia berkata: “barang siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf (perbedaan), maka hidungnya tidak mencium pemahaman.” Hisyam ibn ‘Ubaid Allah al-Razi berkata: “barang siapa tidaka mengetahui perbedaan qira’ah, maka ia bukan qāri’. Dan barang siapa yang tidak mengetahui perbedaan para fuqaha, maka ia bukan faqih.”[54] (5) Mengetahui ‘urf (adat kebiasaan) yang berjalan di suatu negeri. Dengan pengetahuan ini, dapat mengambil kebijakan hukum secara proporsional.[55] Dalam hal ini al-Qurāfī mengatakan bahwa pengetahuan terhadap ‘urf adalah urusan yang wajib yang tidak ada perselisihan ‘ulama tentang hal itu. Sesungguhnya jika ada dua adat dalam dua negeri, maka kedua adat itu tidak sama. Begitu pula hukum kedua negeri itu pun tidak sama.[56] (6) Mengetahui mantiq (logika), sebagaimana yang dikemukakan al-Ghazali bahwa seorang mujtahid mesti mengetahui pembagian dalil-dalil (akal, syari’at, wadh’iyyah /ibarat-ibarat bahasa), kesulitan-kesulitannya, dan syarat-syaratnya.[57] (7) keadilan dan keshalihan mujtahid. (8) Mempunyai sejarah dan pengalaman yang baik (tidak cacat). (9) mempunyai sifat wara’ (taqwa) dan ‘iffah (karisma) dari setiap hal yang akan merusak kemuliaannya. (10) Mempunyai ketenangan dalam berpikir, kebijaksaan dalam menjelaskan dan hati-hati dalam berfatwa. (11) Perasaan rendah diri di hadapan Allah dengan selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta petunjuk kebenaran. (12) Ketsiqahan dirinya dalam keahliannya dan pengakuan masyarakat terhadapnya. Malik ibn Anas pernah berkata:“Tidak pantas seorang ‘alim berfatwa sehingga dirinya dan masyarakat melihatnya sebagai orang yang ahli dan pantas untuk berfatwa, dan begitu pula ia diakui oleh ‘ulama dalam kepantasannya tersebut.“[58] Dalam perkataannya yang lain, “aku tidak akan berfatwa sehingga ada 70 orang yang bersaksi bahwa aku ahli dalam hal itu.” (13) Kesesuaian amal seorang mujtahid dengan ucapannya dan ilmunya. Allah berfirman, “Dan diantara orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”[59]Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. (itu) sangatlah dibenci disisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.[60]


Urgensi Ijtihad
Dari latar belakang historisnya Ijtihad bermula dari riwayat percakapan antara Nabi dengan Muaz bin Jabal ketika ia ditunjuk menjadi Gubernur/Hakim ke Yaman. Diriwayatkan, Nabi bertanya kepada Muaz tentang sumber yang di gunakan dalam memerintah provinsi dan memutuskan perkara di sana. Muaz menjawab : pertama-tama ia akan mencari dari al-Quran, jika Al-Quran tidak memberi jawaban, maka akan dicari dari sunnah nabi. Jika tidak ada sunnah yang dapat diterapkan, ia akan menggunakan pendapat/keputusan pribadi “Ajtahidu rayi wala alu” nabi dikabarkan menyetujui urutan-urutan sumber syariah itu. Inilah awal dari bolehnya ijtihad oleh nabi dalam memutuskan suatu keputusan penting jika tidak terdapat dalam al-Quran dan hadits. Sedangkan di masa sahabat munculnya ijtihad dengan masalah, siapakah pengganti Nabi Muhammad sebagai khalifahatau kepala negara setelah beliau wafat? Kaum Anshor berijtihad merekalah yang berhak menjadi khalifah karena merekalah yang menolong Beliau ketika dikejar-kejar kaum Kafir Quraisyh Mekkah, sedangkan sebaliknya kaum Quraisy menganggap merekalah yang berhak dengan alasan sabda Nabi : para pemuka (al aimmah) adalah dari golongan Quraisy begitu pula keluarga Ali yang mengklaim dirinya untuk menjadi Khalifah. Menurut penulis Ijtihad tentang siapa yang berhak menjadi khalifah tersebut sangatlah kental nuansa politisnya ketimbang unsur akidahnya yang dilatarbelakangi oleh keinginan mereka menjadi pengganti Nabi. Pintu Ijtihad memang harus dibuka lebar-lebar, sebagaimana anjuran para pemimpin pembaharuan Islam abad 19 Masehi, dan secara kolektif para ulama Islam memasukinya.
Perlu ditekankan bahwa Ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem-problem yang dihadapi oleh umat Islam sekarang dan mendatang. Ijtihad, sebagai sumber ketiga ajaran umat Islam sesuai dengan semua tempat dan zaman. Hal ini telah dibuktikan oleh para ulama dari berbagai bidang ilmu keagamaan dan sains pada zaman keemasan Islam. Hal ini tepat untuk membenahi ketinggalan umat Islam atau untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan abad modern harus membuka Ijtihad, lebih-lebih pintu ijtihad ini telah dibuka oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga tak berhak lagi siapapun menutupnya. Juga, tidak ada Nash baik al-Quran dan hadist yang mengharuskan kita terikat oleh satu madzab fiqh tertentu. Dan harus diakui bahwa kemunduran Islam selama berabad-abad yang lalu salah satunya disebabkan oleh adanya anggapan pintu ijtihad tertutup yang menurut Iqbal berhentinya gerakan Islam selama 500 tahun terakhir ini menggambarkan hal tersebut. Jadi, apakah prinsip gerakan dalam struktur Islam? Itulah yang disebut Ijtihad. Oleh karena itu aktualisasi pemahaman Islam dan sejenisnya bukan saja boleh, melainkan harus digelorakan, jika pada hakikatnya ia dimaksudkan sebagai ijtihad. Barangkali kita sepakat tentang hal ini. Yang dilatar belakangi apa yang disebut oleh iqbal sebagai “berhentinya gerakan Islam selama 500 tahun terakhir ini.
Ibnu Sina mengatakan setiap proses dalam generasi di dalam kosmos selalu mengikuti prinsip-prinsip ciptaan, yaitu segala kesatuan alam yang satu pasti memunculkan sesuatu yang satu pula (ex uno non fit nisi unum) dan setiap kreasi pasti bermuara dari jalur rasional (Thariq al-tanggul) peningkatan derajat kita dari persfektif pengetahuan diukur oleh kerangka logika yang kita miliki. Konsep adalah objek mental yang afirmasi atau negasi (concept a mental objeetswith affirmation or negation).[61]

Landasan Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam
Al-Quran dan sunnah keduanya adalah cahaya yang menerangi kegelapan dan melenyapkan kebingungan. Ijtihad adalah kegiatan pemikiran yang dicurahkan untuk menarik dan menyimpulkan hukum syariat dari kedua sumber hukum (Q + H) guna menetapkan pengaturan hidup bermasyarakat. Pekerjaan ijtihad tidak dapat dilakukan bagi setiap orang, karena memerlukan keahlian & ilmu pengetahuan agama yang tinggi.
Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam Aqidatun wa syariatun, mengemukakan bahwa ajaran Islam terdiri atas dua aspek , yakni akidah dan aspek syariah[62]. Selanjutnya beliau menentukan sumbernya masing-masing, aspek aqidah bersumber dari alQuran, al hadis atau as-sunnah dan al-Rayu.[63] Rayu merupakan pandangan atau pendapat yang di peroleh atas pengkajian dan pembahasan yang dilakukan terhadap Al Quran dan Al Hadis dengan menggunakan kaidah-kaidah khusus.
Muhammad Abu Zahrah dalam kaitannya ushul al-Fiqh menyatakan bahwa ulama sepakat menetapkan dalil hukum itu adalah al Kitab (al-Quran), al-Sunnah (al-Hadis), ijma dan jumhur menetapkan al-Qiyas sebagai dalil hukum yang keempat. Demikian juga beliau mengemukakkan dalil-dalil yang diperselisihkan di kalangan jumhur ialah pendapat sahabat, al-istimbath, al-maslahah, al-DzaraI, al-istihhab dan al-syaru man qublana.[64]
Mukhtar yahya mengemukakan bahwa jumlah fuqahah sepakat menetapkan bahwa sumber hukum ada tiga (3) macam yaitu al Quran, al-Sunnah dan Ijtihad. Ijtihad dibagi atas tiga Ijma dan qiyas.[65] Beliau menjadikan dasar, ayat al-Quran dan surah al-Nisa ayat 59, dan al hadis yang diriwayatkan oleh ahmad Abu Daud dan Turmudzy dari Muadz bin jabal ketika dirinya diutus menjadi qadhi di negeri Yaman9. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa sumber hukum atau dalil ada empat yang disepakati oleh jumhur: alQuran, al-Sunnah (al-Hadis), Al-Jima, Al-Qiyas. Sedangkan yang tidak di sepakati adalah : Ijtihad sahabat, Istihsan, Mashalah Mursalah, Saddud Dzarai, Urf, Istishab dan, Syaru man qablana.

Kesinambungan Ijtihad
Kewajiban ijtihad tidak berhenti pada masa ‘ulama terdahulu saja, tetapi sebaliknya kesinambungan kewajiban ijtihad mesti terus terjadi di stiap masa ataupun tempat. Hal ini mengingat berkembang dan kompleksitas problematika umat dari masa ke masa yang terus berkelanjutan. Oleh karena itu, ijtihad merupakan solusi dalam memberikan keseimbangan hidup dengan sinaran wahyu yang terurut. Ketika persoalan yang muncul merupakan persoalan baru yang tidak eksplisit (qath’ī) dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, maka ijtihad adalah jawabannya, yang sudah barang tentu mesti dilakukan menurut konsep yang sebenarnya di dalam Islam. Mengenai urgensitas kesinambungan ijtihad, sebagaimana dikutif Yusuf al-Qaradhawi, imam al-Syaukani berkata: “Tidak tersembunyi atas kalian (jelas nampak-pent) bahwa kedudukan ijtihad adalah fardhu yang niscaya keberadaannya sepanjang rentangan zaman, tanpa harus kosong dari seorang mujtahid. Hal ini dibenarkan oleh Rasulullah SAW. dalam sabdanya: “Akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang berada dalam kebenaran dengan jelas sampai terjadinya hari kiamat.”[66]
Hanabilah (pengikut Ahmad ibn Hanbal) mengatakan bahwa tidak boleh suatu masa kosong dari seorang mujtahid. Dalam hal ini al-ustadz Abu Ishaq berkata: “Dan dibawah pendapat ‘ulama, Allah tidak akan mengosongkan suatu zaman dari orang yang menegakkan hujjah dan argumentasi mengenai urusan yang besar, seakan-akan Allah mengilhamkan hal tersebut. Artinya: Jika Allah mengosongkan suatu zaman dari penegak hujjah (mujtahid), maka akan terlepaslah beban kewajiban (taklif). Begitupun dengan imam al-Zubairi yang menyatakan bahwa bumi ini tidak akan kosong dari penegak hujjah (mujtahid) di setiap waktu, masa, dan zaman. Tetapi tentunya, jumlah mujtahid itu sedikit dari yang banyak. Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada mujtahid saat ini (suatu zaman), hal itu adalah salah, karena jika tidak ada fuqahā, maka kewajiban-kewajiban seluruhnya tidak akan ada. Jika tidak ada kewajiban, maka makhluk akan dihancurkan, sebagaimana sabda rasul, “tidak akan terjadi kiamat kecuali atas seburuk-buruknya manusia.” Dan kita berlindung kepada Allah untuk diakhirkan beserta orang-orang yang buruk.”[67]
Kondisi real suatu zaman meniscayakan adanya mujtahid yang mengemban amanah menegakkan hujjah Islam dimuka bumi, demi terjaganya kemaslahatan umat Islam di dunia dan di akhirat. Menjawab semua permalahan baru dalam dunia yang selalu baru, tetapi bukan mengada-ada hukum baru dari hukum yang sudah baku. Keniscayaan zaman yang akan terus mendatangkan penghuni dunia pengisi zaman yang terus menemui kenistaan dan jauh dari pancaran wahyu di bawahworldview Islam. Hal ini sesuai dengan riwayat yang diterima dari Anas ibn Malik bahwa Rasul SAW. bersabda: “Bersabarlah kalian, karena tidak akan datang suatu zaman, kecuali zaman tersebut akan lebih jelek dan buruk dari zaman sebelumnya sehingga kalian menemui Tuhan kalian.”[68] Mengomentari hadits ini, Abdullah ibn Mas’ud menjelaskan bahwa yang dimaksud zaman pada hadits diatas, bukanlah suatu tahun lebih baik dari tahun yang lain tau seorang amir lebih baik dari amir yang lain, tetapi ketika para ‘ulama dan fuqaha diantara kalian wafat, tetapi tidak ada pengganti mereka. Kemudian datang suatu kaum yang berfatwa dengan akal mereka (tanpa mengindahkan wahyu-pent). Maka mereka menurunkan kewibawaan Islam, bahkan menghancurkannya.[69]




[1]     Tawana, Ijtihad wa Mada Hajatina, Ilaihi fi Haza al-‘Asr (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1872), 98.
[2]     Ibid., 120.
[3]     Ahmad Aszhar Basyir dkk, ijtihad dalam sorotan, (Bandung: mizan, 1996). 108.
[4]     Secara bahasa, ijtihad adalah : برل غاي الجهد في انى ىَل اني ايس ي الايىز او فعم ي الافعال
Artinya: Mengerahkan segala kemampuan untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan. Lihat, Muhammad Abu Zahra, Us}ul al-Fiqh, (Dar al-Fikr Al-Arabi: 1957), 379.
[5]     Ghufron A. Mas'adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 148. Dan lihat Wahbah al-Zuhaili..tt “Al-Wasith fi ushulil fiqhil Islami. tanpa penerbit, 592.
[6]     Hasbi Ash-Shiddiqy. 1975. Falsafah Hukum Islam. (Jakarta : Bulan Bintang), 210..
[7]     Muhammad Idris Asy-SyafiI 1938. Al-Risalah : (Mesir : Math baah Mustafal Babil Halabi), 477.
[8]     Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1991), 25.
[9]     Al-Jurjani Syarief Ali Muhammad, Al-Ta’rifat, (Jeddah: Al-Haramain, tt), 10
[10]    Abu Daud, Sunnah Abu Daud, Juz IV (TTP: Jama’atul Huquq Mahfudhah, Cet. I, 1973), 19.
[11]    Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, (Surabaya, IAIN Ampel Press, 2004)
[12]    Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfa min 'Iim al-uhul, (Beirut: Dar Sadir, t.t.), 354.
[13]   Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, (1978), 497.
[14]    Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 104.
[15]    AL-QUR’ANAn-Nuur: 22
[16]    AL-QUR’ANAl-Baqarah:43
[17]    AL-QUR’AN Al-Nisā: 83
[18]    AL-QUR’AN Al-Nisā: 105
[19]    Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1039.
[20]    AL-QUR’AN Al-Ra’d: 3
[21]    Al-Qur’an Al-Ra’d: 4
[22]    Al-Qur’an Al-Hijr: 75
[23]    Al-Qur’an Al-Hijr: 2
[24]    Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām, hal. 201
[25]    Al-Qur’an Ali ‘Imran: 159
[26]    Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām, hal. 201
[27]    Al-Qur’an Al-Anbiyā: 79
[28]    Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurthūbī, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, Tahqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abdan al-Muhsin al-Turkī, (Jilid 14, al-Thab’ah al-Ūlā, Muassasah al-Risālah, 2006), 234
[29]  وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
[30]    Muhammad ibn Idris al-Syāfi’ī, Al-Risālah, Tahqīq Ahmad Muhammad Syākir, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), 488. Selanjutnya diringkas Al-Risālah.
[31]    Abu Husain Muslim ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisābūrī, Shahih Muslim, jilid 2, 123. Lihat Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1039.
[32]    Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, jilid 2, hal. 168
[33]    Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwāqi’īn ‘an Rabb al-Ālamīn, terjemah Kamaluddin Sa’diyatul Haramain, Panduan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), 165
[34]    Sariyyah adalah perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah SAW. Sebaliknya perang yang diikutii Rasulullah SAW. disebut dengan Ghazwah
[35]    Al-Qur’an Al-Nisā: 29
[36]    Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1039-1040.
[37]    Fardhu kifayah artinya kewajiban apabila telah ada yang melakukannya, maka kedudukan wajibnya gugur tau kewajiban yang hanya dibebankan kepada sebagian orang saja, bukan muslim seluruhnya.
[38]   Yusuf al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āshir, (Kuwait: Dār al-Qalam, al-Thab’ah al-Ūlā, 1996), 78-79. Selanjutnya diringkas al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah.
[39]   Muhammad ibn Idris al-Syāfi’ī, Al-Risālah, 477. Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1040
[40]    Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī,al-Mustashfā, 54, dalam Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1038.
[41]    Abu ‘Abīrah Masyhū ibn Hasan Ali Salmān, I’lām al-Muwāqi’īn ‘An Rabb al-‘Ālamīn, jilid 1, (Riyadh: Maktabah Ibn al-Jauzī, al-Thab’ah al-Ūlā, 1423), 66.
[42] Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1040
[43] Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt, 96. Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1040
[44]    Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, 1041-1042.
[45]   Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt, 47.
[46]   Ibid, 93
[47]   Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā, 5.
[48]   Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt, 105-106.
[49]    Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām, 198.
[50]   ‘Ala’ al-Dīn Abī al-Hasan ‘Alī ibn Sulaimān al-Mardāwī al-Hambalī, Al-Tahbīr Syarh, 3870
[51]   Yusuf al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, 15-49.
[52]    Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā, 351.
[53]    Al-Syatiby, Al-Muwafaqat, jilid 2, 2-5.
[54]    Al-Syatiby, Al-Muwafaqat, jilid 4, 161.
[55]   Nādiyah Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām, 104.
[56]   Al-Qarāfī, al-Ahkām fī Tamyīz al-Fatāwā ‘an al-Ahkām, 249, dalam Nādiyah Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām, 105.
[57]   Nādiyah Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām, 105.
[58]   Al-Imam al-Qarāfī, al-Furūq, al-Thab’ah al-Ūlā, 1344 H, jilid 2, 110.
[59]   Al-Qur’an Al-Ahzāb: 23
[60]    Al-Qur’an Al-Shaff: 2-3
[61]    Ahmad Barizi; Sans inati. “Ibnu Sina” dalam suyyed Husein Nasr and oliven leamon (ed). History of Islamic philosophy (London and New York : Routledge, 1996, Part I ), 234.
[62]    Muhammad Syaltut, al-Islam Aqidatun wa Syariatun. (Beirut: Dar al-Kalam, 1966, Cet. III), 11.
[63]    Ibid. 477.
[64]    Ibid. 478.
[65]    Abu Zahrah, Ushul al-Fiqhi (Al-Araby; Dar al-Fikr 1977/1978), 74. Lihat juga Muhtar Yahya, Fathur Rahman. Dasar-dasar pembinaan hukum Fiqh Islami, Cet; I : (Bandung; PT. al-Maarif, 1986), 100.
[66]    Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukānī, Irsyād al-Fuhūl, dalam Yusuf al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, 85.
[67]    Yusuf al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, 86.
[68]   HR. Bukhari dengan lafazh روى البخاري بسنده إلى الزبير بن عدى, قال: أتينا أنس بن مالك فشكونا إليه ما نلقي من الحجاج, فقال: إصبروا فإنه لا يأتي عليكم زمان إلا الذي بعده شر منه حتى تلقوا ربكم, سمعته من نبيكم صلى الله عليه وسلم. Lihat Yusuf al-Qaradhawi, al-Mubasysyarāt bi al-Intishār al-Islām, (Kairo: MaktabahWahbah, 2004), 124-128. Selanjutnya diringkas al-Mubasysyarāt.
[69]   Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani menytakan bahwa pendapat Abdullah ibn Mas’ud ini adalah pendapat yang kuat dan pantas untuk diikuti. Lihat Yusuf al-Qaradhawi, al-Mubasysyarāt, 124-128.


DOWNLOAD PDF DISINI

Post a Comment

0 Comments